• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Selasa, 26 Desember 2017

Gus Dur dan Perdamaian Palestina

Sumber Gambar: https://store.tempo.co
Tidak terasa Gus Dur (Kiai Abdurrahman Wahid) telah 8 tahun meninggalkan kita. Rasanya baru kemarin ia meneriakkan pentingnya sistem demokrasi, pluralisme, keberagamaan, dan keberagaman. Mengingat dan mengenangnya saja tidak cukup, kalau pemikiran dan uswah-nya tidak diaplikasikan dalam lakon kita sehari-hari. Ia bagaikan bangunan dengan seribu pintu, dan kita bisa memasukinya dari berbagai pintu-pintu tersebut. Salah satu pintu itu adalah “menciptakan ekosistem perdamaian dalam berbangsa dan bernegara”.

Presiden ke-4 RI dan cucu pendiri Nahdltul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari tersebut, selalu berada di garda terdepan memperjuangkan perdamaian. Dalam buku “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (2005), Gus Dur secara panjang lebar menarasikan tentang Islam perdamaian dan permasalahan internasional. Ia seolah menampik backroud pesantrennya—dan mengejawantahkan dengan serinci-rincinya—untuk sekadar membaca peta perpolitikan dunia internasional. Tak ayal kalau ia memberikan pandangan dan alternatif untuk perang Irak, memberikan jalan kerjasama antara Indonesia-Muangthai, memberikan pendapat di forum internasional dan tentu kontribusinya terhadap perdamaian Palestina-Israel.

Arti Sebuah Kunjungan 
Pada tanggal 20 Desember 2003, Gus Dur (beserta rombongan kepresidenan) pernah mengunjungi jalur Gaza, Palestina. Waktu itu, presiden Palestina adalah Yasser Arafat, dan Gaza menjadi pusat pemerintahan “garis keras” bangsa Palestina. Kalau lihat saat ini, kondisi Gaza lebih memprihatinkan lagi, karena hampir dikuasai Israel seluruhnya. Kabar terbaru, Mahmoud Abbas pun sulit untuk keluar-masuk Gaza.

Ketika berada di Gaza, Gus Dur diminta untuk menyampaikan pidato. Dalam pidatonya, ia mengemukakan keinginannya untuk melihat Palestina merdeka dan memperoleh keadilan dalam kemerdekaannya. Para pembicara lain, terutama para pemuka Palestina sendiri, banyak menyampaikan keluhan dan keinginan yang sama, yakni kemerdekaan dari pihak Israel.

Pada kesempatan itu juga, Gus Dur menyampaikan kepada bangsa Palestina bahwa kemerdekaan dan aneksasi wilayahnya akan berhasil direbut kembali. Ia menyampaikan; buah kesabaran dan lobi-lobi adalah solusi jitu, laiknya Indonesia. Indonesia menunggu tiga belas tahun lamanya, sebelum Irian Jaya/tanah Papua dapat direbut kembali oleh Indonesia melalui Trikora tahun 1962. Gus Dur menambahkan, hal inilah yang belum terbukti, yaitu “keberanian politik” orang-orang Palestina untuk memberikan konsesi, yang dapat digunakan sebagai alat merebut “sisa” konsesi itu dari pihak Israel.

Kunjungan Gus Dur menyiratkan bahwa Indonesia tidak akan membiarkan Palestina berjuang di atas gelombang sendirian. Bagi Gus Dur, konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina bukan karena agama dan ideologi. Konflik antara keduanya lebih disebabkan masalah politik atau perebutan wilayah. Maka ketika konflik itu dikaitkan dengan agama, Gus Dur menolak keras.

Bahkan dalam upaya perdamaian Palestina-Israel, Gus Dur pun berkunjung ke Israel pada tahun 1994. Waktu itu ia mendapat undangan oleh PM Israel, Yitzhak Rabin, untuk menyaksian penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Gus Dur juga mengapresiasi kedatangan Yitzhak Rabin ke Indonesia pada tahun 1992, ketika Presiden Soeharto menjadi Presiden RI. Tindakan ini menuai kontroversi dan kecaman di mana-mana. Padahal, kedekatan Israel dengan Indonesia diinginkan Gus Dur adalah untuk perdamaian konflik Irael-Palestina itu sendiri. “Untuk mencapai win win solutions kedua negara, kita harus sama-sama mendekati pihak yang berkonflik”. Kata Gus Dur.

Pada tahun 1982, Gus Dur juga menggagas “Malam Solidaritas untuk Palestian”. Kegiatan melalui medium kesenian dan kesusastraan ini bertujuan untuk; sekali lagi berbicara tentang Palestina, saudara kita yang tengah merana. Sontak Gus Dur mendapat sindiran dan kritikan keras dari para kiai. Maklum, pada saat itu ia sedang mendapat amanah sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dan kita baru sadar saat ini, kalau inisiasi Gus Dur adalah sebentuk lobi dan kecaman lunak. Dan kegiatan macam ini terus berlanjut hingga saat ini.

Damai yang Mana?
Damai yang digaungkan Gus Dur adalah damai yang bernafaskan Islam. Islam adalah agama perdamaian (rahmatan lil’alamin), bukan agama kekerasan dan agama teror. Kehadiran agama, sejatinya ingin menciptakan ekosistem kedamaian dan tidak untuk memakasakan kehendak. Gus Dur juga mengajak untuk melakukan penafsiran baru (reinterpretasi) terhadap langkah-langkah salah yang telah kita lakukan. Sebagaimana Gandhi dengan ajaran Ahimsa, Gus Dur juga sangat membenci kekerasan dan peperangan.

Perdamaian bisa diciptakan dan dihapuskan kata Gus Dur. Maka dari itu, dengan jalan penangan secara tuntas persoalan utama berupa kesalah pamahaman dasar antara ideologi negara dan aspirasi keagamaan. Bila hal ini terwujud, maka para elit pemerintahan bisa menelorkan paket kebijakan yang lebih objektif dan prinsipil.

Pernyataan Trump atas klaim sepihak atas Yerusalem sebagai ibu kota negara Israel menambah awan tabal di Palestina. Indonesia bisa menjadi mediator perdamaian, dengan mengajak negara-negara lain, dan mendekati kedua negara secara persuasif untuk berdamai. Gus Dur telah memulainya. Dari Gus Dur kita bisa memetik buah kebun kedamaian, dari Palestina kita menyelami dalam lautan, dan menerabas lebatnya hutan belantara.










Share:

“Trump Effect” dan Peran Lobi Israel dalam Klaim Sepihak Jerusalem

Sumber Gambar: https://www.google.com/urlFdonald-trump-loves-this-freakin-video-cause-its-the-best-freakin-video&psig=AOvVaw1sLtEyTazHNOzNoHA8PjWn&ust=1514379772432432
“It’s time to officially recognise Jerusalem as the capital of Israel.”

Langkah yang dilakukan Trump sungguh tidak main-main. Ia dengan lugas dan tuntas mengucapkan sebuah kalimat kontrofersi yang akan menjadi bom waktu. Hal ini tentu memantik emosi para pemimpin negara-negara Arab, sebagian negara Eropa, dan tentu kelompok-kelompok radikalis yang memanfaatkan situasi ini untuk menyebar teror. Sementara ini, ada 12 negara baik dari wilayah Timur Tengah maupun Eropa mengecam, termasuk Presiden RI, Joko Widodo.
Melalui deklarasi Trum tersebut, secara prosedural adalah perwujudan Pemerintah AS terhadap The Jerusalem Embassy Act, tahun 1995. Undang-undang yang disahkan oleh Kongres dan didukung Partai Republik dan Demokrat itu, bertujuan untuk memulai dan mendanai pemindahan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem, paling lambat 31 Mei 1999. Presiden-presiden AS sebelum Trump tidak menindaklanjuti Undang-undang tersebut karena terbentur Perjanjian Oslo, yang salah satunya menyatakan bahwa status Jerusalem akan tergantung hasil negosiasi antara Palestina dan Israel.

Maka dengan dengan The Jerusalem Embassy Act itu, lantas Trump bukan pahlawan kesiangan yang ujuk-ujuk meratifikasi dan mengeksuki Undang-undang, akan tetapi lebih kepada kepentingan domestic politic AS dan pengaruh politiknya yang kini inward looking. Maka apa yang dikatakan Thomas L. Fruedman (Kolumnis New York Times), bahwa keputusan Tump terinspirasi untuk menyenangkan donor-donornya di Jewish Lobby, dan juga untuk menyenangkan Perdana Menteri Israel Netanyahu. Apalagi kalau dilihat, arah perpolitikan Trump juga paralel dengan Netanyahu; yakni antara Neokonservatif AS dan Yahudi Konservatif. Inilah yang berbeda dari Presiden AS sebelumnya—Barack Obama—yang pernah mengatakan Amerika tidak boleh mengikuti semua kemauan Israel.

Deklarasi tersebut bukan semata-mata hanya karena sikap Trump, yang menurut Slavok Zizek sebagai, patriarkis, memiliki selera humor rasisnya yang buruk, terlalu vulgar, dan sebagainya, tetapi juga karena lingkungan politik AS yang mendukungnya. Sistem politik demokrasi maha bebas di AS, memungkinkan keberadaaan kelompok lobi berperan dalam pembuatan kebijakan luar negeri

Cara yang dilakukan kelompok lobi Israel secara general bersifat cultural interest group, dengan metode pendekatan direct lobbying dan indirect lobbying. Lobi secara langsung dilakukan secara perorangan antara kelompok lobi dan elit politik yang menjadi perumus kebijakan. Lobi secara tidak langsung dapat dilakukan melalui rilis media, memobilisasi Konstituen untuk melakukan penekanan dan ancaman mencabut dukungan politik dan finansial bagi mereka yang tidak memiliki sikap politik pro-Israel.

Kelompok lobi Israel yang memberi pengaruh besar terhadap kebijakan luar negeri AS ke Timur-Tengah adalah yang pro-Israel. Diantaranya kelompok terkuaat adalah The American Israel Public Affairs Commitee (AIPAC), Anti-Defamation Leagua (ADL), dan The Zionist Organization of America (ZOA). Ketiganya adalah kelompok lobi yang memiliki pengaruh kuat serta dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh eksekutif dan legislatif di AS. Kelompok lobi Israel memiliki peran untuk melindungi eksistensi Israel melalui kekuatan politik AS di PBB. Salah satu lobi yang pernah dilakukan adalah keputusan pemerintah Amerika menveto gencatan senjata dan menarik mundur pasukannya dari Lebanon Selatan pada saat konflik Israel-Hisbullah.

Bila dianalisis melalui pendekatan teori Pluralis, kelompok lobi Israel tersebut menggunakan isu-isu yang selalu menjadi topik khusus di Partai Republik. Secara akses poltik, kelompok Yahudi tersebut mempunyai simpatisan-simpatisan Israel yang berada di eksekutif dan Legislatif (Mearsheimer, 2008: hal: 311).

Rencana pemindahan Keduataan Besar AS di Tel Aviv dan klaim Ibu Kota Israel di Palestina, salah satu penyebabnya karena kuatnya kelompok lobi Israel, dengan interest di Timur-Tengah dan pencaplokan sepihak negara Palestina. Israel sebagai mitra strategis AS di Timur-Tengah juga memberi kemudahan dan standing place untuk menancapkan kebijakan luar negerinya. Amerika seolah mendapat tempat berteduh dari rival abadinya di negara-negara Arab.

Donald Trump sebagai agen Partai Republik berhaluan neokonservatif, sejatinya mempunyai kepentingan politik sendiri. Secara domestik ingin mempertahankan status quo di Konsituen mereka. Sedangkan secara global ingin menyebarkan demokrasi dan budaya AS melalui cara-cara yang represif. Kalau secara backroud pribadi Trump sendiri, dia dianggap oleh beberapa aktor hubungan internasional sebagai rogue actor. Tipikal pemimpin demagog, serampangan dan tidak memikirkan long consequences atas kebijakannya. Manuver politiknya adalah pandangan pribadi yang kemudian menjadi Kebijakan Luar Negeri AS.


Share:

Senin, 13 November 2017

Sekaten, Sinkretisasi dan Modernisasi

Sumber Gambar: hipwee.com
Perayaan Sekaten telah tiba lagi. Masyarakat menyambutnya gegap gempita, karena momentum luhur ini adalah kebahagian kolektif dan telah mengakar sejak lama dan menjadi kisah sukses sinkretisme kebudayaan Jawa dan agama Islam. Setiap tahunnya digelar Gerebeg Gunungan Sekaten dan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) di erea Keraton, baik di Keraton Ngayogkarta dan Keraton Surakarta. Dengan semangat religius, historis, dan kultural, perayaan Sekaten dimaknai sebagai kristalisasi budaya, syiar, islamisasi, pesta rakyat, hiburan, dan penggerak ekonomi masyarakat Surakarta dan Yogyakarta.

Tidak banyak perbedaan, di antara kedua keraton tersebut dalam perayaan tradisi ini. Keduanya sama-sama diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal, tanggal 06 sampai dengan 12, bersamaan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Pasar Malam Sekaten sendiri berlangsung satu purnama penuh sebelum 12 Rabiul Awal. Selain PMPS, ada rentetan acara di dalamnya yang tidak bisa dilewatkan, Seperti; Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan, Numplak Wajik, Kinang (Jawa: nginang), Gunungan atau Gerebeg Maulud, dan makanan-mainan khas Sekaten seperti (telur asin, pecut, celengan, endog abang, gasing), yang kemudian dimodernisasi dan bertranformasi kini menjadi PMPS yang lebih komersial.

Perayaan Sekaten berawal dari bangkitnya Islam di Jawa pada abad ke 15-16 (masa pemerintahan Raden Patah; selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara). Waktu itu Kerajaan Demak berhasil mengakuisisi kekuasaan di Pulau Jawa setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Dalam perkembangannya, perayaan Sekaten kemudian dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga dan para Walisongo. Para Wali ini berhasil menyatupadukan budaya setempat dengan nilai-nilai keislaman. Utamanya menggunakan kesenian karawitan (Gamelan Jawa) untuk memikat hati masyarakat. Sedangkan nama “Sekaten” berasal dari nama Kiai Sekati (nama Gamelan Sunan Kalijaga). Tetapi teori lain mengatakan, nama Sekaten berasal dari kalimat “Syahadatain” (asyhadu anla ilaha illa Allah). Kedua teori ini berbeda, namun memiliki kemanunggalan rasa dan misi perayaan Sekaten.

Sekaten dan Sinkretisme

Islam dan Jawa adalah dua entitas berbeda namun berdampingan. Agama memerlukan sebuah tradisi agar bisa berkembang, dan tradisi sangat membutuhkan nilai-nilai agama agar lebih bermakna dan lebih tolerir. Perjumpaan antara Islam dan Jawa inilah, kemudian membenihkan seubuah sinkretisme, Islam-Jawa. Karena Islam masuk ke Jawa pada masyarakat yang tidak hampa, tetapi masyarakat yang majemuk dan telah berkebudayaan khas. Komunikasi intensif antara Islam dan Jawa kemudian melahirkan kebudayaan baru. Alhasil, wajah Islam di Jawa pun berbeda dengan wajah Islam di belahan bumi lain.

Salah satu keunikan masyarakat Nusantara (khususnya; Jawa), mempunyai kemampuan mengambil dan mewujudkan kembali nilai-nilai dari luar yang sesuai dengan pengalaman di masa lalu. Dalam penjelasan sejarah inilah yang dimaksud dengan “local genius” masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dalam banyak hal misalnya dalam perwujudan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan negeri asalnya India. Bahkan kasta Brahma yang paling tinggi di India menjadi berbeda ketika ada di Indonesia. Kasta Brahma berada di bawah ksatria yang berkedudukan menjadi raja. Dalam perwajahan Islam pun demikian. Agama Islam di Jawa diwujudkan dalam bentuk berbeda dari negeri asalnya Timur-Tengah (Sika Nurindah, 2015).

Salah satu bentuk sinkretisme Islam-Jawa adalah perayaan Sekaten. Sebagai output sinkretisme, Sekaten memiliki tiga makna penting: Pertama, dibunyikannya dua perangkat gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga dan Kanjeng Kiai Guntur Madu selama 7 hari kecuali Kamis malam hingga Jumat siang. Kedua,  Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. pada 11 Maulud malam dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad di serambi Masjid Gedhe. Dan ketiga, sedekah Sultan berupa gunungan yang diperebutkan.

Modernisasi Sekaten
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) mulai dikenal sejak tahun 70-an. Dari kegiatan kebudayaan dan dakwah yang dilaksanakan zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I—mengadaptasi dari diselenggarakan Raden Patah di Kerajaan Demak—mulai tampak warna komersial dan hedonistiknya.

Sejak awal diproklamirkan hingga saat ini, tidak disangka perayaan Sekaten mengalami simtomatologi atau perubahan dari masa ke masa. Perayaan sekaten pada masa awal merupakan undangan Sri Sultan kepada Bupati di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menampilkan kesenian, kerajianan dan hasil bumi kabupaten. Pada masa Sultan Hamengkubuwono VIII, sekaten dibuka untuk masyarakat umum tidak hanya masyarakat Yogyakarta saja. Perkembangan selanjutnya Sekaten diorganisir oleh panitia khusus dari pemerintahan Daerah Yogyakarta.

Akan tetapi komersialisasi Sekaten kian tampak ketika tahun 2004-2005 diberi nama Jogja Expo Sekaten (JES). Sentuhan meodernisasi dan komersialisasi yang menguat, ternyata justru kurang dapat dinikmati rakyat. Ada sesuatu yang terasa hilang dalam JES. Sehingga kemudian dikembalikan pada PMPS (KR, 13/11).

Harus diakui, pesona komersialisasi telah menggeser sifat sakral. Apalagi pesona pendakwah mulai kalah dengan aroma saudagar. Sukses Sekaten pun lebih akan dilihat dari transaksi bisnis, bukan kesakralan dan religiusitas perayaan tersebut.  Cobalah kita iseng-iseng melakukan social experiment dan melayangkan pertanyaan kepada masyarakat; Sekaten itu apa? Bisa dipastikan menjawab “Pasar Malam”.


Share:

Selasa, 07 November 2017

Mandela adalah Simbol Perlawanan Apartheid Afrika


Nelson Mandela adalah sosok dan simbol perlawanan terhadap penindasan dan diskriminasi Afika Selatan. Perjalanan hidupnya menuju kebebasan luar biasa, seperti roller coaster setelah 27 tahun di tahanan kelompok apartheid. Hal ini yang membuat banyak orang terkesan kepadanya karena keberhasilan rekonsiliasi atau perdamaian yang telah dilakukannya atas konflik atau perdamaian Afrika Selatan.

Sistem apartheid di Afrika Selatan begitu memprihatinkan. Contohnya struktur apartheid pada pabrik senjata yang tangguh dari hukum-hukum diskriminatif dan rasial. Pada awal tahun 1950-an, Group Areas Act memaksa orang kulit hitam untuk tinggal di tempat terpisah, daerah yang dirancang dengan kaku. Dalam sektor pendidikan juga demikian, pendidikan pemuda kulit hitam sangat tragis, ketika arsitek apartheid, Verwoerd, memperkenalkan Bantu Education Act tahun 1953, yang menciptakan sistem pendidikan inferior berbasis silabus rendahan yang memandang bangsa Afrika hanya sebagai pemanah kayu dan pembawa air (hal, 117).

Dampak sistem aparheid juga sampai pada perempuan Afrika. Apartheid terimplementasi di ranah pribadi, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari semua orang kulit hitam. Hal tersebut adalah seumber kekacauan yang imbasnya pada kehidupan pribadi,bahkan meluas ke ranah seks dan agama. Orang kulit hitam dilarang kawin dengan orang kulit putih, atau pelarangan perkawinan dan aktivitas seks antarras.

Maka dengan praktek klasifikasi dan diskrimasi berlebihan tersebut, telah meondorong Mandela beserta partai ANC (African National Congress) berjuang menghapusnya dari “Negara Pelangi” tersebut. Dalam laku praksis, Mandela pernah menjadi koordinator Kampanye Penentangan besar-besaran yang terjadi pada tahun (1952) melawan hukum yang tidak adil. “Pemuda yang mencintai kebebasan semua ras di Afrika Selatan seharusnya bergabung dalam pertarungan atas nama perdamaian dan kebebesan” begitulah cara Mandela memompa kesadaran dan dukungan rakyat.

Pada tahun 1955 sebelum dipenjara oleh kelompok apartheid, Mandela juga aktif menulis artikel di beberapa media massa dan ANC. Tulisan yang sedikit menyentil pemerintah adalah “People are Destroyed” atau Rakyat Dihancurkan. Dalam artikelnya, ia dengan jelas membuat sketsa siksaan kehidupan bangsa Afrika yang dikebumikan ke ladang kerja penjara (hal, 127).

Pada tanggal 05 Desember 1956, Nelson Mandela ditangkap beserta rekan perlawanannya, polisi keamanan telah melakukan pengkhiatan besar. Namun, di dalam penjara tidak membuatnya diam saja. Perlawanannya terdiri dari banyak bentuk: mempersatukan, memberi inspirasi, dan bertindak sebagai juru bicara untuk lainnya; menentang rasisme dan kekejaman adalah laku tidak diam meski berada di dalam sel berukuran tidak lebih dari enam kaki persegi.

Nelson Mandela mampu mengatasi segala hambatan kaku yang muncul dari paham rasisme apartheid yang jahat, dan kepahitan hebat yang ditimbulkannya terhadap banyak orang. Meskipun kekuatan global dan nasional menunda realisasi mimip-mimpinya, Mandela tetap aktif bahkan setelah jabatannya sebagai presiden selesai, dia tetap aktif pada usia hingga akhir 80-an untuk berbicara tentang hak asasi manusia dan tindakan melawan masalah sosial yang akut.


Judul Buku    : Nelson Mandela
Penulis           : Peter Limb, Penerjemah Eka Oktaviani
Cetakan         : I: September 2017
Penerbit         : BASABASI
ISBN              : 978-602-6651-38-9
Tebal Halaman: 307
Peresensi       : Khairul Mufid Jr*

Share:

Nasionalisme Turki di Ujung Tanduk

Pada perayaan 10 tahun berdirinya Republik Turki (29 Oktober 1933), Presiden dan suksesor sekulerisme Turki Mustafa Kemal Pasa Ataturk mengucapkan kalimat: Ne Mutlu Turkum Diyene (Betapa Bahagianya Seorang yang Menyebut Dirinya; Aku Orang Turki). Kalimat ini menjadi candradimuka dan fondasi nasionalisme Turki yang tidak bisa ditawar. Selain kalimat tersebut, Renklerimizde, dillerimizle, kulturlerimizle biz bir olduk, biz kardes olduk  (dengan warna-warna kita, dengan bahasa-bahasa kita, dengan budaya-budaya kita, kita satu, kita bersaudara) adalah kalimat kedua untuk sebuah perbedaan yang coba disatukan dan disejajarkan. Hal ini, mempunyai kemanunggalan arti dengan Bhinneka Tunggal Ika versi negara kita Indonesia. 

Sebagai simpul/pengikat keberagaman dan keberagamaan, Ne Mutlu Turkum Diyene (NMTD) mempunyai arti mendalam yang tidak hanya pada tataran konsep dan slogan saja. Akan tetapi kalimat ini menyemaikan semacam semangat penggerak bagi bangsa Turki, agar bangga dengan identitasnya sebagai seorang Turki. Bangsa Turki bukan lagi pesakitan di tanah Eropa dan Amerika. Sebab mereka telah bangkit menjadi bangsa baru setelah Revolusi Kemalis yang dioprasikan sejak awal abad ke-20.

Di negara Eurasia (negara superbenua, atau negara dengan dua benua) ini, kita bisa lihat bagaimana kata NMTD tidak hanya terpatri dalam sanubari, akan tetapi terekspos dalam laku kehidupan praksis. Kalimat NMTD kita bisa temui di cincin, kalung, dan kaos. Bahkan jangan terkejut kalau kalimat tersebut kerap muncul di profil picture atau dinding media sosial orang-orang Turki. Bendera Turki juga terpasang di halaman rumah orang-orang Turki, hukumnya fardu ain. Nah, hal ini pernah dirasakan Yanuar Agung Anggoro (salah satu tim redaksi Turkish Spirits), ketika ia dengan temannya tengah jagongan di salah satu kafe di Turki. Di tengah keasikan mereka mengobrol, tiba-tiba semua orang di kafe itu senyap dan berdiri sembari menyanyikan lagu kebangsaan Turki “Istiklal Marsi”. Mereka tengah menyaksikan Timnas Sepak Bola Turki di televisi yang juga meyanyikan lagu kebangsaan Istiklal Marsi. Di tengah keramain kota, cobalah kita iseng-iseng menyetel lagu kebangsaan Turki, bisa dipastikan semua orang akan berhenti beraktifitas dan khidmat menyanyikan lagu tersebut.

Berbeda dengan cerita Didid Haryadi, ia menemukan nasionalisme Turki di dalam masjid. Ketika ia tengah shalat Jum’at di salah satu bolge (wilayah) di Kota Istambul. Waktu itu ia melihat mimber (mimbar) masjid berlatar belakang sebuah bendera Turki berukuran kecil. Anehnya ketika ia shalat di tempat lain, bendera mungil itu kembali ditemukan, adalah peristiwa yang memang disengaja oleh pemerintah Turki (49). Bagi bangsa Turki, Allah, Tanah Air, dan Bendera adalah tiga paket yang tak boleh dipecah-belah. Kesadaran nasionalisme seperti itu terus menancap di dada mereka secara turun-temurun. Masjid dalam konteks nasionalisme menjadi semacam “ruang publik” khas di Turki.

Beberapa contoh nasionalisme Turki modern di atas dibangun sejak dan diimpikan untuk bertahan lama. Di bawah tokoh sentral nasionalisme Turki—Mustafa Kemal Pasa Ataturk—ia mendandani Turki modern dengan prinsip-prinsip “Kemalis” yakni republikanisme, nasionalisme, republisme, etatisme, reformasi dan westernisasi. Revolusi dilakukan dan membentuk negara Turki sekuler ala Prancis. Ia menghendaki agar urusan agama adalah yang privasi dan tidak boleh dibawa-bawa ke ranah pemerintahan dan ruang publik. Serta Anayasa (Undang-Undang Dasar) Turki tidak didasarkan atas cultural communities (etnik/ras tertentu), dan niat luhur untuk menghapuskan negara-bangsa yang berbasis political communities.

Makin ke sini, bangunan kokoh nasionalisme Turki kembali digoyang ketika bermunculan kekerasan-kekerasan yang mengancam proses kemajuan dan penguatan bangsa negara. Seperti prinsip bangsa-negara yang katanya tidak dibangun atas cultural communities, ternyata di lapangan identitas Turki modern lebih bercirikan pada satu kelompok tertentu, yakni kelompok atau etnis Turk. Kelompok Kurdi, Armenia, Arab, Laz, dan etnik non-Turki lainnnya dipaksa untuk menerima identitas Turk. Dengan tidak hanya pendekatan persuasif, pendekatan represif pun menjadi lakon terbuka dan didadar di hadapan rakyat. Sehingga terjadilah isyan (pemberontokan) yang awalnya bernuansa agamis—seperti dipimpin oleh Syekh Said Nursi—dan berujung pada pemberontakan yang sifatnya perjuangan etnik pada tahun 1930.

Ketika gelombang penguatan politik kanan yang penuh retorika rasisme dan mengagungkan kelompok Turk tersebut, saat yang sama maka lahirlah gerakan politik kiri radikal.  Dan perjuangan minoritas yang kebanyakan berada di sayap kiri akhirnya memilih melawan konsepsi Turk (Turkey) resmi, lalu mencoba untuk mencerminkannya pada sebuah wacana baru yang disebut Turkiyeli. Turkiyeli maknanya bukan sekadar orang Turki (dalam artian ras), namun sebuah konsep yang mirip seperti Americans atau bangsa Indonesia (hlm: 34).

Memang secara literer nama Turkey, dalam konteks politik identitas berpotensi menyemaikan problem serius ke depan. Contohnya hari ini, ketika etnis Kurdi memperjuangkan hak kemerdekaan dan ingin mendirikan negara bangsa sendiri. Kita beruntung memakai nama “Indonesia” yang bukan merupakan nama dari salah satu etnik di dalam wilayah negara. Dengan pilihan nama “Indonesia”, bukan Jawa atau Melayu sebagai mayoritas etnik di negara Indonesia.

Seperti dalam tulisan Bernando J. Sujibto (hal: 133-134), ada tiga kelompok yang menggoyahkan nasionalisme Turki saat ini. Pertama, gerakan separatis suku Kurdi yang diwakili PKK. Gerakan yang lahir pada tahun 1978 ini, selain mengembangkan sayapnya dalam internal Turki, secara politik ada HDP yang secara implisit telah menjadi corongnya di parlemen. Dalam sayap eksternal yang mendukung PKK juga banyak, selain suku Kurdi di Irak dan Suriah, negara seperti Rusia, Inggris, dan Perancis pun ada dibalik mereka.

Kedua, adalah kelompok kiri-komunis yang diwakili DHKP/C (Front-Partai Pembebasan Rakyat Revolusioner). Kelompok ini sudah terbukti terbiasa memainkan bom dan senapan api dengan menyerang pasukan keamanan Turki. Kelompok ini menyasar apparatus state, khusunya pasukan keamanan (polisi) sebagai target mereka. Mereka sudah banyak meledakkan bom dan menembak polisi dalam 10 tahun terakhir. Kelompok ketiga adalah ISIS, kelompok ini sangat mengacam stabilitas dan rasa nasionalime Truki. Karena sebagai kelompok misterius dan tidak bisa dibaca, ISIS bisa menyerang siapa pun dari elit pemerintahan bahkan rakyat sipil.

Harus diakui bahwa nasionalisme yang diekspresikan dengan luar biasa saat ini di Turki, tidak lain adalah karena keberhasilan indoktrinasi dengan bumbu represi (penekanan) militer sedari awal terbentuk negara Republik. Indoktrinasi yang berlebihan akan menciptakan ketegangan dan kekerasan di kemudian hari. Menghargai keberagaman adalah goal dari demokrasi, dan demokrasi yang ideal adalah mampu menyimpul perbedaan dan keberagaman. 

Judul Buku    : Turki Yang Tak Kalian Kenal
Penulis           : Tim Turkish Spirts dan Kurator Bernando J. Sujibto
Cetakan          : I, November 2017
Penerbit          : IrCisoD
ISBN              : 978-602-7696-37-2
Tebal Halaman: 312
Peresensi        : Khairul Mufid*
Share:

Jumat, 20 Oktober 2017

Santri dan Pentingnya Kesadaran Interpreneur

Sumber Gambar: nahdlatululama.id
“SANTRI bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak SANTRI yang tawadlu’ kepada Gusti Allah, tawadlu’ kepada orang-orang alim kalian namanya SANTRI” (Mustofa Bisri).

Pernyataan Gus Mus (Mustofa Bisri) di atas adalah bentuk sakralisasi dan penjelas peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 22/10, yang selama dipandang eksklusif dan milik satu golongan tertentu. Tentu hal ini tidak menjadi soal lagi, karena seperti Hari Buruh, Hari Ibu, dan Hari Pramuka yang anteng-anteng saja, Hari Santri juga semestinya tidak menimbulkan gesekan berlebih. Karena Santri adalah mereka yang memiliki komitmen keislaman dan keindonesian, dan mereka yang hidupnya diinspirasi dan diselimuti nilai-nilai keislaman serta kesadaran penuh tentang kebangsaan dan kemajemukan.   

Maka, sekarang waktu yang pas untuk berbenah dan merawat imajinasi kembali tentang peran Santri dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain perawat moral, pewujud cita-cita luhur keislaman, dan hubungan vertikal dengan sang kuasa, alangkah elok kalau Santri juga merespon tantangan zaman (globalisasi) dengan ikut andil dalam segala hal termasuk dalam kemandirian ekonomi (interpreneur).

Santripreneur Adalah Masa Depan

Istilah Santripreneur adalah seorang Santri yang berwirausaha, atau secara terminologi bisa diartikan usaha Santri dalam kemandirian ekonomi dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada terutama yang ada di pesantren-pesantren. Modernisasi, globalisai adalah seperti lorong waktu yang musti dihadapi dan direspon benar-benar untuk masa depan sang Santri. Maka dengan interpreneur bisa diterjemah sebagai lokomotif, yang membawa gerbong cita-cita sang Sang santri ke masa depan lebih baik.

Seperti dalam bukunya Samuel Huntington, The Clash of Civilization, dikatakan bahwa dalam  konteks globalisasi; umat Muslim (khususnya: Santri) dipandang sebagai umat yang berpotensi menjadi kompetitor Barat. Sebagai  negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia dituntut menunjukkan kepada dunia bahwa SDU (Sumber Daya Umat) Muslim Indonesia benar-benar layak berkiprah di jagad global. Maka pengembangan SDU Muslim mutlak dilakukan secara baik, sistematis dan komprehensif. SDU Muslim Indonesia sangat tinggi, setali tiga mata uang dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) di negara kita yang juga tinggi. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan kemandirian umat Islam (Santri).

Pentingnya meningkatkan dan mengembangkan SDU memang salah satu misi utama Rasulullah saw. Beliau diutus ke dunia salah satunya dalam rangka peningkatan kualitas SDU yang sepenuhnya tidak hanya pemenuhan secara jasmaniah tapi juga secara rohaniah. Dahulu ketika di Mekkah beliau menanamkan tauhid yang menjadi dasar fundamental bagi pembentukan nucleus masyarakat historis yang viable untuk menjawab tantangan zaman. Di Madinah beliau juga telah menunjukkan peranannya sebagai pendidik utama dalam pembangunan masyarakat sosial-politik. Di Madinah beliau tidak hanya membangun tatanan politik sebagaimana terefleksikan dalam “Konstitusi Madinah”, tetapi juga membangun tradisi pendidikan Islam dengan memfungsikan masjid sebagai tempat tidak hanya untuk pendidikan keagamaan tapi juga untuk kegiatan-kegitan pendidikan sosial dalam pengertian yang sangat luas (Azyumardi Azra, 2001: 55-56).

Membangun kemandirian ekonomi sejatinya menjadi kesadaran umat Islam. Maka dari itu, dalam konteks saat ini mereka mulai meresponnya dengan baik, misalkan ketika lahirnya lembaga-lembaga keuangan syariah, kelompok usaha kecil berbasis syariah, dan munculnya pesantren-pesantren yang membekali santrinya dengan berbagai ilmu kewirausahaan. Pesantren dituntut untuk mengembangkan fiqh muamalah-nya dalam tataran yang lebih aplikatif.

Saat ini, telah ditemukan banyak sekali pesantren yang sukses menjalankan program santripreneur. Misalnya Pondok Pesantren Mukmin Mandiri, yang telah berhasil memiliki sebuah produk kopi yang merupakan hasil produksi para santri. Hingga saat ini, produk kopi yang berlabel “Mahkota Raja” ini telah memiliki omset 1-5 miliyar perbulan. Usaha ini telah mempekerjakan 115 santri dan tiap santri mendapatkan gaji sebesar 1,3 juta per bulan. Dan masih banyak pesantren-pesantren lain yang juga bergerak dalam jargon “santripreneur”, Pesantren Sidogiri misalnya. Mendirikan Kapontren-kapontren, Smescomart (kerjasama koperasi pesantren dengan Alfa Mart), usaha bidang pertanian, pelatihan keterampilan santri tentang produksi barang dengan label pesantren adalah contoh riil untuk berdikari secara ekenomi.

Dengan cara pendidikan di kalangan santri tersebut, maka pesantren tidak di tuduh sebagai lembaga yang turut serta memproduksi pengangguran. Di Indonesia misalnya, tingkat pengangguran menunjukkan tren yang meningkat sebagaimana dilansir oleh Tempo.com (Rabu, 11 April 2012), bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menyatakan kaum muda memiliki tingkat kesulitan mencari pekerjaan lima kali lebih besar daripada pekerja dewasa. Hal ini disebabkan karena ketersediaan lapangan kerja untuk angkatan muda semakin menurun. Kaum muda diperkirakan 4,6 kali lebih besar menjadi pengangguran dibanding pekerja dewasa. Hal ini diperkuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa tingkat pengangguran terbuka usia muda antara 15 hingga 29 tahun di Indonesia mencapai 19,9 %. Sementara Srilangka 17,9 % dan Filipina 16,2 %. Data tersebut membuat Indonesia menyandang gelar sebagai negara dengan pengangguran usia muda tertinggi di Asia Pasifik. 

Maka, inilah momentum yang tidak hanya peristiwa diperingati setiap tahun, dan lakon sambil lalu yang tidak melulu pada ihwal seleberasi. Karena Potensi local content Santri, sejatinya teramat kaya, seperti pemikiran, kerukunan, santripreneur, dan keikhlasan. Ini merupakan modal yang sangat berharga dalam mengembangkan gerakan-gerakan Islam dan kemandirian sang Santri. Oleh karena itu, Santri selalu dituntut think locally at globally. Perilaku positif wajib sesuai nilai-nilai Islam dan sosio-kultur bangsa Indonesia boleh saja dikumandangkan, akan tetapi pemikiran dan cara pandang terhadap pengembangan sains-teknologi boleh juga bersifat global. Yang terpenting Santri harus berfikir out of the box, agar tidak menjadi gagap akan keadaan di luar sana. Ditetapkannya “Hari Santri Nasional” tidak hanya bahan refleksi, akan tetapi menjadi titik pijak untuk Santri selalu mengabdi, berimajinasi dan berdikari. 




   

 








Share:

Senin, 09 Oktober 2017

Hanya di Jalanan Orang Jujur ditemukan


















Sebagaimana Jumat adalah masa tenang bagi enam hari waktu kerja
Maka Ramadan adalah kesunyian bagi sebelas bulan keberisikan.
Motor dan mobilmu telah menyemburkan oksidan dan polusi udara
Mestinya, engkau tidak menambah keberisikan jalan raya dengan polusi  suara
(M. Faizi, Toa-Toa Keladi, Hal: 125).

Gubuhan puisi M. Faizi di atas mendiskripsikan tentang betapa langkanya menemukan kesunyian di jalanan. Suka cita ditampakkan lewat keberisikan, karena ketentramana manusia ada pada kesunyiaannya. Selain suara mesin, suara klakson, teriakan manusia, sampai suara knalpot sejatinya menampilkan wajah jalanan yang bisa menyenangkan karena membawa pengetahuan baru tentang arti kehidupan sesungguhnya. Buku mungil karya M. Faizi ini, mengobrak-abrik imajinasi pembaca akan kehidupan jalanan yang tidak biasa dan jarang diekspos penulis.

Di jalanan, sejatinya berkeliaran anak Adam dari segala takhta dan kasta: para ulama, ahli fikih, astronom, politikus, guru, bajingan, copet, rampok, musisi dan lain-lain. Di jalanan kita juga dipertontonkan dengan hal-hal nyeleneh yang kadung dianggap biasa; seperti keberadaan polisi tidur yang tugasnya menyetop pengendara kalap yang sulit mengendorkan gas (kebut-kebutan), atau fenomena tarif kembalian tol dan SPBU kadang tidak diberikan atau mungkin kita tidak mengambilnya. Hati-hati, kalau dikonversikan itulah usaha kecil-kecilan (korupsi) yang dapat untung besar-besaran. Atau cerita tentang tabahnya truk gandeng yang jalannya ngesot serta dapat cibiran menyakitkan dari pengendara lainnya. Selain menanggung muatan berat ia mendapat cobaan dengan lengking klakson kendaraan lain yang buru-buru di belakangnya.

Di jalanan, pergerakan manusia juga lebih grusa-grusu ketimbang di tempat lain, maka digunakanlah bahasa khusus untuk berkomunikasi. Bahasanya pun harus singkat dan cepat. Di antara tujuan dipasangnya rambu-rambu lalu lintas adalah untuk keperluan ini. Begitu pula “bahasa bunyi” dan “bahasa cahaya” merupakan simbol-simbol yang digunakan oleh para pengguna jalan raya. Bahasa bunyi identik dengan klakson untuk memohon perhatian, klakson adalah morse jalanan laiknya anggota pramuka. Tapi ketahuilah, bunyi klakson itu bukan untuk bersenang-senang—meski beberapa bulan terakhir ini ada fenomena om.. telolet.. om..—maka janganlah buang klakson ke sembarang telinga.

Bahasa cahaya adalah bahasa komunikasi di jalanan, sering sesama pengguna jalan raya bisa berkomunikasi: memainkan lampu utama atau lampu depan (seperti nge-dim) bisa berarti sang sopir tengah menyapa orang/kenalan. Bisa juga untuk menggoda calon penumpang agar ikut, dan bisa diartikan juga minta dikasi jalan. Atau ketika lampu utama itu menyala terus-menerus di siang hari, itu tandanya: minta jalan dan sangat minta perhatian, lawan arah hendaknya mengalah (seperti ambulans, patwal, mobil derek) mau lewat dan harus dikasih jalan, dan terakhir mungkin lampunnya sedang korsleting (hal: 75).

Di jalanan, kita juga menemukan semangat gotong-royong dan tolong menolong hidup bahagia setelah kehidupan yang serba individualistik. Berbuat baik di jalanan bisa jadi akan terbalas di di rumah, berbuat baik di kantor boleh jadi terbalas di jalan, berbuat baik kepada siapa pun dan di mana pun akan terbalas di mana-mana. Kita lihat betapa serombongan Vespa yang begitu solid bahu-membahu, begitu pula ketika melihat konvoi truk: mogok satu, mogok semua. Kekompakan dan semangat berempati yang sulit ditemukan di era saat ini.

Di jalanan orang galak ditemukan, di jalanan orang sabar/kalem ditemukan, di jalanan orang lugu ditemukan, dan di jalanan orang jujur lebih banyak ditemukan. Di zaman yang semakin kebak akan kejahatan ini, di saat stok orang jujur mulai punah di muka bumi, ternyata jalanan adalah rumah nyaman mereka saat ini. Bisa saja kan, seorang sarjana memalsukan skripsi, peneliti memalsu data, wartawan memalsu berita, ustaz memalsu dirinya sendiri. Akan tetapi yang tersisa, kepolosan hanya ada di jalan raya. Tak akan ada kepalsuan karena di jalan raya orang pasti mengeluarkan watak aslinya. Begitu sergah M. Faizi.

Terkadang, kita melihat ada orang yang tampak saleh karena busananya, padahal pikirannya jorok dan mesum. Kita melihat orang terkadang sangat sopan saat bicara tapi sangat kejam di saat berbeda. Semua itu bisa dipalsukan. Tapi di jalan raya, terutama ketika mereka telah berada di belakang kemudi, sifat asli manusia akan muncul apa adanya.

Di media sosial, seseorang itu bisa tampak selalu lebih daripada aslinya: tampak lebih pintar dengan bantuan ensiklopedia semacam Wikipedia, tampak lebih rupawan dengan bantuan aplikasi digital, tampak lebih bijak dengan kata-kata mutiara pinjaman. Di forum-forum diskusi, seorang narasumber dapat membuat dirinya lebih elegan dengan segepok buku dan makalah. Di mimbar, seseorang bisa jadi seperti ulama hanya dengan kutip sana-sani dari hadis-hadis terjemahan yang ditelusuri dengan mesin pencari (hal: 157).

Di jalan raya, kita adalah diri sendiri. Di sana, kita tak bisa menjadi orang lain. Di jalan rayalah watak asli seseorang itu tampak nyata dan apa adanya. Ketika ada orang bilang bahwa orang jujur susah ditemukan, katakan padanya, “Lihatlah lalu lalang orang di jalan raya. Orang-orang jujur numpuk di sana.”

Judul Buku    : Celoteh Jalanan
Penulis          : M. Faizi
Cetakan         : I, Maret 2017
Penerbit         : BASABASI
ISBN              : 978-602-61160-4-8
Tebal Halaman: 180
Peresensi       : Khairul Mufid*
Share:

Minggu, 08 Oktober 2017

Apa Arti Catalonia bagi Spanyol

Sumber Tulisan: weeklyworker.co.uk
Tanggal 01 Oktober adalah hari bersejarah bagi masyarakat Catalonia (Catalunya). Akhirnya, referendum yang diidam-diamkan dari puluhan tahun lalu digelar. Referendum ini, menjadi keinginan purba karena Spanyol dirasa tidak memberi kebebasan dan progres terhadap kesejahteraan masyarakat Catalonia.

Dari referendum itu, Eropa pun kian terguncang. Kalau dilihat dari fenomena tiga tahun terakhir, setelah Yunani, Inggris, dan Skotlandia, Catalonia seolah menambah awan tebal di kawasan yang menjadi magnet demokrasi dunia itu. Namun, referendum Catalonia lebih mendapatkan perhatian internasional karena Spanyol terus berusaha menggagalkan referendum Catalonia, bahkan dengan tindakan represif. Hal ini terbukti ketika terjadi huru-hara yang mengakibatkan 11 polisi dan 337 warga terluka.

Akan tetapi berdasarkan laporan BBC (02/10), menyebutkan bahwa pihak pro kemerdekaan telah mengklaim kemenangan Catalonia sebagai negara merdeka dan layak disebut negara berdaulat. Referendum telah membuka pintu sebuah unilateral declaration of endepence, karena partipasi referendum tercatat sebanyak 42,3 % dari toral warga 5,3 (sumber lain: 7,45) juta orang. Adapun hasil referendum adalah 90 % masyarakat memilih kemerdekaan.

Aspek Sejarah

Dalam sejarah, Catalonia adalah wilayah independen Semenanjung Iberia yang terletak di antara Spanyol dan Portugal, dengan  bahasa, undang-undang dan kebiasaannya yang berbeda. Saat perang Suksesi Spanyol pimpinan Raja Philip IV berakhir dengan kekalahan Valencia (1707), di Catalonia pada tahun 1714 dan kepulauan terakhir pada tahun 1715 kemudian menghasilkan kesepakatan dan lahirlah Spanyol modern.

Maka raja-raja selanjutnya mencoba memberlakukan bahasa, ekonomi, undang-undang di wilayah Catalonia. Dari kejadian itu, Catalonia memang dari dulu terus melakukan pemberontakan untuk memisahkan diri dari Spanyol. Puncaknya pada tahun 1938, ketika diktator Spanyol Jenderal Francisco Franco membantai 3.500 milisi separatis Catalonia.

Pada tahun 1977, Spanyol sempat memberikan otonomi khusus yang lebih luas kepada Catalonia ketika angin demokrasi berhembus kencang di Negeri Matador itu. Hal itu membuat kelompok separatis kian leluasa mengampanyekan kemerdekaan. Tak ayal pada 2010, upaya kemerdekaan semakin bulat ketika Mahkamah Konstitusi di Madrid mengesampingkan sebagian dari undang-undang otonomi tahun 2006, yang menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum untuk mengakui Catalonia sebagai Negara di Spanyol. Sedangkan dalam partai-partai politik yang dibentuk kekuasaan di Madrid sangat tidak laku di Catalonia yang memiliki lebih dari 7 juta jiwa itu. Masyarakat Catalonia merupakan pendukung setia partai kanan jauh, Covergence and Union (CiU), pimpinan Presiden Catalonia, Artur Mas.

Maka jika referendum berhasil, seperti pandangan Ben Smith (2017), akan ada kesempatan yang lebih besar bagi Catalonia untuk lebih ikut masuk ke dalam parlemen Catalonia. Proporsi sejumlah 30% diberikan oleh parlemen Catalonia untuk kelompok non-partai politik. Selain itu, penggunaan kembali bahasa Catalonia sebagai bahasa resmi merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat Catalonia.

Dalam ihwal sepakbola juga demikian, tak mengherankan kalau saat ini Blaugrana (Spanyol) menjadi sorotan dunia. Sejak dulu Barcelona dianggap sebagai orang dan simbol perjuangan masyarakat Catalonia. Bahkan arena stadion menjadi tempat berkumpulnya kaum separatis untuk mengekspresikan kebebasannya, meskipun sang penguasa yang berdomisili di ibukota terus saja menentang dan mengecam tindakan-tindakan tersebut. Maka tak ayal ketika pertandingan Real Madrid vs Barcelona seoalah adu kedigdayaan di lapangan hijau, karena keduanya mewakili dua kubu yang dari dahulu menyimpan api panas.

Aspek Ekonomi

Secara populasi, Catalonia mengisi 1/5 % dari jumlah seluruh populasi Spanyol. Catalonia juga salah satu penggerak perekonomian Spanyol, 18,8 % GDP Spanyol berasal dari Catalonia bahkan lebih besar dari GDP Madrid yang hanya 17,6 % (TEMPO.CO, 02/10/17). Bahkan jika dibandingkan dengan Skotlandia dan Inggris, kontribusi  Catalonia untuk Spanyol dua kali lipat lebih besar.

Catalonia telah lama menjadi jantung perekonomian Spanyol, terutama dalam kekuatan maritime dan perdagangan tekstil, keuangan, layanan dan perusahaan hi-tech. Jika referendum ini berjalan mulus, maka produk domistik bruto sebesar US$ 314 miliar didapuk Catalonia menurut perhitungan OECD. Fakta ini akan menjadikan ekonomi Catalonia terbesar ke-34 di dunia dan membuatnya melanggeng di atas level Portugal dan Hongkong. Pendapan Domestik Bruto (PDB) akan menjadi US$ 35.000, dan akan membuat Catalonia lebih kaya daripada Korea Selatan, Israel dan Italia.

Ini yang menjadi landasan mengapa Spanyol enggan dan tidak mau melepaskan Catalonia, terlebih ketika krisis ekonomi yang melanda Spanyol. Catalonia tak ubahnya Papua yang menjadi lumbung perekonomian Indonesia. Bayangkan saja kalau Papua—surga minyak dan emas—itu referendum dan mendirikan negara sendiri, Indonesia akan kelimpungan menutup lubang perkenomian yang menganga besar. Indonesia tentu tidak mau peristiwa kelam antara tahun 1998-1999, ketika Timor Leste diikuti juga oleh Papua. Hal itu yang sangat ditakutkan Spanyol, Catalonia adalah tulang punggung dan harapan tunggal untuk membangkitkan gairah perekomian Spanyol.


   

 








Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com