Zakerah Adventure:Road to Gili Labak |
Jumat, 29 Juli 2016
Sepetak Surga di Madura (Isra Mi’raj ke Gili Labak)
Aku
dan tiga belas manusia merasakan debar yang sama di atas Sampan Kateran (sampan
nelayan Madura), di atas kedalaman laut yang maha itu kami harap-harap cemas,
karena takut jasad kami tak mencium daratan lagi. Hempas ombak sesekali menguji
adrenaline karena sampan kami
bergoyang eksotik tanpa henti. Ada yang baca sholawat, ada yang muntah liur,
ada yang pucat pasi termenung, bahkan ada salah satu teman sok tidur padahal
sulit memejamkan mata.
Iya,
kami memang mengarungi samudera sekarang, selama satu jam lebih, tanpa standarisasi
pengamanan mumpumi, tanpa alat keselamatan atau pelambung. Kami bergantung
pada-Nya dan awak kapal yang selalu berusaha mencairkan keadaan “tenang dik,
ini ombaknya stadium rendah kok.” Ujarnya, petuah-petuah itu dilantunkan
laksana kultum jum’at di atas lautan.
Kamis, 28 Juli 2016
Rabu, 20 Juli 2016
Mengencingi Lenin
Silahkan bayangkan..!! kalau seandainya makam mantan pemimpin
negara dikencingi orang, diberaki, dan dilantunkan kata-kata satir menyayat
hati, seperti: “hai bodoh..!! bangkitlah—bangkitlah kau—dan enyahlah”, apakah
yang akan terjadi?
Setidaknya ada yang kebakar matanya, lipatan kulit keningnya
bertambah, sepasang alisnya mengait, dan kepalanya mendidih ketika mendengarnya.
Rasa tak terima pastilah memuncak di hatinya, karena ihwal tersebut dianggap sebagai
pelecehan dan penghinaan yang maha berat secara etika dan hukum. Apalagi untuk orang-orang
yang menyanyangi sang pemimpin, keluarga, sahabat, dan rakyat, pastilah akan
protes dan gresi tandingan segera dilancarkan. Kita pun diajak untuk paham
bagaimana ketika makam orang berpengaruh, dihormati, sang revolusioner negara dan
dunia, kemudian dikencingi.
Tapi inilah misi terselubung yang diinisiasi dua seniman
lulusan Universitas luar negeri Jerman; Jhon dan Justin. Dua seniman yang
mempunyai cita-cita satu, yakni ingin mengencingi makam mantan pemimpin politik
Rusia dan pendiri Uni Soviet—Vladimir Lenin—yang dikenal juga sebagai ideolog komunis
yang dianut manusia sejagat, dari belahan dunia mana pun.
***
Gadis Berlesung Pipit
Ada pesan sumbing dari surat kabar pagi ini, isinya
begini;
“Mengapa tidak semua orang memiliki lesung pipit?
Fenomena lesung pipit dipengaruhi oleh faktor genetik dan diperlukan gen lesung
pipit yang dominan. Jika salah satu orang tua atau kekek-neneknya memiliki
lesung pipit, maka ada kemungkinan lesung pipit ini akan diturunkan ke generasi
berikutnya. Anak-anak yang terlahir dari salah satu orang tua dengan lesung
pipit akan memiliki kesempatan sebesar 25-100 persen.”
Apakah iya, fenomena lesung pipit dipengaruhi oleh
faktor genetik?
Tapi, aku kurang begitu yakin, sebab banyak kesahihan
fakta yang tidak berangkat dari sana. Ia berangkat dari jalan-jalan lain.
Pesantren MandiriPesantren Mandiri
Setelah melepas
kepergiaan bulan suci, bulan yang fitrah dan hari kemenangan umat muslim se dunia
(Idul Fitri), kini tiba momentum mendebarkan, yaitu mudik balik ke tempat
rantau masing-masing. Seketika itu, biasanya ada orang yang membawa rekan kerja
baru, membawa teman belajarnya, ada pula yang memang merantau sendiri tanpa kenal
satu pun orang sebelumnya di tempat rantau. Begitupun yang tengah dirasakan
para santri yang ingin balik mudik ke pondok pesantren, sama-sama dilanda
luka-dukana.
Ini pula yang
dirasakan segenap santri mandiri besutan almarhum Pengasuh muda asal Kediri
Jawa Timur, Gus Arifin Thoha. Meskipun secara kuantitas santri yang tidak
begitu banyak, tapi pesantren ini terbilang pesantren yang komplit, di berbagai
bagian. Di pesantren ini tidak cuma mengajarkan tentang ke-Islaman semata, tapi
juga mengajarkan kemandirian, keuletan, kedisiplinan dan ke ke lainnya. Namun
yang sering terindra masyarakat ramai ialah “pesantren mandiri.”
Mengapa tidak,
pesantren ini memiliki tradisi mengikat yang mewajibkan para santrinya untuk
hidup mandiri, tak ayal jika ada yang jualan koran, ada yang kerja serabutan ketika
tidak tabrakan kegiatan pondok, tapi kebanyakan dari santrinya mencari rezeki
dari kegiatan menulis ke media massa, cetak maupun eletronik. Mereka menulis
puisi, cerpen, artikel, opini, kolom, surat mahasiswa, dan resensi buku. Jadi
selain santri dapat honor tulisan, juga yang tak bisa ditinggalkan adalah
mereka akan terkenal laiknya artis, namanya yang sering gentayangan di media, maka
ia akan menghantui hati semua pembacanya.
Di pesantren yang
santrinya tidak genap 100 orang ini, di huni kaum adam aja, dengan beribu
cerita nyentrik, perjuangan, pengabdian, dan sejenisnya. Maka bukan rahasia
umum lagi kalau keluaran pondok ini bisa dikatan melek daratan, pada genius, pinter, dan tentunya dapat
predikat seorang sastrawan, karena hobinya merakit kata-kata.
***
Kemanusiaan telah Diculik
“Kemanusiaan telah diculik!, tolong..!!,” suara bernada
kalap seorang anak kecil seketika mengagetkanku, dalam dudukku tengah bersila
di atas tikar plastik lepau makanan, Semangkuk es cendol yang baru saja dibeli terpaksa
kuurungkan diteguk, alih-alih mendengar erangan si anak kecil itu kian
menjadi-jadi. Sambil menatapku dengan tatapan kosong, aku hanyut dalam
kepanikannya.
Wajahnya
tampak begitu lelah, pucat pasi, seolah-olah baru saja lari maraton dari Sabang
sampai Merauke, yang jauhnya berkilo-kilometer. meski ia tak hentinya menatapku
tajam, entah mengapa aku tidak menemukan refleksi ketidak-warasan dalam bulatan
hitam matanya. “Sungguh aneh anak ini!.”
“Kemanusiaan
telah diculik!” lagi-lagi kalimat separas mengalun lugas dari mulutnya, “saya
sudah mencarinya ke seluruh tempat, di kolong jembatan, di pasar, di perumahan,
sekolahan, penjara, bahkan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, tetap tidak
ada, nihil, saya harus mencari kemana?”. Ceracaunya lagi, linglung. Tangannya
yang memegang sebuah map berwarna hitam tampak gemetar, matanya pun semakin
memerah dengan lingkaran hitam di pinggirnya, tubuhnya gigil gemetar. Aku semakin
merasa aneh dan kurang nyaman dengannya, tiba-tiba ia semakin dekat menujuku dan
menggila dihadapanku.
“Kemanusiaan telah diculik..! Kemanusiaan telah
diculik..!!.”
***
Kita Pasti Pulang!
Alangkah
malunya aku, kalau peristiwa tahun lalu itu terulang lagi, betapa malunya aku
pada anak perempuanku, dan alangkah hinanya aku di hadapan istriku, kalau-kalau
tahun ini kami tidak bisa mudik lagi ke kampung halaman. Masih kuingat, sekawah
air mata kekecewaan yang menggenang di sepasang mata istri dan anak perempuanku.
Maafkan aku nak! Maafkan aku bu!.
Tiada
kata yang dapat mewakili, betapa senangnya, bangga, dan indahnya merayakan
lebaran bersama orang-orang yang kita cintai, apalagi dengan keluarga kita yang
telah lama sekali tidak berjumpa, di kampung sana, yang begitu jauh, ada eyang,
om, tante, dan teman atau tetangga lama. Bisa dibayangkan kemesraan penuh cinta
akan tercipta di sana.
Begitupun
aku, anakku, dan istriku yang juga ingin berbagi rasa rindu dan cinta pada
keluarga yang telah berpisah begitu lama.
Sewaktu
sore yang menjemukan, ketika aku tengah duduk tengadah di beranda rumah
kontrakan, tiba-tiba istriku datang dengan membawa mimik aneh yang lain dari biasanya; “Mas, bagaimana mudiknya tahun ini?,
jadi, tidak?”. Tiba-tiba istriku melemparkan pertanyaan itu, yang memang dari
tadi aku piikirkan, bahkan mulai tahun lalu. “Insya’allah dik, kita pasti
pulang kampung, tenang saja jangan kau terlalu mengkhawatirkannya.” “ya, terima
kasih Mas, kamu memang suami yang baik dan pengertian,” sambung istriku sambil ia
memelukiku hangat, Padahal sewaktu itu aku tambah bingung, bagaimana kita bisa
pulang kampung, keuangan keluarga kami memang tidak pernah imbang, penguluaran
lebih banyak dari pendapatan, hutang menumpuk dimana-mana.
***
Prostitusi Online
“Usiaku masih masih 17 tahun, duduk di bangku Sekolah
Menengah Atas (SMA) swasta, kelas X (sepuluh), aku suka pelajaran bahasa
Indonesia, sosiologi, dan biologi, banyak
yang heran karena kebiasaanku membaca komik dan cerita-cerita anak, jadinya aku
suka berkhayal dan menulis cerita keseharianku sendiri. Selain itu aku dikenal sipil
sebagai pribadi pendiam dan tak suka bergaul, ketika teman sejajarku asyik
bermain, jalan-jalan, dan shopping, aku
hanya di rumah membaca cerita dan menulis catatan kecil, tak khayal kalau aku
di sangka gadis psikopat dan absurd.”
Ulasan kata yang lewat tadi adalah biografi buku
catatan Amil, gadis remaja pendiam yang suka tamasya ke alam khayal, di muka cover buku itu tertencap terang sebuah tulisan
“Lukisan Wajahku” tulisan yang menjadi kepala buku dan wakil keseluruhan isinya.
di bagian selanjutnya tertera daftar isi cerita-cerita Amil, ada sembilan puluh
sembilan judul, dan tiga ratus halaman, Amil menulisnya sejak kelas 1 (satu)
SMP sampai sekarang. Dan dibagian akhir buku itu berisi biografi singkat Amil.
Barangkali kalau buku “Lukisan Wajahku” itu tidak terselip
di jendela kamar kecil rumahnya, Sri (ibunda Amil) pasti tidak akan tahu cerita
privat anaknya, dan kisah keseharian anaknya. awalnya Sri tidak langsung angkuh
membuka buku itu, tapi ketika kesetrum judul buku yang menyengat-nyengat, ia
membuka setiap halaman-perhalaman buku itu secara seksama, hingga tanpa disengaja
ia sampai di halaman 267, ia memergoki tulisan dengan kata –Tamasya dalam Dunia
Prostitusi Online-, sontak ia tambah
terperanjat dan memelototi setiap huruf, kata, dan kalimat secara cermat dan
hati-hati.
***
Kutangkap Senyummu
“Iya Om, Insya’allah aku ikut tahlilan”
“Ayo cepat pasang bajumu, kita
berangkat” tambah Omku kibang-kibut.
“Tapi lama tidak Om, nanti?”
“Tidak! sebentar saja kok Mad,
paling jam 11-an sudah kelar”
“Baiklah Om, kita berangkat”
Awalnya,
pikiranku mengakar dua atau ambigu dengan rayuan Omku yang mengajak ikut
tahlilan, tapi ketika rasa penasaranku kian memuncak, dengan senang hati aku ikut
saja dengannya, maklumlah sebagai orang asing dan pertama menginjakkan kaki di
kampung ini, pastilah ingin tahu segala hal, tradisi, kebudayaan, dan ingin
jauh masuk bergumul dengan masyarakat.
Baru
dua hari di kampung ini, terasa banyak yang kutemui dari sebelumnya, kelainan
yang tak pernah aku kecap di tempat indekos mahasiswa di jantung kota dulu,
termasuk ketika aku ikut tahlilan untuk yang pertama kalinya, setelah beberapa
tahun hidup di kota, dan tak pernah tahlilan, tapi tidak juga kalau
seumur-umur, pernah dulu; tapi sudah lupa ketiban usia. Ketika menginjakkan kaki di beranda rumah
orang yang melangsungkan tahlilan. Malam itu, aku mulai tidak nyaman dengan
bebauan yang malang-melintang di radiasi radar penciumanku, terasa menyengat,
dan terasa perih menusuk-nusuk. Bau apa ini? Gemuruh batin mempertanyakan.
Sparring
Rapat malam itu layaknya sidang
paripurna luar biasa di gedung DPR, tak ubahnya forum tertinggi yang merapatkan
wewenang dan tugas Negara. Bagaimana tidak, malam itu juga saling serang
pendapat, saling mengokohkan benteng argumentasi, dan menciptakan suasana pergolakan
sangat panas. Padahal yang dirapatkan hanya sparring futsal dengan tim KMJ (Komunitas Marditila
Jakarta). Komunitas anak Jakarta yang menuntut ilmu ke Bakburu, daerah di
sekitar bibir kota Bantul.
Kebetulan bang Apung yang jadi promotor
sparring itu, ia yang pontang panting
cari lawan tanding, dan ketemulah dengan KMJ-Jakarta, walau melalui perdebatan
yang sangat alot. Malam itu bang Apung dahulu yang memancing peserta rapat.
“Bagaimana ini teman-teman, kita sparring-nya hari apa dan
tanggal berapa?”
“Gimana kalau kamis” jawab salah satu peserta rapat yang
badannya gemuk.
“Jangan broo,
kan kamis aku kuliah.” Sahut orang yang berkumis tipis.
“Bagaimana kalau hari jum’at?”
“Ehh, enak saja!! aku dan Lihen kan harus jaga warnet”
sahut peserta rapat lainnya.
“Hhhmm..!!!”
Bumi seakan malas berputar, tak ada tanda-tanda
kehidupan, semua diam. Dan peserta rapat itu pun tertegun. Malam itu seakan
tambah senyap. Karena mereka tak juga nemu kapan waktu untuk sparring futsal.
Khufy
Ketika matahari menyelipkan sinarnya
pada ketiak senja, Khufy tiba-tiba menciutkan mimpinya untuk main layang-layang, sepasang bola matanya memerah dan
tiba-tiba membentuk sebuah kawah yang meletuskan lava pijar, air matanya sudah
tidak bisa dibendung lagi, betapa ia tidak sanggup untuk berpisah dengan
sahabat-sahabatnya;
“Ayo kawan..!!, jadi tidak main layangannya?”
“iya, tunggu sebentar lagi.” Khufy masuk kembali ke dalam
rumah, dan membelas pada emaknya, minta izin.
“mau kemana cong?”
sahut ibunya selidik.
“ini emak, main layang-layang!”
“eh..!!, kamu kan sudah mau berangkat sekarang ke
Yogyakarta?” si emak menanggul keinginan Khufy untuk main layangan.
“tapi emak..!!”
“tidak ada tapi-tapian, bagaimana kalau kamu telat,
tidak dapat bis, atau tidak lulus tes masuk perguruan tinggi nanti, jika kamu tetap
seperti ini, jangan harap kamu dapat izin lagi untuk merantau atau pun kuliah.”
Mendengar tausiah si emak, Khufy tambah banter
memuntahkan air mata, ia tak sanggup jika tahun ini tidak kuliah, apalagi tak
punya kesempatan main layangan dengan
sahabatnya untuk yang terakhir kali.
Dengan tubuh berayun-ayun ia-pun keluar rumah.
“saya tidak bisa main layangan kawan, kamu main
sendiri saja ya..!!”
“memangnya kamu kemana?” temannya mengejar
pembicaraan.
“saya.. saya.. mau pergi untuk waktu yang sangat lama
kawan” Kelakar Khufy gelagapan, ia tak kuat menahan isak dan rasa haru.
“saya, mau merantau kawan, kepengin kuliah, dan
sekonyong-konyongnya cari kerja.” Tambahnya terkosel-kosel.
“terus kapan berangkatnya?”
“sekarang” Khufy tertunduk menyematkan jawaban.
“ya suudah kawan, baik-baik di sana, dan semoga apa
yang dicari segera didapat dan terkabulkan Tuhan.”
“amien..!! terima
kasih kawan.”
***
Serangan Fajar
Langit tak ingin menyudahi air matanya, ia mengguyuri perabot bumi dan fajar di pagi
hari, gedung, pepohonan, satwa, dan manusiapun menggigil tak berdaya, angin
menyerang di sudut-sudut waktu. Semalaman hujan ini tak kunjung reda, namun
dinginnya tak hinggap ke satu
rumah bertingkat itu, yang mulai
malam tadi mendidih
karena
membias kepentingan tak tersalurkan, hujan telah memucatkan siasat
Ridla (pemilik rumah) untuk menabur
bungkusan plastik hitam ke masyarakat,
di dalamnya mengeram sembako dan amplop putih berisi pecahan uang dua ratus ribu.
Ridla akan membeli
suara masyarakat dengan bungkusan hitam, ia yakin kalau segalanya bisa dibeli
dengan materi, apalagi untuk membeli hati masyarakat Desa Banyu-urib, “seperti
mudahnya membalikkan telapak tangan”.
Ridla salah satu kandidat Kepala Desa Banyu-urib, dikenal ramai sebagai pribadi yang trengginas, keras
kepala, tertutup, dan egois, siapa pun yang melerai kemauannya, tak segan ia membikin sengsara bahkan
mencabut nyawa,
keinginannya tak bisa di otak atik laiknya keabsahan surga-neraka.
Di tahun ini, dalam pencalonannya yang kedua kali, Ridla
telah
menyiapkan modal besar untuk
memenangkan PILKADES. tak tanggung-tanggung uang senilai tujuh miliar, tiga
ratus lima puluh orang bajingan, dan seratus
kyai
keranjang bermata kalap telah
dipersiapkan Ridla,
babu-babu itu ia dapat secara gampangan. Cukup diberi makan, rokok dan duit ganti keringat, mereka telah ngangguk-ngangguk siap
dicekoki pekerjakan. Tak lain semuanya hanyalah untuk membentengi misi
sebagai Kepala Desa, dan dari serangan-serangan lawan politik.
***
Sedang di rumah
sederhana berdinding bidhik, beratap jerami, dan berlantai tanah guntai.
Berdiam kelurga kecil yang jumlah penghuninya tiga jiwa, si bapak, ibu, dan
satu anak laki-laki berumur enam tahun. Ahmad sebagai presiden keluarga hanya bekerja
sebagai kuli salang di pasar, ia juga dikenal sebagai takmir masjid, dan sering
memimpin kambrat yasinan di Desa Banyu-urib. Masyarakat ramai-pun segan
dengannya.
Berangkat dari
keterpaksaan, dan dari desakan masyarakat untuk mengubah desa Banyu-urib, diam-diam
Ahmad ikut mencalonkan diri menjadi Kepala Desa. Ia sangat pesimis akan hal
ini, bahkan ia sempat menghilang berminggu-minggu untuk mencari ketenangan,
saking mindernya sebagai calon Kepala Desa, ia tak banyak pilihan, pencalonan
itu hanya membuat petaka untuknya dan keluarga, ia takut kalau terjadi apa-apa
menimpa keluarganya, ia pun hilang akal bagaimana memodali pencalonannya, jangankan
untuk biaya pendafataran yang sangat mahal. Untuk makan sehari-hari saja masih
ngutang kesana-sini.
“Atau aku mati saja ya?” bahasa yang
selalu melintas di kepala Ahmad.
Untung kesediaan
masyarakat berbuah jawaban, sebagian kebutuhan pencalonan dilengkapinya, mulai
dari uang pendaftaran dan lubang kebutuhan lainnya, sekali pun jumlahnya tak
seberapa, setidaknya mendinginkan kepala Ahmad yang sejauh ini pening.
Tak ada ritual
khusus yang Ahmad lakukan, di rumahnya ia hanya yasinan dan memanjatkan doa-doa
untuk mendapat keselamatan, Yang hadir pun itu-itu saja. Masyarakat pengusung, kerabat,
dan keluarga. Ahmad lalkukan itu setiap malam tak pernah bolos sampai pemilihan.
***
Ketika waktu menggelinding,
akrobat jarum jam menunjuk angka sepuluh. Aroma malam menikam sukma, suasana begitu
mencekam, rumah Ridla mengeluarkan asap, seakan di kompori dari bawah, Ridla tengah
marah besar karena tahu lawan politiknya si Ahmad, sebab mereka begitu dekat
dan bersahabat dari SD sampai sekarang. Tapi bagaimanapun bentuknya, bukan Ridla
kalau masih iba dan belas hati.
“kalian harus lebih
giat menabur uang, karena lawan politik kita adalah seorang Ustad, pasti dia
suka menabur pituah kepada masyarakat, ambil hati masyarakat dengan uang” Ridla
tampak gelisah, meniban perintah pada babu-babunya.
“siap Gan” sahut
babunya serentak.
“tapi apakah bisa
Gan” tambah salah satu anak buahnya yang dari tadi diam.
“maksud kamu apa?”.
Ridla tampak menyidik.
“iya Gan, waktu
kemarin saya membagi-bagikan bungkusan kepada masyarakat, mereka pada nggak mau
dan tampak acuh”
“mengapa kau tidak
paksa saja, dan kalau melawan potong saja tangannya” Ridla tambah geram.
“ooo, siap Gan”
“Ada masalah lagi?”
Tambah Ridla membuka pintu.
“Ada Gan” kyai yang
dari tadi bengung, ngacung.
“gini Gan! waktu
saya bertapa tadi malam, saya mendapat wangsit dari datuk Pruwareng, kalau di
tempat pemilihan nanti, perintahnya harus ditanami jarum biku, dan darah ayam
jantan”. Sang kyai menimbun cerita dan meyakinkan Ridla.
“baik jika begitu,
kita siapkan segalanya”
“Jadi, semua siaga
di posisi kalian, dan pahami tugas kalian masing-masing, mala mini kita akan
melakukan serangan-serangan”.
“siap Gan”. Sahut
mereka akur.
Ketika semua
berpencar, tiba-tiba tangan Ridla melambai keras dibarengi suara menyembur dari
mulutnya, “Parid, sini dulu!” panggilnya pada dirigen bajingan: “saya tak mau
tahu caranya, kamu harus bunuh Ahmad malam mini juga”.
Di bawah bulan
temaram, dan di atas bumi berlendir, anak buah Ridla menyusur keheningan waktu,
malam ini tertanggal malam tenang yang tak satu pun orang bisa keluyuran. Malam
yang sangat sunyi dari yang sudah-sudah, dan malam petaka bagi siapa saja yang
ketahuan batang hidungnya. Tapi Pasukan Ridla mengindahkan hal itu, mereka pun
diam-diam menabur uang, ada yang menanam jarum biku dan mengubur darah ayam
jantan di tempat pemilihan, ada yang mencuri surat suara, dan ada yang
mengintai rumah Ahmad beserta geliat pendukungnya.
Sementara di bawah
rimbunan pohon pisang belakang rumah Ahmad, seorang bertopeng membawa celurit
mengintai, di balik topeng itu terselip wajah Parid, ia berencana membunuh
Ahmad.
Tak menunggu lama, tiba-tiba Ahmad
keluar rumah untuk buang hajat, dan secepat kilat Parid menyergap mentah-mentah
dari balik pohon pisang, ia langsung meringkus tangan Ahmad, dan memenggal
kepalanya tanpa belas, kemudian Parid menyeret sang mayat dan membuang jasadnya
ke kebun tebu.
Dari serangan-serangan
yang di kemas Ridla dan anak buahnya, sejauh ini berputar baik sesuai porosnya.
keheningan malam itu pun kian melantunkan kengerian, tiba-tiba suara ngilu
terlantun dari pengeras suara di masjid:
Tolong…! Tolong…!
Ada mayat mengapung di tengah sungai, tolong..!!
Suara itu menyusup
batin, dan tersalurkan ke semua pasang telinga masyarakat Banyu-urib,
masyarakat serentak mengerebungi tepian sungai, mereka saling tanya tentang mayat
siapa yang mengambang. Tapi usaha mereka tidak berbuah hasil, tak ada yang tahu
itu mayat siapa. Namun ketika masyarakat setempat menarik mayat itu ke bibir
sungai, alih-alih jawaban mulai mengemuka, mereka tertegun rapi ketika mayat
lelaki di baringkan, tubuhnya gemuk, berewokan, dan kepalanya gondrong.
“Innalillahiraji’un”
ini mayat Bapak Ridla, kok bisa mati mengenaskan begini, siapa yang tega
berbuat nista.
***
Roro Angger
Saban malam,
pohon beringin itu melambai disentuh angin, seolah mengabarkan kedatangan arwah
di area pemakaman, ketika rembulan baru mengecup kening bumi, ia menyebarkan
cahaya pada kesendirian keranda dan berpasang batu nisan. Ada ritus kejiwaan di
tanah seluas satu hektar itu, ritus minta perlindungan dan keselamatan, sepenggal kepala banteng, dupa, dan kembang
tujuh rupa menjadi sesembahan, masyarakat bersepakat dengan arwah-arwah tempat
pembaringan terakhir manusia, di tanah guntai yang keberadaannya di jantung
desa adalah tempat lalu lalang masyarakat setempat.
Pemakaman
Roro Angger memang sulit mendapat tempat di hati masyarakat, namun siapa yang
tidak mengenalnya, karena area pemakaman itu satu-satunya di desa Polagan dan menjadi
pemakaman umum sejak nenek moyang dahulu, pohonnya yang bercabang, tanahnya yang
bergelombang, dan sengit bau kemenyan riuh rendah menambah mistis Roro Angger. nama
seram yang ia kenakan dan sering menjadi buah bibir berpuluh-puluh tahun
lamanya.
Roro Angger
menjadi denyut kemistikan desa Polagan, desa yang sejak dahulu mengeram
kegaiban-kegaiban, tak ada yang
menjangkau muasal mengapa Roro Angger disakralkan, ditakuti, dan disucikan?. Masyarakat
sangat merahasiakan, dan mendapat malapetaka jika sekali-kali menyinggungnya, Tapi
dari sekian runut kemistikan Roro Angger ada seorang yang mafhum dan mengetahui
muasal mengapa pemakaman itu disakralkan? Ia seorang juru jaga sekaligus
pewaris kunci sejarah pemakaman Roro Angger, ia mengetahui segalanya tentang
Roro Angger.
***
Gadis Bartender
Seluas
samudra, tanda-tanya itu menghampar di ruang kosong kepala. Seruncing dakar jarum,
tanda tanya itu mencocok saraf kepala. Dan layaknya sebutir debu, tanda tanya itu
beterbangan di tempurung kepala, tanda tanya dan paceklik di kepala Jamilah, tanda
tanya yang semakin terang, tanda tanya yang semakin kejam menghantui, tanda tanya
yang menggunung semenjak Jamilah berdiam di kelas dua Madrasah Aliyah. Ia
sekarang di ujung tanduk, bercokol di kelas akhir salah satu Madrasah di
kampung.
Sedari hasil akhir ujian nasional
direngkuh Jamilah, Ia orang pertama yang merasa bahagia sebelum yang lain,
siapa yang tak bahagia kalau lulus UN dengan predikat terbaik, Ia-pun demikian,
hingga sempat meneteskan air mata, lantaran rawan terharu bangga, namun
kebahagian itu mengular duka, duka karena Ia harus melanjutkan kemana studinya
setalah ini, duka dengan geliat masa depan yang teramat misteri, dan duka akan
tanggung jawab sebagai seorang intelektual di keluarga dan kampungnya.
Dengan mencengkram ijazah yang baru
ia dapati, tanda tanya itu semakin bertambah jumlahnya, walau jasadnya tengah
sampai rumah, tapi pikirannya terus gentayangan menyusur waktu dan mimpinya
sebagai mahasiswa kedokteran.
***
Gus Anwar
“Punawar”
adalah nama jenaka yang kubuat untuknya, nama kawakan tua di usia mudanya, nama
masyhur di pandangan para santri, nama itu ku-bikin ketika bersahabat karib dengan
Anwar Fuadi, santri baru Pondok Pesantren An-Najah, santri baru yang pertama
aku melihatnya sudah tak bernafsu, santri baru yang tak semangat hidup, matanya
tak menganga penuh, tubuhnya kurus, ringkih, dan runduk. Aku pun terpaksa
mengenalnya.
Kubawa Anwar Fuadi ke Daerah Al-Ghazali
blok-D. Nama salah satu daerah dan asrama pondok Pesantren An-Najah, di mana Ia
akan berdiam dan dipenjara dari kemasiatan.
“silahkan masuk Mas Anwar” aku
mempersilahkan.
Pertamanya
aku dilema mau panggil apa, tapi ketika aku tahu Anwar dari kota, maka aku
panggil Mas saja.
“oiyaa..yaa.. Ndoro!” sahutnya
menguliti perasaanku.
Mengapa
Ia panggil Ndoro? bukan Kakak, Mas, atau Salihin saja. Dia begitu lancang,
sebagai santri baru dan belum kenal jauh denganku.
“di sini tempat tidurmu, kamar ini
berisi empat puluh orang santri, lemarimu di ujung sana, dan warna putih itu lemariku,
jadi mulai saat ini kamu sah menjadi santri Pondok Pesantren An-Najah.”
Timpalku untuk menyambut santri baru agar Ia kerasan. “seandainya ini bukan
karena perintah Kyai Bakir, siapa juga berbaik hati dengan santri baru yang
kena psikopat itu”.
Bang, Bangun...!!
Dari batang
tubuh bus antar kota, riuh rendah suara itu terdengar lagi, suara pengasong
makanan ringan dan minuman pembasah kerongkongan, suara itu melantun lagi,
suara pengamen yang menggoyang bus dengan tabuh gendang dan gelitik gitar, atau
keriuhan penumpang yang mengatupkan mulut untuk bercakap, hingga semua
mengental dan beterbangan di sawang langit bus.
Barangkali
cuma aku yang menyumbat sepasang daun telinga, saking ketakterimaannku terhadap
bunyi-bunyian yang menyesakkan dada dan memerihkan mata, dari Prenduan tempat
aku bermula, di dalam bus, sebuah kursi lusuh menunggu kedatanganku, ia salah
satu kursi kembar dempet tiga, paling hilir dan paling buruk rupa, dengan perasan cacat terpaksa aku manut dan
meng-iyakan seorang kondektur bus yang tiba-tiba menuntunku ke letak kursi
kosong itu, “ini adalah bus terburuk,
terjelek, terbau, dan (ter-ter) lainnya” gumamku dalam hati, dan protesku
terhadap transportasi umum negeri ini.
“mau kemana
Mas?” Kondektur itu membuyarkan kampanyeku.
“Surabaya!”
jawabku ketus,
“Lima puluh
empat ribu,” sambil ia sodorkan selembar karcis ke wajahku.
“Apa pak..
lima puluh empat ribu?, nggak kemurahan pak”, aku menyindir, “biasanya
Prenduan-Surabaya itu tiga puluh lima ribu pak, itu pun dengan bus-AC dan tentu
dengan kursi empuk, tidak segepeng dan secalar kursi bus ini”,
“yaahh, mau
bayar atau turun?” jawabnya membangun benteng pertahanan.
“Jangan gitu juga
pak, coba mengerti saya, selama saya hilir mudik Prenduan-Surabaya memang tak
semahal itu, paling naik sedikit aja,
lagian sekasar itukah bapak terhadap pelajar sepertiku”
Kondektur itu
diam dan tampak merencanakan sesuatu,
“Ya sudah, bayar
empat puluh lima ribu wes”. ia menurunkan
harga, dan mengakhiri tawar menawar.
“Ini pak”
terima kasih atas entakannya.
***
Lebih Baik Menggelandang
Embun malam pergantian musim menyisakan kesejukan dan
air mata, angin pun mengerudungi sebuah bangsal kayu yang kusebut itu rumah,
walau kebanyakan orang menyebutnya gudang, bedeng, dan sebuah kandang tapi buatku sebuah istana
kerajaan, di bawah atap seng yang berlubang dengan mudahnya kami berempat
melihat kelip bintang dan pancaran bulan, di selimuti anyam bambu yang menganga
begitu mudahnya kami dipeluk angin dan dirembesi hujan, diantara puluhan rumah
yang berdiri kokoh rumah kami yang paling gampang roboh, kami keluarga paling
miskin dan paling sering ketiban bencana. apalagi bencana kelaparan dan
kebutuhan hidup lainnya.
Di
antara bapak dan anak-anakku, akulah yang merangkul semua pekerjaan rumah
sekaligus mencari nafkah. Bagaimanapun aku tak bisa menyangkal, ini adalah
seleksi alam yang mau tidak mau musti aku kerjakan, suamiku sudah tiga tahun
belakangan ini sakit-sakitan, dan sekian lamanya tidak bisa bekerja.
***
Selasa, 19 Juli 2016
Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan menjadi Mahasiswa
Mendengar kata “Mahasiswa” image menor nan indah terbayang di
kepalaku. Membayangkan mahasiswa adalah persekongkolan manusia kelas elit, borjuis,
manusia dengan otak cerdik dan memiliki segalanya termasuk jas almamater yang
begitu menggoda itu. Akupun begitu nafsu untuk berstatus mahasiswa, bayangan
yang terus membuntutiku ketika kelas dua Madrasah Aliyah di salah satu Pondok
Pesantren Daerah Sumenep Madura.
Dimulai dari keambiguanku yang
sebenarnya wajib memilih antara melanjutkan mondok dan kuliah. Waktu itu sempat
aku korek-korek informasi tentang beberapa pesantren di dalam dan luar Madura, Annuqayyah
dan Sidogiri salah satunya. Tidak hanya satu-dua bulan waktu yang dibutuhkan
untuk survey pesantren tersebut, tiga
tahun dari awal masuk kelas satu MA bahkan. Karena atmosfer religius, hangat, kental
bin gawat di pesantrenku, laksana mewajibkan kelas akhir untuk mondok di pesantren
lain. “Boleh sih kuliah, tapi yang ada pesantrennya, atau boleh kuliah tapi
tinggalnya harus di pesantren.” Ujar salah satu pengasuhku.
Kamis, 14 Juli 2016
Aku Pasti Bisa Menulis
Judul Buku : Panduan Lengkap Menjadi Penulis Handal
Penulis
: Sri Wintala Achmad
Cetakan
: I, Juni 2015
Penerbit
: Araska
ISBN : 978-602-300-149-1
Tebal
: 14x20,5 cm, 224 Halaman
Peresensi
: Khairul Mufid Jr*
Banyak yang
tumbang di tengah jalan ketika bermimpi menjadi seorang penulis, banyak yang
gantung pena ketika sudah mulai menulis, dan banyak pula penulis sudah bisa
menulis tapi pada akhirnya berhenti menulis karena ia tidak bisa berharap
banyak pada kegiatan menulis. Akhirnya mereka terkapar mati di tepian (mimpi
jadi penulis) padahal sudah lama sekali mereka tancapakan mimpi itu di dada dan
berharap akan memanen buahnya kelak. Menjadi seorang penulis tidak mudah, tidak
semudah membalikkan dua telapak tangan atau tidak semudah menghisap rokok lalu
asapnya disemburkan ke segala penjuru. Menulis membutuhkan proses, ketekunan,
kesabaran, dan bekerja keras.
Siapa Syekh Abdul Qadir Jailani?
Judul : Berguru pada Sulthanul Auliya’
Syekh Abdul Qadir Jailani
Penulis : Samsul Ma’arif
Penerbit : Araska
Cetakan : 1, April 2016
Tebal : 14x20.5 cm, 220 Halaman
ISBN : 978-602-300-246-7
Peresensi : Khairul Mufid Jr*
Kemasyhuran
Syekh Abdul Qadir al-Jailani di kalangan umat Islam Indonesia, bahkan dunia
sudah tidak diragukan lagi. Orang Islam mengenal beliau sebagai “Pemimpin Para
Wali.” Di dunia barat dikenal sebagai Syaikhul Islam dan Filsuf Islam.
Bahkan seorang penulis muslim Jerman, Mehmed Ali Aini (1967) menyebut
al-Jailani sebagai “Orang Suci Terbesar Dunia.”
Banyak
perbedaan yang menyebutkan tentang tahun kelahiran Syekh Abdul Qadir
al-Jailani. Berdasarkan sumber yang banyak menyebutkan bahwa beliau lahir pada
470 H (1077 M) seperti dalam Mawa’idz karya Syekh Shalih Ahmad as-Syami.
Ada pula yang mengatakan beliau lahir pada tahun 480 H (1078 M) dan wafat tahun
561 H (1166 M) di Baghdad.
Shio, dan Beberapa Misteri
Judul :
Kitab Peruntungan Shio
Penulis : Liana Devi P.
Penerbit
: Araska
Cetakan : 1, Januari 2016
Tebal : 14x20,5 cm 204 Halaman
ISBN : 978-602-300-207-8
Peresensi : Khairul Mufid Jr*
Shio
adalah simbol hewan yang mewakili 12 siklus tahunan dalam astrologi China.
Dengan shio yang mewakili konsep siklus waktu telah menjadi kalender bulan China
dan dibuat berdasarkan siklus dari bulan. Dalam kalender China, awal tahun
dimulai antara akhir januari dan awal februari, sebuah metode siklus yang
merupakan perekaman tahun ke dalam dua belas tanda hewan dan setiap tahun
ditandai dengan nama hewan atau “Shio”.
Di Balik Pesona Majapahit
Judul : Di
Balik Pesona dan Sisi Kelam Majapahit (Sebuah Catatan Sejarah yang Tercecer dan disembunyikan)
Penulis : Krisna
Bayu Adji
Penerbit
: Araska
Cetakan : 1, Maret
2016
Tebal : 13x20,5, 256 Halaman
ISBN : 978-602-300-243-6
Peresensi : Khairul Mufid Jr*
Buku ini secara jamak menceritakan
tentang pesona dan sisi kelam Kerajaan Majapahit di abat ke 12 hingga 15 M. Salah
satu kerajaan tersohor di Tanah Jawa, Majapahit didirikan oleh Dyah Wijaya di
wilayah Hutan Tarik pada 1293 M. Kerajaan yang lahir di kota Tlatah Mojokerto
Jawa Timur ini memiliki usia yang cukup tua, sekira 234 tahun antara tahun
1293-1527 M. Dipimpin oleh dua belas raja, 10 laki-laki dan 2 perempuan.
Menjadi Singa Mimbar
Judul Buk
Materi KULTUM Ustadz Gaul
Penulis
: Ust. M. Maghfur Amin
Cetakan
: I, Juni 2015
Penerbit
: Araska
ISBN : 978-602-300-145-3
Tebal : 224 Halaman: 14x20,5 cm.
Peresensi
: Khairul Mufid Jr*
Menjadi seorang ustadz/dai kondang,
tidak cukup dengan bekal fasih melafalkan Al-Qur’an saja, namun juga harus
pintar dalam retorika penyampaian dan pengayaan materi yang ingin disampaikan. Dan
dengan mempersiapkan fisik serta menangguhkan mental baja maka sang dai siap
tampil di atas mimbar dakwah.
Karena menjadi seorang dai sulit
sekali kalau tidak dilatih, mereka akan gemetaran menghadapi puluhan ribu jamaah
manakala tidak terbiasa di atas mimbar, apalagi ketika kekurangan meteri yang
ingin disampaikan, bisa dibayangkan sang dai akan gusar, gelisah dengan rembesan
keringat yang mulai menyumbar. Untuk menyampaikan KULTUM (Kuliah Tujuh Menit)
misalkan, seorang ustadz/dai juga dituntut untuk mempersiapkan materi
ceramahnya secara baik.
Mengenai Saya
Popular Posts
-
Google.com Sang Comandante Fidel Alejandro Castro Ruz, telah meninggal dunia pada jumat (25/11) pukul 10:30 malam waktu setempat. Kuba ...
-
Masih lekat dalam ingatan saya ketika mengikuti dialog sirkus sastra Salihara 11 Maret 2014, waktu itu Penyair Sapardi Joko Damono d...
-
Puisi adalah sebuah karya fiksi yang begitu mistik untuk dicerna, bahasanya yang puitik, kata-katanya yang efektif, dan pengandaiann...
Blog Archive
-
▼
2016
(69)
-
▼
Juli
(53)
- Sepetak Surga di Madura (Isra Mi’raj ke Gili Labak)
- Khairul Mufid Jr on Galery
- Mengencingi Lenin
- Gadis Berlesung Pipit
- Pesantren MandiriPesantren Mandiri
- Kemanusiaan telah Diculik
- Kita Pasti Pulang!
- Prostitusi Online
- Kutangkap Senyummu
- Sparring
- Khufy
- Serangan Fajar
- Roro Angger
- Gadis Bartender
- Gus Anwar
- Bang, Bangun...!!
- Lebih Baik Menggelandang
- Tak Semudah Membalikkan Telapak Tangan menjadi Mah...
- Aku Pasti Bisa Menulis
- Siapa Syekh Abdul Qadir Jailani?
- Shio, dan Beberapa Misteri
- Di Balik Pesona Majapahit
- Menjadi Singa Mimbar
- “Trio Macan Indonesia” di Tengah Perjuangan Kemerd...
- Bonang: Guru Besar dari Jawa
- “Cogito Ergo Sum” Pencari Kebenaran Ilmu Pengetahuan
- Solutif Al-Qur’an terhadap Pelecehan Agama
- Kitab Cinta Kaum Muslimah
- Kembalikan Peradaban Islam di Eropa
- Keharusan Belajar Pidato Upacara
- Pentingnya Menghipnotis Konsumen
- Diskursus Raja-Raja Nusantara
- Daya Magis Jokowi
- Politikus yang Mengguncang Dunia
- Diponegoro sebagai Super Hero
- Empat Mata Rantai Amalan Sunnah
- Intrik Politik Mataram
- Mozaik Sepakbola Pesantren
- Kartini dan Euforia Buku
- Plagiator
- Pena dan Jarum Suntik
- Nobel, Jurnalis, dan Prosa Polifonik
- Mnemo Seorang Sastrawan
- Spionase Ketahanan Pengarang
- Dicari, Penerjemah Karya Sastra Andal dan Nakal
- Nobel untuk Sang Perawat Memori
- Hubungan Darah Sastra dan Lapar
- Peluru Wiji Thukul Tetap Mematikan
- Kita adalah Kritikus Sastra
- Ketika Puisi Berpolitik
- Apalah Arti Malam bagi Penyair?
- Sastra Indonesia dan Predikat In Cognita
-
▼
Juli
(53)