Jumat, 18 Agustus 2017

Quovadis Kemerdekaan Literasi?

Sumber Gambar: Kompasiana.com
“Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas” (Muhammad Hatta).

Bung Hatta melontarkan kata magis itu bukanlah bualan semata. Kalimat itu semacam azimat untuk membakar semangat anak bangsa dalam mengawal kemerdekaan dengan medium literasi. Wawasan luas yang dimiliknya memang tak lepas dari kecintaannya terhadap buku. Bahkan, saat ia dibuang ke Digoel, ia sampai membawa empat peti besar berisi buku-bukunya. Koleksi bukunya berasal dari berbagai bahasa, mulai dari berbahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman. Hatta menggunakan buku sebagai referensi bagi pemikiran-pemikirannya, terkhusus dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pada 10 November 1945, Sutan Sjahrir menulis buku berjudul “Perdjoeangan Kita”. Buku itu berisi analisis siatuasi Indonesia dan kerja pemerintah setelah 17 Agustus 1945. Sjahrir mengajukan kritik-kritik yang bermaksud menentukan arah kemajuan bagi Indonesia. Ia mengungkapkan pesimisme. “Sangat menjedihkan keadaan djiwa pemoeda kita. Mereka teroes di dalam kebimbangan, meskipoen semangatnja meloeap-loeap, mereka beloem mempoenjai pengertian tentang kemoengkinan serta kedoedoekan perdjoeangan jang diperdjoengkannja sehingga pandangannja tak dapat djaoeh” (Bandung Mawardi, Jawa Post 17 Agustus 2015).

Tidak hanya Sjahrir, yang menempatkan budaya literasi sebagai alat pembebasan belenggu ahistoris dan kebodohan struktural, tokoh besar pergerakan Indonesia kaliber Tan Malaka dalam Madilog-nya juga pernah berujar soal ini. “selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibetuk kembali. Kalau perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”

Tentu sosok Bung Besar (Soekarno) sendiri adalah pengawal literasi Indonesia. Modal pengetahuan luas akan kebangsaan, lengkap dengan jiwa pemimpin dan kemampuan berpidato berapi-api di atas mimbar itu tidak serta merta datang dari langit. Tentu ia adalah penggila buku, gila baca, dan gila menulis. Maka, Hatta dengan “Alam Pikiran Yunani”-nya, Sjahrir dengan “Perdjoeangan Kita”-nya, Tan Malaka dengan “Madilog”-nya, dan Soekarno dengan “Di Bawah Bendera Revolusi”-nya, adalah sumbu revolusi masa depan bangsa, dan pengawal kemerdekaan lierasi Indonesia.

Kerja literasi harus selalu digaungkan sebagai konsuken luhur dari bangsa yang merdeka. Sebuah bangsa besar bisa diukur dari kerja literasi yang begitu terstruktur, rapi, dan masyarakatnya sadar akan pentingnya berliterasi. Maka jangan salah, kalau peradaban dunia abad ke-15 SM berpusat di Mesopotamia dan tepi Sungai Nil (Mesir) di bawah kekuasaan raja Fir’aun Mesir Kuno. Fir’aun yang abadi dalam sejarah, ternyata kekuasaannya dibangun tidak semata-mata dengan kekuatan militer. Pada saat berkuasa ia memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi sebanyak 20.000 buku. Maka tak ayal kalau Francis Bacon, Filsuf asal Inggris itu menyebut sebagai “pengetahuan adalah kekuatan, siapa pun pelakunya.”

Paradoks

Geliat literasi di awal kemerdekaan yang dipelopori oleh founding leaders adalah bukan keniscayaan. Akan tetapi mereka mencipta, bekerja keras, dan mengimajinasikan pikirannya untuk masa depan Indonesia. Mereka punya gaya khas masing-masing dalam menuangkan gagasan, sebagai gerbong melawan penjajah. Piagam Jakarta yang melahirkan pula dasar negara bernama Pancasila, tentu tidak tercipta Indonesia kalau saja Panitia Sembilan bukan orang-orang yang mahir dalam menulis. Pancasila tak ubahnya Piagam Madinah yang bisa menyatukan penduduk Makkah dan Madinah yang multi keyakinan dan multikultur.

Namun peristiwa lampau yang dipuja itu menjadi paradoksal ketika negara ini menginjak usia ke-72 setelah kemerdekaan dari kolonialisme. Merdeka dari penjajah belum tentu merdeka dalam berliterasi. Profesi menulis hingga kini belum mendapatkan kemerdekaan sejati. Pekerjaan menulis dianggap tidak akan mendatangkan kekayaan. Mereka yang terus melanjutkan hobi menulisnya akan terkatung-katung di tengah lautan sebagaimana kapal tua.  Nakhodanya ada, tapi ia tak tahu mengarahkan kemana kapalnya. Kalau pun ada orang yang bertahan, hanyalah orang-orang pilihan yang hanya mengabdikan diri sebagai penyumbang gagasan literasi, tanpa apresiasi, tanpa materi.

Soal minat baca kita pun terpuruk. Berdasarkan studi “Most Litered Nation in The Word” yang dilakukan oleh Centrel Connecticut State University, pada Maret 2016 tahun lalu, kita dinyatakan menduduki posisi underdog pada peringkat ke 60 dari 65 soal minat baca.

Rendahnya literasi membaca kita juga berbanding lurus dengan angka buta huruf. Di era teknologi dan informasi yang semakin masif ini, ternyata tidak membawa bangsa kita lepas dari prahara buta huruf. Kita lebih gandrung berselancar di media sosial ketimbang menyuntuki huruf-huruf di kertas atau pun membaca tulisan ebook di laptop dan gadget. Kita harus sadari itu. Atau pun yang lebih naïf lagi, kita lebih banyak mengoleksi baju daripada buku.

Maka tak ayal kalau Pusat Data dan Statistik Kemendikbud tahun 2015 menyebutkan, angka buta huruf di Indonesia masih tinggi yang jumlahnya mencapai 5.984.075 orang. Ini tersebar di enam provinsi meliputi Jawa Timur 1.258.184 orang, Jawa Tengah 943.683 orang, Jawa Barat 604.683 orang, Papua 584.441 orang, Sulawesi Selatan 375.221 orang, Nusa Tenggara Barat 315.258 orang. 

Ini adalah problem bersama yang mau tidak mau harus segera dibenahi. Tidak elok kalau saling serang siapa yang salah dan siapa yang bertanggungjawab. Ini tanggung jawab kita semua. Di jajaran elit pemerintahan, mulailah untuk melirik ke bawah sana. Telah terjadi kekurangan pasokan buku di berbagai pelosok negeri ini. Manjakanlah rakyatnya dengan bacaan yang melimpah. Orang tua perkenalkanlah anak-anaknya dengan bacaan. Dan yang terakhir, mulailah dari sekarang, jangan tunda besok atau lusa!.

 Gatep 17/08/17

   

Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com