• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Sabtu, 19 Agustus 2017

Penulis Belum Merdeka

Sumber Gambar: rujakemas.com
Dalam nuansa kemerdekaan ini saya jadi teringat kata sastrawan Dul Abdul Rahman, dia bilang begini: “jika ingin merdeka menulislah, Anda bisa mengata-ngatai dan mencaci maki tentara, polisi, politisi, dan pemerintah dengan menulis”. Memang kalau dicerna secara konvensional, ungkapan itu memang luhur, tapi kalau melihat di lapangan ternyata menjadi antitesis.

Di negeri yang kaya raya ini, seorang penulis ternyata hanya merdeka soal kemahakaryaan, tetapi terjajah dalam diri untuk menebarkan gagasan tidak segampang membalikkan telapak tangan. Penulis merdeka soal ide, soal gagasan, tetapi miskin dalam materi, hidup kelaparan di tengah lumbung padi. Sehingga ada anggapan kolektif yang semi memojokkan penulis; pekerjaan menulis dianggap tidak akan mendatangkan kekayaan. Mereka yang terus melanjutkan hobi menulisnya hanyalah orang-orang pilihan yang sengaja diturunkan Tuhan ke bumi pertiwi. Ia adalah manusia yang betul-betul ingin mengabdikan diri sebagai penyumbang gagasan untuk negerinya semata, bukan jadi pengusaha yang ingin kaya selama-lamanya.

Menurut esais Anindita S Thayf, Ada dua golongan penulis. Pertama, penulis pegawai. Artinya, selain sebagai penulis, dia memiliki pekerjaan utama entah sebagai pekerja kantor, guru, dosen, politisi atau semacamnya. Penghasilan utama penulis golongan ini berasal dari pekerjaan pokoknya itu. Biasanya, penulis macam ini tidak terlalu mengejar honorarium. Selama tulisan mereka dimuat di media, mereka sudah merasa senang.

Kedua, penulis yang hidup dari menulis. Penulis macam ini betul-betul menggantungkan hidup dari setiap tulisan yang dihasilkannya. Tidak menulis berarti asap dapur tidak mengebul. Menulis adalah pekerjaan utamanya. Penulis golongan ini bekerja secara profesional, tetapi pekerjaannya tidak tercatat di Biro Pusat Statistik.

Nah, pada golongan kedua ini yang banyak ditemui di negeri ini. Begitu banyak penulis yang menggantungkan nasibnya pada royalti dari koran atau penerbit yang nominalnya sedikit sekali. Dan jangan bandingkan dengan gaji PNS bahkan masih kalah dengan orang jualan cilok di pinggir jalan. 

Syahdan, saya sendiri bergiat di salah satu komunitas menulis di Yogyakarta. Semua anggotanya menggantungkan hidupnya pada honorarium tulisan di media massa atau penerbit buku. Kami sudah coba untuk seprofesional-profesionalnya, dengan menyajikan karya yang serius dan fokus untuk keabadian karya. Tapi bak habis manis sepah dibuang, kami tidak mendapat perlakuan layak dengan jerih payah dan keringat kuning yang meleleh dari ubun-ubun kami. Persaingan penulis begitu ketat, kami mati-matian untuk bisa menarik perhatian redaktur koran agar memuat tulisan kami. Tulisan dimuat, honorariumnya masih nunggu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Jika sedang sial, beberapa media mangkir membayar royalti kami dan pihak yang bertanggung jawab tiba-tiba tidak bisa dihubungi. Inilah yang kami sebut “Komplikasi Penderitaan”.
Para penulis buku juga dijajah dan dibiarkan mati sendiri dalam karya-karyanya, sebelum karyanya itu dicicipi dan dilahap oleh khalayak. Ini jelas-jelas terlihat dari langkah yang diterapkan Menteri Keuangan Nomor 123/2013, yang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) buku dikisaran 10 persen. Jika PPN buku tinggi, sudah pasti biaya produksi buku akan semakin mahal. Dan penulis buku yang mau menerbitkan karya-karyanya hanya bisa gigit jari sambil menatap karya-karyanya mengendap sebagai naskah purba di file komputer (Damang Averroes Al-Kawarizmi, Tribun 17/08/17). Maka jangan disalahkan para pembeli yang datang ke toko buku dengan niat luhur ingin membeli buku, tiba-tiba banting setir menuju toko sayur dan Rumah Makan Padang karena harga buku mahal.

Permasalahan semakin kompleks ketika kita lihat minat baca masyarakat Indonesia. Berdasarkan studi “Most Litered Nation in The Word” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University, pada Maret 2016 tahun lalu, kita dinyatakan menduduki posisi underdog pada peringkat ke 60 dari 65 soal minat baca.

Nah, dari semua problem tersebut akan tercipta komplikasi penyakit bangsa yang katanya sudah merdeka ini. Apalagi tentang masa depan penulis kita yang tak tahu arah. Nasib penulis memang di bawah level para buruh atau petani yang secara kasat mata telah lama berjarak dengan kemapanan itu. Sistem yang amburadul dibuat pemangku jabatan, tingginya buta huruf, dan rendahnya minat baca menjadi penyebab utama mengapa penulis dengan karyanya terkatung-katung di tengah lautan, di atas kapal tua yang digoyang-goyang ombak besar. Ia hanya menunggu kematiannya.

Padahal dunia kepenulisan kita—terutama dalam kualitas karya—kalau dikatakan stagnan, tidak juga. Dikatakan maju, ternyata tak. Dunia kepenulisan kita memang bisa melangkah tapi geraknya seperti kura-kura atau siput yang lamban sekali. Karena kepenulisan wabil khusus puisi seolah berada pada ruang sunyi yang tentu orang-orang pilihan saja yang bisa memasukinya. Industri buku puisi pun beberapa tahun belakangan tampak lesu dan tak menumbuhkan minat baca publik. Penyair mati bila dihadapkan dengan penjualan buku puisi yang selalu sepi di bawah oplah minuman dan makanan ringan. Penyair lebih memilih mempublikasikan puisi-puisinya melalui media massa dan kemudian membukukan secara indie atau perorangan.

Nasib penulis generasi sekarang lebih menderita dari penulis dahulu. Simaklah apa yang diungkapkan Anindita S Thayf dalam esainya Nasib Pengarang pada Hari Lebaran (Solo Pos, 21/06/2017). “Dalam lanskap kapitalisme dunia ketiga seperti Indonesia, profesi penulis masih terpinggirkan. Pada masa awal kemerdekaan, nasib pengarang jauh lebih baik. Hubungan penulis, penerbit dan redaktur media massa cukup dekat. Saat itu, penulis bisa meminta uang muka atas karyanya yang akan dimuat—sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada hari ini. Bila bukunya diterbitkan, seorang penulis juga akan menerima royalti yang dibayar di muka sesuai jumlah buku yang dicetak. Dengan begitu, dia bisa langsung menikmati hasil kerjanya. Sekarang, hubungan penulis dengan media massa maupun penerbit murni hubungan produksi kapitalis”.

Tapi sudahlah!. Pada momentum kemerdekaan ini lebih baik kita berbenah, dan alangkah eloknya kita renungkan kata-kata Pramoedya Ananta Toer (1988) ini, mungkin saja ada segelintir pemangku jabatan negeri ini yang terenyuh. “orang boleh pandai setinggi langit. Tetapi selam ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah”. Semoga renungan kemerdekan ini menjadi titik balik negeri ini untuk menjunjung dunia literasi kembali, terutama kesejahteraan penulis. Salam!!
Gatep 19/02/17
Share:

Jumat, 18 Agustus 2017

Quovadis Kemerdekaan Literasi?

Sumber Gambar: Kompasiana.com
“Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas” (Muhammad Hatta).

Bung Hatta melontarkan kata magis itu bukanlah bualan semata. Kalimat itu semacam azimat untuk membakar semangat anak bangsa dalam mengawal kemerdekaan dengan medium literasi. Wawasan luas yang dimiliknya memang tak lepas dari kecintaannya terhadap buku. Bahkan, saat ia dibuang ke Digoel, ia sampai membawa empat peti besar berisi buku-bukunya. Koleksi bukunya berasal dari berbagai bahasa, mulai dari berbahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman. Hatta menggunakan buku sebagai referensi bagi pemikiran-pemikirannya, terkhusus dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pada 10 November 1945, Sutan Sjahrir menulis buku berjudul “Perdjoeangan Kita”. Buku itu berisi analisis siatuasi Indonesia dan kerja pemerintah setelah 17 Agustus 1945. Sjahrir mengajukan kritik-kritik yang bermaksud menentukan arah kemajuan bagi Indonesia. Ia mengungkapkan pesimisme. “Sangat menjedihkan keadaan djiwa pemoeda kita. Mereka teroes di dalam kebimbangan, meskipoen semangatnja meloeap-loeap, mereka beloem mempoenjai pengertian tentang kemoengkinan serta kedoedoekan perdjoeangan jang diperdjoengkannja sehingga pandangannja tak dapat djaoeh” (Bandung Mawardi, Jawa Post 17 Agustus 2015).

Tidak hanya Sjahrir, yang menempatkan budaya literasi sebagai alat pembebasan belenggu ahistoris dan kebodohan struktural, tokoh besar pergerakan Indonesia kaliber Tan Malaka dalam Madilog-nya juga pernah berujar soal ini. “selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibetuk kembali. Kalau perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”

Tentu sosok Bung Besar (Soekarno) sendiri adalah pengawal literasi Indonesia. Modal pengetahuan luas akan kebangsaan, lengkap dengan jiwa pemimpin dan kemampuan berpidato berapi-api di atas mimbar itu tidak serta merta datang dari langit. Tentu ia adalah penggila buku, gila baca, dan gila menulis. Maka, Hatta dengan “Alam Pikiran Yunani”-nya, Sjahrir dengan “Perdjoeangan Kita”-nya, Tan Malaka dengan “Madilog”-nya, dan Soekarno dengan “Di Bawah Bendera Revolusi”-nya, adalah sumbu revolusi masa depan bangsa, dan pengawal kemerdekaan lierasi Indonesia.

Kerja literasi harus selalu digaungkan sebagai konsuken luhur dari bangsa yang merdeka. Sebuah bangsa besar bisa diukur dari kerja literasi yang begitu terstruktur, rapi, dan masyarakatnya sadar akan pentingnya berliterasi. Maka jangan salah, kalau peradaban dunia abad ke-15 SM berpusat di Mesopotamia dan tepi Sungai Nil (Mesir) di bawah kekuasaan raja Fir’aun Mesir Kuno. Fir’aun yang abadi dalam sejarah, ternyata kekuasaannya dibangun tidak semata-mata dengan kekuatan militer. Pada saat berkuasa ia memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi sebanyak 20.000 buku. Maka tak ayal kalau Francis Bacon, Filsuf asal Inggris itu menyebut sebagai “pengetahuan adalah kekuatan, siapa pun pelakunya.”

Paradoks

Geliat literasi di awal kemerdekaan yang dipelopori oleh founding leaders adalah bukan keniscayaan. Akan tetapi mereka mencipta, bekerja keras, dan mengimajinasikan pikirannya untuk masa depan Indonesia. Mereka punya gaya khas masing-masing dalam menuangkan gagasan, sebagai gerbong melawan penjajah. Piagam Jakarta yang melahirkan pula dasar negara bernama Pancasila, tentu tidak tercipta Indonesia kalau saja Panitia Sembilan bukan orang-orang yang mahir dalam menulis. Pancasila tak ubahnya Piagam Madinah yang bisa menyatukan penduduk Makkah dan Madinah yang multi keyakinan dan multikultur.

Namun peristiwa lampau yang dipuja itu menjadi paradoksal ketika negara ini menginjak usia ke-72 setelah kemerdekaan dari kolonialisme. Merdeka dari penjajah belum tentu merdeka dalam berliterasi. Profesi menulis hingga kini belum mendapatkan kemerdekaan sejati. Pekerjaan menulis dianggap tidak akan mendatangkan kekayaan. Mereka yang terus melanjutkan hobi menulisnya akan terkatung-katung di tengah lautan sebagaimana kapal tua.  Nakhodanya ada, tapi ia tak tahu mengarahkan kemana kapalnya. Kalau pun ada orang yang bertahan, hanyalah orang-orang pilihan yang hanya mengabdikan diri sebagai penyumbang gagasan literasi, tanpa apresiasi, tanpa materi.

Soal minat baca kita pun terpuruk. Berdasarkan studi “Most Litered Nation in The Word” yang dilakukan oleh Centrel Connecticut State University, pada Maret 2016 tahun lalu, kita dinyatakan menduduki posisi underdog pada peringkat ke 60 dari 65 soal minat baca.

Rendahnya literasi membaca kita juga berbanding lurus dengan angka buta huruf. Di era teknologi dan informasi yang semakin masif ini, ternyata tidak membawa bangsa kita lepas dari prahara buta huruf. Kita lebih gandrung berselancar di media sosial ketimbang menyuntuki huruf-huruf di kertas atau pun membaca tulisan ebook di laptop dan gadget. Kita harus sadari itu. Atau pun yang lebih naïf lagi, kita lebih banyak mengoleksi baju daripada buku.

Maka tak ayal kalau Pusat Data dan Statistik Kemendikbud tahun 2015 menyebutkan, angka buta huruf di Indonesia masih tinggi yang jumlahnya mencapai 5.984.075 orang. Ini tersebar di enam provinsi meliputi Jawa Timur 1.258.184 orang, Jawa Tengah 943.683 orang, Jawa Barat 604.683 orang, Papua 584.441 orang, Sulawesi Selatan 375.221 orang, Nusa Tenggara Barat 315.258 orang. 

Ini adalah problem bersama yang mau tidak mau harus segera dibenahi. Tidak elok kalau saling serang siapa yang salah dan siapa yang bertanggungjawab. Ini tanggung jawab kita semua. Di jajaran elit pemerintahan, mulailah untuk melirik ke bawah sana. Telah terjadi kekurangan pasokan buku di berbagai pelosok negeri ini. Manjakanlah rakyatnya dengan bacaan yang melimpah. Orang tua perkenalkanlah anak-anaknya dengan bacaan. Dan yang terakhir, mulailah dari sekarang, jangan tunda besok atau lusa!.

 Gatep 17/08/17

   

Share:

Selasa, 08 Agustus 2017

Qabbani, dan Makrokosmos Konflik Timur Tengah

Sumber Gambar: albawabaeg.com
Cara luhur mengetahui jati diri sebuah bangsa adalah melalui sosio-kulturalnya, membaca sejarah bangsanya hingga ke akar-akarnya. Baru kemudian melacak para ilmuan yang kompeten, dan dipungkasi dengan berkenalan dengan para politisi, pemimpin, dan para pengusahanya. Dalam konteks regional Timur Tengah—selain para politisi dan pemimpin negara yang selalu mendapat lampu sorot lebih—sejatinya tumbuh subur penyair-penyair kenamaan yang wanginya tercium hingga ke bumi pertiwi ini. Sebutlah: Muhyidin Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Imam al-Busyiri Ibnu Burdah, Muhammad Iqbal, dan Nizar Tawfiq Qabbani.

Melihat Timur Tengah tak ubahnya melihat peradaban Islam. Dari tanah tandus itu, tidak hanya minyak yang menyumbar tapi puisi-puisi tasawuf juga mengalir deras. Bahkan, puisi-puisi politis dan romantis tidak jarang dikobarkan oleh para penyairnya, salah satunya oleh Nizar Qabbani.

Timur Tengah yang remuk-redam memang terasa terwakili oleh beberapa puisi gubahan Nizar Qabbani. Ia menyorot begitu detail kecamuk perang yang terjadi di Irak, Suriah, bahkan tanah para nabi Jerusalem (al-Quds). Selain puisi politis, Qabbani juga menulis puisi romantik dan sensual. Qabbani banyak menulis puisi di harian berbahasa Arab, Al-Hayat. Puisinya dikenal banyak kalangan luas karena banyak dinyanyikan para penyannyi Lebanon dan Suriah. Karena itu, banyak orang di Timur Tengah, yang bertutur menggunakan bahasa Arab sangat mengenal karyanya.

Qabbani lahir pada 21 Maret 1923 di Damaskus, Suriah, dan meninggal pada 30 April 1998 di London, Inggris. Ia berasal dari keluarga pedagang dari kelompok kelas menengah. Ia juga cucu pionir dramawan Arab, Ab Khall Qabbani. Ia belajar ilmu hukum di Universitas Damaskus. Setelah lulus, Qabbani mengawali kariernya sebagai diplomat. Sebagai diplomat, Qabbani pernah bertugas di Kedutaan Besar Suriah di Mesir, Turki, Lebanon, Inggris, China dan Spanyol, sebelum akhirnya pensiun pada 1966. Setelah pensiun, Qabbani pindah ke Beirut, Lebanon. Di Beirut ia mendirikan sebuah perusahaan penerbitan yang bernama Manshurt Nizr Qabbani. Ketika itu, ia kemudian banyak menulis puisi. Awalnya ia menulis puisi bergaya klasik, dan banting setir menulis puisi-puisi bebas yang tentu  memberi pengaruh besar terhadap dunia puisi Arab modern (Trias Kuncahyono, Kompas 24/07/17).

Salah satu puisi familiarnya, dan sangat inheren ketika melihat gejolak di Timur Tengah saat ini adalah “Yerusalem (al-Quds)”: Saya kutib di sini beberapa bagian: Aku menangis hingga air mataku mengering/aku berdoa hingga lilin-lilin padam/aku bersujud hingga lantai retak/aku bertanya tentang Muhammad dan Yesus/ Yerusalem, o, kota nabi-nabi yang bercahaya/jalan pendek antara surga dan bumi!/Yerusalem, kota seribu menara/seorang gadis cilik yang cantik dengan jari-jari terbakar/kota penuh duka,o, air mata yang sangat besar/bergetar di kelopak matamu/siapa yang akan menyelamatkan Injil?/siapa yang akan menyelamatkan Qur’an? (Yerussalem, Setiap Aku Menciummu. Akar Indonesia, 2016).

Jerusalem memang “wangi oleh para nabi”, kota suci agama-agama samawi. Sejak dahulu kala, Jerusalem dipertahankan sebagai tempat yang menginspirasi kedamaian di bawah cahaya iman agama-agama samawi. Tidak jauh dari Masjid al-Aqsa (Islam) terdapat Gereja Makam Kristus (Kristiani) dan Tembok Ratapan (Yahudi). Jerusalem merupakan sumber inspirasi untuk mewujudkan perdamaian. Barang siapa yang berziarah ke Jerusalem, maka ia tidak hanya berziarah ke satu tempat suci, tapi juga berziarah ke tempat suci agama-agama samawi. Inilah yang membuat kota ini unik walau beberapa kali terjadi gesekan atas nama teologis dan ihwal politis.

Seperti ungkapan Qabbani, Jerusalem tak ubahnya gadis kecil nan cantik dengan jari-jarinya terbakar. Nasib kota suci itu seperti kisah anak perempuan, ibu-ibu hamil, dan jutaan korban lainnya saban hari mendapat gempuran bom dan senapan. Parade konflik tak ada jedanya, walau jarum jam menunjuk 01:00 tengah malam. 

Masih menurut Qabbani, Jerusalem seperti kota “Sang Perawan” dengan tatapan murung dan impian yang tak pernah final. Menara-menara masjid pun murung, Tembok Ratapan pun bersimbah luka, hingga gereja itu pun tak mampu berdiri tegap lagi. Sehingga, siapa yang akan menyelamatkan Kristus? siapa yang akan menyelamatkan manusia? Yerusalem, kotaku tercinta!, kata Qabbani.

Sejarah menjelaskan secara gamblang bahwa Jerusalem adalah kota yang selalu diperebutkan, ditaklukkan, dan dihancurkan. Karena itu, Jerusalem menderita, bahkan penderitaannya hingga sekarang. Maka cerita tentang pemasangan alat pemindai metal (17/07/17) di Masjid al-Aqsa oleh Israel adalah ranting konflik dari pohon konflik Jerusalem selama bertahun-tahun. Sejak akhir perang 1948 (perang kemerdekaan bagi Israel; dan perang awal kolonialisasi bagi Palestina), Jerusalem memulai kisah baru dengan bibit-bibit konflik yang mulai bermekaran. Situasi semakin memburuk setelah perang pada 1967 hingga saat ini. Tak ayal kalau Jerusalem menjadi salah satu sumber konflik di Timur Tengah. Jerusalem pun tak sesuai dengan nama kota itu, “Kota Perdamaian”. Jerusalem tak sesuai lagi dengan nama dalam bahasa Arab, al-Quds, yang berarti “kudus”.

Di tanah kelahiran Qabbani, Suriah, siapa bilang aman dan damai. Di negeri Bashar al-Assad itu bahkan lebih mengerikan lagi. Akar konfliknya begitu kompleks, ada banyak kepentingan atas nama teologi, ideologi, materi bahkan campur tangan eksternal (barat) yang membikin musim semi di Suriah kian lama. Suriah tengah dalam proses penghancuran sistematis melalui perang yang telah berlangsung kurang lebih delapan tahun terakhir. Kehancuran Suriah, dengan demikian disebut bencana geopolitik (geopolitical disaster) yang melibatkan simpul-simpul utama international order yang tak kunjung berhasil menemukan kesepakatan mengenai kawasan.

Qabbani lahir dari ekosistem macam itu. Seperti kata Faizal Kamandobat; Ia mewarisi masa lalu dalam wajah Negara Suriah modern yang tak sepenuhnya mampu mengolah potensi yang diwarisinya ke level teknokrasi lebih lanjut. Sebagai diplomat, ia merasakan betul pertikaian negaranya dengan Israel, yang buah pahitnya antara lain berupa nasib dataran tinggi Golan yang tak pasti hingga kini. Maka Qabbani berujar dalam kealpaan tentang nasib saudara dan negaranya: karena kata-kata dalam kamus telah mati/karena kata-kata dalam riwayat telah mati/karena kata-kata dalam buku-buku telah mati/maka kubuka sebuah jalan cinta/di mana aku dapat mencintaimu tanpa kata-kata.

Baik Jerusalem, Suriah, Lebanon, Irak, dan Negara Timur Tengah lainnya adalah sebuah elegi dan tragedi bagi Qabbani. Qabbani begitu lara menarasikan betapa negara-negara Arab tengah murung dengan awan hitam tebal di atas kepalanya. Dalam rentang waktu lima tahun, Qabbani melihat orang-orang Arab menjadi guruh (guntur) dan tak pernah menjadi hujan. Mereka memasuki peperangan namun tak pernah meninggalkannya. Mereka terus mengunyah kebijakan, namun tak pernah menelannya. Musim di tanah tandus itu tak lagi kemarau, tapi musim semi berkepanjangan, dan tak tahu kapan kemarau tiba.

Qabbani adalah salah salah satu contoh terbaik dari penyair yang bertanggung jawab pada bangsa dan peradaban; dari keduanya ia berhutang semangat, gagasan dan bahasa, maka kepada keduanya ia mendedikasikan dan mengembalikan karya-karyanya. Dari Qabbani dan puisinya adalah suara lara masyarakat Timur Tengah.

08/08/17



Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com