• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Sabtu, 31 Desember 2016

Holocaust Etnis Rohingya

Manusia Perahu Etnis Rohingya
Isu Rohingya kembali viral dan menjadi perbincangan hangat di penghujung tahun ini. Dimulai ketika pembunuhan sembilan penjaga perbatasan di Rakhine Utara (Myanmar) oleh kelompok militan Islam Rohingya pada 09 Oktober 2016, dan ditambah dengan perusakan tiga pos keamanan di wilayah yang sama dan oleh kelompok yang sama. Sehingga tragedi itu membuat militer Myanmar dan otoritas pemerintah “amarah” dan melakukan tindakan-tindakan abnormal, keji, kotor, bahkan genderang pembersihan etnis (ethnic cleansing) Rohingya kian ditabuh-kencang. Inilah holocaust (penghancuran/genosida) yang tidak bisa dilupakan begitu saja.

Berbicara holocaust mengingatkan kita pada tragedi Nazi Jerman pada Perang Dunia II, ketika sang komandan Adolf Hitler beserta militernya membunuh jutaan kaum Yahudi dengan tanpa ampun. Pembasmian massal manusia tidak hanya itu saja, holocaust pada akhir abad ke-20 juga pernah menimpa jutaan penduduk sipil di Kamboja oleh Khmer Merah maupun Bosnia oleh Ultra Nasionalis Serbia serta suku Tutsi dan Hutu oleh Interahamwe di Rwanda. Bahkan, dalam dekade pertama abad ke-21, peristiwa serupa kembali terjadi dan menimpa Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar.

Jauh sebelum meletus isu Rohingya tahun 2012, sebenarnya etnis Rohingya telah mengalami diskriminasi masif selama puluhan tahun, baik oleh negara maupun etnis mayoritas yang kebetulan beragama Buddha. Sebelum Burma merdeka pada 1942, ternyata sudah ada benih-benih kekerasan  terhadap etnis Rohingya walaupun tensinya lebih rendah. Hingga Burma merdeka holocaust terhadap etnis Rohingya di negeri pagoda itu terus berlanjut hingga sekarang. Puncaknya pada bulan oktober-November 2016, terjadi pembantaian etnis Rohingnya untuk kesekian kalinya, dan mengakibatkan 100 korban meninggal, 3.000 anak mengalami malnutrisi, puluhan perempuan diperkosa, dan 1.200 bangunan dibakar. Maka tak ayal, mereka berbondong-bondong hengkang dari negara asal, tanpa tujuan yang jelas, tanpa perbekalan cukup, dan nekat mengarungi samudera walaupun ujungnya maut yang mereka temukan.

Abstain

Holocaust etnis Rohingya oleh militer dan mayoritas umat Buddha Myanmar sejatinya melanggar Statuta Roma pada 1998 tentang International Criminal Court (ICC). Dimana holocaust ala Myanmar dalam bentuk state violence (negara melakukan genosida) ethnic cleansing (pembersihan etnis) maupun kejahatan terhadap kemanusian itu adalah pelanggaran HAM berat, baik secara kumulatif maupun alternatif.

Namun otoritas Myanmar berdalih bahwa “mereka bukan warga negara kita, dan kita tidak mengenal mereka”. Hal ini diperparah ketika masyarakat internasional mengecam, justru Myanmar menunjukkan Undang-undang Kewarganegaraan pada tahun 1982, yang isinya sangat rasial, dan menyudutkan Rohingya. Kemudian pada tahun 2012 otoritas Myanmar menegaskan kembali bahwa Rohingya tidak boleh menjadi warga negara Myanmar. Sehingga mereka tidak mempunyai negara (stateless).

Bahkan masyarakat internasional tambah bingung, ketika state couselor (Perdana Menteri) Aung San Suu Kyi tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah terpilih sebagai Perdana Menteri Myanmar pada 06 April 2016, sebetulnya banyak harapan dan pencerahan dipundaknya, terutama bagi etnis Rohingya. Tetapi sebaliknya, Suu Kyi abstain dan mencari tempat aman di bawah bayang-bayang statusnya sebagai peraih nobel perdamain pada tahun 1991 itu. Apalah arti nobel bagi Suu Kyi? Inilah yang harus dipertanyakan manakala ia tetap melakukan pembiaran terhadap tragedi kemanusian yang menimpa negaranya.

Ketika ribuan pengungsi Rohingya semakin membeludak di kawasan Asia Tenggara seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Lagi-lagi Organisasi ASEAN juga tutup mata terhadap tragedi itu, prinsip non-intervensi yang diusung ASEAN terlalu mengekangnya untuk berbuat sesuatu, sehingga ASEAN juga memilih abstain dan memasrahkan kepada setiap negara anggotanya yang tengah berkonflik. Tapi yang perlu diingat masyarakat ASEAN itu satu tubuh,  ketika salah satu organ tubuh sakit maka harus dipahami nyerinya akan dirasakan ke organ tubuh lainnya. Jika ASEAN tetap demikian, maka benar yang dikatakan Suargana Pringganu “Masyarakat ASEAN akan seperti raksasa berjalan di dalam lumpur”.

Proaktif dan Pasif

Melihat tragedi holocaust etnis Myanmar, sebenarnya ada baiknya pihak penengah menggunakan pendekatan yang didengungkan Dinna Wisnu, yakni dengan proaktif dan pasif, dan keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Pertama, menggunakan cara proaktif, suatu negara yang mencoba jadi penengah atas isu Rohingya akan dituntut secara gigih menggali informasi dari Myanmar tentang dimensi-dimensi masalah kekerasan di Rakhine (Arakan), termasuk juga mengukur besaran konflik untuk kemudian dapat disulkan secara bilateral solusinya. Tapi harus diingat negara penengah harus dapat menjamin bahwa kekerasan tidak akan berlanjut. Cara proaktif bisa tetap diplomatis, tidak konfrontatif dan tidak memalukan Myanmar.

Pendekatan kedua menggunakan cara pasif, negara penengah akan dituntut lebih banyak wait and see, bicara dengan otoritas Myanmar tetapi cenderung fokus pada aspek yang ditawarkan Myanmar saja, dengan harapan agar tiap langkah negera penengah tidak disalahartikan. Pendekatan pasif ini tergolong aman baik dari segi persepsi, sumber daya, maupun perencanaan. Namun kekurangannya adalah tidak mustahil korban masih akan terus berjatuhan dan yang tidak sabar akan menggunakan isu ini sebagai amunisi untuk menuding ketidakberdayaan negara dalam melindungi muslim di Myanmar. Dari kedua pendekatan ini, naifnya mayoritas negara ASEAN memilih cara kedua. Selain dirasa aman dan karena susahnya mendekati Myanmar, mereka lupa jutaan etnis Rohingya masih terkatung-katung di lautan dan ketika sampai pesisir mereka malah diusir.


Share:

Prahara di Langit Desember

Berada di ujung tahun laksana berada di atas bukit. Dari atas bukit akan terbentang cakrawala maha luas, eksotis, dan tak terbatas. Dari atas bukit mata diberi kesempatan melihat pelbagai panorama, dan kesempatan melihat ke dalam diri tentang perasaan nelangsa yang membayangi masa lalu, masa kini, dan masa depan manusia.

Berada di ujung tahun adalah memparadekan debar jiwa. Dimana sebagian kita kadang terjebak pada gerbong hura-hura, sengaja mewarnai langit dengan kembang api, membisingi ruang dan waktu dengan suara leking terompet, dan kadangkala muda-mudi (mohon maaf) melucuti keperawanannya demi satu malam yang katanya sakral itu. Demi malam itu sebagian kita berharap semburat fajar kebaharuan yang telah lama lucut dari adabnya. Dan menghunjamkan spirit “kelahiran kembali” yang lahir dari kesadaran baru.

”Lahir” sebagai simbol terlepasnya diri dari sekapan kegelapan, dari keyakinan menikung yang tak membawa pencerahan dan dari gelegak nafsu yang dapat menjungkalkan marwah kemanusiaan ke tubir kehinaan. Dan ”baru” sebagai metafora kehidupan dengan semangat yang berbeda dari sesuatu yang kita anggap ”lama”.

Lebih luas lagi, seperti didengungkan Bang Asep Salahudin bahwa ”baru” itu satu tubuh dengan kebudayaan yang berjangkar pada etos penciptaan kebeningan batin (Cicero), keluhuran nalar (Raymond Williams), kekukuhan menjunjung tinggi nilai universal (Kant), daya imajinasi kreatif (Schiller), terus mengupayakan  terwujudnya masyarakat sempurna (EB Taylor) melalui gelegak daya kehidupan dengan membiarkan insting natural menemukan katupnya yang optimal (Nietzsche).

Ketika berada di ujung tahun, sepatutnya dijadikan momentum meraih pembebasan, meneguhkan sikap keterbukaan dan penegasan posisi dari keberagamaan dan kebernegaraan kita. Karena bagaimanapun kita akan mengkonstruksi konsep diri kita dengan mengendarai waktu. Ini barangkali yang jadi alasan metafisis, dalam ajaran Islam, Tuhan banyak bersumpah menggunakan diksi yang berdimensi waktu. Sebut saja: demi masa (wal ashri), demi malam (wal laili), demi siang (wan nahari), demi fajar (wal fajri), demi bulan (wal qamari), demi matahari (wasy syamsi), demi waktu duha (wadh dhuha).

Hasan al-Basri menambahkan tentang prahara waktu, “Hai anak Adam, sesungguhnya hidup kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hari milikmu itu pergi, berarti pergilah jua sebagian darimu”.

Tapi kadang kita terperangkap pada kata “waktu”. Kata “waktu” akan menjadi antitesis ketika dikawinkan dengan “baru”, keduanya memiliki ruas dan rel masing-masing dan tak bisa disatu-ranjangkan. Waktu tak pernah mengalami kebaharuan meskipun hari, bulan, tahun, dan abad telah berguguran. Waktu berjalan linear: melesat cepat ke depan menembus berbagai zaman meski penghuni semesta ini telah ribuan kali berganti dan berguguran. Bersama kecepatan pula kemudian sejumlah imperatif kehidupan hilang. Sehingga pada titik nadir ini, untuk apa mengucapkan “selamat tinggal Desember” dan “selamat datang Januari”.

Barangkali kita akan sedikit merasa tertusuk-tusuk untuk tidak melakukan lelaku mubazir di ujung tahun ketika membaca sajak Nota Bulan Desember karya Penyair Ahmad Nurullah: Tak perlu kuucapkan “selamat tinggal” pada detik terakhir bulan Desember / dan “selamat datang” untuk detik awal Januari / Untuk apa? Segala waktu sama / Waktu adalah sumbu semua sejarah, ibu segala kepedihan.  Almanak pun jatuh. Telungkup. Tahun bersalin / Tapi, di antara detik-detik yang gugur, bulan-bulan membusuk / hari-hari berkarat, dan jam yang menguning, banyak hal yang masih lengket—berkecamuk dalam kenangan.

Bahkan di bait ketiga dan keempat Nurullah seakan memparodikan keputusasaannya akan makhluk yang bernama waktu itu. Seperti almanak yang tajuh ia gambarkan tentang egoisnya waktu yang melibas beberapa peristiwa dan tragedi. Dalam konteks negeri ini misalnya, ketika waktu mempertontonkan tanah meledak, kota-kota terbakar, AIDS, flu burung, demam berdarah, busung lapar, fluktuasi BBM, harga-harga menjerat leher. Atau dalam rentang 12 bulan tahun 2016 misalnya, ditemukan isu bom dan terorisme, LGBT, reshuffle Kabinet, banjir Garut dan Bima, korupsi, pembakaran tempat ibadah, aksi demonstrasi 411 dan 212, pesona kopi Jesicca, bahkan berita nahas kegalaan Timnas Garuda mengangkat Piala AFF untuk yang kelima kalinya.

Sedangkan dalam konteks lintas batas garis teritorial, kita jumpai tragedi holocaust etnis Rohingya di Myanmar, ISIS di Irak dan Suriah, gelombang pengungsi Timur Tengah yang membanjiri Eropa, Brexit (British Exit), konflik Bashar al-Assad dengan oposisi, konflik Syiah-Sunni, bom di Turki, terpilihnya Antonio Gutteres sebagai Sekjen PBB, mangkatnya Raja Thailand Bhumibol Adulyadej, mangkatnya Komandan Fidel Castro, dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden ke-45 Amerika Serikat yang diluar dugaan melenggang mulus menyingkirkan Hilary Clinton. Tapi waktu tak peduli. Waktu terus berjalan, mengusung detak-detaknya, diam-diam menyembunyikan wajahnya di balik paras bulan merekah. Waktu adalah siluman yang pandai menyamar.

Lalu apa yang baru dari waktu? Apa yang hendak kita rayakan pada tahun baru?. Dengan nada dan getar yang sama, atau bahkan lebih lirih lagi Nurullah kembali membatin: Seperti waktu, akupun terus berjalan: gelisah oleh tatapan / mata bulan. Gemetar di bawah kerling matahari / sebab, gara-gara waktu, banyak hal berdesak untuk diingat / dan aku berjuang untuk lupa—sebagai jalan / pembebasanku. 

Maka diujung tahun ini, dengan tanpa niatan menyakiti penyuka gemerlap malam pergantian tahun. Alangkah etis dan beradabnya kita menyerobot kopi ditemani sebungkos rokok saja di rumah, atau duduk di kursi goyang sambil mendengarkan lagu Auld Lang Syne karya Robert Burns (penyair Skotlandia), yang liriknya berkisah tentang persahabatan, persaudaraan, dan menyiratkan pentingnya mengenang dan merenungkan peristiwa yang sudah-sudah. 










Share:

Jumat, 16 Desember 2016

Ekologi Sastra di Bantaran Sungai

Peradaban dunia banyak dibangun dari peradaban sungai. Sungai menjadi ikon penting, yang diyakini manusia—dari pelbagai lini masa—sebagai sarana kelangsungan kehidupan, dan mengantarkannya pada gelanggang kemajuan yang sakral. Peradaban suatu bangsa/kelompok yang masyhur ialah menjaga ekosistem sungai pada koridornya agar tetap lestari. Sehingga  ekologi antara makhluk dan lingkungan tetap harmonis.

Melihat sungai adalah melihat sejarah. Banyak negeri yang masyhur karena mencipta peradabannya melalui sungai: seperti Mesir dengan Lembah Sungai Nil-nya, atau Mesopotamia yang bergantung pada Sungai Eufrat dan Tigris, India dengan Sungai Indus dan Sungai Gangga, China dengan Sungai Huang Ho (Kuning), dan tentang keangkeran Sungai Amazon di Amerika Selatan. Semuanya memiliki khazanah dan sejarahnya masing-masing. Bahkan, Sungai Nil (Mesir) oleh seorang ahli sejarah Yunani, Heredotus mengatakan “tanpa Sungai Nil Mesir tidak mungkin maju, Mesir adalah hadiah sungai Nil.” 
Share:

Kamis, 15 Desember 2016

Tiket Masuk Surga

Berbicara tentang surga, tentu dalam konteks hari ini tidak mubazir untuk diperdebatkan. Karena keagungan yang dimilikinya, serta menjadi orientasi final manusia dan menjadikan surga sebagai impian untuk lekas mendapatkannya. Surga tempat makhluk Allah dan orang-orang mukmin yang mengagugkan Allah akan hidup kekal dan abadi di sana.

Mafhum dipahami, di surga tidak ada malapetaka, lelah, sakit, luka, lesu, penat, bosan, malas, lapar, haus, dan sebagainya. Di sana hanya ada kesenangan, kemudahan, dan keindahan. Istana di dalam surga terbuat dari emas. Bebatuannya terbuat dari mutiara, zabarjad (batu mulia), dan yakut (permata). Pepohonannya tidak bisa dijelaskan karena kebaikan dan keindahannya.

Di sana juga terdapat buah-buahan yang enak, segar yang beragam. Di sana juga terdapat banyak burung keberuntungan yang senantiasa memanggil orang-orang muslim sejati ketika menginginkan dan mengharapkan sesuatu, tanpa meminta dan tidak perlu dan mengharapkan sesuatu, tanpa meminta dan tidak perlu memeras pikiran atau berjuang. Itu merupakan dambaan dan kenyataan, permohonan dan pelaksanaan.
Share:

Rabu, 30 November 2016

Kuba pada Persimpangan Jalan

Google.com
Sang Comandante Fidel Alejandro Castro Ruz, telah meninggal dunia pada jumat (25/11) pukul 10:30 malam waktu setempat. Kuba tidak lagi memiliki El jeve maximo, seorang pemimpin, bos, revolusioner, dan komandan tertinggi yang menakhodai Kuba dari 02 Desember 1976 sampai 24 Februari 2008. Ia meninggal pada usia ke-90, karena sakit yang dideritanya selama satu dekade rakhir.
Pada 24 Februari 2008, sebelum ajal menjemputnya, Fidel menyerahkan tampuk kekuasaan kepada adik kandungnya Raul Castro (85), yang usianya juga telah lanjut. Selain meneruskan estafet kediktatoran kakaknya, Raul Castro adalah politikus gerontokrat yang sulit dihapuskan dari ingatan Los Cubanos (Masyarakat Kuba), karena ia juga terlibat dalam revolusi Kuba tahun 1959.

Sejak kemenangan Revolusi Kuba, 01 Januari 1959, Fidel Castro bisa dibilang kepala pemerintahan terlama di dunia yakni hampir lima dekade. Meskipun tidak selama Raja Bhumibol dan Ratu Elizabeth II,  Fidel menjadi pesohor terakhir, sebagai pengawal komunisme internasional sepanjang abat ke-20 dan awal abad ke-21. Pesohor lainnya, katakanlah Mao Zedong (China), Ho Chi Minh (Vietnam), dan sahabat karibnya Che Guevara (Kuba) telah lama mangkat mendahuluinya.

Ucapan simpati dan dukacita berdatangan dari berbagai belahan dunia. Dari Amerika Serikat, Obama dan mantan Presiden Jimmy Carter menyatakan duka citanya dan mendeskripsikan kenangan nostalgiknya ketika berkunjung ke Kuba. Ucapan dukacita juga datang dari Presiden Meksiko Enrique Pena Nieto, Presiden Venezuela Nicolas Maduro, dan Presiden Indonesia Joko Widodo. Sedangkan presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump menyatakan dalam Twitter dengan kalimat singkat yang terkesan sarkas: “Fidel Castro is dead..!”.

Kematian Fidel menyisakan ambivalensi global, terutama bagi rakyat Kuba yang “mencintai” dan yang “membenci”. Bayangkan saja, ketika rakyat Kuba yang mencintai tengah berlinang air mata, kelompok  pembenci tengah bersorak gembira merayakan meninggalnya Fidel Castro yang telah menginjak hak asasi rakyat selama 50 tahun lebih. Kelompok pembenci ini adalah komunitas pelarian Kuba (Cuban Exile), yang eksodus ke beberapa negara bagian Amerika Serikat, Florida salah satunya. 

Dunia mengakui kalau sosok Fidel adalah simbol terpenting perlawanan kaum minoritas dan tertindas akibat penjajahan. Hingga menjelang akhir hayatnya, Fidel secara konsisten tetap menyuarakan perlawanan terhadap upaya kekuatan asing, terutama Amerika Serikat yang mengeruk kekayaan dan merenggut peradaban Kuba sebelum revolusi 1959. Karena menurut Fidel; “Revolusi bukanlah tempat tidur bertabur mawar merah. Revolusi adalah perjuangan mati-matian antara masa lalu dan masa depan” (penggalan pidatonya, pada Januari 1961). 

Selama hidupnya Fidel Castro, tercatat ada 638 kali upaya pembunuhan Fidel dilakukan. Namun, hingga terjadi 10 kali pergantian Presiden Amerika Serika dari Kennedy sampai Barrack Obama, Fidel tetap selamat dan posisinya tetap tak tergoyahkan.

Maka setelah kematian Fidel Castro banyak spekulasi berhamburan tentang masa depan Kuba. Akankah halaman sejarah Kuba berubah?. Benarkah revolusi akan tinggal nama?. Dan seperti apa masa depan hubungan Kuba-Amerika Serikat yang dulu sempat harmonis ketika masa pemerintahan Fulgencio Batista.

Era Keterbukaan

Pada tanggal 03 Desember 1961, Amerika Serikat mengembargo Kuba. Tapi Fidel tak gentar, dan ketika Fidel melakukan kunjungan luar negeri pertamanya sebagai Presiden Kuba ke Amereka Serikat. Ia bersikap tegas dan berpaling ke Uni Soviet yang pada saat itu juga merupakan salah satu spektrum dunia.

Tapi, malapetaka datang ketika di tahun 1991 Uni Soviet runtuh dan menyebabkan krisis multidimensional. Laiknya Domino Hill yang roboh, imbasnya pun menimpa Kuba. Puncaknya, ketika Presiden Gorbachev (Rusia) menghentikan subsidi dari Moskwa ke Havana. Kasus itu membuat Kuba makin terpuruk dan mengalami kesulitan pasokan makanan. Fidel hanya mencanangkan dimulainya “periode spesial” dimana dia meminta rakyatnya untuk bersabar dan lebih mengencangkan ikat pinggang.  Tapi Rakyat merespon negatif, maka meletuslah demonstrasi dimana-mana, yang menuntut Fidel turun gunung, lengser dari presiden.

Fidel memang penuh teka-teki, ia sempat menyatakan bahwa tidak perlu menjalin hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat. Namun pada tahun 1993, ketika Kuba memang benar-benar bergejolak, keadaan memaksa Fidel melegalkan Rakyat Kuba memegang dollar AS, yang dibelanjakan para wisatawan atau kiriman dari para keluarga pelarian Kuba yang di Amerika Serikat.

Maka setelah kematian Fidel, dan Kuba di bawah kendali Raul, banyak restorasi kebijakan untuk mendongkrak krisis internal Kuba. Salah satunya usaha normalisasi hubungan AS-Kuba yang sepakat untuk bersama-sama menggalang hubungan diplomatik, membuka jalan normalisasi hubungan bilateral di akhir bulan Desember 2014.

Hal ini ditandai dengan membebaskan tiga personil intelijen Kuba yang ditangkap, dan Kuba membebaskan mata-mata berkewarganegaraan Amerika Serikat yang telah ditahan selama 20 tahun. Kemudian dilanjutkan pembukaan kedutaan besar di Havana dan Washinton pada tanggal 20 Juli 2015. 

Role Dilemma

Setelah kematian Fidel Castro, banyak pengamat memprediksi masa depan Kuba menjadi misteri dan semi abu-abu. Kuba sekarang mengalami Vacum of Power,hilangnya seorang pemersatu yang disegani. Atas nama rakyat yang bingung, maka tak ayal mereka tengah tiba di persimpangan jalan, dan menuntut mereka untuk lekas memilih jalan kanan atau jalan kiri.

Mereka merasakan Role Dilemma (dilema untuk berperan dan dilema yang ganda). Dalam artian, rakyat dilema untuk mengikuti nakhoda Raul Castro yang cenderung ke-kanan-kananan. Atau mempertahankan identitasnya sebagai negara sosialis satu-satunya di Westren Hemisphere (belahan bumi barat).

Menurut Richard L Harris (1992), Rakyat Kuba sampai kapanpun akan terngiang-ngiang dengan penegasan Fidel bahawa komitmen Negara Kuba tidak akan mengadopsi jenis reformasi ekonomi-politik Amerika, bekas Uni Soviet, Eropa, bahkan dari negara dan kawasan manapun.

Memang komitmen Fidel tidak tanggung-tanggung. Ia berkomitmen untuk menyejahterakan rakyat, sehingga mencanangkan lahirnya masyarakat Kuba (Los Cubanos) yang baru dan beradap. Dari peningkatan kualitas pendidikan, jaminan kesehatan, dan pengadaan perumahan  menjadi prioritas bagi masyarakat. Meski Kuba pernah krisis akut usai hancurnya Uni Soviet, Fidel mampu mengangkat likuiditas keuangan, meningkatkan insentif buruh, dan menangani kelangkaan makanan, barang-barang konsumen, dan jasa (Nur Iman Subono, 2006).   

Inilah yang membuat Rakyat Kuba harus berfikir dua kali, tentang berbagai perombakan tatanan Kuba yang kadung dilakukan Raul Castro. Rakyat masih meyakini, bahwa kesejahteraan di era Fidel tidak akan didapatkan dari pemimpin demokratis manapun. Apalagi Raul telah mengumumkan pengunduran dirinya di tahun 2018. Lebih jauh lagi terpilihnya Donald Trum tentunya akan membuka halaman baru Hubungan Amerika Serika-Kuba yang lebih eksentrik.




Share:

Jumat, 25 November 2016

Sekaten, Kisah Sukses Akulturasi Budaya

Tradisi Sekaten dirayakan kembali tahun ini, sebuah momentum luhur yang sangat dinanti masyarakat kota Madya Yogyakarta. Setiap tahunnya limpahan masyarakat memadati area Keraton Yogyakarta. Apalagi pengunjung Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS), yang digelar di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta tak pernah surut setiap malamnya. Dengan semangat religius, historis, dan kultural yang diusungnya, perayaan Sekaten dimaknai sebagai kristalisasi budaya, islamisasi, keramaian, pesta rakyat, hiburan dan menjadi ritual wajib masyarakat Yogyakarta setiap tahunnya.

Tradisi Sekaten berawal dari bangkitnya Islam di Jawa pada abad ke-16. Waktu itu Kerajaan Demak berhasil mengakuisisi kekuasaan di Pulau Jawa setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Dalam perkembangannya, perayaan Sekaten kemudian dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga dan para Walisongo. Para Wali ini berhasil menyatupadukan budaya setempat dengan nilai-nilai keislaman. Utamanya menggunakan kesenian karawitan (Gamelan Jawa) untuk memikat hati masyarakat.

Perayaan Sekaten diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal, tanggal 06 sampai dengan 12, bersamaan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pasar malam Sekaten sendiri berlangsung satu purnama penuh sebelum 12 Rabiul Awal. Selain PMPS, ada rentetan acara didalamnya yang tidak bisa dilewatkan. Seperti; Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan, Numplak Wajik, Kinang (Jawa: nginang), Gunungan atau Gerebeg Maulud, dan makanan-mainan khas Sekaten seperti (telur asin, pecut, celengan, endog abang, gasing), yang kemudian bertranformasi kini menjadi PMPS yang lebih komersial dan hedonis.
Share:

Selasa, 15 November 2016

Dari Fundamentalisme ke Radikalisme

Google.com
 “Kita tengah berduka, kita telah lama terluka”. Begitulah anasir yang pas untuk mendiskripsikan suasana batin Umat Islam sedunia saat ini. Peradaban Islam telah hancur, perang saudara tak kunjung final, dan Barat terus mengintai, seolah-seolah mengulurkan tangan padahal tertawa di puncak gedung bertingkat nan megah itu. Maka tak ayal kalau sifat reaksionis umat Islam berbau kekerasan terjadi dimana-mana. Fundamentalisme dan radikalisme salah satunya.

Fundamentalisme adalah istilah relatif baru dalam kamus peristilahan Islam. Karena secara historis penggunaan istilah ini berkait-kelindan dengan kebangkitan fundamentalisme  dalam gereja Protestan, khususnya di Amerika Serikat dan Kanada sebagai reaksi terhadap gerakan reformisme dan liberalisme.

Istilah “Fundamentalisme Islam” sendiri mulai populer beriringan dengan terjadinya Revolusi Islam Iran pada 1979, yang memunculkan kekuatan muslim radikal dan fanatik yang siap mati melawan the great Satan, Amerika Serikat. Kemudian sejak runtuhnya komunisme pada tahun 1991, Barat menjadikan agama Islam (secara umum) dan kelompok Fundamentalisme (secara khusus) sebagai musuh dan target baru, serta memusatkan politik luar negeri mereka kepadanya. Apalagi makin kesini, Barat mulai menancapkan sistem pemerintahan demokrasi, ideologi liberal, ekonomi kapitalis, serta isu sektarianisme.

Fundamentalisme Islam juga masyhur dengan istilah ushuliyyun, yakni kelompok yang berpegang kepada fundamen-fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dalam kaitan ini pula digunakan istilah al-Ushuliyyah al-Islamiyyah, yang mengandung pengertian kekuasaan politik ummah: dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah. Formulasi ini seperti terlihat lebih menekankan dimensi politik gerakan Islam, ketimbang aspek keagamaannya. (Azyumardi Azra, Pergolokan Politik Islam, 1996. Hal:109)

Menurut sosiolog agama, Marty, gejala Fundamentalisme Islam muncul dengan berbagai prinsip: pertama, Fundamentalisme Islam bersifat oppositionalism (paham perlawanan). Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Dengan kata lain, kaum Fundamentalis menolak sikap kritis terhdap teks dan interpretasinya. Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum Fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil dari pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum Fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.

Dan yang keempat, adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan, bahwa semakin jauh masyarakat dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai “as it should be” bukan “as it is”. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannya, kalau perlu secara kekerasan dengan teks kitab suci. Bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat.

Fundamentamentalisme Islam Pra-Modern dan Modern

Fundamentalisme Pra-Modern, muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu di kalangan umat Islam sendiri. Karena itu, ia lebih genuine dan inward oriented, berorientasi ke dalam diri kaum Muslim sendiri. Seperti tentang gerakan Khawarij yang dapat diebut sebagai gerakan Fundamentalis Islam klasik, yang pada gilirannya mempengaruhi banyak gerakan Fundamentalis Islam sepanjang sejarah. Gerakan Khawarij yang muncul dari pertikaian Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, terkenal dengan prinsip-prinsip radikal dan ekstrim; bagi mereka tidak ada hukum, kecuali hukum Allah SWT.

Kemudian gerakan Fundamentalis Pra-Modern lainnya seperti gerakan Wahabi di semenanjung Arabia (1703). Di Nigeria Utara, Syaikh “Utsman” dan Fodio (1754-1817) yang melancarkan aksi jihad memerangi penguasa Muslim dan pendukungnya yang korupsi, dan mencampur-adukkan budaya lokal dengan praktek-praktek Islam. Gerakan jihat juga muncul di Afrika Barat, di bawah pimpinan al-Hajj Umar Tal (1794-1865). Gerakan Fundamentalisme Umar Tal juga menyebar di wilayah-wilayah yang sekarang termasuk Guinea, Senegal, dan Mali. Bahkan gerakan Fundamentalis yang mirip dengan Wahabi juga telah muncul di Indonesia, dikenal dengan Gerakan Padri Minangkabau.

Sedangkan Fundamentalisme Modern lebih outward oriented, berorientasi ke/dari luar kaum Muslim sendiri, ia bangkit sebagai reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial, budaya, politik, dan ekonomi Barat, baik akibat kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir Muslim, tegasnya kelompok modernis, westernis, sekularis dan atau kelompok Muslim yang menurut kaum Fundamentalis merupakan perpanjangan mulut dan tangan Barat. Seperti contoh, gerakan kaum muda Mesir al-Ikhwan al-Muslimun (IM) pada tahun 1928. Didirikan oleh Hasan al-Banna, seorang Muballigh Mesir.

Gerakan IM adalah politik yang muncul sebagai usaha untuk merespon aneksasi barat, utama Inggris ketika diterbitkannya “Balfour Declaration” pada 02 November 1917. IM mempunyai ideologi total dan komprehensif terhadap barat. Program IM antara lain: Islam memancar dari dua sumber fundamental, yakni al-Qur’an dan al-Hadits. Program internasionalisasi organisai guna membebaskan seluruh wilayah Muslimin dari kekuasaan dan pengaruh asing. Kemudian membangun di wilayah Muslimin yang telah dibebaskan itu pemerintahan Islam, yang mempraktekkan prinsip-prinsip Islam.

Maka setelah kemunculan IM bermunculan gerakan-gerakan Fundamentalisme modern, seperti Kelompok Habib, dan Hizbut Tahrir, yang menginginkan khilafah tapi menolak menempuh jalur politik. Konsep ideologi mereka lebih condong soft dengan dasar pemikiran adalah “mengislamkan” masyarakat umum di mana bila tercapai maka khilafah akan terbentuk dengan sendirinya.  Kelompok kami tidak punya data cukup memadai tentang kelompok ini dan jalurnya dengan organisasi di Indonesia.

Maka dari segala aneka gerakan tersebut, pada abad 21 ini. Gerakan Fundamentalisme Islam bermetamorfosis, atau menjadi cikal-bakal menjadi gerakan radikalis yang tentunya lebih anarkis dan lebih menakutkan. Seperti kelompok terror yang hangat di telinga kita kempok Al-Qaeda, Boko Haram, atau ISIS di Iraq dan Suriah yang sampai saat ini masih ada. 

*)Disampaikan dalam Kajian Ilmiah PPM. Hasyim Asy'ari Yogyakarta

   
   



   
   
Share:

Senin, 31 Oktober 2016

Memutus Diaspora ISIS di Mosul



Google.com
Kota Mosul (Irak) menjadi arena pertempuran sengit pekan ini. Berbagai kekuatan regional maupun internasional bahu-membahu dalam satu misi dan aksi, yakni memutus diaspora kelompok jihadis the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang menguasai Mosul sejak tahun 2014.

Setidaknya, ada sekitar 40.000 pasukan militer gabungan, militer Irak, pejuang Kurdi (Peshmerga), milisi Syiah dan pengongkang senjata Sunni sedang melakukan serangan besar-besaran untuk merebut kembali Mosul dari genggaman ISIS. Mereka juga dibantu pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat, yang sejauh ini telah menghujani sarang ISIS dengan rudal dan bom. Tapi banyak pengamat memprediksi; pembebasan Mosul tidak akan purna dalam waktu dekat, tapi membutuhkan waktu berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.

Share:

Selasa, 18 Oktober 2016

La Jeu Gan, Raja Bhumibol Adulyadej

Negeri Gajah Putih, Thailand tengah berduka. Raja Thailand Bhumibol Adulyadej (88) telah mangkat pada hari kamis, 13 oktober 2016. Peristiwa memilukan ini menjadi pukulan telak bagi keluarga kerajaan, rakyat Thailand, dan dunia akan sepak terjang raja (yang bergelar Rama IX) selama hidupnya. Rakyat Thailand kehilangan raja yang dicintai dan termanifestasikan dengan “berkabung nasional selama satu tahun”. Seluruh badan pemerintahan mengibarkan bendera setengah tiang selama sebulan, dan rakyat menggunakan baju hitam selama tenggat waktu yang tidak ditentukan.

 Raja Bhumibol Adulyadej lahir di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, 05 Desember 1927. Ia mendapat gelar sebagai Raja Rama IX pada 09 Juni 1946, di usia ke-19 tahun. Waktu itu ia tengah belajar ilmu hukum dan ilmu politik di Swiss. Ia diangkat menjadi raja menggantikan kakaknya, Raja Ananda Mahidol yang ditemukan tewas di kamarnya dengan peluru di kepalanya. Pada tanggal 05 Mei 1950, beberapa hari setelah menikah dengan sepupunya, yang kemudian dikenal dengan nama Ratu Sirikit, ia kembali ke Thailand dan dinobatkan secara resmi sebagai raja Rama IX.
Share:

Sabtu, 15 Oktober 2016

Jihad Melawan Terorisme

Istilah Black September (11 september 2001) adala
h idiom berkabung atas tragedi besar yang menggemparkan dunia dan memalukan negara superpower, Amerika Serikat. Bersamaan dengan itu masyarakat dunia prihatin dan empati kepadanya. Luluh lantaknya gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon telah mengubah mimik muka dunia setelah berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet tahun 1991. George W. Bush, presiden Amerika Serikat (ke-43) waktu itu naik pitam, gusar, dan mengumandangkan: Amerika Serikat perang melawan terorisme “Global War on Terror”.

 Belum terobatinya sakit hati dan duka para korban tragedi Black September. Pada 12 oktober 2002, dunia kembali dikejutkan dengan bom Bali I yang dikenal dengan sebutan Bali Blast, terjadi di pusat Hiburan diskotik Sari Club di Legian Bali Indonesia. Tidak hanya itu, pengeboman terjadi lagi di hotel JW. Marriot dan Ritch Calton Jakarta (05/08/03). Disusul bom Bali II (01/10/ 05). Hingga yang paling mutakhir pengeboman dan penembakan di Sarinah daerah sekitar Plaza, Jakarta 14 Januari 2016. Tragedi demi tragedi pengeboman seolah berlomba saling susul-menyusul dan tak bisa diprediksi kapan menyentuh garis finish. Dan inilah yang disebut Muhammad Taufiq “Semesta Terorisme” dalam bukunya (Serial Terorisme Demokrasi 2: Densus & Terorisme Negara).
Share:

YA BASTA..!!! (Memutus Siklus Imperialisme Bahasa)

Google.com


Republik ini lahir dari rasa rindu yang dalam akan keadilan. Republik ini lahir dari ketidaksangkupan menahan rasa pahit akibat tertindas. Republik ini lahir dari kesadaran bahwa identitas ke-Indonesia-an harus dipertahankan dan direbut kembali dari kolonialisme-imperialisme. Itulah pledoi “Indonesia Mengguat” yang dibacakan Ir. Suekarno  di hadapan pengadilan kolonial di Bandung pada 02 Desember 1930.

Menjalani kemerdekaan tidak segampang yang dibayangkan. Ada perubahan drastis bangsa ini yang semula patriotik (pra kemerdekaan) menjadi bangsa lebih pendiam (pasca kemerdekaan). Semangat anti kolonialisme-imperialisme sejak awal, telah dibabat habis pada tahun 1965 hingga sekarang. Indonesia  yang “garang” tiba-tiba menjadi begitu “ramah” kepada Barat dan amat terbuka. Ini menjadi cambuk, akan seperti apa paras Indonesia kelak, minimal di usia yang ke-100 kemerdekaan pada tahun 1945.
Share:

Mengapa Bob Dylan, bukan Haruki Murakami?



Google.com
Berapa kali orang harus tengadah
Sebelum dia dapat menatap langit
Ya, dan berapa telinga harus dipasangkan
Agar dia mampu mendengar ratap dan tangisan
Ya, dan berapa banyak manusia dibunuhi
Hingga dia sadar begitu banyak orang mati
(Sepenggal lirik lagu Blowing in The Wind Karya musisi Bob Dylan [1962])

           
Lagu Blowing in The Wind karya pesohor Bob Dylan pertama kali diciptakan pada tahun 1962. Dan dirilis sebagai single album lewat album The Freewheelin pada tahun 1963. Lagu bergenre folk ini mengisahkan tentang protes suatu perang, dan menggambarkan tentang keinginan atau kerinduan untuk terciptanya perdamaian, dan/atau keinginannya untuk mengajak manusia yang berkonflik ke titik kulminasi persahabatan. Lirik lagu puitik itu pula yang mengantarkannya menggondol hadiah prestisius Nobel Kesusastraan tahun 2016.

Pengumuman pemenang Nobel Kesusastraan yang disampaikan Sara Danius, pada Kamis 13 oktober 2016 itu sungguh mengharukan. Ketika nama Bob Dylan dibacakan, suara-suara ketidakpuasaan menggema di aula Royal Swedish Academy, Stoclholm, Swedia. Sebentuk kekecewaan terselubung karena Bob Dylan statusnya sebagai underdog yang tidak diunggulkan. Tapi akhirnya polusi udara itu pupus, sebab riuh-rendah tepuk tangan mengiringi Bob Dylan melangkah menuju podium. Dia tampak elegan menggunakan jas hitam dan kacamata hitam yang seolah menolak kenyataan bahwa umurnya sudah 75 tahun.    

Share:

Rabu, 14 September 2016

Robohnya “Bahasa” Kami

Google.com



Tulisan ini lahir, dari rasa prihatin saya melihat kegandrungan masyarakat kita terhadap bahasa selain Indonesia. Waktu itu, saya sedang mengendarai motor bebek hendak ke kampus. Di tempat pemberhentian lampu merah, saya menemukan iklan-iklan di papan reklame yang berbahasa Inggris, seperti Kuantan Regency, Royale Village, Merapi View, dan Kurahan Residence. Sehingga muncul pertanyaan “mengapa iklan itu menggunakan Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia”.

Saya tiba di kampus, justru pemandangan di lampu merah tadi terulang lagi, dengan medium dan daya eksplor berbeda. Teman-teman saya bicara Bahasa Inggris, walau tidak keseluruhan, tapi teman itu rasa-rasanya tidak sungkan menyelipkan Bahasa Inggris dalam percakapannya. Ini mungkin hal biasa dijumpai di tempat lain, tapi yang lebih “parah” dosen-dosen saya juga dengan bangga menyelipkan Bahasa Inggris ke dalam ceramahnya di depan kelas. Ini semacam langkah maju atau mundur bagi kita?.

Share:

Rabu, 24 Agustus 2016

Mozaik Sastra Religi

Google.com


Pada tahun 2004, kita masih ingat dengan kesuksesan novel Ayat-ayat Cinta (AAC) yang berhasil menembus angka penjualan lebih dari 400.000 eksemplar. Bahkan ketika novel ini diangkat ke layar lebar, jutaan orang yang menonotonnya terjerembab ke dalam kubang emosi karena tokoh Fahri yang digambarkan sebagai laki-laki tanpa cela, tak pernah salah, apalagi berdosa. Habiburrahman El-Syirazi, Sang pengarang, bahkan terheran-heran dengan hal itu, karena sebelum novel itu naik cetak, ia sangat pesimis ketika pertama kali menyodorkan naskah kepada Ahmadun Yosi Herfanda, redaktur sastra harian Republika. 

Setelah kemuculan novel maha best seller itu, maka tak ayal kalau Damhuri Muhammad menyebutnya sebagai “sindrom ayat-ayat cinta” dalam buku kumpulan esainya (Darah-daging Sastra Indonesia). Barangkali karena novel itu pula, banyak berhamburan novel-novel yang berjenis kelamin sama, bahkan judul dan nama pengarangnya ikut-ikutan. Salah satunya bait-bait cinta (2008) karya Geidurrhman El Mishry yang penjualannya menembus angka 35.000 eksemplar, buku keduanya Langit Mekah Berkabut Merah (2008). Setali tiga mata uang, ketiga novel tersebut sama-sama mengambil setting tempat di Kairo (Mesir), kisah mahasiswa Indonesia, dengan nama tokoh yang juga hampir mirip “Fahri dan Firdaus”.
Share:

Sabtu, 20 Agustus 2016

Inspirasi Para Pesohor

Google.com


Saya masih ingat petuah Joni Ariadinata ketika mengisi kelas menulis di Lesehan Sastra Kutub Yogykarta (LSKY) 11 agustus 2016 lalu. Isinya begini: “mempelajari ilmu terbang itu hanya butuh waktu lima menit, tapi tidak sekejap itu kalau mau belajar menulis, butuh kesabaran, kesabaran, dan kesabaran.” Waktu itu kami laksana diadili di ruang sidang, padahal beliau belum beranjak jauh membahas tentang semak belukarnya dunia penulisan cerpen, sontak semangat 45 kami untuk belajar menulis meredup tiba-tiba diawal perjumpaan. “saya dulu tukang bangunan, tukang becak, bahkan pengamen. Tapi sebutir debu-pun semangat saya tidak luntur, karena saya takut kalau tidak jadi penulis, tali gantungan di kamar kosku itu akan melilitku” tambahnya membakar suasana.

Iya, Joni Ariadinata memang memasang tali gantungan di kamar kos-nya yang setiap saat dipandangi kalau tiba-tiba beliau malas membaca buku dan menulis. Hingga pada akhirnya angin pencerahan berhembus, ketika cerpen pertamanya dimuat di Surabaya Post setelah satu tahun berproses dan memelototi tali gantungan itu. Bahkan cerpen keduanya (Lampor) langsung dimuat di harian koran Kompas, dan menjadi cerpen terbaik pilihan kompas 1994. Tiga tahun kemudian beliau mendapat penghargaan sebagai cerpenis terbaik nasional versi BSMI atas cerpennya berjudul Keluarga Muridku. Selanjutnya kediriannya sebagai seorang penulis mulai ditemukan, menempatkan dirinya sebagai individu yang otonom diantara ribuan cerpenis lainnya yang memiliki karakter dan rasa berbeda-beda dalam karyanya.
Share:

Jumat, 19 Agustus 2016

SELFIENISME

Google.com

Ibnu Haitham lahir di Basra (salah satu sentra ilmu di Iraq) pada tahun 965 M, ia dikenal sebagai ilmuan muslim Polymath, yaitu seorang pakar yang mengusai berjibun bidang ilmu: filsafat, matematika, fisika, falak, geometri, pengobatan, dan secara serius mengkaji seluk-beluk ilmu optik. Ia telah menginspirasi ahli sains barat seperti Roger Bacon dan Joseph Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop, dan siapa sangka ia pula yang menemukan kamera pertama kali di jagat semesta ini.

Adalah kamera obscura temuannya. Kamera sebesar kulkas itu ditemukan Ibnu Haitham ketika mempelajari gerhana matahari. Ia terinspirasi oleh bulan, kamera (Qumroh dalam Bahasa Arab) itu ibarat kamar kecil yang semua sudutnya tertutup rapat tak ada cahaya sama sekali, hanya ada lubang kecil didepannya. Dan dengan lubang itu cahaya akan masuk kemudian menyimpan bayangan yang terbayang masuk oleh cahaya ke dalam kamera yang didalamnya sudah disediakan media untuk menyimpan bayangan tersebut.
Share:

Jumat, 29 Juli 2016

Sepetak Surga di Madura (Isra Mi’raj ke Gili Labak)

Zakerah Adventure:Road to Gili Labak


Aku dan tiga belas manusia merasakan debar yang sama di atas Sampan Kateran (sampan nelayan Madura), di atas kedalaman laut yang maha itu kami harap-harap cemas, karena takut jasad kami tak mencium daratan lagi. Hempas ombak sesekali menguji adrenaline karena sampan kami bergoyang eksotik tanpa henti. Ada yang baca sholawat, ada yang muntah liur, ada yang pucat pasi termenung, bahkan ada salah satu teman sok tidur padahal sulit memejamkan mata.

Iya, kami memang mengarungi samudera sekarang, selama satu jam lebih, tanpa standarisasi pengamanan mumpumi, tanpa alat keselamatan atau pelambung. Kami bergantung pada-Nya dan awak kapal yang selalu berusaha mencairkan keadaan “tenang dik, ini ombaknya stadium rendah kok.” Ujarnya, petuah-petuah itu dilantunkan laksana kultum jum’at di atas lautan.

Share:

Kamis, 28 Juli 2016

Khairul Mufid Jr on Galery

Add caption

Share:

Rabu, 20 Juli 2016

Mengencingi Lenin



Silahkan bayangkan..!! kalau seandainya makam mantan pemimpin negara dikencingi orang, diberaki, dan dilantunkan kata-kata satir menyayat hati, seperti: “hai bodoh..!! bangkitlah—bangkitlah kau—dan enyahlah”, apakah yang akan terjadi?

Setidaknya ada yang kebakar matanya, lipatan kulit keningnya bertambah, sepasang alisnya mengait, dan kepalanya mendidih ketika mendengarnya. Rasa tak terima pastilah memuncak di hatinya, karena ihwal tersebut dianggap sebagai pelecehan dan penghinaan yang maha berat secara etika dan hukum. Apalagi untuk orang-orang yang menyanyangi sang pemimpin, keluarga, sahabat, dan rakyat, pastilah akan protes dan gresi tandingan segera dilancarkan. Kita pun diajak untuk paham bagaimana ketika makam orang berpengaruh, dihormati, sang revolusioner negara dan dunia, kemudian dikencingi.

Tapi inilah misi terselubung yang diinisiasi dua seniman lulusan Universitas luar negeri Jerman; Jhon dan Justin. Dua seniman yang mempunyai cita-cita satu, yakni ingin mengencingi makam mantan pemimpin politik Rusia dan pendiri Uni Soviet—Vladimir Lenin—yang dikenal juga sebagai ideolog komunis yang dianut manusia sejagat, dari belahan dunia mana pun.

***

Share:

Gadis Berlesung Pipit



Ada pesan sumbing dari surat kabar pagi ini, isinya begini;

“Mengapa tidak semua orang memiliki lesung pipit? Fenomena lesung pipit dipengaruhi oleh faktor genetik dan diperlukan gen lesung pipit yang dominan. Jika salah satu orang tua atau kekek-neneknya memiliki lesung pipit, maka ada kemungkinan lesung pipit ini akan diturunkan ke generasi berikutnya. Anak-anak yang terlahir dari salah satu orang tua dengan lesung pipit akan memiliki kesempatan sebesar 25-100 persen.”

Apakah iya, fenomena lesung pipit dipengaruhi oleh faktor genetik?
Tapi, aku kurang begitu yakin, sebab banyak kesahihan fakta yang tidak berangkat dari sana. Ia berangkat dari jalan-jalan lain.

Share:

Pesantren MandiriPesantren Mandiri



Setelah melepas kepergiaan bulan suci, bulan yang fitrah dan hari kemenangan umat muslim se dunia (Idul Fitri), kini tiba momentum mendebarkan, yaitu mudik balik ke tempat rantau masing-masing. Seketika itu, biasanya ada orang yang membawa rekan kerja baru, membawa teman belajarnya, ada pula yang memang merantau sendiri tanpa kenal satu pun orang sebelumnya di tempat rantau. Begitupun yang tengah dirasakan para santri yang ingin balik mudik ke pondok pesantren, sama-sama dilanda luka-dukana.

Ini pula yang dirasakan segenap santri mandiri besutan almarhum Pengasuh muda asal Kediri Jawa Timur, Gus Arifin Thoha. Meskipun secara kuantitas santri yang tidak begitu banyak, tapi pesantren ini terbilang pesantren yang komplit, di berbagai bagian. Di pesantren ini tidak cuma mengajarkan tentang ke-Islaman semata, tapi juga mengajarkan kemandirian, keuletan, kedisiplinan dan ke ke lainnya. Namun yang sering terindra masyarakat ramai ialah “pesantren mandiri.”   

Mengapa tidak, pesantren ini memiliki tradisi mengikat yang mewajibkan para santrinya untuk hidup mandiri, tak ayal jika ada yang jualan koran, ada yang kerja serabutan ketika tidak tabrakan kegiatan pondok, tapi kebanyakan dari santrinya mencari rezeki dari kegiatan menulis ke media massa, cetak maupun eletronik. Mereka menulis puisi, cerpen, artikel, opini, kolom, surat mahasiswa, dan resensi buku. Jadi selain santri dapat honor tulisan, juga yang tak bisa ditinggalkan adalah mereka akan terkenal laiknya artis, namanya yang sering gentayangan di media, maka ia akan menghantui hati semua pembacanya.

Di pesantren yang santrinya tidak genap 100 orang ini, di huni kaum adam aja, dengan beribu cerita nyentrik, perjuangan, pengabdian, dan sejenisnya. Maka bukan rahasia umum lagi kalau keluaran pondok ini bisa dikatan melek daratan,  pada genius, pinter, dan tentunya dapat predikat seorang sastrawan, karena hobinya merakit kata-kata.

***
Share:

Kemanusiaan telah Diculik



“Kemanusiaan telah diculik!, tolong..!!,” suara bernada kalap seorang anak kecil seketika mengagetkanku, dalam dudukku tengah bersila di atas tikar plastik lepau makanan, Semangkuk es cendol yang baru saja dibeli terpaksa kuurungkan diteguk, alih-alih mendengar erangan si anak kecil itu kian menjadi-jadi. Sambil menatapku dengan tatapan kosong, aku hanyut dalam kepanikannya.

            Wajahnya tampak begitu lelah, pucat pasi, seolah-olah baru saja lari maraton dari Sabang sampai Merauke, yang jauhnya berkilo-kilometer. meski ia tak hentinya menatapku tajam, entah mengapa aku tidak menemukan refleksi ketidak-warasan dalam bulatan hitam matanya. “Sungguh aneh anak ini!.”

            “Kemanusiaan telah diculik!” lagi-lagi kalimat separas mengalun lugas dari mulutnya, “saya sudah mencarinya ke seluruh tempat, di kolong jembatan, di pasar, di perumahan, sekolahan, penjara, bahkan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, tetap tidak ada, nihil, saya harus mencari kemana?”. Ceracaunya lagi, linglung. Tangannya yang memegang sebuah map berwarna hitam tampak gemetar, matanya pun semakin memerah dengan lingkaran hitam di pinggirnya, tubuhnya gigil gemetar. Aku semakin merasa aneh dan kurang nyaman dengannya, tiba-tiba ia semakin dekat menujuku dan menggila dihadapanku.

“Kemanusiaan telah diculik..! Kemanusiaan telah diculik..!!.”

***
           
Share:

Kita Pasti Pulang!



            Alangkah malunya aku, kalau peristiwa tahun lalu itu terulang lagi, betapa malunya aku pada anak perempuanku, dan alangkah hinanya aku di hadapan istriku, kalau-kalau tahun ini kami tidak bisa mudik lagi ke kampung halaman. Masih kuingat, sekawah air mata kekecewaan yang menggenang di sepasang mata istri dan anak perempuanku. Maafkan aku nak! Maafkan aku bu!.

            Tiada kata yang dapat mewakili, betapa senangnya, bangga, dan indahnya merayakan lebaran bersama orang-orang yang kita cintai, apalagi dengan keluarga kita yang telah lama sekali tidak berjumpa, di kampung sana, yang begitu jauh, ada eyang, om, tante, dan teman atau tetangga lama. Bisa dibayangkan kemesraan penuh cinta akan tercipta di sana.

            Begitupun aku, anakku, dan istriku yang juga ingin berbagi rasa rindu dan cinta pada keluarga yang telah berpisah begitu lama.

            Sewaktu sore yang menjemukan, ketika aku tengah duduk tengadah di beranda rumah kontrakan, tiba-tiba istriku datang dengan membawa mimik aneh yang lain dari  biasanya; “Mas, bagaimana mudiknya tahun ini?, jadi, tidak?”. Tiba-tiba istriku melemparkan pertanyaan itu, yang memang dari tadi aku piikirkan, bahkan mulai tahun lalu. “Insya’allah dik, kita pasti pulang kampung, tenang saja jangan kau terlalu mengkhawatirkannya.” “ya, terima kasih Mas, kamu memang suami yang baik dan pengertian,” sambung istriku sambil ia memelukiku hangat, Padahal sewaktu itu aku tambah bingung, bagaimana kita bisa pulang kampung, keuangan keluarga kami memang tidak pernah imbang, penguluaran lebih banyak dari pendapatan, hutang menumpuk dimana-mana.
***
Share:

Prostitusi Online



“Usiaku masih masih 17 tahun, duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta, kelas X (sepuluh), aku suka pelajaran bahasa Indonesia, sosiologi,  dan biologi, banyak yang heran karena kebiasaanku membaca komik dan cerita-cerita anak, jadinya aku suka berkhayal dan menulis cerita keseharianku sendiri. Selain itu aku dikenal sipil sebagai pribadi pendiam dan tak suka bergaul, ketika teman sejajarku asyik bermain, jalan-jalan, dan shopping, aku hanya di rumah membaca cerita dan menulis catatan kecil, tak khayal kalau aku di sangka gadis psikopat dan absurd.”

Ulasan kata yang lewat tadi adalah biografi buku catatan Amil, gadis remaja pendiam yang suka tamasya ke alam khayal, di muka cover buku itu tertencap terang sebuah tulisan “Lukisan Wajahku” tulisan yang menjadi kepala buku dan wakil keseluruhan isinya. di bagian selanjutnya tertera daftar isi cerita-cerita Amil, ada sembilan puluh sembilan judul, dan tiga ratus halaman, Amil menulisnya sejak kelas 1 (satu) SMP sampai sekarang. Dan dibagian akhir buku itu berisi biografi singkat Amil.

Barangkali kalau buku “Lukisan Wajahku” itu tidak terselip di jendela kamar kecil rumahnya, Sri (ibunda Amil) pasti tidak akan tahu cerita privat anaknya, dan kisah keseharian anaknya. awalnya Sri tidak langsung angkuh membuka buku itu, tapi ketika kesetrum judul buku yang menyengat-nyengat, ia membuka setiap halaman-perhalaman buku itu secara seksama, hingga tanpa disengaja ia sampai di halaman 267, ia memergoki tulisan dengan kata –Tamasya dalam Dunia Prostitusi Online-, sontak ia tambah terperanjat dan memelototi setiap huruf, kata, dan kalimat secara cermat dan hati-hati.

***
Share:

Kutangkap Senyummu



“Iya Om, Insya’allah aku ikut tahlilan”
“Ayo cepat pasang bajumu, kita berangkat” tambah Omku kibang-kibut.
“Tapi lama tidak Om, nanti?”
“Tidak! sebentar saja kok Mad, paling jam 11-an sudah kelar”
“Baiklah Om, kita berangkat”

            Awalnya, pikiranku mengakar dua atau ambigu dengan rayuan Omku yang mengajak ikut tahlilan, tapi ketika rasa penasaranku kian memuncak, dengan senang hati aku ikut saja dengannya, maklumlah sebagai orang asing dan pertama menginjakkan kaki di kampung ini, pastilah ingin tahu segala hal, tradisi, kebudayaan, dan ingin jauh masuk bergumul dengan masyarakat.

            Baru dua hari di kampung ini, terasa banyak yang kutemui dari sebelumnya, kelainan yang tak pernah aku kecap di tempat indekos mahasiswa di jantung kota dulu, termasuk ketika aku ikut tahlilan untuk yang pertama kalinya, setelah beberapa tahun hidup di kota, dan tak pernah tahlilan, tapi tidak juga kalau seumur-umur, pernah dulu; tapi sudah lupa ketiban usia.  Ketika menginjakkan kaki di beranda rumah orang yang melangsungkan tahlilan. Malam itu, aku mulai tidak nyaman dengan bebauan yang malang-melintang di radiasi radar penciumanku, terasa menyengat, dan terasa perih menusuk-nusuk. Bau apa ini? Gemuruh batin mempertanyakan.

Share:

Sparring



Rapat malam itu layaknya sidang paripurna luar biasa di gedung DPR, tak ubahnya forum tertinggi yang merapatkan wewenang dan tugas Negara. Bagaimana tidak, malam itu juga saling serang pendapat, saling mengokohkan benteng argumentasi, dan menciptakan suasana pergolakan sangat panas. Padahal yang dirapatkan hanya sparring  futsal dengan tim KMJ (Komunitas Marditila Jakarta). Komunitas anak Jakarta yang menuntut ilmu ke Bakburu, daerah di sekitar bibir kota Bantul.

Kebetulan bang Apung yang jadi promotor sparring itu, ia yang pontang panting cari lawan tanding, dan ketemulah dengan KMJ-Jakarta, walau melalui perdebatan yang sangat alot. Malam itu bang Apung dahulu yang memancing peserta rapat.
“Bagaimana ini teman-teman, kita sparring-nya hari apa dan tanggal berapa?”
“Gimana kalau kamis” jawab salah satu peserta rapat yang badannya gemuk.
“Jangan broo, kan kamis aku kuliah.” Sahut orang yang berkumis tipis.
“Bagaimana kalau hari jum’at?”
“Ehh, enak saja!! aku dan Lihen kan harus jaga warnet” sahut peserta rapat lainnya.
“Hhhmm..!!!”
Bumi seakan malas berputar, tak ada tanda-tanda kehidupan, semua diam. Dan peserta rapat itu pun tertegun. Malam itu seakan tambah senyap. Karena mereka tak juga nemu kapan waktu untuk sparring futsal.

Share:

Khufy



Ketika matahari menyelipkan sinarnya pada ketiak senja, Khufy tiba-tiba menciutkan mimpinya untuk main layang-layang, sepasang bola matanya memerah dan tiba-tiba membentuk sebuah kawah yang meletuskan lava pijar, air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi, betapa ia tidak sanggup untuk berpisah dengan sahabat-sahabatnya;
“Ayo kawan..!!, jadi tidak main layangannya?”
“iya, tunggu sebentar lagi.” Khufy masuk kembali ke dalam rumah, dan membelas pada emaknya, minta izin.
“mau kemana cong?” sahut ibunya selidik.
“ini emak, main layang-layang!”
“eh..!!, kamu kan sudah mau berangkat sekarang ke Yogyakarta?” si emak menanggul keinginan Khufy untuk main layangan.
“tapi emak..!!”
“tidak ada tapi-tapian, bagaimana kalau kamu telat, tidak dapat bis, atau tidak lulus tes masuk perguruan tinggi nanti, jika kamu tetap seperti ini, jangan harap kamu dapat izin lagi untuk merantau atau pun kuliah.”
Mendengar tausiah si emak, Khufy tambah banter memuntahkan air mata, ia tak sanggup jika tahun ini tidak kuliah, apalagi tak punya kesempatan main layangan dengan sahabatnya untuk yang terakhir kali.

Dengan tubuh berayun-ayun ia-pun keluar rumah.
“saya tidak bisa main layangan kawan, kamu main sendiri saja ya..!!”
“memangnya kamu kemana?” temannya mengejar pembicaraan.
“saya.. saya.. mau pergi untuk waktu yang sangat lama kawan” Kelakar Khufy gelagapan, ia tak kuat menahan isak dan rasa haru.
“saya, mau merantau kawan, kepengin kuliah, dan sekonyong-konyongnya cari kerja.” Tambahnya terkosel-kosel.
“terus kapan berangkatnya?”
“sekarang” Khufy tertunduk menyematkan jawaban.
“ya suudah kawan, baik-baik di sana, dan semoga apa yang dicari segera didapat dan terkabulkan Tuhan.”
“amien..!!  terima kasih kawan.”

***

Share:

Serangan Fajar



Langit tak ingin menyudahi air matanya,  ia mengguyuri perabot bumi dan fajar di pagi hari, gedung, pepohonan, satwa, dan manusiapun menggigil tak berdaya, angin menyerang di sudut-sudut waktu. Semalaman hujan ini tak kunjung reda, namun dinginnya tak hinggap ke satu rumah bertingkat itu, yang mulai malam tadi mendidih karena membias  kepentingan tak tersalurkan, hujan telah memucatkan siasat Ridla (pemilik rumah) untuk menabur bungkusan plastik hitam ke masyarakat, di dalamnya mengeram sembako dan amplop putih berisi pecahan uang dua ratus ribu.

Ridla akan membeli suara masyarakat dengan bungkusan hitam, ia yakin kalau segalanya bisa dibeli dengan materi, apalagi untuk membeli hati masyarakat Desa Banyu-urib, “seperti mudahnya membalikkan telapak tangan”.

Ridla salah satu kandidat Kepala Desa Banyu-urib, dikenal ramai sebagai pribadi yang trengginas, keras kepala, tertutup, dan egois, siapa pun yang melerai kemauannya, tak segan ia membikin sengsara bahkan mencabut nyawa, keinginannya tak bisa di otak atik laiknya keabsahan surga-neraka.

Di tahun ini, dalam pencalonannya yang kedua kali, Ridla telah menyiapkan modal besar untuk memenangkan PILKADES. tak tanggung-tanggung uang senilai tujuh miliar, tiga ratus lima puluh orang bajingan, dan seratus kyai keranjang bermata kalap telah dipersiapkan Ridla, babu-babu itu ia dapat secara gampangan. Cukup diberi makan, rokok dan duit ganti keringat, mereka telah ngangguk-ngangguk siap dicekoki pekerjakan. Tak lain semuanya hanyalah untuk membentengi misi sebagai Kepala Desa, dan dari serangan-serangan lawan politik.

***

Sedang di rumah sederhana berdinding bidhik, beratap jerami, dan berlantai tanah guntai. Berdiam kelurga kecil yang jumlah penghuninya tiga jiwa, si bapak, ibu, dan satu anak laki-laki berumur enam tahun. Ahmad sebagai presiden keluarga hanya bekerja sebagai kuli salang di pasar, ia juga dikenal sebagai takmir masjid, dan sering memimpin kambrat yasinan di Desa Banyu-urib. Masyarakat ramai-pun segan dengannya.  

Berangkat dari keterpaksaan, dan dari desakan masyarakat untuk mengubah desa Banyu-urib, diam-diam Ahmad ikut mencalonkan diri menjadi Kepala Desa. Ia sangat pesimis akan hal ini, bahkan ia sempat menghilang berminggu-minggu untuk mencari ketenangan, saking mindernya sebagai calon Kepala Desa, ia tak banyak pilihan, pencalonan itu hanya membuat petaka untuknya dan keluarga, ia takut kalau terjadi apa-apa menimpa keluarganya, ia pun hilang akal bagaimana memodali pencalonannya, jangankan untuk biaya pendafataran yang sangat mahal. Untuk makan sehari-hari saja masih ngutang kesana-sini.

“Atau aku mati saja ya?” bahasa yang selalu melintas di kepala Ahmad.

Untung kesediaan masyarakat berbuah jawaban, sebagian kebutuhan pencalonan dilengkapinya, mulai dari uang pendaftaran dan lubang kebutuhan lainnya, sekali pun jumlahnya tak seberapa, setidaknya mendinginkan kepala Ahmad yang sejauh ini pening.

Tak ada ritual khusus yang Ahmad lakukan, di rumahnya ia hanya yasinan dan memanjatkan doa-doa untuk mendapat keselamatan, Yang hadir pun itu-itu saja. Masyarakat pengusung, kerabat, dan keluarga. Ahmad lalkukan itu setiap malam tak pernah bolos sampai pemilihan.

***

Ketika waktu menggelinding, akrobat jarum jam menunjuk angka sepuluh. Aroma malam menikam sukma, suasana begitu mencekam, rumah Ridla mengeluarkan asap, seakan di kompori dari bawah, Ridla tengah marah besar karena tahu lawan politiknya si Ahmad, sebab mereka begitu dekat dan bersahabat dari SD sampai sekarang. Tapi bagaimanapun bentuknya, bukan Ridla kalau masih iba dan belas hati.

“kalian harus lebih giat menabur uang, karena lawan politik kita adalah seorang Ustad, pasti dia suka menabur pituah kepada masyarakat, ambil hati masyarakat dengan uang” Ridla tampak gelisah, meniban perintah pada babu-babunya.
“siap Gan” sahut babunya serentak.

“tapi apakah bisa Gan” tambah salah satu anak buahnya yang dari tadi diam.
“maksud kamu apa?”. Ridla tampak menyidik.
“iya Gan, waktu kemarin saya membagi-bagikan bungkusan kepada masyarakat, mereka pada nggak mau dan tampak acuh”
“mengapa kau tidak paksa saja, dan kalau melawan potong saja tangannya” Ridla tambah geram.
“ooo,  siap Gan”

“Ada masalah lagi?” Tambah Ridla membuka pintu.
“Ada Gan” kyai yang dari tadi bengung, ngacung.
“gini Gan! waktu saya bertapa tadi malam, saya mendapat wangsit dari datuk Pruwareng, kalau di tempat pemilihan nanti, perintahnya harus ditanami jarum biku, dan darah ayam jantan”. Sang kyai menimbun cerita dan meyakinkan Ridla.
“baik jika begitu, kita siapkan segalanya”

“Jadi, semua siaga di posisi kalian, dan pahami tugas kalian masing-masing, mala mini kita akan melakukan serangan-serangan”.
“siap Gan”. Sahut mereka akur.

Ketika semua berpencar, tiba-tiba tangan Ridla melambai keras dibarengi suara menyembur dari mulutnya, “Parid, sini dulu!” panggilnya pada dirigen bajingan: “saya tak mau tahu caranya, kamu harus bunuh Ahmad malam mini juga”.

Di bawah bulan temaram, dan di atas bumi berlendir, anak buah Ridla menyusur keheningan waktu, malam ini tertanggal malam tenang yang tak satu pun orang bisa keluyuran. Malam yang sangat sunyi dari yang sudah-sudah, dan malam petaka bagi siapa saja yang ketahuan batang hidungnya. Tapi Pasukan Ridla mengindahkan hal itu, mereka pun diam-diam menabur uang, ada yang menanam jarum biku dan mengubur darah ayam jantan di tempat pemilihan, ada yang mencuri surat suara, dan ada yang mengintai rumah Ahmad beserta geliat pendukungnya.

Sementara di bawah rimbunan pohon pisang belakang rumah Ahmad, seorang bertopeng membawa celurit mengintai, di balik topeng itu terselip wajah Parid, ia berencana membunuh Ahmad.
Tak menunggu lama, tiba-tiba Ahmad keluar rumah untuk buang hajat, dan secepat kilat Parid menyergap mentah-mentah dari balik pohon pisang, ia langsung meringkus tangan Ahmad, dan memenggal kepalanya tanpa belas, kemudian Parid menyeret sang mayat dan membuang jasadnya ke kebun tebu.


Dari serangan-serangan yang di kemas Ridla dan anak buahnya, sejauh ini berputar baik sesuai porosnya. keheningan malam itu pun kian melantunkan kengerian, tiba-tiba suara ngilu terlantun dari pengeras suara di masjid:

Tolong…! Tolong…! Ada mayat mengapung di tengah sungai, tolong..!!

Suara itu menyusup batin, dan tersalurkan ke semua pasang telinga masyarakat Banyu-urib, masyarakat serentak mengerebungi tepian sungai, mereka saling tanya tentang mayat siapa yang mengambang. Tapi usaha mereka tidak berbuah hasil, tak ada yang tahu itu mayat siapa. Namun ketika masyarakat setempat menarik mayat itu ke bibir sungai, alih-alih jawaban mulai mengemuka, mereka tertegun rapi ketika mayat lelaki di baringkan, tubuhnya gemuk, berewokan, dan kepalanya gondrong.

“Innalillahiraji’un” ini mayat Bapak Ridla, kok bisa mati mengenaskan begini, siapa yang tega berbuat nista.  

***

Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com