Puisi adalah sebuah karya fiksi yang begitu mistik untuk
dicerna, bahasanya yang puitik, kata-katanya yang efektif, dan pengandaiannya
yang sugestif memberikan rangsangan lebih terhadap pembaca untuk terus berusaha
mencari tahu makna akarnya, karena seorang penyair tidak sekedar memberikan
keterangan dan penjelasan kepada pembacanya tentang apa yang ingin disampaikan,
tapi juga memperhitungkan keindahan bunyi, keharmonisan irama, kekayaan imaji,
ketetapan simbol, rancang bangun kata-kata, dan lain sebagainya.
Seorang penyair dalam melahirkan sebuah karya puisi
memerlukan perasan otak dan perhitungan yang pas, sebab untuk kemunculan ide
saja tidak asal pencet sakelar, ia datang tak disangka dan hilang tak bertilas,
belum lagi untuk mengeluarkan ide tersebut ke dunia nyata atau tepatnya
dituliskan ke secarik kertas kosong. Kemunculan sebuah ide penyair bisa di
sembarang tempat dan waktu, ia bisa hadir ketika penyair tengah di atas bus,
terminal, pasar atau di dalam kamar, ia juga hadir ketika waktu senja, siang
hari, atau pun tengah malam yang sangat sepi.
Menurut Matdon, membuat puisi adalah pekerjaan intelektual
yang tinggi dan mumpuni. Di dalam kasta tulisan, puisi atau penyair ada di
kasta paling atas, kasta kedua prosais, kasta ketiga esais, dan keempat
jurnalis yang menghasilkan karya berita. Meski berada di kasta tertinggi dan
sebagai kerja intelektual tertinggi, pada dasarnya setiap orang pernah membuat
puisi, paling tidak membuat surat cinta. Karena dalam surat cinta biasanya
dibumbui dengan kata-kata indah maka dengan dasar menulis surat cinta itu
setiap orang sebenarnya punya bakat kepenyairan, yang tentu harus ditingkatkan
dengan membuat puisi.
Dalam membuat puisi, lanjut Matdon, diperlukan kesabaran
yang ekstra. Satu puisi bisa selesai dalam tempo sehari, sebulan, atau setahun,
waktunya tak terbatas, tak ada deadline.
Selain sabar dan sabar, menulis puisi harus dijalankan secara konsisten meski
bukan berarti harus tiap hari membuat puisi. Kita kan bukan pabrik, timpal
Matdon. Jika terlalu produktif membuat puisi justru akan terjebak ke dalam teks
yang itu-itu juga alias monoton.
Dengan kata lain, menulis puisi tidak harus seketika jadi,
karena harus melewati proses perenungan, kegelisahan, kesunyian, dan perasan
kata-kata, ada Penyair yang mencatat dulu frame-framenya. Seperti melukis,
puisi juga membutuhkan sketsa-sketsa. Bahkan sebagian penyair memerlukan ruang
sunyi untuk menulis puisi, bahkan ia rela mencari tempat khusus untuk
menghasilkan sebuah karya puisi.
Dunia Malam
“Ketika malam menjelang/tak ada
lakon menggeliat/dan semua terdiam/semua membisu tak bersuara/” (Anwar Nories).
Dimata penyair “malam” adalah objek seserahan, objek
pelepasan segala permasalahan yang dideritanya, karena sebetulnya apa yang
disembunyikan malam tidak se-seram yang dibayangkan, malam menyimpan kenangan
dan keindahan bagi orang yang sedang membutuhkan ketenangan atau kedamaian,
malam juga akan menjadi teman terhebat untuk berbagi, malam adalah teman sharing suatu hal.
Maka ketika sebagian orang menggunakan waktu malam hanya
untuk tidur, ia tidak akan menemukan dunia fantasi dan dunia imajinasi yang
bersembunyi di dalamnya. Karena kalau di lihat dari sisi sains pengobatan,
ketika kita tengah beraktifitas di tengah malam, dengan demikian kita akan
menyedot oksigen di atmosfera bumi sekitar jam tiga pagi hingga terbit
matahari, dan menggerakkan otot-otot di dalam badan kita yang akan menyegarkan
badan dan melancarkan aliran darah di tubuh. Sedangkan kalau dari sisi
psikologi, ketika kita melakukan sesuatu dengan reaksi otak di malam hari, kita
akan mendapat energi peregangan saraf di kepala, melancarkan daya fikir otak
dan dianjurkan untuk sesegera mungkin berfikir apa pun, atau sekedar merekam
kembali keseharian kita.
Ada sebagian ahli sastra barat yang menceritakan mengenai
pentingnya berfikir di tengah malam. “the woods are lovely, dark and dee but I
have promises to keep and miles to go before I sleep” maksudnya, taman itu
indah, gelap dan tebal tetapi saya mempunyai aturan yang harus dilaksanakan
terlebih dahulu sebelum saya tidur. Dalam arti lain, boleh kita tidur di malam
hari, tapi sisakanlah waktu untuk berpikir dan suatu hal yang berkenaan dengan
imajinasi.
Malam dan Penyair
Kapankah waktu yang tepat untuk menulis?, kapan waktu
produktif untuk menulis?. Beberapa
penulis pernah mengungkapkan bahwa waktu yang tepat untuk menulis baginya
adalah setelah tengah malam. Demikian juga dengan Asma Nadia. Ia sering
begadang untuk menyelesaikan tulisannya. Raditya Dika juga sering mengungkapkan
idenya sering berhamburan justru setelah tengah malam. Baginya suasana tengah
malam yang sepi membuatnya dapat dapat berkonsentrasi untuk membuat tulisan.
Ada juga seorang penulis skenario yang mengungkapkan bahwa dia menganggap
menulis adalah pekerjaannya. Jadi, ia memberlakukan jam menulisnya sama dengan
jam orang tahajud di tengah malam sehabis tidur sejenak.
Dan apa yang diungkapkan sekaliber penulis di atas juga
seirama dengan Andrea Hirata dalam menulis tetralogi Laskar pelangi, “paling enak memang menulis saat malam telah
menjelang, tidak ada lagi pekerjaan rumah yang menuntut kita untuk
mengerjakannya saat malam hari, semua sudah beres saat siangnya. Aku juga
terbiasa begitu, menulis saat sepi, hanya ditemani secangkir kopi dan
sayup-sayup suara radio yang volumenya aku stel di posisi terendah.”
Memang kehampaan malam menjadi ihwal misteri di kalangan
penulis utamanya penyair, banyak di atara mereka yang mengindikasikan malam
adalah sesosok pelampiasan imajinasi dan sosok seserahan jiwa-raga, penyair
mengembara di lembah malam, mencari riak-riak ide yang kemudian ia tulisankan
menjadi sebuah puisi. Kehadiran puisi pun bersenyawa dengan kegelisahan,
kegelisahan tercipta di tempat sunyi, dan sunyi berada di tubuh malam, malam
dan penyair telah menjelma puisi.
0 komentar:
Posting Komentar