• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Sabtu, 25 Februari 2017

Kantin Bonbin, dan Eksistensi Komunitas Sastra Yogyakarta

Pewartayogya.com
Pada hari Sabtu tanggal (18/02) kemarin, kita disuguhkan dengan sebuah peristiwa nostalgik para sastrawan Yogyakarta. Adalah agenda kangen-kangenan sastrawan lawas, yang bertajuk “Sastra Lawas: Bonbin Reborn 2017” di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM. Ada nama keliber Jasmine, Sastro Moeni, Yennu Ariendra, dan Destraya yang tiap karyanya selalu memberi kebahagian itu datang meramaikan acara.

Malam itu ada aksi pembacaan puisi teaterikal Gunawan Maryanto, dentingan piano Frau, beat hangat DJ Innerlight, musik dangdut unit goyang, pop asyik Risky Summerbee and Honeythief dipandu Gepeng Kesana-kesini adalah mata rantai acara untuk menuntas rindu menahun tak bertemu.

Uniknya, para seniman jagongan Sastra UGM itu dipertemukan dan dibesarkan lewat kantin Bonbin, kantin Mahasiswa, dosen, dan karyawan (Madokar) UGM yang sangat melegenda itu. Di kantin itu, dahulu mereka ditempa persahabatan dengan perkelahian ide dan diskusi-diskusi yang memintal persoalan rumah tangga, asmara, hingga Negara. Sejarah itu yang membuat panitia memilih “Sastra Lawas: Bonbin Reborn 2017” sebagai tajuk reuni (Koran Merapi, 20/02).

Kantin Bonbin, didirikan oleh Almarhum Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri, S.H pada tahun 1987. Selain penunjang fasilitas kampus, usaha rektor ke-8 UGM itu untuk merelokasi pedagang yang berjualan dikawasan lain di seputaran UGM. Maka dibangunlah kantin Bonbin yang posisinya di area Fakultas Ilmu Bahasa. Satu persatu civitas akademika mulai terpaut hatinya pada suasana kebersamaan yang tercipta pada kantin tersebut.

Ya, kantin Bonbin adalah kantinnya hewan-hewan yang berpikir, tempat berkumpulnya mahasiswa dari berbagai fakultas seperti FIB, FEB, F.Psikologi F. Filsafat Fisipol dan F.Hukum. Bonbin juga sering disebut kantin rakyat. Seperti yang kita ketahui bahwasanya Bonbin selalu memarodikan harga jajanan yang murah-murah alias merakyat, jajanan yang beragam, dan penjualnya juga ramah, santai, dan boleh ngutang pula.

Sejak berdirinya, kantin Bonbin baru sekali mengalami renovasi pada sekitar tahun 2008-an. Sebelum tahun itu, kantin Bonbin masih seperti bentuk aslinya berupa shelter dengan bangunan terbuka dari beton dan atap genting press. Di tempat itu menampung lebih kurang ada sekitar 10-an pedagang makanan dan minuman.

Pada sekitar tahun 2008-an kantin Bonbin direnovasi dengan bantuan dari sebuah bank swasta. Bangunan tempat pedagang berjualan ditata lebih rapi dan dilengkapi dengan dua buah toilet. Kantin Bonbin sampai sekarang jauh lebih bersih dibandingkan sebelum tahun 2000-an.

Peristiwa kemanunggalan sastra dan Bonbin juga tidak bisa dipisahkan. Sebuah kantin mungil yang dulu berada di kawasan kampus Sastra itu adalah hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan lakon para seniman dan sastrwan. Bonbin adalah tempat yang mencetuskan ide-ide unik, cerdes, lucu, dan sarat kenangan indah untuk semua yang pernah bersentuhan dengannya. Bonbin adalah ruang untuk berbagi, membicarakan gerak-gerik kesusastraan, diskusi sastra, bahkan bedah buku sastra. Sehingga dari peristiwa perjumpaan itu melahirkan ritme eksotik dalam kehidupan dan dalam usaha merawat kesusastraan.

Dunia kesusastraan memang bukan dunia teater, ia lebih personal dan terasing. Seorang penyair atau cerpenis dalam berkarya bisa dimafhum untuk tidak bergantung pada kelompok atau komunitas. Seorang penyair bisa saja menulis puisi sendiri di kamar, bisa membaca tanpa berdiskusi sebelum menulis, lalu mengirimkan tulisannya ke Koran dan Majalah sendiri tanpa berkonsultasi sebelumnya. Itu sah-sah saja.

Tapi yang musti dipahami adalah dunia kepenulisan tidaklah sesederhana itu, kepenyairan bukan sekadar curahan hati saja. Lebih jauh lagi dunia kepenulisan juga tidak bisa diceraikan dari lingkungan kehidupan yang maha berkait-kelindan ini.

Maka yang dikatakan Acep Zam zam Noor begitu paralel dengan itu: “bergugurnya penyair-penyair muda berbakat tak sedikit yang disebabkan oleh tidak adanya komunikasi antarsesama penyair, atau tidak adanya komunitas yang menjadi kanal bagi kreativitas mereka”. Itu pun kita tidak bisa menafikan kalau Persada Studi Klub di bawah asuhan Umbu Landu Paringgi banyak melahirkan sastrawan-sastrawan berbakat. Disinilah pentingnya sebuah komunitas bagi para seniman, sastrawan, atau siapa pun untuk membangun sebuah iklim belajar, suasana dan visi bersama.

Di Yogyakarta selain pegiat sastra Bonbin, ratusan komunitas sastra baik yang bermukim di universitas atau komunitas sastra secara mandiri di pinggiran sana. Kita simak perjalanan komunitas Rumah Lebah, Rumah Poetika, Kajian Jum’at Sore, Bulaksumur, Tanda Baca, Jejak Imaji, Komunitas Rudal, serta Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Komunitas-komunitas ini terbukti melahirkan banyak penulis berbakat. AKY misalkan antara lain melahirkan Eka Kurniawan dan Puthut EA, sementara Rumah Lebah terbukti menelurkan Raudala Tanjung Banua dan Sunlie Thomas Alexander.

Dalam soal tema demikian pula, Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta berfokus pada dokumentasi sastra pesantren di bawah asuhan Kiai Zainal Arifin Thoha (alm). Sanggar kemanusian Sarkem mendokumentasikan peristiwa pertunjukan sastra. Lidah Ibu di bidang bahasa, Balai Bahasa khusus sastra lisan dan seni tradisi. Sementara untuk film dan kesusastraan bisa dipercayakan pada rumah sinema atau literasi.

Maka ketika Kantin Bonbin mau direnovasi, banyak civitas akademika dan seniman protes. Karena tempat itu tidak hanya sebagai tempat makan, tapi laiknya sebagai rumah atau kandang kreativitas. Tidak bisa dibendung ketika di semesta maya dan di lokasi Bonbin sendiri banyak poster-poster protes. Ada nada protes begini, “Bila Bonbin digusur, sediakan ruang laktasi untuk menyediakan ASI supaya generasi tua UGM semakin cerdas”, atau nada frustasi yang sampai ingin mengorbankan kuliahnya, “esok ra ngopi, aku raiso mikir, ojo salahke aku nek aku luluse suwi”.

Share:

Kantin

 Pengunjung Kantin UJB
Pagi ini pada kalender 24 Februari 2017, saya menyambangi kampus kawan yang letaknya persis di bantaran sungai Kali Nongo, dan di sektor timur diapit Pasar Pingit adalah Universitas Janabadra di Jl. Tentara Rakyat Mataram Yogyakarta. Akbar biasa dipanggil di kampusnya dan Komer untuk panggilan eksentriknya di pesantren Hasyim Asy’ari.

Bisa dibilang saya paling sering menyambangi Janabadra kalau dipresentasikan dengan kawan2 pesantren lainnya. Kampus  lain, misalkan UIN, ISI, UGM, UNY, UAD, UII, jarang saya berkunjung. Alasannya sederhana, saya dan Komer tak ada tumpangan masing2 dan terpaksa kami melipat jarak boncengan bolak-balik UMY (kampus saya) dengan Janabadra kampus Komer.

Janabadra didirikan pada 7 Oktober 1958 dengan nama Perguruan Tinggi Janabadra. Universitas ini menjadi salah satu universitas tertua di Kota Yogyakarta. Setelah disesuaikan dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi namanya diubah menjadi Universitas Janabadra

Di balik perjumpaan yang kesekian dengan kampus Janabadra, ada satu peristiwa unik nan mendebarkan. Salah satunya dengan banyaknya kawan dari Indonesia timur yang banyak berkeliaran di kampus ini. Komer juga banyak bercerita dengan suara lengkingnya tentang perjumpaan dan berkawan dengan mereka. Satu hal yang menjadi spirit bersama anak-anak timur yakni rela merantau jauh-jauh kesini untuk belajar di tengah isu santer pemberhentikan kontrak Freeport di Papua. Jamak dipahami kalau saudara kita menggantungkan perekonomiannya ke surga minyak itu.

Selain perjumpaan dengan Michael Kudiae, Syarif, dan Risdi ketika berpacu menulis esai di Indonesia Buku Yogyakarta. Saya juga sedikit mengenal kelucuan mereka ketika seorang comic Kompas TV si Ari Kriting dan Abdur sering membawa topik tentang Indonesia timur. Bagaimana topik yang mereka bawakan kadangkala melipir dan menggoncang aparatus negara, tentang kesenjangan dan pembangunan daerah yang tidak merata, alokasi anggaran dari pusat yang kadang tersendat disalurkan ke daerah-daerah nun jauh. Ini yang coba diubah generasi muda Indonesia timur ketika merantau jauh-jauh ke Kota Gudeg dengan membawa misi perubahan berkelanjutan.

Di losmen Janabadra ini, ada pemandangan unik ketika kantin-kantin yang jumlahnya enam kios itu menarasikan kebahagiaan, sarana berbagi, bercerita, ngopi, merokok, bahkan dari aparatus kampus juga lebur bersama dalam canda tawa. Ini mungkin langka ketika menilik kantin-kantin kampus lain, yang biasanya kesenjangan dan pengkhususan kantin dosen ya hanya untuk dosen, kantin mahasiswa yaa hanya hunian mahasiswa seperti di kampus saya.

Saya masih ingat ketika tahun 2014 masuk ke UMY, dan dipertemukan dengan kantin rakyat sebelah aula Sportorium pada sayap selatan kampus. Sebelum digusur, dahulu kami jagongan dan diskusi tentang dinamika kampus dan apa apun di kantin itu. Di sayap utara pun juga dibangun kantin rakyat yang  posisinya dekat Fakultas Teknik dan Kedokteran. Namun karena ketatnya kebijakan kampus akhirnya pada pertengahan 2015, kantin-kantin itu dibumihanguskan. Para pedagang yang sudah puluhan tahun mengais rezeki terpaksa harus menggulung warungnya untuk hengkang dari kampus muda mendunia itu. Tak ada relokasi dan tak ada yang tersisa.

Ini pun yang dirasakan mahasiswa UGM ketika relokasi kantin Bonbin yang dahulu posisinya di Fakultas Ilmu Bahasa. Banyak yang protes dan banyak poster disebar untuk menentang kebijakan kampus. Dahulu kantin Bonbin menjadi huniaan para seniman, sastrawan, dan civitas akademika yang tanpa kelas.

24/02/17 
Share:

Rabu, 22 Februari 2017

Misteri Pembunuhan Kim Jong-nam


Korea Utara seakan tidak pernah bosan memanggungkan kontroversi. Ketika dunia masih dipusingkan oleh percobaan peluncuran rudal dan pengembangan senjata nuklirnya, Korut kembali mencuri perhatian setelah pembunuhan Kim Jong-nam pada Senin (13/02), di Bandara Internasional Kuala Lumpur Malaysia. Nyawa Kim Jong-nam melayang setelah agen rahasia yang adalah seorang perempuan meracunnya dengan ricin atau tedrodotoksin (TTX) dan lebih mematikan dari sianida.

Dua tersangka perempuan yaitu Doan Thi Houng (Vietnam), dan Siti Aisyah (Indonesia) menjadi pelaku utama dalam pemnuhan itu. Seorang perempuan menyemprotkan cairan ke wajah korban, lalu perempuan lain langsung membekap dengan sapu tangan. Banyak pengamat berspekulasi bahwa keduanya, beserta dua tersangka lainnya adalah agen rahasia Korut di bawah nakhoda Presiden Kim Jong-un. Karena sejak berkuasa pada tahun 2011, Kim Jong-un dikenal sebagai pemimpin demagog dan otoriter.
Tercatat ada sejumlah pejabat dan anggota keluarga Kim Jong II yang tewas dieksekusi atas perintah Kim Jong-un. Mereka antara lain adalah Jenderal Jang Song-Thaek dan istrinya Kim Kyong-hui. Paman dan bibi Jong-un itu dibunuh pada tahun 2013 dan 2014 (KR, 20/02).

Spionase Cantik

Dengan diringkusnya dua perempuan dalam kasus pembunuhan Kim Jong-nam tidak mengagetkan banyak pihak. Karena kalau flashback sejarah kasus penghilangan nyawa yang dikaitkan dengan Korea Utara, banyak perempuan-perempuan yang memainkan peran utama.

Kita masih ingat spionase cantik Korut Kim Hyon-hui, yang pada 1987 melakukan pengeboman pesawat milik maskapai Korean Air. Kalau dibandingkan dengan dua perempuan pembunuhan Jong-nam memang tidak ada apa-apanya, karena mereka tampak maasih amatir. Bahkan Kim Hyon-hui mengatakan: “saya merasa curiga, tampaknya mereka tidak mendapatkan pendidikan fisik dan psikologi yang ketat dan tidak dilatih di Korut.”

Kim Hyon-hui yang dikenal dengan nama Ok Hwa itu sempat menghabiskan tujuh tahun untuk mempelajari seni menjadi mata-mata. Mulai bela diri, ketahanan fisik, hingga mempelajari bahasa dan budaya Jepang. Dia memang ditugaskan menyamar sebagai orang Jepang untuk melaksanakan tugas meledakkan pesawat Korean Air tersebut.

Pemerintah Korut kerap merekrut perempuan-perempuan cantik untuk dijadikan agen rahasia. Siapa yang tidak mengenal Wong Jeong-hwa, dia masuk ke unit komando khusus untuk dilatih menjadi agen rahasia. Won dilatih tentang bagaimana menggunakan senjata mematikan seperti jarum yang ujungnya beracun, bahan peledak, dan senjata-senjata lain. Dia juga dilatih melakukan peperangan di gunung, dan hampir seluruh agen rahasia Korut memiliki kemampuan menyelam. Mereka didoktrin sebelum diterjunkan ke lapangan. Tak ayal kalau Won pada 2001 berpura-pura membelot dan masuk ke Korsel. Dengan kecantikannya Won berhasil menarik perhatian para petinggi militer, dan ketika sudah dekat dia menawarkan seks sebagai ganti informasi-informasi penting yang dimiliki mereka.

Dalam misteri pembunuhan Kim Jong-nam itu pula, ada sosok kombatan sang peracik racun Ri Jong-chol. Pria kelahiran 06 Mei 1970 itu adalah alumni Saind dan Kedokteran salah satu universitas di Korut, dia lulus pada tahun 2000 dan pada tahun 2010 mengikuti pelatihan di Kalkuta, India. Dengan backround dan pendidikannya itu dia dikenal sebagai ahli pembuat racun, dan Polisi terus menyelidiki peranan Jong-chol dengan racun yang menewaskan Jong-nam.

Aisyah dan Indonesia

Tersangka Siti Aisyah (25) adalah kelahiran Serang, Banten, Indonesia. Untuk merenggut nyawa Kim Jong-nam Aisyah dihadiahi uang USD 100 atau sekitar Rp 1,3 juta oleh seorang pria misterius. Saat Aisyah diinterogasi dia mengaku bahwa aksinya itu hanya untuk melakukan syuting video lelucon. Kemudian Aisyah ditugasi menutup wajah Jong-nam dengan sapu tangan, sedangkan Doan menyemprotkan racun. Kedunaya beberapa kali melakukan geladi sebelum aksinya.

Meskipun alasan mereka tampak konyol, dan hanya sebagai alibi untuk menutupi tuduhan, tapi kasus ini sedari memusingkan Indonesia sebagai negara asal Siti Aisyah. Sementara ini Indonesia terus mengusahakan agar bisa bertemu langsung dengan Siti Aisyah. Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi telah melakukan komunikasi dengaan Menlu Malaysia (18/02). Dalam komunikasi tersebut, Retno menegaskan kembali permintaan Indonesia untuk memperoleh akses kekonsuleran terhadap Aisyah yang saat ini masih di tahanan. Tapi peluang melobi Korut juga akan sedikit tersaruk, sebab sikap introvert Korut yang tak mau membuka diri.

Direktur Perlindungan WNI dan BHI Lalu Muhammad Iqbal juga mengatkan, untuk menindaklanjuti komunikasi tersebut, pihaknya sudah menunjuk firma hukum Gooi & Azura sebagai kuasa hukum Aisyah. Tim kuasa hukum sudah ditugasi KBRI untuk melakukan pendampingan dan pembelaan hukum. Mereka telah bertemu dan berkoordinasi dengan penyidik di Kepolisian Sepang, Selangor, yang memproses kasus itu. Namun kata Iqbal, tim pengacara belum bisa bertemu Aisyah karena dia telah dipindahkan ke penjara lain.
 

Share:

Kamis, 09 Februari 2017

Mengembalikan Marwah Esai Sastra

Banyaknya sastrawan baru yang suntuk menulis puisi, cerpen, dan novel, ternyata menjadi antitesis dengan minimnya kritikus sastra yang intens menulis esai atau kritik sastra. Ketidakberimbangan ini yang menyebabkan teks teks sastra yang jutaan jumlahnya itu telantar, karena tidak ada yang berdiskusi dan membicarakannya. Setelah generasi A. Teeuw, Maman S. Mahayana, Sutarji Calzum Bahri, Ignas Kleden, Gunawan Muhammad, dan Sapardi Djoko Damono ternyata sampai saat ini belum ada yang segagah mereka.

Maka buku karya Azwar ini seolah menjadi jawaban, dan usaha mengembalikkan marwah esai-esai sastra yang tajam, penuh fragmentasi, dan penuh kebaharuan agaknya mulai menemui jawaban. Di dalam buku mini ini menyimpan pesan mendalam akan seluk-beluk dunia kesusastraan kita dan di luar kita.

Pengayaan akan sastra sangat terasa ketika Azwar mampu menghadirkan beberapa nama sastrawan luar yang masyhur di telinga kita, bahkan nama-nama (baru) di telinga kita, tapi dikenal baik oleh Azwar. Seperti esai Mykola dan Kritik Sastra (hal: 31), dan esai Sang Penulis Peradaban dari Persia (Hal: 41). Azwar tajam membahasa sastrawan Rusia Nikolai Gogol dari Rusia, dan mengisahkan harga mahal syair Hakim Abol Ghasem Ferdowsi dari Persia (Iran).

Selain membahas pengarang sastra, Azwar juga menyajikan kritiknya terhadap beberapa teks-teks sastra. Misalkan dalam esai Rumi dan Syair-Syair Cinta yang Dibuat dan Dimilikinya, Sisi Purba Masyarakat Modern: Di balik Cerpen “Kisah Singkat Tentang Pekarangan”, Membicarakan Cerpen “Jaring-Jaring Merah” karya Helvy Tiana Rosa, dan nada-nada rayuan untuk menggandrungi sastra seperti esai Ajarkan Aku untuk Mencintai Sastra.

Hadirnya kumpulan esai yang dipadatkan dalam bentuk buku ini adalah tulisan lama yang dibiarkan terberai. Azwar menulis esai ini dari 2001-2013, yang banyak bersebaran di media cetak koran dan majalah. Dengan tanpa mengubah esensi esai aslinya, dan tentu ada perbaikan di sana-sini terlebih dahulu, kumulan esai ini tetap menjadi pelita di malam gulita. Dan yang lebih urgent, ada upaya menciptakan nuansa sastrawi lewat esai-esai sastra ala Azwar. Buku mini ini cocok bagi semua kalangan akademisi, mahasiswa, siswa, dan tentu bacaan wajib bagi penulis esai sastra.


Judul Buku    : Membaca Sastra, Membaca Dunia (Esai-Esai Terpilih tentang Sastra)
Penulis           : Azwar, S.S., M.Si.
Cetakan          : I, Desember 2016
Penerbit          : BASABASI
ISBN               : 978-602-391-317-6
Tebal Halaman: 176
Peresensi         : Khairul Mufid Jr*

 



Share:

Selasa, 07 Februari 2017

Ziarah Kampung Halaman


Sejak catatan ini dibuat, saya pulang kampung kira-kira sudah 10 kali dalam linimasa 4 tahun perantauan di Kota Gudeg Yogyakarta. Angka kepulangan yang tergolong padat jikalau dibandingkan dengan para pemburu ilmu kaliber Mbah Kholil (Bangkalan) yang sampai puluhan tahun tidak pulang kampung. Atau seperti tetangga saya yang men-TKI-kan diri ke negeri Jiran Malaysia atau ke negeri onta Arab Saudi yang pulang 5 tahun sekali. 

Ada yang berubah dan ada yang hilang kalau saya lihat mimik muka dan gerak masyarakat kampung saya. Misalkan dari arsitektur bangunan yang mengalami restorasi ala-ala kota, jalanan depan rumah saya pun sudah di-paving block, atau jalan desa yang Alhamdulillah juga sudah mulus. Bahkan pergantian generasi ke generasi masyarakat, dari banyaknya balita yang lahir dan tidak sedikitnya orang yang juga berpulang menghadap-Nya. Aneh kalau boleh saya katakan, karena saya rasakan gelinding waktu begitu cepat dan rasanya baru kemarin saya lulus dari sekolah madrasah di kampung saya, dan baru kemarin merasakan ospek di kampus (sekarang semester VI.)

Di kepulangan yang ke-10 ini saya rasakan banyak gejolak yang membara di hati saya. Pertama, tentang gerak asmara saya ketika sempat diparadekan dengan beberapa perempuan di kampung. Iya, memang ada beberapa perempuan yang pernah mengisi ruang-ruang hati saya, dan tak mungkin saya sebutkan di sini karena agak banyak (harap maklum). Tapi dari deret perempuan itu status mereka sudah jadi mantan-mantan saya, jomblo status saya saat ini. Dan sekarang tampaknya saya ingin mencari tambatan hati lagi, bukan untuk yang aneh-aneh tapi ke jenjang yang lebih serius.

Puncaknya—ketika teman-teman MA saya dahulu—sekarang sudah banyak dapat teman hidupnya, inilah titik didih batin saya. Agaknya. Dari tetangga sebelah rumah misalkan, ia sudah dapat tunangan yang setalah wisuda dan tunangannya lulus MA, mereka ditafsirkan akan melenggang ke pelaminan. Bahkan ada yang sudah mendahuluinya dengan kondisi teman saya sudah menimang dede kecil.

Ada banyak pertanyaan menggempur dari sekeliling saya tentang semesta asmara. Apakah saya cuek? Tidak juga. Apakah saya malu? Agaknya. Apakah saya juga ingin menyusul teman saya? Kayaknya begitu. Entah mengapa ketika pulang kampung nuansa macam itu selalu datang, saya selalu gusar dibuatnya. Hal ini jadi antitesis ketika di perantauan, yang isi otak saya hanya belajar, bermain, menulis, kuliah, mikirin karier, berselimut dengan lapar, dan ihwal asmara nampaknya jarang menghantui. Tapi sekarang agaknya momen yang pas untuk merajut vartikel-vartikel yang sudah lama hilang itu… wkwkwk..

Ketika sowan ke salah satu ustad. Sudah sepantasnya kamu menemukan teman hidup, kelakar beliau sok serius. Sambil dibumbui dengan kalimat-kalimat panas agar saya lekas mewujudkannya.

Dari beliau, ada tawaran perempuan yang dahulu sempat berjanji suci dengan saya. Dengar-dengar sekarang si orang tua mantan saya itu nyari orang Madura untuk dikawinkan dengan ankanya. Dan mafhum dikenal orang tua mantan saya itu hanya mengenal saya. Sontak saya gelisah, antara iya dan tidak, dan kayaknya saya mengarah ke tidak. Kenapa? Pasti teman-teman seangkatan MA tahu alasannya.

Entahlah, disisi lain saya sekarang memang kepincut dengan salah seorang perempuan lain yang saya yakini memang partikel rusukku yang hilang. Ia lebih santun dan tak ada bercak sama sekali dalam kisah asmara sebelumnya. Semoga saja memang dia!

Kedua, tentang carut-marut perekonomian keluarga. Saya kuliah memang karena keberuntungan, dan tentu doa orang sekeliling saya yang selalu berada di balik layar perjalanan hidup saya. Ketika saya pulang kampung, kenyataanya nasib keluarga saya lebih parah dari kehidupan di tanah rantau. Di sana, meskipun saya sering menahan lapar, dan memelas peradaban ke kos-kos teman, ternyata keluarga saya tak pernah makan masakan padang, atau mendapat uang 700 rb dalam sekejab, dan atau 3.600.000 dalam paruh enam bulan seperti yang saya rasakan. Mereka hidup sederhana, kerja serabutan, tidak cukup untuk beli kebutuhan sekunder dan tersier. Alokasi pendapatan diprioritaskan hanya untuk kebutuhan dapur. Apalagi sekarang, ketika alam tidak memberikan angin segar, tapi malah memberikan hujan-angin, yang semua tahu itu membingungkan petani untuk bercocok tanam. Keluarga saya memang bergantung kepada alam, dan alam juga yang mampu melemparkan saya ke tempat nun jauh di sana. Jika alam begitu, yah.. kasihan mereka.

Dalam keluarga saya ada sosok pahlawan yang selalu menjadi pencerah. Selain ibu kandung dan almarhum bapak saya, ada sosok perempuan tangguh yang usianya sudah 93 tahun; Rasmiya nama lengkapnya, dan mbah nama familiarnya bagi saya. Di usia yang hampir seratus tahun, beliau masih kuat untuk meladang dan berjalan kaki berkilo-kilo meter. Beliau juga aset keluarga ketika engkong saya dulu jadi tentara dan karena jasanya, mbah saya dapat pensiunan hingga sekarang. Darinya saya mendapatkan semuanya, semangat tak pernah menyerah, dan arti pengorbanan.

Ketika pulang kampung, selalu ada yang bisa dibawa ke negeri rantau. Gelora batin progresif saya laiknya laptop dan gadget yang baru di-install ulang. Semangat perjuangan untuk selalu mendaki dan berusaha jadi lebih baik, selalu mengalun mesra dalam sanubari terdalam. Hingga resolusi balik rantau saat ini adalah: saya harus lebih produktif menulis, rajin kuliah, mandiri semandiri mandirinya, jaga sholat, menembak si dia, dan selalu bermanfaat bagi sesama.. amin..!!

03/02/2017
Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com