• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Senin, 13 November 2017

Sekaten, Sinkretisasi dan Modernisasi

Sumber Gambar: hipwee.com
Perayaan Sekaten telah tiba lagi. Masyarakat menyambutnya gegap gempita, karena momentum luhur ini adalah kebahagian kolektif dan telah mengakar sejak lama dan menjadi kisah sukses sinkretisme kebudayaan Jawa dan agama Islam. Setiap tahunnya digelar Gerebeg Gunungan Sekaten dan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) di erea Keraton, baik di Keraton Ngayogkarta dan Keraton Surakarta. Dengan semangat religius, historis, dan kultural, perayaan Sekaten dimaknai sebagai kristalisasi budaya, syiar, islamisasi, pesta rakyat, hiburan, dan penggerak ekonomi masyarakat Surakarta dan Yogyakarta.

Tidak banyak perbedaan, di antara kedua keraton tersebut dalam perayaan tradisi ini. Keduanya sama-sama diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal, tanggal 06 sampai dengan 12, bersamaan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Pasar Malam Sekaten sendiri berlangsung satu purnama penuh sebelum 12 Rabiul Awal. Selain PMPS, ada rentetan acara di dalamnya yang tidak bisa dilewatkan, Seperti; Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan, Numplak Wajik, Kinang (Jawa: nginang), Gunungan atau Gerebeg Maulud, dan makanan-mainan khas Sekaten seperti (telur asin, pecut, celengan, endog abang, gasing), yang kemudian dimodernisasi dan bertranformasi kini menjadi PMPS yang lebih komersial.

Perayaan Sekaten berawal dari bangkitnya Islam di Jawa pada abad ke 15-16 (masa pemerintahan Raden Patah; selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara). Waktu itu Kerajaan Demak berhasil mengakuisisi kekuasaan di Pulau Jawa setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Dalam perkembangannya, perayaan Sekaten kemudian dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga dan para Walisongo. Para Wali ini berhasil menyatupadukan budaya setempat dengan nilai-nilai keislaman. Utamanya menggunakan kesenian karawitan (Gamelan Jawa) untuk memikat hati masyarakat. Sedangkan nama “Sekaten” berasal dari nama Kiai Sekati (nama Gamelan Sunan Kalijaga). Tetapi teori lain mengatakan, nama Sekaten berasal dari kalimat “Syahadatain” (asyhadu anla ilaha illa Allah). Kedua teori ini berbeda, namun memiliki kemanunggalan rasa dan misi perayaan Sekaten.

Sekaten dan Sinkretisme

Islam dan Jawa adalah dua entitas berbeda namun berdampingan. Agama memerlukan sebuah tradisi agar bisa berkembang, dan tradisi sangat membutuhkan nilai-nilai agama agar lebih bermakna dan lebih tolerir. Perjumpaan antara Islam dan Jawa inilah, kemudian membenihkan seubuah sinkretisme, Islam-Jawa. Karena Islam masuk ke Jawa pada masyarakat yang tidak hampa, tetapi masyarakat yang majemuk dan telah berkebudayaan khas. Komunikasi intensif antara Islam dan Jawa kemudian melahirkan kebudayaan baru. Alhasil, wajah Islam di Jawa pun berbeda dengan wajah Islam di belahan bumi lain.

Salah satu keunikan masyarakat Nusantara (khususnya; Jawa), mempunyai kemampuan mengambil dan mewujudkan kembali nilai-nilai dari luar yang sesuai dengan pengalaman di masa lalu. Dalam penjelasan sejarah inilah yang dimaksud dengan “local genius” masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dalam banyak hal misalnya dalam perwujudan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan negeri asalnya India. Bahkan kasta Brahma yang paling tinggi di India menjadi berbeda ketika ada di Indonesia. Kasta Brahma berada di bawah ksatria yang berkedudukan menjadi raja. Dalam perwajahan Islam pun demikian. Agama Islam di Jawa diwujudkan dalam bentuk berbeda dari negeri asalnya Timur-Tengah (Sika Nurindah, 2015).

Salah satu bentuk sinkretisme Islam-Jawa adalah perayaan Sekaten. Sebagai output sinkretisme, Sekaten memiliki tiga makna penting: Pertama, dibunyikannya dua perangkat gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga dan Kanjeng Kiai Guntur Madu selama 7 hari kecuali Kamis malam hingga Jumat siang. Kedua,  Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. pada 11 Maulud malam dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad di serambi Masjid Gedhe. Dan ketiga, sedekah Sultan berupa gunungan yang diperebutkan.

Modernisasi Sekaten
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) mulai dikenal sejak tahun 70-an. Dari kegiatan kebudayaan dan dakwah yang dilaksanakan zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I—mengadaptasi dari diselenggarakan Raden Patah di Kerajaan Demak—mulai tampak warna komersial dan hedonistiknya.

Sejak awal diproklamirkan hingga saat ini, tidak disangka perayaan Sekaten mengalami simtomatologi atau perubahan dari masa ke masa. Perayaan sekaten pada masa awal merupakan undangan Sri Sultan kepada Bupati di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menampilkan kesenian, kerajianan dan hasil bumi kabupaten. Pada masa Sultan Hamengkubuwono VIII, sekaten dibuka untuk masyarakat umum tidak hanya masyarakat Yogyakarta saja. Perkembangan selanjutnya Sekaten diorganisir oleh panitia khusus dari pemerintahan Daerah Yogyakarta.

Akan tetapi komersialisasi Sekaten kian tampak ketika tahun 2004-2005 diberi nama Jogja Expo Sekaten (JES). Sentuhan meodernisasi dan komersialisasi yang menguat, ternyata justru kurang dapat dinikmati rakyat. Ada sesuatu yang terasa hilang dalam JES. Sehingga kemudian dikembalikan pada PMPS (KR, 13/11).

Harus diakui, pesona komersialisasi telah menggeser sifat sakral. Apalagi pesona pendakwah mulai kalah dengan aroma saudagar. Sukses Sekaten pun lebih akan dilihat dari transaksi bisnis, bukan kesakralan dan religiusitas perayaan tersebut.  Cobalah kita iseng-iseng melakukan social experiment dan melayangkan pertanyaan kepada masyarakat; Sekaten itu apa? Bisa dipastikan menjawab “Pasar Malam”.


Share:

Selasa, 07 November 2017

Mandela adalah Simbol Perlawanan Apartheid Afrika


Nelson Mandela adalah sosok dan simbol perlawanan terhadap penindasan dan diskriminasi Afika Selatan. Perjalanan hidupnya menuju kebebasan luar biasa, seperti roller coaster setelah 27 tahun di tahanan kelompok apartheid. Hal ini yang membuat banyak orang terkesan kepadanya karena keberhasilan rekonsiliasi atau perdamaian yang telah dilakukannya atas konflik atau perdamaian Afrika Selatan.

Sistem apartheid di Afrika Selatan begitu memprihatinkan. Contohnya struktur apartheid pada pabrik senjata yang tangguh dari hukum-hukum diskriminatif dan rasial. Pada awal tahun 1950-an, Group Areas Act memaksa orang kulit hitam untuk tinggal di tempat terpisah, daerah yang dirancang dengan kaku. Dalam sektor pendidikan juga demikian, pendidikan pemuda kulit hitam sangat tragis, ketika arsitek apartheid, Verwoerd, memperkenalkan Bantu Education Act tahun 1953, yang menciptakan sistem pendidikan inferior berbasis silabus rendahan yang memandang bangsa Afrika hanya sebagai pemanah kayu dan pembawa air (hal, 117).

Dampak sistem aparheid juga sampai pada perempuan Afrika. Apartheid terimplementasi di ranah pribadi, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari semua orang kulit hitam. Hal tersebut adalah seumber kekacauan yang imbasnya pada kehidupan pribadi,bahkan meluas ke ranah seks dan agama. Orang kulit hitam dilarang kawin dengan orang kulit putih, atau pelarangan perkawinan dan aktivitas seks antarras.

Maka dengan praktek klasifikasi dan diskrimasi berlebihan tersebut, telah meondorong Mandela beserta partai ANC (African National Congress) berjuang menghapusnya dari “Negara Pelangi” tersebut. Dalam laku praksis, Mandela pernah menjadi koordinator Kampanye Penentangan besar-besaran yang terjadi pada tahun (1952) melawan hukum yang tidak adil. “Pemuda yang mencintai kebebasan semua ras di Afrika Selatan seharusnya bergabung dalam pertarungan atas nama perdamaian dan kebebesan” begitulah cara Mandela memompa kesadaran dan dukungan rakyat.

Pada tahun 1955 sebelum dipenjara oleh kelompok apartheid, Mandela juga aktif menulis artikel di beberapa media massa dan ANC. Tulisan yang sedikit menyentil pemerintah adalah “People are Destroyed” atau Rakyat Dihancurkan. Dalam artikelnya, ia dengan jelas membuat sketsa siksaan kehidupan bangsa Afrika yang dikebumikan ke ladang kerja penjara (hal, 127).

Pada tanggal 05 Desember 1956, Nelson Mandela ditangkap beserta rekan perlawanannya, polisi keamanan telah melakukan pengkhiatan besar. Namun, di dalam penjara tidak membuatnya diam saja. Perlawanannya terdiri dari banyak bentuk: mempersatukan, memberi inspirasi, dan bertindak sebagai juru bicara untuk lainnya; menentang rasisme dan kekejaman adalah laku tidak diam meski berada di dalam sel berukuran tidak lebih dari enam kaki persegi.

Nelson Mandela mampu mengatasi segala hambatan kaku yang muncul dari paham rasisme apartheid yang jahat, dan kepahitan hebat yang ditimbulkannya terhadap banyak orang. Meskipun kekuatan global dan nasional menunda realisasi mimip-mimpinya, Mandela tetap aktif bahkan setelah jabatannya sebagai presiden selesai, dia tetap aktif pada usia hingga akhir 80-an untuk berbicara tentang hak asasi manusia dan tindakan melawan masalah sosial yang akut.


Judul Buku    : Nelson Mandela
Penulis           : Peter Limb, Penerjemah Eka Oktaviani
Cetakan         : I: September 2017
Penerbit         : BASABASI
ISBN              : 978-602-6651-38-9
Tebal Halaman: 307
Peresensi       : Khairul Mufid Jr*

Share:

Nasionalisme Turki di Ujung Tanduk

Pada perayaan 10 tahun berdirinya Republik Turki (29 Oktober 1933), Presiden dan suksesor sekulerisme Turki Mustafa Kemal Pasa Ataturk mengucapkan kalimat: Ne Mutlu Turkum Diyene (Betapa Bahagianya Seorang yang Menyebut Dirinya; Aku Orang Turki). Kalimat ini menjadi candradimuka dan fondasi nasionalisme Turki yang tidak bisa ditawar. Selain kalimat tersebut, Renklerimizde, dillerimizle, kulturlerimizle biz bir olduk, biz kardes olduk  (dengan warna-warna kita, dengan bahasa-bahasa kita, dengan budaya-budaya kita, kita satu, kita bersaudara) adalah kalimat kedua untuk sebuah perbedaan yang coba disatukan dan disejajarkan. Hal ini, mempunyai kemanunggalan arti dengan Bhinneka Tunggal Ika versi negara kita Indonesia. 

Sebagai simpul/pengikat keberagaman dan keberagamaan, Ne Mutlu Turkum Diyene (NMTD) mempunyai arti mendalam yang tidak hanya pada tataran konsep dan slogan saja. Akan tetapi kalimat ini menyemaikan semacam semangat penggerak bagi bangsa Turki, agar bangga dengan identitasnya sebagai seorang Turki. Bangsa Turki bukan lagi pesakitan di tanah Eropa dan Amerika. Sebab mereka telah bangkit menjadi bangsa baru setelah Revolusi Kemalis yang dioprasikan sejak awal abad ke-20.

Di negara Eurasia (negara superbenua, atau negara dengan dua benua) ini, kita bisa lihat bagaimana kata NMTD tidak hanya terpatri dalam sanubari, akan tetapi terekspos dalam laku kehidupan praksis. Kalimat NMTD kita bisa temui di cincin, kalung, dan kaos. Bahkan jangan terkejut kalau kalimat tersebut kerap muncul di profil picture atau dinding media sosial orang-orang Turki. Bendera Turki juga terpasang di halaman rumah orang-orang Turki, hukumnya fardu ain. Nah, hal ini pernah dirasakan Yanuar Agung Anggoro (salah satu tim redaksi Turkish Spirits), ketika ia dengan temannya tengah jagongan di salah satu kafe di Turki. Di tengah keasikan mereka mengobrol, tiba-tiba semua orang di kafe itu senyap dan berdiri sembari menyanyikan lagu kebangsaan Turki “Istiklal Marsi”. Mereka tengah menyaksikan Timnas Sepak Bola Turki di televisi yang juga meyanyikan lagu kebangsaan Istiklal Marsi. Di tengah keramain kota, cobalah kita iseng-iseng menyetel lagu kebangsaan Turki, bisa dipastikan semua orang akan berhenti beraktifitas dan khidmat menyanyikan lagu tersebut.

Berbeda dengan cerita Didid Haryadi, ia menemukan nasionalisme Turki di dalam masjid. Ketika ia tengah shalat Jum’at di salah satu bolge (wilayah) di Kota Istambul. Waktu itu ia melihat mimber (mimbar) masjid berlatar belakang sebuah bendera Turki berukuran kecil. Anehnya ketika ia shalat di tempat lain, bendera mungil itu kembali ditemukan, adalah peristiwa yang memang disengaja oleh pemerintah Turki (49). Bagi bangsa Turki, Allah, Tanah Air, dan Bendera adalah tiga paket yang tak boleh dipecah-belah. Kesadaran nasionalisme seperti itu terus menancap di dada mereka secara turun-temurun. Masjid dalam konteks nasionalisme menjadi semacam “ruang publik” khas di Turki.

Beberapa contoh nasionalisme Turki modern di atas dibangun sejak dan diimpikan untuk bertahan lama. Di bawah tokoh sentral nasionalisme Turki—Mustafa Kemal Pasa Ataturk—ia mendandani Turki modern dengan prinsip-prinsip “Kemalis” yakni republikanisme, nasionalisme, republisme, etatisme, reformasi dan westernisasi. Revolusi dilakukan dan membentuk negara Turki sekuler ala Prancis. Ia menghendaki agar urusan agama adalah yang privasi dan tidak boleh dibawa-bawa ke ranah pemerintahan dan ruang publik. Serta Anayasa (Undang-Undang Dasar) Turki tidak didasarkan atas cultural communities (etnik/ras tertentu), dan niat luhur untuk menghapuskan negara-bangsa yang berbasis political communities.

Makin ke sini, bangunan kokoh nasionalisme Turki kembali digoyang ketika bermunculan kekerasan-kekerasan yang mengancam proses kemajuan dan penguatan bangsa negara. Seperti prinsip bangsa-negara yang katanya tidak dibangun atas cultural communities, ternyata di lapangan identitas Turki modern lebih bercirikan pada satu kelompok tertentu, yakni kelompok atau etnis Turk. Kelompok Kurdi, Armenia, Arab, Laz, dan etnik non-Turki lainnnya dipaksa untuk menerima identitas Turk. Dengan tidak hanya pendekatan persuasif, pendekatan represif pun menjadi lakon terbuka dan didadar di hadapan rakyat. Sehingga terjadilah isyan (pemberontokan) yang awalnya bernuansa agamis—seperti dipimpin oleh Syekh Said Nursi—dan berujung pada pemberontakan yang sifatnya perjuangan etnik pada tahun 1930.

Ketika gelombang penguatan politik kanan yang penuh retorika rasisme dan mengagungkan kelompok Turk tersebut, saat yang sama maka lahirlah gerakan politik kiri radikal.  Dan perjuangan minoritas yang kebanyakan berada di sayap kiri akhirnya memilih melawan konsepsi Turk (Turkey) resmi, lalu mencoba untuk mencerminkannya pada sebuah wacana baru yang disebut Turkiyeli. Turkiyeli maknanya bukan sekadar orang Turki (dalam artian ras), namun sebuah konsep yang mirip seperti Americans atau bangsa Indonesia (hlm: 34).

Memang secara literer nama Turkey, dalam konteks politik identitas berpotensi menyemaikan problem serius ke depan. Contohnya hari ini, ketika etnis Kurdi memperjuangkan hak kemerdekaan dan ingin mendirikan negara bangsa sendiri. Kita beruntung memakai nama “Indonesia” yang bukan merupakan nama dari salah satu etnik di dalam wilayah negara. Dengan pilihan nama “Indonesia”, bukan Jawa atau Melayu sebagai mayoritas etnik di negara Indonesia.

Seperti dalam tulisan Bernando J. Sujibto (hal: 133-134), ada tiga kelompok yang menggoyahkan nasionalisme Turki saat ini. Pertama, gerakan separatis suku Kurdi yang diwakili PKK. Gerakan yang lahir pada tahun 1978 ini, selain mengembangkan sayapnya dalam internal Turki, secara politik ada HDP yang secara implisit telah menjadi corongnya di parlemen. Dalam sayap eksternal yang mendukung PKK juga banyak, selain suku Kurdi di Irak dan Suriah, negara seperti Rusia, Inggris, dan Perancis pun ada dibalik mereka.

Kedua, adalah kelompok kiri-komunis yang diwakili DHKP/C (Front-Partai Pembebasan Rakyat Revolusioner). Kelompok ini sudah terbukti terbiasa memainkan bom dan senapan api dengan menyerang pasukan keamanan Turki. Kelompok ini menyasar apparatus state, khusunya pasukan keamanan (polisi) sebagai target mereka. Mereka sudah banyak meledakkan bom dan menembak polisi dalam 10 tahun terakhir. Kelompok ketiga adalah ISIS, kelompok ini sangat mengacam stabilitas dan rasa nasionalime Truki. Karena sebagai kelompok misterius dan tidak bisa dibaca, ISIS bisa menyerang siapa pun dari elit pemerintahan bahkan rakyat sipil.

Harus diakui bahwa nasionalisme yang diekspresikan dengan luar biasa saat ini di Turki, tidak lain adalah karena keberhasilan indoktrinasi dengan bumbu represi (penekanan) militer sedari awal terbentuk negara Republik. Indoktrinasi yang berlebihan akan menciptakan ketegangan dan kekerasan di kemudian hari. Menghargai keberagaman adalah goal dari demokrasi, dan demokrasi yang ideal adalah mampu menyimpul perbedaan dan keberagaman. 

Judul Buku    : Turki Yang Tak Kalian Kenal
Penulis           : Tim Turkish Spirts dan Kurator Bernando J. Sujibto
Cetakan          : I, November 2017
Penerbit          : IrCisoD
ISBN              : 978-602-7696-37-2
Tebal Halaman: 312
Peresensi        : Khairul Mufid*
Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com