• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Rabu, 14 Juni 2017

Istia



Istia
 
Istia.. 
aku tahu, mata bulatmu itu menyimpan keraguan-keraguan 
tentangku, tentang cinta yang kita sebut makhluk gaib itu,  
atau tentang janji-janji yang semoga saja tak layu 
 
Alismu juga menyimpan tanda-tanda 
ketebalannya adalah belantara yang bisa menyesatkanku 
lengkungannya adalah belokan tajam yang bisa menjungkalkanku 
maka sepasang alisku yang tak tebal,  tak lengkung, 
semoga membuat kita tak tersesat dan terjungkal 
 
Istia.. 
kadang aku tertawa ketika danau itu bergelombang 
atau di kamar kita tiba-tiba datang badai 
walau habis umur kita membayangkan,  
alangkah ringkih gelombang dan badai di hadapan manusia yang dirundung cinta 
 
Jikalau kau merasa ragu, Istia... 
ada penyakit ada obatnya 
ada racun ada penangkalnya 
tapi jangan main-main dengan cintaku.
13/06/17
Share:

Bulan Estetik para Pemuasa


Sumber Gambar: media.iyaa.com/
“Mustofa, Jujurlah kepada dirimu sendiri
Mengapa kau selalu mengatakan Ramadhan bulan ampunan
Apakah hanya menirukan Nabi
Atau dosa-dosamu dan harapanmu yang berlebihanlah yang menggerakkan lidahmu begitu”

(Puisi “Nasihat Ramadhan untuk Mushofa”, Mustofa Bisri) .

Puisi di atas adalah semacam cambuk bagi Gus Mus (Musthofa Bisri) agar mencicipi Ramadhan tidak sebatas lakon serimonial tahunan, yang tahun lalu, tahun ini dan tahun yang akan datang diperingati. Bahkan puisi itu tak hanya konsumsi individual—meskipun Gus Mus menyitir namanya sendiri habis-habisan—tapi sejatinya bersifat gradual karena pembaca dan atau seluruh umat muslim pantas merasakan hal sama.

Pada bulan suci Ramadhan, kau dan aku berlomba-lomba mencari bentuk sempurna spiritualitas masing-masing. Karena dengan momentum ini, kau dan aku berupaya menghapuskan segala keinginan yang bukan selain-Nya. Hanya dengan laku positif dan balutan iman saja, kau dan aku bisa dikatakan “hampir” mendekati kesempurnaan spiritualitas. Mengapa saya katakan hampir sempurna? Karena tak usah ditutup-tutupi lagi, kau dan aku akan kembali pada aku yang Hubbud Dunya (Cinta Dunia), aku yang doyan maksiat, dan aku yang jarang shalat pada sebelas bulan lainnya. Padahal problem itu semua adalah induk segala kesalahan serta perusak agama.

Imam Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, membagi puasa dalam tiga level; level pertama, puasanya orang awam (shaumul’am), yakni orang berpuasa hanya menahan nafsu makan, minum, dan berhubungan badan. Pada level kedua puasanya orang istimewa (shaumul khash), yakni selain menahan nafsu perut dan kelamin juga berusaha mencegah mata, mulut, tangan, dan anggota-anggota tubuh lainnya. Dan level ketiga adalah puasanya orang super istimewa (shaumu khawashil khawash). Pada level ini puasa diartikan sebagai puasanya hati dari segala pikiran dan kesenangan duniawi yang dapat memalingkan hati pada selain-Nya. Kemudian pertanyaannya kau dan aku pada level berapa?.

Dalam puisinya Jalaluddin Rumi pernah mencibir tentang puasa; Kosongkan perutmu! Merataplah seperti sebuah kecapi dan sampaikan keinginanmu kepada Tuhan. Kosongkan perutmu dan bicaralah tentang misteri-misteri bagai ilalang. Rumi menggunakan kata “perut” untuk mendiskripsikan sebuah antithesis, yakni perut sebagai sumber energi dan perut sebagai danau sampah dari alamat comberan-comberan penyakit. Namun Rumi secara eksplisit mengarah pada terma kedua, yakni anjuran mengosongkan perut sebagai laku transendental keilahian. Ketika perut sudah kosong, niscaya tabung-tabung cahaya keilahian akan bersinar lebih terang dari dalam jiwa seorang pemuasa. 

Perut adalah simbol yang menyimpan makna sebagai kehendak untuk menerima segala sesuatu bahkan selain-Nya. Dengan demikian, berpuasa adalah sebentuk menahan diri dari segala sesuatu yang bisa mengaburkan cinta kepada selain-Nya. Sehingga pada akhirnya Allah SWT. benar-benar diposisikan sebagai Al-Shamad, yakni satu-satunya tempat bergantung bukan pada yang lainnya.

Maka tak ayal kalau Gus Mus menampar lagi dalam puisinya: Puasakan kelaminmu untuk memuasi Ridha/Puasakan tanganmu untuk menerima Kurnia/Puasakan mulutmu untuk merasai Firman/Puasakan hidungmu untuk menghirup Wangi/Puasakan wajahmu untuk menghadap Keelokan/Puasakan matamu untuk menatap Cahaya/Puasakan telingamu untuk menangkap Merdu/Puasakan rambutmu untuk menyerap Belai/Puasakan kepalamu untuk menekan Sujud/Puasakan kakimu untuk menapak Sirath/Puasakan tubuhmu untuk meresapi Rahmat/Puasakan hatimu untuk menikmati Hakikat/Puasakan pikiranmu untuk meyakini kebenaran/Puasakan dirimu untuk menghayati Hidup.

Sehingga dengan prahara di atas, puasa dalam konteks sosio-religius memang bukan sekadar ekspresi ritual yang bersifat verbalistik berupa penghentian sementara segala bentuk kebutuhan biologis. Puasa dalam perspektif Islam tidak lain adalah self restraint (Pengendalian Diri), dan sebagai the highest value (Tingginya Nilai). Berpuasa di bulan Ramadhan juga mengemban misi sebagai sarana pendidikan dan latihan untuk mengawal dalam sebelas bulan lainnya. Baik sebagai sarana pengendalian diri terhadap gejolak nafsu destruktif, maupun sebagai ajang perombakan sikap dan perilaku secara kualitatif (Saharuddin Daming, Koran Sindo 19 Juli 2012).

Bagi siapa pun termasuk penyanjung kata-kata (yakni penyair), bulan puasa adalah bulan yang estetik. Pada bulan suci itu, merenung tentang segala tetek-bengek kehidupan adalah laku yang spesial, apalagi ketika difiksikan dalam tulisan. Dahulu, segelintir sufi penyair banyak melakukan hal tersebut. Sebut saja Muizzi, Abu A’la Alma’ari, Hathim At Thai, Abu Nuwas Al Hani, Abu Faraj al Asfani, Syauqi Bey, Jalaluddin Rumi, Hafiz, Attar, Al Hallaj, Rabiah al Adawiah, Abu Yazid al Bustami, dan masa-masa subur para sufi penyair Islam pada abad ke 10-14 Masehi lainnya. Bukan hanya pada tataran kedalaman puisi-puisinya tentang dimensi transenden keilahian, akan tetapi mereka juga ahli puasa. Ahli puisi dan ahli puasa dua entitas berbeda yang punya kemanunggalan rasa. Bahkan sebagian dari mereka diriwayatkan berpuasa sepanjang hidup.

Alkisah, seorang sufi Abu al-Bashri ketika bulan Ramadhan tiba, beliau masuk rumah dan segera mengunci pintunya lalu berpesan kepada istrinya, “setiap malam tolong lemparkan sepotong roti lewat lubang dinding (ventilasi).” Beliau akan keluar dari kamar, sehingga bulan Ramadhan berakhir. Tatkala tiba Hari Raya dan istrinya masuk ke kamarnya, betapa terkejutnya istri yang rela ditinggal beribadah suaminya selama sebulan itu, ia menemukan tiga puluh roti tertumpuk di sudut kamar.

Puasanya kaum sufi, para Nabi, atau puasanya kau dan aku pada hakikatnya sama-sama memiliki predikat pejuang yang sedang berperang, berjuang melawan nafsu dan berjuang untuk menakhlukkan diri sendiri untuk kesempurnaan spiritualitas. Maka Ali bin Abi Thalib pernah mengisahkan; “suatu hari saya masuk ke rumah Rasulullah SAW, dan saya lihat beliau sedang bertelungkup di atas tikar sambil menyembunyikan wajah, tubuhnya terlihat lemas karena menahan lapar. Ketika itu Rasulullah tengah berdoa; “dengan lapar dan dahaku, ampunilah ummatku atas dosa-dosa mereka.”  


01/06/2017
Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com