• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Jumat, 20 Oktober 2017

Santri dan Pentingnya Kesadaran Interpreneur

Sumber Gambar: nahdlatululama.id
“SANTRI bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak SANTRI yang tawadlu’ kepada Gusti Allah, tawadlu’ kepada orang-orang alim kalian namanya SANTRI” (Mustofa Bisri).

Pernyataan Gus Mus (Mustofa Bisri) di atas adalah bentuk sakralisasi dan penjelas peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 22/10, yang selama dipandang eksklusif dan milik satu golongan tertentu. Tentu hal ini tidak menjadi soal lagi, karena seperti Hari Buruh, Hari Ibu, dan Hari Pramuka yang anteng-anteng saja, Hari Santri juga semestinya tidak menimbulkan gesekan berlebih. Karena Santri adalah mereka yang memiliki komitmen keislaman dan keindonesian, dan mereka yang hidupnya diinspirasi dan diselimuti nilai-nilai keislaman serta kesadaran penuh tentang kebangsaan dan kemajemukan.   

Maka, sekarang waktu yang pas untuk berbenah dan merawat imajinasi kembali tentang peran Santri dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain perawat moral, pewujud cita-cita luhur keislaman, dan hubungan vertikal dengan sang kuasa, alangkah elok kalau Santri juga merespon tantangan zaman (globalisasi) dengan ikut andil dalam segala hal termasuk dalam kemandirian ekonomi (interpreneur).

Santripreneur Adalah Masa Depan

Istilah Santripreneur adalah seorang Santri yang berwirausaha, atau secara terminologi bisa diartikan usaha Santri dalam kemandirian ekonomi dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada terutama yang ada di pesantren-pesantren. Modernisasi, globalisai adalah seperti lorong waktu yang musti dihadapi dan direspon benar-benar untuk masa depan sang Santri. Maka dengan interpreneur bisa diterjemah sebagai lokomotif, yang membawa gerbong cita-cita sang Sang santri ke masa depan lebih baik.

Seperti dalam bukunya Samuel Huntington, The Clash of Civilization, dikatakan bahwa dalam  konteks globalisasi; umat Muslim (khususnya: Santri) dipandang sebagai umat yang berpotensi menjadi kompetitor Barat. Sebagai  negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia dituntut menunjukkan kepada dunia bahwa SDU (Sumber Daya Umat) Muslim Indonesia benar-benar layak berkiprah di jagad global. Maka pengembangan SDU Muslim mutlak dilakukan secara baik, sistematis dan komprehensif. SDU Muslim Indonesia sangat tinggi, setali tiga mata uang dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) di negara kita yang juga tinggi. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan kemandirian umat Islam (Santri).

Pentingnya meningkatkan dan mengembangkan SDU memang salah satu misi utama Rasulullah saw. Beliau diutus ke dunia salah satunya dalam rangka peningkatan kualitas SDU yang sepenuhnya tidak hanya pemenuhan secara jasmaniah tapi juga secara rohaniah. Dahulu ketika di Mekkah beliau menanamkan tauhid yang menjadi dasar fundamental bagi pembentukan nucleus masyarakat historis yang viable untuk menjawab tantangan zaman. Di Madinah beliau juga telah menunjukkan peranannya sebagai pendidik utama dalam pembangunan masyarakat sosial-politik. Di Madinah beliau tidak hanya membangun tatanan politik sebagaimana terefleksikan dalam “Konstitusi Madinah”, tetapi juga membangun tradisi pendidikan Islam dengan memfungsikan masjid sebagai tempat tidak hanya untuk pendidikan keagamaan tapi juga untuk kegiatan-kegitan pendidikan sosial dalam pengertian yang sangat luas (Azyumardi Azra, 2001: 55-56).

Membangun kemandirian ekonomi sejatinya menjadi kesadaran umat Islam. Maka dari itu, dalam konteks saat ini mereka mulai meresponnya dengan baik, misalkan ketika lahirnya lembaga-lembaga keuangan syariah, kelompok usaha kecil berbasis syariah, dan munculnya pesantren-pesantren yang membekali santrinya dengan berbagai ilmu kewirausahaan. Pesantren dituntut untuk mengembangkan fiqh muamalah-nya dalam tataran yang lebih aplikatif.

Saat ini, telah ditemukan banyak sekali pesantren yang sukses menjalankan program santripreneur. Misalnya Pondok Pesantren Mukmin Mandiri, yang telah berhasil memiliki sebuah produk kopi yang merupakan hasil produksi para santri. Hingga saat ini, produk kopi yang berlabel “Mahkota Raja” ini telah memiliki omset 1-5 miliyar perbulan. Usaha ini telah mempekerjakan 115 santri dan tiap santri mendapatkan gaji sebesar 1,3 juta per bulan. Dan masih banyak pesantren-pesantren lain yang juga bergerak dalam jargon “santripreneur”, Pesantren Sidogiri misalnya. Mendirikan Kapontren-kapontren, Smescomart (kerjasama koperasi pesantren dengan Alfa Mart), usaha bidang pertanian, pelatihan keterampilan santri tentang produksi barang dengan label pesantren adalah contoh riil untuk berdikari secara ekenomi.

Dengan cara pendidikan di kalangan santri tersebut, maka pesantren tidak di tuduh sebagai lembaga yang turut serta memproduksi pengangguran. Di Indonesia misalnya, tingkat pengangguran menunjukkan tren yang meningkat sebagaimana dilansir oleh Tempo.com (Rabu, 11 April 2012), bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menyatakan kaum muda memiliki tingkat kesulitan mencari pekerjaan lima kali lebih besar daripada pekerja dewasa. Hal ini disebabkan karena ketersediaan lapangan kerja untuk angkatan muda semakin menurun. Kaum muda diperkirakan 4,6 kali lebih besar menjadi pengangguran dibanding pekerja dewasa. Hal ini diperkuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa tingkat pengangguran terbuka usia muda antara 15 hingga 29 tahun di Indonesia mencapai 19,9 %. Sementara Srilangka 17,9 % dan Filipina 16,2 %. Data tersebut membuat Indonesia menyandang gelar sebagai negara dengan pengangguran usia muda tertinggi di Asia Pasifik. 

Maka, inilah momentum yang tidak hanya peristiwa diperingati setiap tahun, dan lakon sambil lalu yang tidak melulu pada ihwal seleberasi. Karena Potensi local content Santri, sejatinya teramat kaya, seperti pemikiran, kerukunan, santripreneur, dan keikhlasan. Ini merupakan modal yang sangat berharga dalam mengembangkan gerakan-gerakan Islam dan kemandirian sang Santri. Oleh karena itu, Santri selalu dituntut think locally at globally. Perilaku positif wajib sesuai nilai-nilai Islam dan sosio-kultur bangsa Indonesia boleh saja dikumandangkan, akan tetapi pemikiran dan cara pandang terhadap pengembangan sains-teknologi boleh juga bersifat global. Yang terpenting Santri harus berfikir out of the box, agar tidak menjadi gagap akan keadaan di luar sana. Ditetapkannya “Hari Santri Nasional” tidak hanya bahan refleksi, akan tetapi menjadi titik pijak untuk Santri selalu mengabdi, berimajinasi dan berdikari. 




   

 








Share:

Senin, 09 Oktober 2017

Hanya di Jalanan Orang Jujur ditemukan


















Sebagaimana Jumat adalah masa tenang bagi enam hari waktu kerja
Maka Ramadan adalah kesunyian bagi sebelas bulan keberisikan.
Motor dan mobilmu telah menyemburkan oksidan dan polusi udara
Mestinya, engkau tidak menambah keberisikan jalan raya dengan polusi  suara
(M. Faizi, Toa-Toa Keladi, Hal: 125).

Gubuhan puisi M. Faizi di atas mendiskripsikan tentang betapa langkanya menemukan kesunyian di jalanan. Suka cita ditampakkan lewat keberisikan, karena ketentramana manusia ada pada kesunyiaannya. Selain suara mesin, suara klakson, teriakan manusia, sampai suara knalpot sejatinya menampilkan wajah jalanan yang bisa menyenangkan karena membawa pengetahuan baru tentang arti kehidupan sesungguhnya. Buku mungil karya M. Faizi ini, mengobrak-abrik imajinasi pembaca akan kehidupan jalanan yang tidak biasa dan jarang diekspos penulis.

Di jalanan, sejatinya berkeliaran anak Adam dari segala takhta dan kasta: para ulama, ahli fikih, astronom, politikus, guru, bajingan, copet, rampok, musisi dan lain-lain. Di jalanan kita juga dipertontonkan dengan hal-hal nyeleneh yang kadung dianggap biasa; seperti keberadaan polisi tidur yang tugasnya menyetop pengendara kalap yang sulit mengendorkan gas (kebut-kebutan), atau fenomena tarif kembalian tol dan SPBU kadang tidak diberikan atau mungkin kita tidak mengambilnya. Hati-hati, kalau dikonversikan itulah usaha kecil-kecilan (korupsi) yang dapat untung besar-besaran. Atau cerita tentang tabahnya truk gandeng yang jalannya ngesot serta dapat cibiran menyakitkan dari pengendara lainnya. Selain menanggung muatan berat ia mendapat cobaan dengan lengking klakson kendaraan lain yang buru-buru di belakangnya.

Di jalanan, pergerakan manusia juga lebih grusa-grusu ketimbang di tempat lain, maka digunakanlah bahasa khusus untuk berkomunikasi. Bahasanya pun harus singkat dan cepat. Di antara tujuan dipasangnya rambu-rambu lalu lintas adalah untuk keperluan ini. Begitu pula “bahasa bunyi” dan “bahasa cahaya” merupakan simbol-simbol yang digunakan oleh para pengguna jalan raya. Bahasa bunyi identik dengan klakson untuk memohon perhatian, klakson adalah morse jalanan laiknya anggota pramuka. Tapi ketahuilah, bunyi klakson itu bukan untuk bersenang-senang—meski beberapa bulan terakhir ini ada fenomena om.. telolet.. om..—maka janganlah buang klakson ke sembarang telinga.

Bahasa cahaya adalah bahasa komunikasi di jalanan, sering sesama pengguna jalan raya bisa berkomunikasi: memainkan lampu utama atau lampu depan (seperti nge-dim) bisa berarti sang sopir tengah menyapa orang/kenalan. Bisa juga untuk menggoda calon penumpang agar ikut, dan bisa diartikan juga minta dikasi jalan. Atau ketika lampu utama itu menyala terus-menerus di siang hari, itu tandanya: minta jalan dan sangat minta perhatian, lawan arah hendaknya mengalah (seperti ambulans, patwal, mobil derek) mau lewat dan harus dikasih jalan, dan terakhir mungkin lampunnya sedang korsleting (hal: 75).

Di jalanan, kita juga menemukan semangat gotong-royong dan tolong menolong hidup bahagia setelah kehidupan yang serba individualistik. Berbuat baik di jalanan bisa jadi akan terbalas di di rumah, berbuat baik di kantor boleh jadi terbalas di jalan, berbuat baik kepada siapa pun dan di mana pun akan terbalas di mana-mana. Kita lihat betapa serombongan Vespa yang begitu solid bahu-membahu, begitu pula ketika melihat konvoi truk: mogok satu, mogok semua. Kekompakan dan semangat berempati yang sulit ditemukan di era saat ini.

Di jalanan orang galak ditemukan, di jalanan orang sabar/kalem ditemukan, di jalanan orang lugu ditemukan, dan di jalanan orang jujur lebih banyak ditemukan. Di zaman yang semakin kebak akan kejahatan ini, di saat stok orang jujur mulai punah di muka bumi, ternyata jalanan adalah rumah nyaman mereka saat ini. Bisa saja kan, seorang sarjana memalsukan skripsi, peneliti memalsu data, wartawan memalsu berita, ustaz memalsu dirinya sendiri. Akan tetapi yang tersisa, kepolosan hanya ada di jalan raya. Tak akan ada kepalsuan karena di jalan raya orang pasti mengeluarkan watak aslinya. Begitu sergah M. Faizi.

Terkadang, kita melihat ada orang yang tampak saleh karena busananya, padahal pikirannya jorok dan mesum. Kita melihat orang terkadang sangat sopan saat bicara tapi sangat kejam di saat berbeda. Semua itu bisa dipalsukan. Tapi di jalan raya, terutama ketika mereka telah berada di belakang kemudi, sifat asli manusia akan muncul apa adanya.

Di media sosial, seseorang itu bisa tampak selalu lebih daripada aslinya: tampak lebih pintar dengan bantuan ensiklopedia semacam Wikipedia, tampak lebih rupawan dengan bantuan aplikasi digital, tampak lebih bijak dengan kata-kata mutiara pinjaman. Di forum-forum diskusi, seorang narasumber dapat membuat dirinya lebih elegan dengan segepok buku dan makalah. Di mimbar, seseorang bisa jadi seperti ulama hanya dengan kutip sana-sani dari hadis-hadis terjemahan yang ditelusuri dengan mesin pencari (hal: 157).

Di jalan raya, kita adalah diri sendiri. Di sana, kita tak bisa menjadi orang lain. Di jalan rayalah watak asli seseorang itu tampak nyata dan apa adanya. Ketika ada orang bilang bahwa orang jujur susah ditemukan, katakan padanya, “Lihatlah lalu lalang orang di jalan raya. Orang-orang jujur numpuk di sana.”

Judul Buku    : Celoteh Jalanan
Penulis          : M. Faizi
Cetakan         : I, Maret 2017
Penerbit         : BASABASI
ISBN              : 978-602-61160-4-8
Tebal Halaman: 180
Peresensi       : Khairul Mufid*
Share:

Minggu, 08 Oktober 2017

Apa Arti Catalonia bagi Spanyol

Sumber Tulisan: weeklyworker.co.uk
Tanggal 01 Oktober adalah hari bersejarah bagi masyarakat Catalonia (Catalunya). Akhirnya, referendum yang diidam-diamkan dari puluhan tahun lalu digelar. Referendum ini, menjadi keinginan purba karena Spanyol dirasa tidak memberi kebebasan dan progres terhadap kesejahteraan masyarakat Catalonia.

Dari referendum itu, Eropa pun kian terguncang. Kalau dilihat dari fenomena tiga tahun terakhir, setelah Yunani, Inggris, dan Skotlandia, Catalonia seolah menambah awan tebal di kawasan yang menjadi magnet demokrasi dunia itu. Namun, referendum Catalonia lebih mendapatkan perhatian internasional karena Spanyol terus berusaha menggagalkan referendum Catalonia, bahkan dengan tindakan represif. Hal ini terbukti ketika terjadi huru-hara yang mengakibatkan 11 polisi dan 337 warga terluka.

Akan tetapi berdasarkan laporan BBC (02/10), menyebutkan bahwa pihak pro kemerdekaan telah mengklaim kemenangan Catalonia sebagai negara merdeka dan layak disebut negara berdaulat. Referendum telah membuka pintu sebuah unilateral declaration of endepence, karena partipasi referendum tercatat sebanyak 42,3 % dari toral warga 5,3 (sumber lain: 7,45) juta orang. Adapun hasil referendum adalah 90 % masyarakat memilih kemerdekaan.

Aspek Sejarah

Dalam sejarah, Catalonia adalah wilayah independen Semenanjung Iberia yang terletak di antara Spanyol dan Portugal, dengan  bahasa, undang-undang dan kebiasaannya yang berbeda. Saat perang Suksesi Spanyol pimpinan Raja Philip IV berakhir dengan kekalahan Valencia (1707), di Catalonia pada tahun 1714 dan kepulauan terakhir pada tahun 1715 kemudian menghasilkan kesepakatan dan lahirlah Spanyol modern.

Maka raja-raja selanjutnya mencoba memberlakukan bahasa, ekonomi, undang-undang di wilayah Catalonia. Dari kejadian itu, Catalonia memang dari dulu terus melakukan pemberontakan untuk memisahkan diri dari Spanyol. Puncaknya pada tahun 1938, ketika diktator Spanyol Jenderal Francisco Franco membantai 3.500 milisi separatis Catalonia.

Pada tahun 1977, Spanyol sempat memberikan otonomi khusus yang lebih luas kepada Catalonia ketika angin demokrasi berhembus kencang di Negeri Matador itu. Hal itu membuat kelompok separatis kian leluasa mengampanyekan kemerdekaan. Tak ayal pada 2010, upaya kemerdekaan semakin bulat ketika Mahkamah Konstitusi di Madrid mengesampingkan sebagian dari undang-undang otonomi tahun 2006, yang menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum untuk mengakui Catalonia sebagai Negara di Spanyol. Sedangkan dalam partai-partai politik yang dibentuk kekuasaan di Madrid sangat tidak laku di Catalonia yang memiliki lebih dari 7 juta jiwa itu. Masyarakat Catalonia merupakan pendukung setia partai kanan jauh, Covergence and Union (CiU), pimpinan Presiden Catalonia, Artur Mas.

Maka jika referendum berhasil, seperti pandangan Ben Smith (2017), akan ada kesempatan yang lebih besar bagi Catalonia untuk lebih ikut masuk ke dalam parlemen Catalonia. Proporsi sejumlah 30% diberikan oleh parlemen Catalonia untuk kelompok non-partai politik. Selain itu, penggunaan kembali bahasa Catalonia sebagai bahasa resmi merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat Catalonia.

Dalam ihwal sepakbola juga demikian, tak mengherankan kalau saat ini Blaugrana (Spanyol) menjadi sorotan dunia. Sejak dulu Barcelona dianggap sebagai orang dan simbol perjuangan masyarakat Catalonia. Bahkan arena stadion menjadi tempat berkumpulnya kaum separatis untuk mengekspresikan kebebasannya, meskipun sang penguasa yang berdomisili di ibukota terus saja menentang dan mengecam tindakan-tindakan tersebut. Maka tak ayal ketika pertandingan Real Madrid vs Barcelona seoalah adu kedigdayaan di lapangan hijau, karena keduanya mewakili dua kubu yang dari dahulu menyimpan api panas.

Aspek Ekonomi

Secara populasi, Catalonia mengisi 1/5 % dari jumlah seluruh populasi Spanyol. Catalonia juga salah satu penggerak perekonomian Spanyol, 18,8 % GDP Spanyol berasal dari Catalonia bahkan lebih besar dari GDP Madrid yang hanya 17,6 % (TEMPO.CO, 02/10/17). Bahkan jika dibandingkan dengan Skotlandia dan Inggris, kontribusi  Catalonia untuk Spanyol dua kali lipat lebih besar.

Catalonia telah lama menjadi jantung perekonomian Spanyol, terutama dalam kekuatan maritime dan perdagangan tekstil, keuangan, layanan dan perusahaan hi-tech. Jika referendum ini berjalan mulus, maka produk domistik bruto sebesar US$ 314 miliar didapuk Catalonia menurut perhitungan OECD. Fakta ini akan menjadikan ekonomi Catalonia terbesar ke-34 di dunia dan membuatnya melanggeng di atas level Portugal dan Hongkong. Pendapan Domestik Bruto (PDB) akan menjadi US$ 35.000, dan akan membuat Catalonia lebih kaya daripada Korea Selatan, Israel dan Italia.

Ini yang menjadi landasan mengapa Spanyol enggan dan tidak mau melepaskan Catalonia, terlebih ketika krisis ekonomi yang melanda Spanyol. Catalonia tak ubahnya Papua yang menjadi lumbung perekonomian Indonesia. Bayangkan saja kalau Papua—surga minyak dan emas—itu referendum dan mendirikan negara sendiri, Indonesia akan kelimpungan menutup lubang perkenomian yang menganga besar. Indonesia tentu tidak mau peristiwa kelam antara tahun 1998-1999, ketika Timor Leste diikuti juga oleh Papua. Hal itu yang sangat ditakutkan Spanyol, Catalonia adalah tulang punggung dan harapan tunggal untuk membangkitkan gairah perekomian Spanyol.


   

 








Share:

Rabu, 04 Oktober 2017

Dosa Besar Penerjemah Karya Sastra

Sumber gambar: ruangbahasa.com
Tulisan ini berangkat dari pembicaraan khalayak beberapa minggu terakhir ini, yakni tentang ulasan saudara Fazabinal Alim di media online basabasi.co dengan judul “Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani” pada 28 September bulan lalu. Faza (nama sohornya) mempertanyakan bahkan meragukan keajekan beberapa puisi Nizar Qabbani yang diterjemahkan Usman. Faza menjabarkan “ketika puisi yang begitu estetik itu diterjemahkan dengan tidak estetik, dan nyaris asal-asalan,” ia sangat menyayangkan karena puisi-puisi idolanya tersebut dialihbahasakan secara serampangan. Ia pun memereteli satu persatu puisi terjemahan Usman dengan beberapa contoh terjemahan lebih pas yang jumlahnya tidak sedikit di ulasannya itu.

Peristiwa itu sejatinya adalah prahara kesekian yang seringkali terjadi di bumi putera ini, bahkan di belahan dunia lainnya. Salah satunya kritik Nirwan Dewanto (Tempo, 22/1/ 2001) terhadap penerjemahan karya Milan Kundera Kekekalan yang diterjemahkan oleh Nur Cholis. Kritik Nirwan benar sejauh memang ada kesalahan teknis dan logika penerjemahan sehingga informasi yang disampaikan berbeda dengan logika atau informasi sebelumnya. Peristiwa semacam ini semestinya dibicarakan, dikritik untuk ekosistem keilmuan (teruma dalam kesusastraan) agar lebih baik dan terarah.

Kehadiran seorang penerjemah—teruma dalam kesusastraan—adalah penyambung lidah pengarang asli agar distribusi karya tidak hanya muter-muter di dalam negeri dan ujuk-ujuk untuk bahan diplomatis suatu bangsa untuk mengenalkan budaya lokal suatu bangsa. Berkaitan dengan itu, Alexander Pushkin (sastrawan Rusia) mengibaratkan seorang penerjemah sebagai “kurir sastra” yang bertugas sebagai utusan menyampaikan sesuatu yang penting dengan cepat dan kredibel. Bahkan Jose Saramago (peraih Nobel Sastra tahun 1998), mengatakan; seorang pengarang hanya menulis karya sastra dalam bahasa ibunya, tetapi sesungguhnya sastra dunia adalah ciptaan para penerjemah.

Tantangan sang penerjemah harus melukiskan sebuah rumah-rumah indah di negara lain, sementara di negarnya sendiri rumah dengan arsitektur seperti itu tidak ada, bahkan seluruh keadaan alamnya pun berbeda. Inilah salah satu batu loncatan bagi penerjemah yakni memindahkan gambaran dengan kata-kata ke dalam bahasa sasaran dengan sejumlah acuan yang terkadang kurang dikuasi mereka, termasuk pengetahuan atas ungkapan khas suatu bahasa dan latar belakang suatu karya yang berkaitan dengan aspek-aspek suatu karya yang berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, sosiologi, dan budaya.


Penerjemah, menurut hemat saya tak ubahnya seorang penunjuk jalan (guide) untuk orang asing yang lagi tersesat. Tugas penunjuk jalan memberikan informasi tentang apa yang ditanyakan dan dibutuhkan si orang asing tersebut, dan tentu menggunakan bahasa mereka yang dimengerti sang penunjuk jalan. Sang penerjemah tugasnya memberikan sajian dan informasi kepada pembaca lintas negara terutama di negerinya sendiri tentang karya pesohor dunia. Tapi pertanyaannya kemudian, kalau si penunjuk jalan itu memberikan informasi yang sesat dan asal-asalan, maka akan menyebabkan orang asing tadi kian tersesat di dalam ketersesatannya.

Baiklah, ada beberapa tipe karya sastra terjemahan yang membikin pembaca tersiksa ketika membacanya. Pertama, penerjemah yang tidak menguasai bahasa sumber dengan baik sehingga ia bekerja asal-asalan. Kedua, sang penerjemah mengusai bahasa sumber asli akan tetapi tidak terampil berbahasa Indonesia dengan baik. Oleh karena itu, penerjemah dengan backround sastrawan/penulis biasanya relatif bagus daripada penerjemah yang hanya tahu bahasa sumber tapi kaku untuk berbahasa Indonesia.

Sedangkan  yang ketiga, penerjemah mengusai bahasa sumber tapi ia terlampau terpesona pada teks sumber, sehingga dalam balutan keterpesonaannya itu membuatnya terlau setia pada teks sumber dan tak mau melewatkan detail sekecil apapun. Seperti kata Arif Bagas Prastyo, penerjemah macam ini memang akan memuaskan pembaca yang pernah membaca teks sumber (golongan pembaca yang sebetulnya tidak butuh terjemahan), akan tetapi bisa menyiksa pembaca lainnya yang tak punya akses kepada teks sumber asli.

Maka dari itu seorang penerjemah bisa (baca: wajib) menguasai bahasa sumber dan bahasa sendiri dengan baik dan benar. Akan tetapi itu saja tidak cukup untuk mengatakan konpetensi berbahasa (linguistik) tidak serta merta menjamain mutu terjemahan. Pendapat Eugene A. Nida bisa menjadi acuan bahwa selain kompetensi dan keterampilan dalam komunikasi verbal setidaknya penerjemah mempunyai tiga kapasitas ini. Pertama, kekaguman sungguh-sungguh kepada ciri formal karya yang diterjemahkan. Tanpa itu, penerjemah akan sulit memiliki kesabaran atau wawasan mendalam yang dibutuhkan untuk menghasilkan terjemahan yang memadai. Kedua, harus respek kepada isi teks, agar ia tidak gampang sembrono atau semena-semena mengubah kandungan pesannya. Dan terakhir, kemampuan mengeskpresikan kreativitasnya sendiri melalui kreasi orang lain.


Bahkan selepas dari itu, karya terjemahan yang sudah dirasa cukup kredibel oleh si penerjemah, pada akhirnya karya itu melanggeng ke penerbit, ada editor yang kadang menjadi hantu menakutkan dengan semena-mena juga memereteli karya tersebut. Untuk menyusaikan ideologi penerbit dan komersialisasi lebih mumpuni, mengharuskannya memoles sana-sini karya terjemahan tersebut. Sehingga ketika karya itu hadir di tengah-tengah pembaca, dengan titel bahan jadi (barang istan) yang jauh dari cita rasa aslinya dari sang penerjemah.

Hal macam ini menjadi batu sandungan, ketika di lapangan kadang pembaca banyak dikecewakan ketika membaca karya pesohor dunia dan ternyata hasilnya tidak sesuai harapan. “loh, kok cuma segini kualitas karya si A yang dikatan mapan tulisannya itu, padahal aku penasaran dan mengharapkan lebih.” Kira-kira seperti itu kata-kata yang sering muncul kepermukaan di kalangan pembaca.

Kita harus sedikit berkaca dan mencontoh apa yang terjadi di Barat yang berbahasa Inggris. Kontrol mutu terjemahan sastra dari bahasa non-Inggris ke bahasa Inggris bukan saja diperkuat oleh pengamat/kritikus karya terjemahan, tetapi seringkali juga oleh pengarang asli, yang umumnya bisa berbahasa Inggris. Terjemahan dibaca dahulu, dikoreksi bila perlu oleh pengarang asli, bahkan digarap bersama oleh keduanya sang penerjemah dan pengarang. Sedangkan di negeri ini seperti ungkapan Arif Bagas Prastyo (penerjemah karya sastra), “selama saya menerjemah, keterlibatan pengarang asli hanya terjadi pada penerjemahan karya non-fiksi karangan Indonesianis asing, yang tentau saja bisa berbahasa Indonesa. Sementara keterlibatan pengarang asli untuk ikut mengontrol mutu terjemahan tidak diharapkan para sastrawan dunia yang karyanya banyak diterjemahkan di sini jelas tak bisa berbahasa Indonesia.”

Seorang penerjemah harus hati-hati memilih rajutan kata-kata, dipundaknya dipertaruhkan karya sumber yang akan dibaca dan ditafsir kemudian hari. Jangan terulang dosa-dosa macam ini berikutnya. Dan jika masih terjadi selain didiskusikan dan alangkah baiknya ada forum nasional untuk menggiring karya sastra terjemahan, penerjemah, penerbit dan yang memiliki kapasitas lainnya untuk membikin Lembaga Penerjemahan yang tugasnya menjadi barometer terjemahan nasional.





















































Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com