• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Jumat, 29 Juli 2016

Sepetak Surga di Madura (Isra Mi’raj ke Gili Labak)

Zakerah Adventure:Road to Gili Labak


Aku dan tiga belas manusia merasakan debar yang sama di atas Sampan Kateran (sampan nelayan Madura), di atas kedalaman laut yang maha itu kami harap-harap cemas, karena takut jasad kami tak mencium daratan lagi. Hempas ombak sesekali menguji adrenaline karena sampan kami bergoyang eksotik tanpa henti. Ada yang baca sholawat, ada yang muntah liur, ada yang pucat pasi termenung, bahkan ada salah satu teman sok tidur padahal sulit memejamkan mata.

Iya, kami memang mengarungi samudera sekarang, selama satu jam lebih, tanpa standarisasi pengamanan mumpumi, tanpa alat keselamatan atau pelambung. Kami bergantung pada-Nya dan awak kapal yang selalu berusaha mencairkan keadaan “tenang dik, ini ombaknya stadium rendah kok.” Ujarnya, petuah-petuah itu dilantunkan laksana kultum jum’at di atas lautan.

Share:

Kamis, 28 Juli 2016

Khairul Mufid Jr on Galery

Add caption

Share:

Rabu, 20 Juli 2016

Mengencingi Lenin



Silahkan bayangkan..!! kalau seandainya makam mantan pemimpin negara dikencingi orang, diberaki, dan dilantunkan kata-kata satir menyayat hati, seperti: “hai bodoh..!! bangkitlah—bangkitlah kau—dan enyahlah”, apakah yang akan terjadi?

Setidaknya ada yang kebakar matanya, lipatan kulit keningnya bertambah, sepasang alisnya mengait, dan kepalanya mendidih ketika mendengarnya. Rasa tak terima pastilah memuncak di hatinya, karena ihwal tersebut dianggap sebagai pelecehan dan penghinaan yang maha berat secara etika dan hukum. Apalagi untuk orang-orang yang menyanyangi sang pemimpin, keluarga, sahabat, dan rakyat, pastilah akan protes dan gresi tandingan segera dilancarkan. Kita pun diajak untuk paham bagaimana ketika makam orang berpengaruh, dihormati, sang revolusioner negara dan dunia, kemudian dikencingi.

Tapi inilah misi terselubung yang diinisiasi dua seniman lulusan Universitas luar negeri Jerman; Jhon dan Justin. Dua seniman yang mempunyai cita-cita satu, yakni ingin mengencingi makam mantan pemimpin politik Rusia dan pendiri Uni Soviet—Vladimir Lenin—yang dikenal juga sebagai ideolog komunis yang dianut manusia sejagat, dari belahan dunia mana pun.

***

Share:

Gadis Berlesung Pipit



Ada pesan sumbing dari surat kabar pagi ini, isinya begini;

“Mengapa tidak semua orang memiliki lesung pipit? Fenomena lesung pipit dipengaruhi oleh faktor genetik dan diperlukan gen lesung pipit yang dominan. Jika salah satu orang tua atau kekek-neneknya memiliki lesung pipit, maka ada kemungkinan lesung pipit ini akan diturunkan ke generasi berikutnya. Anak-anak yang terlahir dari salah satu orang tua dengan lesung pipit akan memiliki kesempatan sebesar 25-100 persen.”

Apakah iya, fenomena lesung pipit dipengaruhi oleh faktor genetik?
Tapi, aku kurang begitu yakin, sebab banyak kesahihan fakta yang tidak berangkat dari sana. Ia berangkat dari jalan-jalan lain.

Share:

Pesantren MandiriPesantren Mandiri



Setelah melepas kepergiaan bulan suci, bulan yang fitrah dan hari kemenangan umat muslim se dunia (Idul Fitri), kini tiba momentum mendebarkan, yaitu mudik balik ke tempat rantau masing-masing. Seketika itu, biasanya ada orang yang membawa rekan kerja baru, membawa teman belajarnya, ada pula yang memang merantau sendiri tanpa kenal satu pun orang sebelumnya di tempat rantau. Begitupun yang tengah dirasakan para santri yang ingin balik mudik ke pondok pesantren, sama-sama dilanda luka-dukana.

Ini pula yang dirasakan segenap santri mandiri besutan almarhum Pengasuh muda asal Kediri Jawa Timur, Gus Arifin Thoha. Meskipun secara kuantitas santri yang tidak begitu banyak, tapi pesantren ini terbilang pesantren yang komplit, di berbagai bagian. Di pesantren ini tidak cuma mengajarkan tentang ke-Islaman semata, tapi juga mengajarkan kemandirian, keuletan, kedisiplinan dan ke ke lainnya. Namun yang sering terindra masyarakat ramai ialah “pesantren mandiri.”   

Mengapa tidak, pesantren ini memiliki tradisi mengikat yang mewajibkan para santrinya untuk hidup mandiri, tak ayal jika ada yang jualan koran, ada yang kerja serabutan ketika tidak tabrakan kegiatan pondok, tapi kebanyakan dari santrinya mencari rezeki dari kegiatan menulis ke media massa, cetak maupun eletronik. Mereka menulis puisi, cerpen, artikel, opini, kolom, surat mahasiswa, dan resensi buku. Jadi selain santri dapat honor tulisan, juga yang tak bisa ditinggalkan adalah mereka akan terkenal laiknya artis, namanya yang sering gentayangan di media, maka ia akan menghantui hati semua pembacanya.

Di pesantren yang santrinya tidak genap 100 orang ini, di huni kaum adam aja, dengan beribu cerita nyentrik, perjuangan, pengabdian, dan sejenisnya. Maka bukan rahasia umum lagi kalau keluaran pondok ini bisa dikatan melek daratan,  pada genius, pinter, dan tentunya dapat predikat seorang sastrawan, karena hobinya merakit kata-kata.

***
Share:

Kemanusiaan telah Diculik



“Kemanusiaan telah diculik!, tolong..!!,” suara bernada kalap seorang anak kecil seketika mengagetkanku, dalam dudukku tengah bersila di atas tikar plastik lepau makanan, Semangkuk es cendol yang baru saja dibeli terpaksa kuurungkan diteguk, alih-alih mendengar erangan si anak kecil itu kian menjadi-jadi. Sambil menatapku dengan tatapan kosong, aku hanyut dalam kepanikannya.

            Wajahnya tampak begitu lelah, pucat pasi, seolah-olah baru saja lari maraton dari Sabang sampai Merauke, yang jauhnya berkilo-kilometer. meski ia tak hentinya menatapku tajam, entah mengapa aku tidak menemukan refleksi ketidak-warasan dalam bulatan hitam matanya. “Sungguh aneh anak ini!.”

            “Kemanusiaan telah diculik!” lagi-lagi kalimat separas mengalun lugas dari mulutnya, “saya sudah mencarinya ke seluruh tempat, di kolong jembatan, di pasar, di perumahan, sekolahan, penjara, bahkan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, tetap tidak ada, nihil, saya harus mencari kemana?”. Ceracaunya lagi, linglung. Tangannya yang memegang sebuah map berwarna hitam tampak gemetar, matanya pun semakin memerah dengan lingkaran hitam di pinggirnya, tubuhnya gigil gemetar. Aku semakin merasa aneh dan kurang nyaman dengannya, tiba-tiba ia semakin dekat menujuku dan menggila dihadapanku.

“Kemanusiaan telah diculik..! Kemanusiaan telah diculik..!!.”

***
           
Share:

Kita Pasti Pulang!



            Alangkah malunya aku, kalau peristiwa tahun lalu itu terulang lagi, betapa malunya aku pada anak perempuanku, dan alangkah hinanya aku di hadapan istriku, kalau-kalau tahun ini kami tidak bisa mudik lagi ke kampung halaman. Masih kuingat, sekawah air mata kekecewaan yang menggenang di sepasang mata istri dan anak perempuanku. Maafkan aku nak! Maafkan aku bu!.

            Tiada kata yang dapat mewakili, betapa senangnya, bangga, dan indahnya merayakan lebaran bersama orang-orang yang kita cintai, apalagi dengan keluarga kita yang telah lama sekali tidak berjumpa, di kampung sana, yang begitu jauh, ada eyang, om, tante, dan teman atau tetangga lama. Bisa dibayangkan kemesraan penuh cinta akan tercipta di sana.

            Begitupun aku, anakku, dan istriku yang juga ingin berbagi rasa rindu dan cinta pada keluarga yang telah berpisah begitu lama.

            Sewaktu sore yang menjemukan, ketika aku tengah duduk tengadah di beranda rumah kontrakan, tiba-tiba istriku datang dengan membawa mimik aneh yang lain dari  biasanya; “Mas, bagaimana mudiknya tahun ini?, jadi, tidak?”. Tiba-tiba istriku melemparkan pertanyaan itu, yang memang dari tadi aku piikirkan, bahkan mulai tahun lalu. “Insya’allah dik, kita pasti pulang kampung, tenang saja jangan kau terlalu mengkhawatirkannya.” “ya, terima kasih Mas, kamu memang suami yang baik dan pengertian,” sambung istriku sambil ia memelukiku hangat, Padahal sewaktu itu aku tambah bingung, bagaimana kita bisa pulang kampung, keuangan keluarga kami memang tidak pernah imbang, penguluaran lebih banyak dari pendapatan, hutang menumpuk dimana-mana.
***
Share:

Prostitusi Online



“Usiaku masih masih 17 tahun, duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta, kelas X (sepuluh), aku suka pelajaran bahasa Indonesia, sosiologi,  dan biologi, banyak yang heran karena kebiasaanku membaca komik dan cerita-cerita anak, jadinya aku suka berkhayal dan menulis cerita keseharianku sendiri. Selain itu aku dikenal sipil sebagai pribadi pendiam dan tak suka bergaul, ketika teman sejajarku asyik bermain, jalan-jalan, dan shopping, aku hanya di rumah membaca cerita dan menulis catatan kecil, tak khayal kalau aku di sangka gadis psikopat dan absurd.”

Ulasan kata yang lewat tadi adalah biografi buku catatan Amil, gadis remaja pendiam yang suka tamasya ke alam khayal, di muka cover buku itu tertencap terang sebuah tulisan “Lukisan Wajahku” tulisan yang menjadi kepala buku dan wakil keseluruhan isinya. di bagian selanjutnya tertera daftar isi cerita-cerita Amil, ada sembilan puluh sembilan judul, dan tiga ratus halaman, Amil menulisnya sejak kelas 1 (satu) SMP sampai sekarang. Dan dibagian akhir buku itu berisi biografi singkat Amil.

Barangkali kalau buku “Lukisan Wajahku” itu tidak terselip di jendela kamar kecil rumahnya, Sri (ibunda Amil) pasti tidak akan tahu cerita privat anaknya, dan kisah keseharian anaknya. awalnya Sri tidak langsung angkuh membuka buku itu, tapi ketika kesetrum judul buku yang menyengat-nyengat, ia membuka setiap halaman-perhalaman buku itu secara seksama, hingga tanpa disengaja ia sampai di halaman 267, ia memergoki tulisan dengan kata –Tamasya dalam Dunia Prostitusi Online-, sontak ia tambah terperanjat dan memelototi setiap huruf, kata, dan kalimat secara cermat dan hati-hati.

***
Share:

Kutangkap Senyummu



“Iya Om, Insya’allah aku ikut tahlilan”
“Ayo cepat pasang bajumu, kita berangkat” tambah Omku kibang-kibut.
“Tapi lama tidak Om, nanti?”
“Tidak! sebentar saja kok Mad, paling jam 11-an sudah kelar”
“Baiklah Om, kita berangkat”

            Awalnya, pikiranku mengakar dua atau ambigu dengan rayuan Omku yang mengajak ikut tahlilan, tapi ketika rasa penasaranku kian memuncak, dengan senang hati aku ikut saja dengannya, maklumlah sebagai orang asing dan pertama menginjakkan kaki di kampung ini, pastilah ingin tahu segala hal, tradisi, kebudayaan, dan ingin jauh masuk bergumul dengan masyarakat.

            Baru dua hari di kampung ini, terasa banyak yang kutemui dari sebelumnya, kelainan yang tak pernah aku kecap di tempat indekos mahasiswa di jantung kota dulu, termasuk ketika aku ikut tahlilan untuk yang pertama kalinya, setelah beberapa tahun hidup di kota, dan tak pernah tahlilan, tapi tidak juga kalau seumur-umur, pernah dulu; tapi sudah lupa ketiban usia.  Ketika menginjakkan kaki di beranda rumah orang yang melangsungkan tahlilan. Malam itu, aku mulai tidak nyaman dengan bebauan yang malang-melintang di radiasi radar penciumanku, terasa menyengat, dan terasa perih menusuk-nusuk. Bau apa ini? Gemuruh batin mempertanyakan.

Share:

Sparring



Rapat malam itu layaknya sidang paripurna luar biasa di gedung DPR, tak ubahnya forum tertinggi yang merapatkan wewenang dan tugas Negara. Bagaimana tidak, malam itu juga saling serang pendapat, saling mengokohkan benteng argumentasi, dan menciptakan suasana pergolakan sangat panas. Padahal yang dirapatkan hanya sparring  futsal dengan tim KMJ (Komunitas Marditila Jakarta). Komunitas anak Jakarta yang menuntut ilmu ke Bakburu, daerah di sekitar bibir kota Bantul.

Kebetulan bang Apung yang jadi promotor sparring itu, ia yang pontang panting cari lawan tanding, dan ketemulah dengan KMJ-Jakarta, walau melalui perdebatan yang sangat alot. Malam itu bang Apung dahulu yang memancing peserta rapat.
“Bagaimana ini teman-teman, kita sparring-nya hari apa dan tanggal berapa?”
“Gimana kalau kamis” jawab salah satu peserta rapat yang badannya gemuk.
“Jangan broo, kan kamis aku kuliah.” Sahut orang yang berkumis tipis.
“Bagaimana kalau hari jum’at?”
“Ehh, enak saja!! aku dan Lihen kan harus jaga warnet” sahut peserta rapat lainnya.
“Hhhmm..!!!”
Bumi seakan malas berputar, tak ada tanda-tanda kehidupan, semua diam. Dan peserta rapat itu pun tertegun. Malam itu seakan tambah senyap. Karena mereka tak juga nemu kapan waktu untuk sparring futsal.

Share:

Khufy



Ketika matahari menyelipkan sinarnya pada ketiak senja, Khufy tiba-tiba menciutkan mimpinya untuk main layang-layang, sepasang bola matanya memerah dan tiba-tiba membentuk sebuah kawah yang meletuskan lava pijar, air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi, betapa ia tidak sanggup untuk berpisah dengan sahabat-sahabatnya;
“Ayo kawan..!!, jadi tidak main layangannya?”
“iya, tunggu sebentar lagi.” Khufy masuk kembali ke dalam rumah, dan membelas pada emaknya, minta izin.
“mau kemana cong?” sahut ibunya selidik.
“ini emak, main layang-layang!”
“eh..!!, kamu kan sudah mau berangkat sekarang ke Yogyakarta?” si emak menanggul keinginan Khufy untuk main layangan.
“tapi emak..!!”
“tidak ada tapi-tapian, bagaimana kalau kamu telat, tidak dapat bis, atau tidak lulus tes masuk perguruan tinggi nanti, jika kamu tetap seperti ini, jangan harap kamu dapat izin lagi untuk merantau atau pun kuliah.”
Mendengar tausiah si emak, Khufy tambah banter memuntahkan air mata, ia tak sanggup jika tahun ini tidak kuliah, apalagi tak punya kesempatan main layangan dengan sahabatnya untuk yang terakhir kali.

Dengan tubuh berayun-ayun ia-pun keluar rumah.
“saya tidak bisa main layangan kawan, kamu main sendiri saja ya..!!”
“memangnya kamu kemana?” temannya mengejar pembicaraan.
“saya.. saya.. mau pergi untuk waktu yang sangat lama kawan” Kelakar Khufy gelagapan, ia tak kuat menahan isak dan rasa haru.
“saya, mau merantau kawan, kepengin kuliah, dan sekonyong-konyongnya cari kerja.” Tambahnya terkosel-kosel.
“terus kapan berangkatnya?”
“sekarang” Khufy tertunduk menyematkan jawaban.
“ya suudah kawan, baik-baik di sana, dan semoga apa yang dicari segera didapat dan terkabulkan Tuhan.”
“amien..!!  terima kasih kawan.”

***

Share:

Serangan Fajar



Langit tak ingin menyudahi air matanya,  ia mengguyuri perabot bumi dan fajar di pagi hari, gedung, pepohonan, satwa, dan manusiapun menggigil tak berdaya, angin menyerang di sudut-sudut waktu. Semalaman hujan ini tak kunjung reda, namun dinginnya tak hinggap ke satu rumah bertingkat itu, yang mulai malam tadi mendidih karena membias  kepentingan tak tersalurkan, hujan telah memucatkan siasat Ridla (pemilik rumah) untuk menabur bungkusan plastik hitam ke masyarakat, di dalamnya mengeram sembako dan amplop putih berisi pecahan uang dua ratus ribu.

Ridla akan membeli suara masyarakat dengan bungkusan hitam, ia yakin kalau segalanya bisa dibeli dengan materi, apalagi untuk membeli hati masyarakat Desa Banyu-urib, “seperti mudahnya membalikkan telapak tangan”.

Ridla salah satu kandidat Kepala Desa Banyu-urib, dikenal ramai sebagai pribadi yang trengginas, keras kepala, tertutup, dan egois, siapa pun yang melerai kemauannya, tak segan ia membikin sengsara bahkan mencabut nyawa, keinginannya tak bisa di otak atik laiknya keabsahan surga-neraka.

Di tahun ini, dalam pencalonannya yang kedua kali, Ridla telah menyiapkan modal besar untuk memenangkan PILKADES. tak tanggung-tanggung uang senilai tujuh miliar, tiga ratus lima puluh orang bajingan, dan seratus kyai keranjang bermata kalap telah dipersiapkan Ridla, babu-babu itu ia dapat secara gampangan. Cukup diberi makan, rokok dan duit ganti keringat, mereka telah ngangguk-ngangguk siap dicekoki pekerjakan. Tak lain semuanya hanyalah untuk membentengi misi sebagai Kepala Desa, dan dari serangan-serangan lawan politik.

***

Sedang di rumah sederhana berdinding bidhik, beratap jerami, dan berlantai tanah guntai. Berdiam kelurga kecil yang jumlah penghuninya tiga jiwa, si bapak, ibu, dan satu anak laki-laki berumur enam tahun. Ahmad sebagai presiden keluarga hanya bekerja sebagai kuli salang di pasar, ia juga dikenal sebagai takmir masjid, dan sering memimpin kambrat yasinan di Desa Banyu-urib. Masyarakat ramai-pun segan dengannya.  

Berangkat dari keterpaksaan, dan dari desakan masyarakat untuk mengubah desa Banyu-urib, diam-diam Ahmad ikut mencalonkan diri menjadi Kepala Desa. Ia sangat pesimis akan hal ini, bahkan ia sempat menghilang berminggu-minggu untuk mencari ketenangan, saking mindernya sebagai calon Kepala Desa, ia tak banyak pilihan, pencalonan itu hanya membuat petaka untuknya dan keluarga, ia takut kalau terjadi apa-apa menimpa keluarganya, ia pun hilang akal bagaimana memodali pencalonannya, jangankan untuk biaya pendafataran yang sangat mahal. Untuk makan sehari-hari saja masih ngutang kesana-sini.

“Atau aku mati saja ya?” bahasa yang selalu melintas di kepala Ahmad.

Untung kesediaan masyarakat berbuah jawaban, sebagian kebutuhan pencalonan dilengkapinya, mulai dari uang pendaftaran dan lubang kebutuhan lainnya, sekali pun jumlahnya tak seberapa, setidaknya mendinginkan kepala Ahmad yang sejauh ini pening.

Tak ada ritual khusus yang Ahmad lakukan, di rumahnya ia hanya yasinan dan memanjatkan doa-doa untuk mendapat keselamatan, Yang hadir pun itu-itu saja. Masyarakat pengusung, kerabat, dan keluarga. Ahmad lalkukan itu setiap malam tak pernah bolos sampai pemilihan.

***

Ketika waktu menggelinding, akrobat jarum jam menunjuk angka sepuluh. Aroma malam menikam sukma, suasana begitu mencekam, rumah Ridla mengeluarkan asap, seakan di kompori dari bawah, Ridla tengah marah besar karena tahu lawan politiknya si Ahmad, sebab mereka begitu dekat dan bersahabat dari SD sampai sekarang. Tapi bagaimanapun bentuknya, bukan Ridla kalau masih iba dan belas hati.

“kalian harus lebih giat menabur uang, karena lawan politik kita adalah seorang Ustad, pasti dia suka menabur pituah kepada masyarakat, ambil hati masyarakat dengan uang” Ridla tampak gelisah, meniban perintah pada babu-babunya.
“siap Gan” sahut babunya serentak.

“tapi apakah bisa Gan” tambah salah satu anak buahnya yang dari tadi diam.
“maksud kamu apa?”. Ridla tampak menyidik.
“iya Gan, waktu kemarin saya membagi-bagikan bungkusan kepada masyarakat, mereka pada nggak mau dan tampak acuh”
“mengapa kau tidak paksa saja, dan kalau melawan potong saja tangannya” Ridla tambah geram.
“ooo,  siap Gan”

“Ada masalah lagi?” Tambah Ridla membuka pintu.
“Ada Gan” kyai yang dari tadi bengung, ngacung.
“gini Gan! waktu saya bertapa tadi malam, saya mendapat wangsit dari datuk Pruwareng, kalau di tempat pemilihan nanti, perintahnya harus ditanami jarum biku, dan darah ayam jantan”. Sang kyai menimbun cerita dan meyakinkan Ridla.
“baik jika begitu, kita siapkan segalanya”

“Jadi, semua siaga di posisi kalian, dan pahami tugas kalian masing-masing, mala mini kita akan melakukan serangan-serangan”.
“siap Gan”. Sahut mereka akur.

Ketika semua berpencar, tiba-tiba tangan Ridla melambai keras dibarengi suara menyembur dari mulutnya, “Parid, sini dulu!” panggilnya pada dirigen bajingan: “saya tak mau tahu caranya, kamu harus bunuh Ahmad malam mini juga”.

Di bawah bulan temaram, dan di atas bumi berlendir, anak buah Ridla menyusur keheningan waktu, malam ini tertanggal malam tenang yang tak satu pun orang bisa keluyuran. Malam yang sangat sunyi dari yang sudah-sudah, dan malam petaka bagi siapa saja yang ketahuan batang hidungnya. Tapi Pasukan Ridla mengindahkan hal itu, mereka pun diam-diam menabur uang, ada yang menanam jarum biku dan mengubur darah ayam jantan di tempat pemilihan, ada yang mencuri surat suara, dan ada yang mengintai rumah Ahmad beserta geliat pendukungnya.

Sementara di bawah rimbunan pohon pisang belakang rumah Ahmad, seorang bertopeng membawa celurit mengintai, di balik topeng itu terselip wajah Parid, ia berencana membunuh Ahmad.
Tak menunggu lama, tiba-tiba Ahmad keluar rumah untuk buang hajat, dan secepat kilat Parid menyergap mentah-mentah dari balik pohon pisang, ia langsung meringkus tangan Ahmad, dan memenggal kepalanya tanpa belas, kemudian Parid menyeret sang mayat dan membuang jasadnya ke kebun tebu.


Dari serangan-serangan yang di kemas Ridla dan anak buahnya, sejauh ini berputar baik sesuai porosnya. keheningan malam itu pun kian melantunkan kengerian, tiba-tiba suara ngilu terlantun dari pengeras suara di masjid:

Tolong…! Tolong…! Ada mayat mengapung di tengah sungai, tolong..!!

Suara itu menyusup batin, dan tersalurkan ke semua pasang telinga masyarakat Banyu-urib, masyarakat serentak mengerebungi tepian sungai, mereka saling tanya tentang mayat siapa yang mengambang. Tapi usaha mereka tidak berbuah hasil, tak ada yang tahu itu mayat siapa. Namun ketika masyarakat setempat menarik mayat itu ke bibir sungai, alih-alih jawaban mulai mengemuka, mereka tertegun rapi ketika mayat lelaki di baringkan, tubuhnya gemuk, berewokan, dan kepalanya gondrong.

“Innalillahiraji’un” ini mayat Bapak Ridla, kok bisa mati mengenaskan begini, siapa yang tega berbuat nista.  

***

Share:

Roro Angger



Saban malam, pohon beringin itu melambai disentuh angin, seolah mengabarkan kedatangan arwah di area pemakaman, ketika rembulan baru mengecup kening bumi, ia menyebarkan cahaya pada kesendirian keranda dan berpasang batu nisan. Ada ritus kejiwaan di tanah seluas satu hektar itu, ritus minta perlindungan dan keselamatan,  sepenggal kepala banteng, dupa, dan kembang tujuh rupa menjadi sesembahan, masyarakat bersepakat dengan arwah-arwah tempat pembaringan terakhir manusia, di tanah guntai yang keberadaannya di jantung desa adalah tempat lalu lalang masyarakat setempat.

Pemakaman Roro Angger memang sulit mendapat tempat di hati masyarakat, namun siapa yang tidak mengenalnya, karena area pemakaman itu satu-satunya di desa Polagan dan menjadi pemakaman umum sejak nenek moyang dahulu, pohonnya yang bercabang, tanahnya yang bergelombang, dan sengit bau kemenyan riuh rendah menambah mistis Roro Angger. nama seram yang ia kenakan dan sering menjadi buah bibir berpuluh-puluh tahun lamanya.

Roro Angger menjadi denyut kemistikan desa Polagan, desa yang sejak dahulu mengeram kegaiban-kegaiban,  tak ada yang menjangkau muasal mengapa Roro Angger disakralkan, ditakuti, dan disucikan?. Masyarakat sangat merahasiakan, dan mendapat malapetaka jika sekali-kali menyinggungnya, Tapi dari sekian runut kemistikan Roro Angger ada seorang yang mafhum dan mengetahui muasal mengapa pemakaman itu disakralkan? Ia seorang juru jaga sekaligus pewaris kunci sejarah pemakaman Roro Angger, ia mengetahui segalanya tentang Roro Angger.

***
Share:

Gadis Bartender



Seluas samudra, tanda-tanya itu menghampar di ruang kosong kepala. Seruncing dakar jarum, tanda tanya itu mencocok saraf kepala. Dan layaknya sebutir debu, tanda tanya itu beterbangan di tempurung kepala, tanda tanya dan paceklik di kepala Jamilah, tanda tanya yang semakin terang, tanda tanya yang semakin kejam menghantui, tanda tanya yang menggunung semenjak Jamilah berdiam di kelas dua Madrasah Aliyah. Ia sekarang di ujung tanduk, bercokol di kelas akhir salah satu Madrasah di kampung.

            Sedari hasil akhir ujian nasional direngkuh Jamilah, Ia orang pertama yang merasa bahagia sebelum yang lain, siapa yang tak bahagia kalau lulus UN dengan predikat terbaik, Ia-pun demikian, hingga sempat meneteskan air mata, lantaran rawan terharu bangga, namun kebahagian itu mengular duka, duka karena Ia harus melanjutkan kemana studinya setalah ini, duka dengan geliat masa depan yang teramat misteri, dan duka akan tanggung jawab sebagai seorang intelektual di keluarga dan kampungnya.
                                                  
            Dengan mencengkram ijazah yang baru ia dapati, tanda tanya itu semakin bertambah jumlahnya, walau jasadnya tengah sampai rumah, tapi pikirannya terus gentayangan menyusur waktu dan mimpinya sebagai mahasiswa kedokteran.

***

Share:

Gus Anwar



“Punawar” adalah nama jenaka yang kubuat untuknya, nama kawakan tua di usia mudanya, nama masyhur di pandangan para santri, nama itu ku-bikin ketika bersahabat karib dengan Anwar Fuadi, santri baru Pondok Pesantren An-Najah, santri baru yang pertama aku melihatnya sudah tak bernafsu, santri baru yang tak semangat hidup, matanya tak menganga penuh, tubuhnya kurus, ringkih, dan runduk. Aku pun terpaksa mengenalnya.

            Kubawa Anwar Fuadi ke Daerah Al-Ghazali blok-D. Nama salah satu daerah dan asrama pondok Pesantren An-Najah, di mana Ia akan berdiam dan dipenjara dari kemasiatan.
            “silahkan masuk Mas Anwar” aku mempersilahkan.
Pertamanya aku dilema mau panggil apa, tapi ketika aku tahu Anwar dari kota, maka aku panggil Mas saja.
            “oiyaa..yaa.. Ndoro!” sahutnya menguliti perasaanku.
Mengapa Ia panggil Ndoro? bukan Kakak, Mas, atau Salihin saja. Dia begitu lancang, sebagai santri baru dan belum kenal jauh denganku.
            “di sini tempat tidurmu, kamar ini berisi empat puluh orang santri, lemarimu di ujung sana, dan warna putih itu lemariku, jadi mulai saat ini kamu sah menjadi santri Pondok Pesantren An-Najah.” Timpalku untuk menyambut santri baru agar Ia kerasan. “seandainya ini bukan karena perintah Kyai Bakir, siapa juga berbaik hati dengan santri baru yang kena psikopat itu”.
Share:

Bang, Bangun...!!




Dari batang tubuh bus antar kota, riuh rendah suara itu terdengar lagi, suara pengasong makanan ringan dan minuman pembasah kerongkongan, suara itu melantun lagi, suara pengamen yang menggoyang bus dengan tabuh gendang dan gelitik gitar, atau keriuhan penumpang yang mengatupkan mulut untuk bercakap, hingga semua mengental dan beterbangan di sawang langit bus.

Barangkali cuma aku yang menyumbat sepasang daun telinga, saking ketakterimaannku terhadap bunyi-bunyian yang menyesakkan dada dan memerihkan mata, dari Prenduan tempat aku bermula, di dalam bus, sebuah kursi lusuh menunggu kedatanganku, ia salah satu kursi kembar dempet tiga, paling hilir dan paling buruk rupa,  dengan perasan cacat terpaksa aku manut dan meng-iyakan seorang kondektur bus yang tiba-tiba menuntunku ke letak kursi kosong itu, “ini adalah bus terburuk, terjelek, terbau, dan (ter-ter) lainnya” gumamku dalam hati, dan protesku terhadap transportasi umum negeri ini.

“mau kemana Mas?” Kondektur itu membuyarkan kampanyeku.
“Surabaya!” jawabku ketus,
“Lima puluh empat ribu,” sambil ia sodorkan selembar karcis ke wajahku.
“Apa pak.. lima puluh empat ribu?, nggak kemurahan pak”, aku menyindir, “biasanya Prenduan-Surabaya itu tiga puluh lima ribu pak, itu pun dengan bus-AC dan tentu dengan kursi empuk, tidak segepeng dan secalar kursi bus ini”,
“yaahh, mau bayar atau turun?” jawabnya membangun benteng pertahanan.
“Jangan gitu juga pak, coba mengerti saya, selama saya hilir mudik Prenduan-Surabaya memang tak semahal itu,  paling naik sedikit aja, lagian sekasar itukah bapak terhadap pelajar sepertiku”
Kondektur itu diam dan tampak merencanakan sesuatu,
“Ya sudah, bayar empat puluh lima ribu wes”.  ia menurunkan harga, dan mengakhiri tawar menawar.
“Ini pak” terima kasih atas entakannya.

***

Share:

Lebih Baik Menggelandang



Embun malam pergantian musim menyisakan kesejukan dan air mata, angin pun mengerudungi sebuah bangsal kayu yang kusebut itu rumah, walau kebanyakan orang menyebutnya gudang, bedeng,  dan sebuah kandang tapi buatku sebuah istana kerajaan, di bawah atap seng yang berlubang dengan mudahnya kami berempat melihat kelip bintang dan pancaran bulan, di selimuti anyam bambu yang menganga begitu mudahnya kami dipeluk angin dan dirembesi hujan, diantara puluhan rumah yang berdiri kokoh rumah kami yang paling gampang roboh, kami keluarga paling miskin dan paling sering ketiban bencana. apalagi bencana kelaparan dan kebutuhan hidup lainnya. 

            Di antara bapak dan anak-anakku, akulah yang merangkul semua pekerjaan rumah sekaligus mencari nafkah. Bagaimanapun aku tak bisa menyangkal, ini adalah seleksi alam yang mau tidak mau musti aku kerjakan, suamiku sudah tiga tahun belakangan ini sakit-sakitan, dan sekian lamanya tidak bisa bekerja.   
***
                                                 
Share:

Selasa, 19 Juli 2016

Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan menjadi Mahasiswa



Mendengar kata “Mahasiswa” image menor nan indah terbayang di kepalaku. Membayangkan mahasiswa adalah persekongkolan manusia kelas elit, borjuis, manusia dengan otak cerdik dan memiliki segalanya termasuk jas almamater yang begitu menggoda itu. Akupun begitu nafsu untuk berstatus mahasiswa, bayangan yang terus membuntutiku ketika kelas dua Madrasah Aliyah di salah satu Pondok Pesantren Daerah Sumenep Madura.

Dimulai dari keambiguanku yang sebenarnya wajib memilih antara melanjutkan mondok dan kuliah. Waktu itu sempat aku korek-korek informasi tentang beberapa pesantren di dalam dan luar Madura, Annuqayyah dan Sidogiri salah satunya. Tidak hanya satu-dua bulan waktu yang dibutuhkan untuk survey pesantren tersebut, tiga tahun dari awal masuk kelas satu MA bahkan. Karena atmosfer religius, hangat, kental bin gawat di pesantrenku, laksana mewajibkan kelas akhir untuk mondok di pesantren lain. “Boleh sih kuliah, tapi yang ada pesantrennya, atau boleh kuliah tapi tinggalnya harus di pesantren.” Ujar salah satu pengasuhku.

Share:

Kamis, 14 Juli 2016

Aku Pasti Bisa Menulis


Judul Buku   : Panduan Lengkap Menjadi Penulis Handal
Penulis          : Sri Wintala Achmad
Cetakan         : I, Juni 2015
Penerbit        : Araska
ISBN               : 978-602-300-149-1
Tebal              : 14x20,5 cm, 224 Halaman
Peresensi       : Khairul Mufid Jr*

Banyak yang tumbang di tengah jalan ketika bermimpi menjadi seorang penulis, banyak yang gantung pena ketika sudah mulai menulis, dan banyak pula penulis sudah bisa menulis tapi pada akhirnya berhenti menulis karena ia tidak bisa berharap banyak pada kegiatan menulis. Akhirnya mereka terkapar mati di tepian (mimpi jadi penulis) padahal sudah lama sekali mereka tancapakan mimpi itu di dada dan berharap akan memanen buahnya kelak. Menjadi seorang penulis tidak mudah, tidak semudah membalikkan dua telapak tangan atau tidak semudah menghisap rokok lalu asapnya disemburkan ke segala penjuru. Menulis membutuhkan proses, ketekunan, kesabaran, dan bekerja keras.

Share:

Siapa Syekh Abdul Qadir Jailani?



Judul              : Berguru pada Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir  Jailani
Penulis          : Samsul Ma’arif
Penerbit        : Araska
Cetakan         : 1, April 2016
Tebal              : 14x20.5 cm, 220 Halaman
ISBN               : 978-602-300-246-7
Peresensi       : Khairul Mufid Jr*

Kemasyhuran Syekh Abdul Qadir al-Jailani di kalangan umat Islam Indonesia, bahkan dunia sudah tidak diragukan lagi. Orang Islam mengenal beliau sebagai “Pemimpin Para Wali.” Di dunia barat dikenal sebagai Syaikhul Islam dan Filsuf Islam. Bahkan seorang penulis muslim Jerman, Mehmed Ali Aini (1967) menyebut al-Jailani sebagai “Orang Suci Terbesar Dunia.”

Banyak perbedaan yang menyebutkan tentang tahun kelahiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Berdasarkan sumber yang banyak menyebutkan bahwa beliau lahir pada 470 H (1077 M) seperti dalam Mawa’idz karya Syekh Shalih Ahmad as-Syami. Ada pula yang mengatakan beliau lahir pada tahun 480 H (1078 M) dan wafat tahun 561 H (1166 M) di Baghdad.

Share:

Shio, dan Beberapa Misteri



Judul              : Kitab Peruntungan Shio
Penulis          : Liana Devi P.
Penerbit        : Araska
Cetakan         : 1, Januari 2016
Tebal              : 14x20,5 cm 204 Halaman
ISBN               : 978-602-300-207-8
Peresensi       : Khairul Mufid Jr*


Shio adalah simbol hewan yang mewakili 12 siklus tahunan dalam astrologi China. Dengan shio yang mewakili konsep siklus waktu telah menjadi kalender bulan China dan dibuat berdasarkan siklus dari bulan. Dalam kalender China, awal tahun dimulai antara akhir januari dan awal februari, sebuah metode siklus yang merupakan perekaman tahun ke dalam dua belas tanda hewan dan setiap tahun ditandai dengan nama hewan atau “Shio”.

Share:

Di Balik Pesona Majapahit



                         Judul              : Di Balik Pesona dan Sisi Kelam Majapahit   (Sebuah Catatan Sejarah yang Tercecer dan disembunyikan)
Penulis          : Krisna Bayu Adji
Penerbit        : Araska
Cetakan         : 1, Maret 2016
Tebal              : 13x20,5, 256 Halaman
ISBN               : 978-602-300-243-6
Peresensi       : Khairul Mufid Jr*

Buku ini secara jamak menceritakan tentang pesona dan sisi kelam Kerajaan Majapahit di abat ke 12 hingga 15 M. Salah satu kerajaan tersohor di Tanah Jawa, Majapahit didirikan oleh Dyah Wijaya di wilayah Hutan Tarik pada 1293 M. Kerajaan yang lahir di kota Tlatah Mojokerto Jawa Timur ini memiliki usia yang cukup tua, sekira 234 tahun antara tahun 1293-1527 M. Dipimpin oleh dua belas raja, 10 laki-laki dan 2 perempuan.

Share:

Menjadi Singa Mimbar



                        Judul Buk Materi KULTUM Ustadz Gaul
Penulis          : Ust. M. Maghfur Amin
Cetakan         : I, Juni 2015
Penerbit        : Araska
ISBN               : 978-602-300-145-3
Tebal              : 224 Halaman: 14x20,5 cm.
Peresensi       : Khairul Mufid Jr*

           
            Menjadi seorang ustadz/dai kondang, tidak cukup dengan bekal fasih melafalkan Al-Qur’an saja, namun juga harus pintar dalam retorika penyampaian dan pengayaan materi yang ingin disampaikan. Dan dengan mempersiapkan fisik serta menangguhkan mental baja maka sang dai siap tampil di atas mimbar dakwah.

            Karena menjadi seorang dai sulit sekali kalau tidak dilatih, mereka akan gemetaran menghadapi puluhan ribu jamaah manakala tidak terbiasa di atas mimbar, apalagi ketika kekurangan meteri yang ingin disampaikan, bisa dibayangkan sang dai akan gusar, gelisah dengan rembesan keringat yang mulai menyumbar. Untuk menyampaikan KULTUM (Kuliah Tujuh Menit) misalkan, seorang ustadz/dai juga dituntut untuk mempersiapkan materi ceramahnya secara baik.

Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com