• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Selasa, 26 Desember 2017

Gus Dur dan Perdamaian Palestina

Sumber Gambar: https://store.tempo.co
Tidak terasa Gus Dur (Kiai Abdurrahman Wahid) telah 8 tahun meninggalkan kita. Rasanya baru kemarin ia meneriakkan pentingnya sistem demokrasi, pluralisme, keberagamaan, dan keberagaman. Mengingat dan mengenangnya saja tidak cukup, kalau pemikiran dan uswah-nya tidak diaplikasikan dalam lakon kita sehari-hari. Ia bagaikan bangunan dengan seribu pintu, dan kita bisa memasukinya dari berbagai pintu-pintu tersebut. Salah satu pintu itu adalah “menciptakan ekosistem perdamaian dalam berbangsa dan bernegara”.

Presiden ke-4 RI dan cucu pendiri Nahdltul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari tersebut, selalu berada di garda terdepan memperjuangkan perdamaian. Dalam buku “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (2005), Gus Dur secara panjang lebar menarasikan tentang Islam perdamaian dan permasalahan internasional. Ia seolah menampik backroud pesantrennya—dan mengejawantahkan dengan serinci-rincinya—untuk sekadar membaca peta perpolitikan dunia internasional. Tak ayal kalau ia memberikan pandangan dan alternatif untuk perang Irak, memberikan jalan kerjasama antara Indonesia-Muangthai, memberikan pendapat di forum internasional dan tentu kontribusinya terhadap perdamaian Palestina-Israel.

Arti Sebuah Kunjungan 
Pada tanggal 20 Desember 2003, Gus Dur (beserta rombongan kepresidenan) pernah mengunjungi jalur Gaza, Palestina. Waktu itu, presiden Palestina adalah Yasser Arafat, dan Gaza menjadi pusat pemerintahan “garis keras” bangsa Palestina. Kalau lihat saat ini, kondisi Gaza lebih memprihatinkan lagi, karena hampir dikuasai Israel seluruhnya. Kabar terbaru, Mahmoud Abbas pun sulit untuk keluar-masuk Gaza.

Ketika berada di Gaza, Gus Dur diminta untuk menyampaikan pidato. Dalam pidatonya, ia mengemukakan keinginannya untuk melihat Palestina merdeka dan memperoleh keadilan dalam kemerdekaannya. Para pembicara lain, terutama para pemuka Palestina sendiri, banyak menyampaikan keluhan dan keinginan yang sama, yakni kemerdekaan dari pihak Israel.

Pada kesempatan itu juga, Gus Dur menyampaikan kepada bangsa Palestina bahwa kemerdekaan dan aneksasi wilayahnya akan berhasil direbut kembali. Ia menyampaikan; buah kesabaran dan lobi-lobi adalah solusi jitu, laiknya Indonesia. Indonesia menunggu tiga belas tahun lamanya, sebelum Irian Jaya/tanah Papua dapat direbut kembali oleh Indonesia melalui Trikora tahun 1962. Gus Dur menambahkan, hal inilah yang belum terbukti, yaitu “keberanian politik” orang-orang Palestina untuk memberikan konsesi, yang dapat digunakan sebagai alat merebut “sisa” konsesi itu dari pihak Israel.

Kunjungan Gus Dur menyiratkan bahwa Indonesia tidak akan membiarkan Palestina berjuang di atas gelombang sendirian. Bagi Gus Dur, konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina bukan karena agama dan ideologi. Konflik antara keduanya lebih disebabkan masalah politik atau perebutan wilayah. Maka ketika konflik itu dikaitkan dengan agama, Gus Dur menolak keras.

Bahkan dalam upaya perdamaian Palestina-Israel, Gus Dur pun berkunjung ke Israel pada tahun 1994. Waktu itu ia mendapat undangan oleh PM Israel, Yitzhak Rabin, untuk menyaksian penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Gus Dur juga mengapresiasi kedatangan Yitzhak Rabin ke Indonesia pada tahun 1992, ketika Presiden Soeharto menjadi Presiden RI. Tindakan ini menuai kontroversi dan kecaman di mana-mana. Padahal, kedekatan Israel dengan Indonesia diinginkan Gus Dur adalah untuk perdamaian konflik Irael-Palestina itu sendiri. “Untuk mencapai win win solutions kedua negara, kita harus sama-sama mendekati pihak yang berkonflik”. Kata Gus Dur.

Pada tahun 1982, Gus Dur juga menggagas “Malam Solidaritas untuk Palestian”. Kegiatan melalui medium kesenian dan kesusastraan ini bertujuan untuk; sekali lagi berbicara tentang Palestina, saudara kita yang tengah merana. Sontak Gus Dur mendapat sindiran dan kritikan keras dari para kiai. Maklum, pada saat itu ia sedang mendapat amanah sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dan kita baru sadar saat ini, kalau inisiasi Gus Dur adalah sebentuk lobi dan kecaman lunak. Dan kegiatan macam ini terus berlanjut hingga saat ini.

Damai yang Mana?
Damai yang digaungkan Gus Dur adalah damai yang bernafaskan Islam. Islam adalah agama perdamaian (rahmatan lil’alamin), bukan agama kekerasan dan agama teror. Kehadiran agama, sejatinya ingin menciptakan ekosistem kedamaian dan tidak untuk memakasakan kehendak. Gus Dur juga mengajak untuk melakukan penafsiran baru (reinterpretasi) terhadap langkah-langkah salah yang telah kita lakukan. Sebagaimana Gandhi dengan ajaran Ahimsa, Gus Dur juga sangat membenci kekerasan dan peperangan.

Perdamaian bisa diciptakan dan dihapuskan kata Gus Dur. Maka dari itu, dengan jalan penangan secara tuntas persoalan utama berupa kesalah pamahaman dasar antara ideologi negara dan aspirasi keagamaan. Bila hal ini terwujud, maka para elit pemerintahan bisa menelorkan paket kebijakan yang lebih objektif dan prinsipil.

Pernyataan Trump atas klaim sepihak atas Yerusalem sebagai ibu kota negara Israel menambah awan tabal di Palestina. Indonesia bisa menjadi mediator perdamaian, dengan mengajak negara-negara lain, dan mendekati kedua negara secara persuasif untuk berdamai. Gus Dur telah memulainya. Dari Gus Dur kita bisa memetik buah kebun kedamaian, dari Palestina kita menyelami dalam lautan, dan menerabas lebatnya hutan belantara.










Share:

“Trump Effect” dan Peran Lobi Israel dalam Klaim Sepihak Jerusalem

Sumber Gambar: https://www.google.com/urlFdonald-trump-loves-this-freakin-video-cause-its-the-best-freakin-video&psig=AOvVaw1sLtEyTazHNOzNoHA8PjWn&ust=1514379772432432
“It’s time to officially recognise Jerusalem as the capital of Israel.”

Langkah yang dilakukan Trump sungguh tidak main-main. Ia dengan lugas dan tuntas mengucapkan sebuah kalimat kontrofersi yang akan menjadi bom waktu. Hal ini tentu memantik emosi para pemimpin negara-negara Arab, sebagian negara Eropa, dan tentu kelompok-kelompok radikalis yang memanfaatkan situasi ini untuk menyebar teror. Sementara ini, ada 12 negara baik dari wilayah Timur Tengah maupun Eropa mengecam, termasuk Presiden RI, Joko Widodo.
Melalui deklarasi Trum tersebut, secara prosedural adalah perwujudan Pemerintah AS terhadap The Jerusalem Embassy Act, tahun 1995. Undang-undang yang disahkan oleh Kongres dan didukung Partai Republik dan Demokrat itu, bertujuan untuk memulai dan mendanai pemindahan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem, paling lambat 31 Mei 1999. Presiden-presiden AS sebelum Trump tidak menindaklanjuti Undang-undang tersebut karena terbentur Perjanjian Oslo, yang salah satunya menyatakan bahwa status Jerusalem akan tergantung hasil negosiasi antara Palestina dan Israel.

Maka dengan dengan The Jerusalem Embassy Act itu, lantas Trump bukan pahlawan kesiangan yang ujuk-ujuk meratifikasi dan mengeksuki Undang-undang, akan tetapi lebih kepada kepentingan domestic politic AS dan pengaruh politiknya yang kini inward looking. Maka apa yang dikatakan Thomas L. Fruedman (Kolumnis New York Times), bahwa keputusan Tump terinspirasi untuk menyenangkan donor-donornya di Jewish Lobby, dan juga untuk menyenangkan Perdana Menteri Israel Netanyahu. Apalagi kalau dilihat, arah perpolitikan Trump juga paralel dengan Netanyahu; yakni antara Neokonservatif AS dan Yahudi Konservatif. Inilah yang berbeda dari Presiden AS sebelumnya—Barack Obama—yang pernah mengatakan Amerika tidak boleh mengikuti semua kemauan Israel.

Deklarasi tersebut bukan semata-mata hanya karena sikap Trump, yang menurut Slavok Zizek sebagai, patriarkis, memiliki selera humor rasisnya yang buruk, terlalu vulgar, dan sebagainya, tetapi juga karena lingkungan politik AS yang mendukungnya. Sistem politik demokrasi maha bebas di AS, memungkinkan keberadaaan kelompok lobi berperan dalam pembuatan kebijakan luar negeri

Cara yang dilakukan kelompok lobi Israel secara general bersifat cultural interest group, dengan metode pendekatan direct lobbying dan indirect lobbying. Lobi secara langsung dilakukan secara perorangan antara kelompok lobi dan elit politik yang menjadi perumus kebijakan. Lobi secara tidak langsung dapat dilakukan melalui rilis media, memobilisasi Konstituen untuk melakukan penekanan dan ancaman mencabut dukungan politik dan finansial bagi mereka yang tidak memiliki sikap politik pro-Israel.

Kelompok lobi Israel yang memberi pengaruh besar terhadap kebijakan luar negeri AS ke Timur-Tengah adalah yang pro-Israel. Diantaranya kelompok terkuaat adalah The American Israel Public Affairs Commitee (AIPAC), Anti-Defamation Leagua (ADL), dan The Zionist Organization of America (ZOA). Ketiganya adalah kelompok lobi yang memiliki pengaruh kuat serta dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri yang dirumuskan oleh eksekutif dan legislatif di AS. Kelompok lobi Israel memiliki peran untuk melindungi eksistensi Israel melalui kekuatan politik AS di PBB. Salah satu lobi yang pernah dilakukan adalah keputusan pemerintah Amerika menveto gencatan senjata dan menarik mundur pasukannya dari Lebanon Selatan pada saat konflik Israel-Hisbullah.

Bila dianalisis melalui pendekatan teori Pluralis, kelompok lobi Israel tersebut menggunakan isu-isu yang selalu menjadi topik khusus di Partai Republik. Secara akses poltik, kelompok Yahudi tersebut mempunyai simpatisan-simpatisan Israel yang berada di eksekutif dan Legislatif (Mearsheimer, 2008: hal: 311).

Rencana pemindahan Keduataan Besar AS di Tel Aviv dan klaim Ibu Kota Israel di Palestina, salah satu penyebabnya karena kuatnya kelompok lobi Israel, dengan interest di Timur-Tengah dan pencaplokan sepihak negara Palestina. Israel sebagai mitra strategis AS di Timur-Tengah juga memberi kemudahan dan standing place untuk menancapkan kebijakan luar negerinya. Amerika seolah mendapat tempat berteduh dari rival abadinya di negara-negara Arab.

Donald Trump sebagai agen Partai Republik berhaluan neokonservatif, sejatinya mempunyai kepentingan politik sendiri. Secara domestik ingin mempertahankan status quo di Konsituen mereka. Sedangkan secara global ingin menyebarkan demokrasi dan budaya AS melalui cara-cara yang represif. Kalau secara backroud pribadi Trump sendiri, dia dianggap oleh beberapa aktor hubungan internasional sebagai rogue actor. Tipikal pemimpin demagog, serampangan dan tidak memikirkan long consequences atas kebijakannya. Manuver politiknya adalah pandangan pribadi yang kemudian menjadi Kebijakan Luar Negeri AS.


Share:

Senin, 13 November 2017

Sekaten, Sinkretisasi dan Modernisasi

Sumber Gambar: hipwee.com
Perayaan Sekaten telah tiba lagi. Masyarakat menyambutnya gegap gempita, karena momentum luhur ini adalah kebahagian kolektif dan telah mengakar sejak lama dan menjadi kisah sukses sinkretisme kebudayaan Jawa dan agama Islam. Setiap tahunnya digelar Gerebeg Gunungan Sekaten dan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) di erea Keraton, baik di Keraton Ngayogkarta dan Keraton Surakarta. Dengan semangat religius, historis, dan kultural, perayaan Sekaten dimaknai sebagai kristalisasi budaya, syiar, islamisasi, pesta rakyat, hiburan, dan penggerak ekonomi masyarakat Surakarta dan Yogyakarta.

Tidak banyak perbedaan, di antara kedua keraton tersebut dalam perayaan tradisi ini. Keduanya sama-sama diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal, tanggal 06 sampai dengan 12, bersamaan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Pasar Malam Sekaten sendiri berlangsung satu purnama penuh sebelum 12 Rabiul Awal. Selain PMPS, ada rentetan acara di dalamnya yang tidak bisa dilewatkan, Seperti; Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan, Numplak Wajik, Kinang (Jawa: nginang), Gunungan atau Gerebeg Maulud, dan makanan-mainan khas Sekaten seperti (telur asin, pecut, celengan, endog abang, gasing), yang kemudian dimodernisasi dan bertranformasi kini menjadi PMPS yang lebih komersial.

Perayaan Sekaten berawal dari bangkitnya Islam di Jawa pada abad ke 15-16 (masa pemerintahan Raden Patah; selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara). Waktu itu Kerajaan Demak berhasil mengakuisisi kekuasaan di Pulau Jawa setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Dalam perkembangannya, perayaan Sekaten kemudian dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga dan para Walisongo. Para Wali ini berhasil menyatupadukan budaya setempat dengan nilai-nilai keislaman. Utamanya menggunakan kesenian karawitan (Gamelan Jawa) untuk memikat hati masyarakat. Sedangkan nama “Sekaten” berasal dari nama Kiai Sekati (nama Gamelan Sunan Kalijaga). Tetapi teori lain mengatakan, nama Sekaten berasal dari kalimat “Syahadatain” (asyhadu anla ilaha illa Allah). Kedua teori ini berbeda, namun memiliki kemanunggalan rasa dan misi perayaan Sekaten.

Sekaten dan Sinkretisme

Islam dan Jawa adalah dua entitas berbeda namun berdampingan. Agama memerlukan sebuah tradisi agar bisa berkembang, dan tradisi sangat membutuhkan nilai-nilai agama agar lebih bermakna dan lebih tolerir. Perjumpaan antara Islam dan Jawa inilah, kemudian membenihkan seubuah sinkretisme, Islam-Jawa. Karena Islam masuk ke Jawa pada masyarakat yang tidak hampa, tetapi masyarakat yang majemuk dan telah berkebudayaan khas. Komunikasi intensif antara Islam dan Jawa kemudian melahirkan kebudayaan baru. Alhasil, wajah Islam di Jawa pun berbeda dengan wajah Islam di belahan bumi lain.

Salah satu keunikan masyarakat Nusantara (khususnya; Jawa), mempunyai kemampuan mengambil dan mewujudkan kembali nilai-nilai dari luar yang sesuai dengan pengalaman di masa lalu. Dalam penjelasan sejarah inilah yang dimaksud dengan “local genius” masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dalam banyak hal misalnya dalam perwujudan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan negeri asalnya India. Bahkan kasta Brahma yang paling tinggi di India menjadi berbeda ketika ada di Indonesia. Kasta Brahma berada di bawah ksatria yang berkedudukan menjadi raja. Dalam perwajahan Islam pun demikian. Agama Islam di Jawa diwujudkan dalam bentuk berbeda dari negeri asalnya Timur-Tengah (Sika Nurindah, 2015).

Salah satu bentuk sinkretisme Islam-Jawa adalah perayaan Sekaten. Sebagai output sinkretisme, Sekaten memiliki tiga makna penting: Pertama, dibunyikannya dua perangkat gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga dan Kanjeng Kiai Guntur Madu selama 7 hari kecuali Kamis malam hingga Jumat siang. Kedua,  Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. pada 11 Maulud malam dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad di serambi Masjid Gedhe. Dan ketiga, sedekah Sultan berupa gunungan yang diperebutkan.

Modernisasi Sekaten
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) mulai dikenal sejak tahun 70-an. Dari kegiatan kebudayaan dan dakwah yang dilaksanakan zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I—mengadaptasi dari diselenggarakan Raden Patah di Kerajaan Demak—mulai tampak warna komersial dan hedonistiknya.

Sejak awal diproklamirkan hingga saat ini, tidak disangka perayaan Sekaten mengalami simtomatologi atau perubahan dari masa ke masa. Perayaan sekaten pada masa awal merupakan undangan Sri Sultan kepada Bupati di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menampilkan kesenian, kerajianan dan hasil bumi kabupaten. Pada masa Sultan Hamengkubuwono VIII, sekaten dibuka untuk masyarakat umum tidak hanya masyarakat Yogyakarta saja. Perkembangan selanjutnya Sekaten diorganisir oleh panitia khusus dari pemerintahan Daerah Yogyakarta.

Akan tetapi komersialisasi Sekaten kian tampak ketika tahun 2004-2005 diberi nama Jogja Expo Sekaten (JES). Sentuhan meodernisasi dan komersialisasi yang menguat, ternyata justru kurang dapat dinikmati rakyat. Ada sesuatu yang terasa hilang dalam JES. Sehingga kemudian dikembalikan pada PMPS (KR, 13/11).

Harus diakui, pesona komersialisasi telah menggeser sifat sakral. Apalagi pesona pendakwah mulai kalah dengan aroma saudagar. Sukses Sekaten pun lebih akan dilihat dari transaksi bisnis, bukan kesakralan dan religiusitas perayaan tersebut.  Cobalah kita iseng-iseng melakukan social experiment dan melayangkan pertanyaan kepada masyarakat; Sekaten itu apa? Bisa dipastikan menjawab “Pasar Malam”.


Share:

Selasa, 07 November 2017

Mandela adalah Simbol Perlawanan Apartheid Afrika


Nelson Mandela adalah sosok dan simbol perlawanan terhadap penindasan dan diskriminasi Afika Selatan. Perjalanan hidupnya menuju kebebasan luar biasa, seperti roller coaster setelah 27 tahun di tahanan kelompok apartheid. Hal ini yang membuat banyak orang terkesan kepadanya karena keberhasilan rekonsiliasi atau perdamaian yang telah dilakukannya atas konflik atau perdamaian Afrika Selatan.

Sistem apartheid di Afrika Selatan begitu memprihatinkan. Contohnya struktur apartheid pada pabrik senjata yang tangguh dari hukum-hukum diskriminatif dan rasial. Pada awal tahun 1950-an, Group Areas Act memaksa orang kulit hitam untuk tinggal di tempat terpisah, daerah yang dirancang dengan kaku. Dalam sektor pendidikan juga demikian, pendidikan pemuda kulit hitam sangat tragis, ketika arsitek apartheid, Verwoerd, memperkenalkan Bantu Education Act tahun 1953, yang menciptakan sistem pendidikan inferior berbasis silabus rendahan yang memandang bangsa Afrika hanya sebagai pemanah kayu dan pembawa air (hal, 117).

Dampak sistem aparheid juga sampai pada perempuan Afrika. Apartheid terimplementasi di ranah pribadi, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari semua orang kulit hitam. Hal tersebut adalah seumber kekacauan yang imbasnya pada kehidupan pribadi,bahkan meluas ke ranah seks dan agama. Orang kulit hitam dilarang kawin dengan orang kulit putih, atau pelarangan perkawinan dan aktivitas seks antarras.

Maka dengan praktek klasifikasi dan diskrimasi berlebihan tersebut, telah meondorong Mandela beserta partai ANC (African National Congress) berjuang menghapusnya dari “Negara Pelangi” tersebut. Dalam laku praksis, Mandela pernah menjadi koordinator Kampanye Penentangan besar-besaran yang terjadi pada tahun (1952) melawan hukum yang tidak adil. “Pemuda yang mencintai kebebasan semua ras di Afrika Selatan seharusnya bergabung dalam pertarungan atas nama perdamaian dan kebebesan” begitulah cara Mandela memompa kesadaran dan dukungan rakyat.

Pada tahun 1955 sebelum dipenjara oleh kelompok apartheid, Mandela juga aktif menulis artikel di beberapa media massa dan ANC. Tulisan yang sedikit menyentil pemerintah adalah “People are Destroyed” atau Rakyat Dihancurkan. Dalam artikelnya, ia dengan jelas membuat sketsa siksaan kehidupan bangsa Afrika yang dikebumikan ke ladang kerja penjara (hal, 127).

Pada tanggal 05 Desember 1956, Nelson Mandela ditangkap beserta rekan perlawanannya, polisi keamanan telah melakukan pengkhiatan besar. Namun, di dalam penjara tidak membuatnya diam saja. Perlawanannya terdiri dari banyak bentuk: mempersatukan, memberi inspirasi, dan bertindak sebagai juru bicara untuk lainnya; menentang rasisme dan kekejaman adalah laku tidak diam meski berada di dalam sel berukuran tidak lebih dari enam kaki persegi.

Nelson Mandela mampu mengatasi segala hambatan kaku yang muncul dari paham rasisme apartheid yang jahat, dan kepahitan hebat yang ditimbulkannya terhadap banyak orang. Meskipun kekuatan global dan nasional menunda realisasi mimip-mimpinya, Mandela tetap aktif bahkan setelah jabatannya sebagai presiden selesai, dia tetap aktif pada usia hingga akhir 80-an untuk berbicara tentang hak asasi manusia dan tindakan melawan masalah sosial yang akut.


Judul Buku    : Nelson Mandela
Penulis           : Peter Limb, Penerjemah Eka Oktaviani
Cetakan         : I: September 2017
Penerbit         : BASABASI
ISBN              : 978-602-6651-38-9
Tebal Halaman: 307
Peresensi       : Khairul Mufid Jr*

Share:

Nasionalisme Turki di Ujung Tanduk

Pada perayaan 10 tahun berdirinya Republik Turki (29 Oktober 1933), Presiden dan suksesor sekulerisme Turki Mustafa Kemal Pasa Ataturk mengucapkan kalimat: Ne Mutlu Turkum Diyene (Betapa Bahagianya Seorang yang Menyebut Dirinya; Aku Orang Turki). Kalimat ini menjadi candradimuka dan fondasi nasionalisme Turki yang tidak bisa ditawar. Selain kalimat tersebut, Renklerimizde, dillerimizle, kulturlerimizle biz bir olduk, biz kardes olduk  (dengan warna-warna kita, dengan bahasa-bahasa kita, dengan budaya-budaya kita, kita satu, kita bersaudara) adalah kalimat kedua untuk sebuah perbedaan yang coba disatukan dan disejajarkan. Hal ini, mempunyai kemanunggalan arti dengan Bhinneka Tunggal Ika versi negara kita Indonesia. 

Sebagai simpul/pengikat keberagaman dan keberagamaan, Ne Mutlu Turkum Diyene (NMTD) mempunyai arti mendalam yang tidak hanya pada tataran konsep dan slogan saja. Akan tetapi kalimat ini menyemaikan semacam semangat penggerak bagi bangsa Turki, agar bangga dengan identitasnya sebagai seorang Turki. Bangsa Turki bukan lagi pesakitan di tanah Eropa dan Amerika. Sebab mereka telah bangkit menjadi bangsa baru setelah Revolusi Kemalis yang dioprasikan sejak awal abad ke-20.

Di negara Eurasia (negara superbenua, atau negara dengan dua benua) ini, kita bisa lihat bagaimana kata NMTD tidak hanya terpatri dalam sanubari, akan tetapi terekspos dalam laku kehidupan praksis. Kalimat NMTD kita bisa temui di cincin, kalung, dan kaos. Bahkan jangan terkejut kalau kalimat tersebut kerap muncul di profil picture atau dinding media sosial orang-orang Turki. Bendera Turki juga terpasang di halaman rumah orang-orang Turki, hukumnya fardu ain. Nah, hal ini pernah dirasakan Yanuar Agung Anggoro (salah satu tim redaksi Turkish Spirits), ketika ia dengan temannya tengah jagongan di salah satu kafe di Turki. Di tengah keasikan mereka mengobrol, tiba-tiba semua orang di kafe itu senyap dan berdiri sembari menyanyikan lagu kebangsaan Turki “Istiklal Marsi”. Mereka tengah menyaksikan Timnas Sepak Bola Turki di televisi yang juga meyanyikan lagu kebangsaan Istiklal Marsi. Di tengah keramain kota, cobalah kita iseng-iseng menyetel lagu kebangsaan Turki, bisa dipastikan semua orang akan berhenti beraktifitas dan khidmat menyanyikan lagu tersebut.

Berbeda dengan cerita Didid Haryadi, ia menemukan nasionalisme Turki di dalam masjid. Ketika ia tengah shalat Jum’at di salah satu bolge (wilayah) di Kota Istambul. Waktu itu ia melihat mimber (mimbar) masjid berlatar belakang sebuah bendera Turki berukuran kecil. Anehnya ketika ia shalat di tempat lain, bendera mungil itu kembali ditemukan, adalah peristiwa yang memang disengaja oleh pemerintah Turki (49). Bagi bangsa Turki, Allah, Tanah Air, dan Bendera adalah tiga paket yang tak boleh dipecah-belah. Kesadaran nasionalisme seperti itu terus menancap di dada mereka secara turun-temurun. Masjid dalam konteks nasionalisme menjadi semacam “ruang publik” khas di Turki.

Beberapa contoh nasionalisme Turki modern di atas dibangun sejak dan diimpikan untuk bertahan lama. Di bawah tokoh sentral nasionalisme Turki—Mustafa Kemal Pasa Ataturk—ia mendandani Turki modern dengan prinsip-prinsip “Kemalis” yakni republikanisme, nasionalisme, republisme, etatisme, reformasi dan westernisasi. Revolusi dilakukan dan membentuk negara Turki sekuler ala Prancis. Ia menghendaki agar urusan agama adalah yang privasi dan tidak boleh dibawa-bawa ke ranah pemerintahan dan ruang publik. Serta Anayasa (Undang-Undang Dasar) Turki tidak didasarkan atas cultural communities (etnik/ras tertentu), dan niat luhur untuk menghapuskan negara-bangsa yang berbasis political communities.

Makin ke sini, bangunan kokoh nasionalisme Turki kembali digoyang ketika bermunculan kekerasan-kekerasan yang mengancam proses kemajuan dan penguatan bangsa negara. Seperti prinsip bangsa-negara yang katanya tidak dibangun atas cultural communities, ternyata di lapangan identitas Turki modern lebih bercirikan pada satu kelompok tertentu, yakni kelompok atau etnis Turk. Kelompok Kurdi, Armenia, Arab, Laz, dan etnik non-Turki lainnnya dipaksa untuk menerima identitas Turk. Dengan tidak hanya pendekatan persuasif, pendekatan represif pun menjadi lakon terbuka dan didadar di hadapan rakyat. Sehingga terjadilah isyan (pemberontokan) yang awalnya bernuansa agamis—seperti dipimpin oleh Syekh Said Nursi—dan berujung pada pemberontakan yang sifatnya perjuangan etnik pada tahun 1930.

Ketika gelombang penguatan politik kanan yang penuh retorika rasisme dan mengagungkan kelompok Turk tersebut, saat yang sama maka lahirlah gerakan politik kiri radikal.  Dan perjuangan minoritas yang kebanyakan berada di sayap kiri akhirnya memilih melawan konsepsi Turk (Turkey) resmi, lalu mencoba untuk mencerminkannya pada sebuah wacana baru yang disebut Turkiyeli. Turkiyeli maknanya bukan sekadar orang Turki (dalam artian ras), namun sebuah konsep yang mirip seperti Americans atau bangsa Indonesia (hlm: 34).

Memang secara literer nama Turkey, dalam konteks politik identitas berpotensi menyemaikan problem serius ke depan. Contohnya hari ini, ketika etnis Kurdi memperjuangkan hak kemerdekaan dan ingin mendirikan negara bangsa sendiri. Kita beruntung memakai nama “Indonesia” yang bukan merupakan nama dari salah satu etnik di dalam wilayah negara. Dengan pilihan nama “Indonesia”, bukan Jawa atau Melayu sebagai mayoritas etnik di negara Indonesia.

Seperti dalam tulisan Bernando J. Sujibto (hal: 133-134), ada tiga kelompok yang menggoyahkan nasionalisme Turki saat ini. Pertama, gerakan separatis suku Kurdi yang diwakili PKK. Gerakan yang lahir pada tahun 1978 ini, selain mengembangkan sayapnya dalam internal Turki, secara politik ada HDP yang secara implisit telah menjadi corongnya di parlemen. Dalam sayap eksternal yang mendukung PKK juga banyak, selain suku Kurdi di Irak dan Suriah, negara seperti Rusia, Inggris, dan Perancis pun ada dibalik mereka.

Kedua, adalah kelompok kiri-komunis yang diwakili DHKP/C (Front-Partai Pembebasan Rakyat Revolusioner). Kelompok ini sudah terbukti terbiasa memainkan bom dan senapan api dengan menyerang pasukan keamanan Turki. Kelompok ini menyasar apparatus state, khusunya pasukan keamanan (polisi) sebagai target mereka. Mereka sudah banyak meledakkan bom dan menembak polisi dalam 10 tahun terakhir. Kelompok ketiga adalah ISIS, kelompok ini sangat mengacam stabilitas dan rasa nasionalime Truki. Karena sebagai kelompok misterius dan tidak bisa dibaca, ISIS bisa menyerang siapa pun dari elit pemerintahan bahkan rakyat sipil.

Harus diakui bahwa nasionalisme yang diekspresikan dengan luar biasa saat ini di Turki, tidak lain adalah karena keberhasilan indoktrinasi dengan bumbu represi (penekanan) militer sedari awal terbentuk negara Republik. Indoktrinasi yang berlebihan akan menciptakan ketegangan dan kekerasan di kemudian hari. Menghargai keberagaman adalah goal dari demokrasi, dan demokrasi yang ideal adalah mampu menyimpul perbedaan dan keberagaman. 

Judul Buku    : Turki Yang Tak Kalian Kenal
Penulis           : Tim Turkish Spirts dan Kurator Bernando J. Sujibto
Cetakan          : I, November 2017
Penerbit          : IrCisoD
ISBN              : 978-602-7696-37-2
Tebal Halaman: 312
Peresensi        : Khairul Mufid*
Share:

Jumat, 20 Oktober 2017

Santri dan Pentingnya Kesadaran Interpreneur

Sumber Gambar: nahdlatululama.id
“SANTRI bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak SANTRI yang tawadlu’ kepada Gusti Allah, tawadlu’ kepada orang-orang alim kalian namanya SANTRI” (Mustofa Bisri).

Pernyataan Gus Mus (Mustofa Bisri) di atas adalah bentuk sakralisasi dan penjelas peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 22/10, yang selama dipandang eksklusif dan milik satu golongan tertentu. Tentu hal ini tidak menjadi soal lagi, karena seperti Hari Buruh, Hari Ibu, dan Hari Pramuka yang anteng-anteng saja, Hari Santri juga semestinya tidak menimbulkan gesekan berlebih. Karena Santri adalah mereka yang memiliki komitmen keislaman dan keindonesian, dan mereka yang hidupnya diinspirasi dan diselimuti nilai-nilai keislaman serta kesadaran penuh tentang kebangsaan dan kemajemukan.   

Maka, sekarang waktu yang pas untuk berbenah dan merawat imajinasi kembali tentang peran Santri dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain perawat moral, pewujud cita-cita luhur keislaman, dan hubungan vertikal dengan sang kuasa, alangkah elok kalau Santri juga merespon tantangan zaman (globalisasi) dengan ikut andil dalam segala hal termasuk dalam kemandirian ekonomi (interpreneur).

Santripreneur Adalah Masa Depan

Istilah Santripreneur adalah seorang Santri yang berwirausaha, atau secara terminologi bisa diartikan usaha Santri dalam kemandirian ekonomi dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada terutama yang ada di pesantren-pesantren. Modernisasi, globalisai adalah seperti lorong waktu yang musti dihadapi dan direspon benar-benar untuk masa depan sang Santri. Maka dengan interpreneur bisa diterjemah sebagai lokomotif, yang membawa gerbong cita-cita sang Sang santri ke masa depan lebih baik.

Seperti dalam bukunya Samuel Huntington, The Clash of Civilization, dikatakan bahwa dalam  konteks globalisasi; umat Muslim (khususnya: Santri) dipandang sebagai umat yang berpotensi menjadi kompetitor Barat. Sebagai  negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia dituntut menunjukkan kepada dunia bahwa SDU (Sumber Daya Umat) Muslim Indonesia benar-benar layak berkiprah di jagad global. Maka pengembangan SDU Muslim mutlak dilakukan secara baik, sistematis dan komprehensif. SDU Muslim Indonesia sangat tinggi, setali tiga mata uang dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) di negara kita yang juga tinggi. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan kemandirian umat Islam (Santri).

Pentingnya meningkatkan dan mengembangkan SDU memang salah satu misi utama Rasulullah saw. Beliau diutus ke dunia salah satunya dalam rangka peningkatan kualitas SDU yang sepenuhnya tidak hanya pemenuhan secara jasmaniah tapi juga secara rohaniah. Dahulu ketika di Mekkah beliau menanamkan tauhid yang menjadi dasar fundamental bagi pembentukan nucleus masyarakat historis yang viable untuk menjawab tantangan zaman. Di Madinah beliau juga telah menunjukkan peranannya sebagai pendidik utama dalam pembangunan masyarakat sosial-politik. Di Madinah beliau tidak hanya membangun tatanan politik sebagaimana terefleksikan dalam “Konstitusi Madinah”, tetapi juga membangun tradisi pendidikan Islam dengan memfungsikan masjid sebagai tempat tidak hanya untuk pendidikan keagamaan tapi juga untuk kegiatan-kegitan pendidikan sosial dalam pengertian yang sangat luas (Azyumardi Azra, 2001: 55-56).

Membangun kemandirian ekonomi sejatinya menjadi kesadaran umat Islam. Maka dari itu, dalam konteks saat ini mereka mulai meresponnya dengan baik, misalkan ketika lahirnya lembaga-lembaga keuangan syariah, kelompok usaha kecil berbasis syariah, dan munculnya pesantren-pesantren yang membekali santrinya dengan berbagai ilmu kewirausahaan. Pesantren dituntut untuk mengembangkan fiqh muamalah-nya dalam tataran yang lebih aplikatif.

Saat ini, telah ditemukan banyak sekali pesantren yang sukses menjalankan program santripreneur. Misalnya Pondok Pesantren Mukmin Mandiri, yang telah berhasil memiliki sebuah produk kopi yang merupakan hasil produksi para santri. Hingga saat ini, produk kopi yang berlabel “Mahkota Raja” ini telah memiliki omset 1-5 miliyar perbulan. Usaha ini telah mempekerjakan 115 santri dan tiap santri mendapatkan gaji sebesar 1,3 juta per bulan. Dan masih banyak pesantren-pesantren lain yang juga bergerak dalam jargon “santripreneur”, Pesantren Sidogiri misalnya. Mendirikan Kapontren-kapontren, Smescomart (kerjasama koperasi pesantren dengan Alfa Mart), usaha bidang pertanian, pelatihan keterampilan santri tentang produksi barang dengan label pesantren adalah contoh riil untuk berdikari secara ekenomi.

Dengan cara pendidikan di kalangan santri tersebut, maka pesantren tidak di tuduh sebagai lembaga yang turut serta memproduksi pengangguran. Di Indonesia misalnya, tingkat pengangguran menunjukkan tren yang meningkat sebagaimana dilansir oleh Tempo.com (Rabu, 11 April 2012), bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menyatakan kaum muda memiliki tingkat kesulitan mencari pekerjaan lima kali lebih besar daripada pekerja dewasa. Hal ini disebabkan karena ketersediaan lapangan kerja untuk angkatan muda semakin menurun. Kaum muda diperkirakan 4,6 kali lebih besar menjadi pengangguran dibanding pekerja dewasa. Hal ini diperkuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa tingkat pengangguran terbuka usia muda antara 15 hingga 29 tahun di Indonesia mencapai 19,9 %. Sementara Srilangka 17,9 % dan Filipina 16,2 %. Data tersebut membuat Indonesia menyandang gelar sebagai negara dengan pengangguran usia muda tertinggi di Asia Pasifik. 

Maka, inilah momentum yang tidak hanya peristiwa diperingati setiap tahun, dan lakon sambil lalu yang tidak melulu pada ihwal seleberasi. Karena Potensi local content Santri, sejatinya teramat kaya, seperti pemikiran, kerukunan, santripreneur, dan keikhlasan. Ini merupakan modal yang sangat berharga dalam mengembangkan gerakan-gerakan Islam dan kemandirian sang Santri. Oleh karena itu, Santri selalu dituntut think locally at globally. Perilaku positif wajib sesuai nilai-nilai Islam dan sosio-kultur bangsa Indonesia boleh saja dikumandangkan, akan tetapi pemikiran dan cara pandang terhadap pengembangan sains-teknologi boleh juga bersifat global. Yang terpenting Santri harus berfikir out of the box, agar tidak menjadi gagap akan keadaan di luar sana. Ditetapkannya “Hari Santri Nasional” tidak hanya bahan refleksi, akan tetapi menjadi titik pijak untuk Santri selalu mengabdi, berimajinasi dan berdikari. 




   

 








Share:

Senin, 09 Oktober 2017

Hanya di Jalanan Orang Jujur ditemukan


















Sebagaimana Jumat adalah masa tenang bagi enam hari waktu kerja
Maka Ramadan adalah kesunyian bagi sebelas bulan keberisikan.
Motor dan mobilmu telah menyemburkan oksidan dan polusi udara
Mestinya, engkau tidak menambah keberisikan jalan raya dengan polusi  suara
(M. Faizi, Toa-Toa Keladi, Hal: 125).

Gubuhan puisi M. Faizi di atas mendiskripsikan tentang betapa langkanya menemukan kesunyian di jalanan. Suka cita ditampakkan lewat keberisikan, karena ketentramana manusia ada pada kesunyiaannya. Selain suara mesin, suara klakson, teriakan manusia, sampai suara knalpot sejatinya menampilkan wajah jalanan yang bisa menyenangkan karena membawa pengetahuan baru tentang arti kehidupan sesungguhnya. Buku mungil karya M. Faizi ini, mengobrak-abrik imajinasi pembaca akan kehidupan jalanan yang tidak biasa dan jarang diekspos penulis.

Di jalanan, sejatinya berkeliaran anak Adam dari segala takhta dan kasta: para ulama, ahli fikih, astronom, politikus, guru, bajingan, copet, rampok, musisi dan lain-lain. Di jalanan kita juga dipertontonkan dengan hal-hal nyeleneh yang kadung dianggap biasa; seperti keberadaan polisi tidur yang tugasnya menyetop pengendara kalap yang sulit mengendorkan gas (kebut-kebutan), atau fenomena tarif kembalian tol dan SPBU kadang tidak diberikan atau mungkin kita tidak mengambilnya. Hati-hati, kalau dikonversikan itulah usaha kecil-kecilan (korupsi) yang dapat untung besar-besaran. Atau cerita tentang tabahnya truk gandeng yang jalannya ngesot serta dapat cibiran menyakitkan dari pengendara lainnya. Selain menanggung muatan berat ia mendapat cobaan dengan lengking klakson kendaraan lain yang buru-buru di belakangnya.

Di jalanan, pergerakan manusia juga lebih grusa-grusu ketimbang di tempat lain, maka digunakanlah bahasa khusus untuk berkomunikasi. Bahasanya pun harus singkat dan cepat. Di antara tujuan dipasangnya rambu-rambu lalu lintas adalah untuk keperluan ini. Begitu pula “bahasa bunyi” dan “bahasa cahaya” merupakan simbol-simbol yang digunakan oleh para pengguna jalan raya. Bahasa bunyi identik dengan klakson untuk memohon perhatian, klakson adalah morse jalanan laiknya anggota pramuka. Tapi ketahuilah, bunyi klakson itu bukan untuk bersenang-senang—meski beberapa bulan terakhir ini ada fenomena om.. telolet.. om..—maka janganlah buang klakson ke sembarang telinga.

Bahasa cahaya adalah bahasa komunikasi di jalanan, sering sesama pengguna jalan raya bisa berkomunikasi: memainkan lampu utama atau lampu depan (seperti nge-dim) bisa berarti sang sopir tengah menyapa orang/kenalan. Bisa juga untuk menggoda calon penumpang agar ikut, dan bisa diartikan juga minta dikasi jalan. Atau ketika lampu utama itu menyala terus-menerus di siang hari, itu tandanya: minta jalan dan sangat minta perhatian, lawan arah hendaknya mengalah (seperti ambulans, patwal, mobil derek) mau lewat dan harus dikasih jalan, dan terakhir mungkin lampunnya sedang korsleting (hal: 75).

Di jalanan, kita juga menemukan semangat gotong-royong dan tolong menolong hidup bahagia setelah kehidupan yang serba individualistik. Berbuat baik di jalanan bisa jadi akan terbalas di di rumah, berbuat baik di kantor boleh jadi terbalas di jalan, berbuat baik kepada siapa pun dan di mana pun akan terbalas di mana-mana. Kita lihat betapa serombongan Vespa yang begitu solid bahu-membahu, begitu pula ketika melihat konvoi truk: mogok satu, mogok semua. Kekompakan dan semangat berempati yang sulit ditemukan di era saat ini.

Di jalanan orang galak ditemukan, di jalanan orang sabar/kalem ditemukan, di jalanan orang lugu ditemukan, dan di jalanan orang jujur lebih banyak ditemukan. Di zaman yang semakin kebak akan kejahatan ini, di saat stok orang jujur mulai punah di muka bumi, ternyata jalanan adalah rumah nyaman mereka saat ini. Bisa saja kan, seorang sarjana memalsukan skripsi, peneliti memalsu data, wartawan memalsu berita, ustaz memalsu dirinya sendiri. Akan tetapi yang tersisa, kepolosan hanya ada di jalan raya. Tak akan ada kepalsuan karena di jalan raya orang pasti mengeluarkan watak aslinya. Begitu sergah M. Faizi.

Terkadang, kita melihat ada orang yang tampak saleh karena busananya, padahal pikirannya jorok dan mesum. Kita melihat orang terkadang sangat sopan saat bicara tapi sangat kejam di saat berbeda. Semua itu bisa dipalsukan. Tapi di jalan raya, terutama ketika mereka telah berada di belakang kemudi, sifat asli manusia akan muncul apa adanya.

Di media sosial, seseorang itu bisa tampak selalu lebih daripada aslinya: tampak lebih pintar dengan bantuan ensiklopedia semacam Wikipedia, tampak lebih rupawan dengan bantuan aplikasi digital, tampak lebih bijak dengan kata-kata mutiara pinjaman. Di forum-forum diskusi, seorang narasumber dapat membuat dirinya lebih elegan dengan segepok buku dan makalah. Di mimbar, seseorang bisa jadi seperti ulama hanya dengan kutip sana-sani dari hadis-hadis terjemahan yang ditelusuri dengan mesin pencari (hal: 157).

Di jalan raya, kita adalah diri sendiri. Di sana, kita tak bisa menjadi orang lain. Di jalan rayalah watak asli seseorang itu tampak nyata dan apa adanya. Ketika ada orang bilang bahwa orang jujur susah ditemukan, katakan padanya, “Lihatlah lalu lalang orang di jalan raya. Orang-orang jujur numpuk di sana.”

Judul Buku    : Celoteh Jalanan
Penulis          : M. Faizi
Cetakan         : I, Maret 2017
Penerbit         : BASABASI
ISBN              : 978-602-61160-4-8
Tebal Halaman: 180
Peresensi       : Khairul Mufid*
Share:

Minggu, 08 Oktober 2017

Apa Arti Catalonia bagi Spanyol

Sumber Tulisan: weeklyworker.co.uk
Tanggal 01 Oktober adalah hari bersejarah bagi masyarakat Catalonia (Catalunya). Akhirnya, referendum yang diidam-diamkan dari puluhan tahun lalu digelar. Referendum ini, menjadi keinginan purba karena Spanyol dirasa tidak memberi kebebasan dan progres terhadap kesejahteraan masyarakat Catalonia.

Dari referendum itu, Eropa pun kian terguncang. Kalau dilihat dari fenomena tiga tahun terakhir, setelah Yunani, Inggris, dan Skotlandia, Catalonia seolah menambah awan tebal di kawasan yang menjadi magnet demokrasi dunia itu. Namun, referendum Catalonia lebih mendapatkan perhatian internasional karena Spanyol terus berusaha menggagalkan referendum Catalonia, bahkan dengan tindakan represif. Hal ini terbukti ketika terjadi huru-hara yang mengakibatkan 11 polisi dan 337 warga terluka.

Akan tetapi berdasarkan laporan BBC (02/10), menyebutkan bahwa pihak pro kemerdekaan telah mengklaim kemenangan Catalonia sebagai negara merdeka dan layak disebut negara berdaulat. Referendum telah membuka pintu sebuah unilateral declaration of endepence, karena partipasi referendum tercatat sebanyak 42,3 % dari toral warga 5,3 (sumber lain: 7,45) juta orang. Adapun hasil referendum adalah 90 % masyarakat memilih kemerdekaan.

Aspek Sejarah

Dalam sejarah, Catalonia adalah wilayah independen Semenanjung Iberia yang terletak di antara Spanyol dan Portugal, dengan  bahasa, undang-undang dan kebiasaannya yang berbeda. Saat perang Suksesi Spanyol pimpinan Raja Philip IV berakhir dengan kekalahan Valencia (1707), di Catalonia pada tahun 1714 dan kepulauan terakhir pada tahun 1715 kemudian menghasilkan kesepakatan dan lahirlah Spanyol modern.

Maka raja-raja selanjutnya mencoba memberlakukan bahasa, ekonomi, undang-undang di wilayah Catalonia. Dari kejadian itu, Catalonia memang dari dulu terus melakukan pemberontakan untuk memisahkan diri dari Spanyol. Puncaknya pada tahun 1938, ketika diktator Spanyol Jenderal Francisco Franco membantai 3.500 milisi separatis Catalonia.

Pada tahun 1977, Spanyol sempat memberikan otonomi khusus yang lebih luas kepada Catalonia ketika angin demokrasi berhembus kencang di Negeri Matador itu. Hal itu membuat kelompok separatis kian leluasa mengampanyekan kemerdekaan. Tak ayal pada 2010, upaya kemerdekaan semakin bulat ketika Mahkamah Konstitusi di Madrid mengesampingkan sebagian dari undang-undang otonomi tahun 2006, yang menyatakan bahwa tidak ada dasar hukum untuk mengakui Catalonia sebagai Negara di Spanyol. Sedangkan dalam partai-partai politik yang dibentuk kekuasaan di Madrid sangat tidak laku di Catalonia yang memiliki lebih dari 7 juta jiwa itu. Masyarakat Catalonia merupakan pendukung setia partai kanan jauh, Covergence and Union (CiU), pimpinan Presiden Catalonia, Artur Mas.

Maka jika referendum berhasil, seperti pandangan Ben Smith (2017), akan ada kesempatan yang lebih besar bagi Catalonia untuk lebih ikut masuk ke dalam parlemen Catalonia. Proporsi sejumlah 30% diberikan oleh parlemen Catalonia untuk kelompok non-partai politik. Selain itu, penggunaan kembali bahasa Catalonia sebagai bahasa resmi merupakan daya tarik tersendiri bagi masyarakat Catalonia.

Dalam ihwal sepakbola juga demikian, tak mengherankan kalau saat ini Blaugrana (Spanyol) menjadi sorotan dunia. Sejak dulu Barcelona dianggap sebagai orang dan simbol perjuangan masyarakat Catalonia. Bahkan arena stadion menjadi tempat berkumpulnya kaum separatis untuk mengekspresikan kebebasannya, meskipun sang penguasa yang berdomisili di ibukota terus saja menentang dan mengecam tindakan-tindakan tersebut. Maka tak ayal ketika pertandingan Real Madrid vs Barcelona seoalah adu kedigdayaan di lapangan hijau, karena keduanya mewakili dua kubu yang dari dahulu menyimpan api panas.

Aspek Ekonomi

Secara populasi, Catalonia mengisi 1/5 % dari jumlah seluruh populasi Spanyol. Catalonia juga salah satu penggerak perekonomian Spanyol, 18,8 % GDP Spanyol berasal dari Catalonia bahkan lebih besar dari GDP Madrid yang hanya 17,6 % (TEMPO.CO, 02/10/17). Bahkan jika dibandingkan dengan Skotlandia dan Inggris, kontribusi  Catalonia untuk Spanyol dua kali lipat lebih besar.

Catalonia telah lama menjadi jantung perekonomian Spanyol, terutama dalam kekuatan maritime dan perdagangan tekstil, keuangan, layanan dan perusahaan hi-tech. Jika referendum ini berjalan mulus, maka produk domistik bruto sebesar US$ 314 miliar didapuk Catalonia menurut perhitungan OECD. Fakta ini akan menjadikan ekonomi Catalonia terbesar ke-34 di dunia dan membuatnya melanggeng di atas level Portugal dan Hongkong. Pendapan Domestik Bruto (PDB) akan menjadi US$ 35.000, dan akan membuat Catalonia lebih kaya daripada Korea Selatan, Israel dan Italia.

Ini yang menjadi landasan mengapa Spanyol enggan dan tidak mau melepaskan Catalonia, terlebih ketika krisis ekonomi yang melanda Spanyol. Catalonia tak ubahnya Papua yang menjadi lumbung perekonomian Indonesia. Bayangkan saja kalau Papua—surga minyak dan emas—itu referendum dan mendirikan negara sendiri, Indonesia akan kelimpungan menutup lubang perkenomian yang menganga besar. Indonesia tentu tidak mau peristiwa kelam antara tahun 1998-1999, ketika Timor Leste diikuti juga oleh Papua. Hal itu yang sangat ditakutkan Spanyol, Catalonia adalah tulang punggung dan harapan tunggal untuk membangkitkan gairah perekomian Spanyol.


   

 








Share:

Rabu, 04 Oktober 2017

Dosa Besar Penerjemah Karya Sastra

Sumber gambar: ruangbahasa.com
Tulisan ini berangkat dari pembicaraan khalayak beberapa minggu terakhir ini, yakni tentang ulasan saudara Fazabinal Alim di media online basabasi.co dengan judul “Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani” pada 28 September bulan lalu. Faza (nama sohornya) mempertanyakan bahkan meragukan keajekan beberapa puisi Nizar Qabbani yang diterjemahkan Usman. Faza menjabarkan “ketika puisi yang begitu estetik itu diterjemahkan dengan tidak estetik, dan nyaris asal-asalan,” ia sangat menyayangkan karena puisi-puisi idolanya tersebut dialihbahasakan secara serampangan. Ia pun memereteli satu persatu puisi terjemahan Usman dengan beberapa contoh terjemahan lebih pas yang jumlahnya tidak sedikit di ulasannya itu.

Peristiwa itu sejatinya adalah prahara kesekian yang seringkali terjadi di bumi putera ini, bahkan di belahan dunia lainnya. Salah satunya kritik Nirwan Dewanto (Tempo, 22/1/ 2001) terhadap penerjemahan karya Milan Kundera Kekekalan yang diterjemahkan oleh Nur Cholis. Kritik Nirwan benar sejauh memang ada kesalahan teknis dan logika penerjemahan sehingga informasi yang disampaikan berbeda dengan logika atau informasi sebelumnya. Peristiwa semacam ini semestinya dibicarakan, dikritik untuk ekosistem keilmuan (teruma dalam kesusastraan) agar lebih baik dan terarah.

Kehadiran seorang penerjemah—teruma dalam kesusastraan—adalah penyambung lidah pengarang asli agar distribusi karya tidak hanya muter-muter di dalam negeri dan ujuk-ujuk untuk bahan diplomatis suatu bangsa untuk mengenalkan budaya lokal suatu bangsa. Berkaitan dengan itu, Alexander Pushkin (sastrawan Rusia) mengibaratkan seorang penerjemah sebagai “kurir sastra” yang bertugas sebagai utusan menyampaikan sesuatu yang penting dengan cepat dan kredibel. Bahkan Jose Saramago (peraih Nobel Sastra tahun 1998), mengatakan; seorang pengarang hanya menulis karya sastra dalam bahasa ibunya, tetapi sesungguhnya sastra dunia adalah ciptaan para penerjemah.

Tantangan sang penerjemah harus melukiskan sebuah rumah-rumah indah di negara lain, sementara di negarnya sendiri rumah dengan arsitektur seperti itu tidak ada, bahkan seluruh keadaan alamnya pun berbeda. Inilah salah satu batu loncatan bagi penerjemah yakni memindahkan gambaran dengan kata-kata ke dalam bahasa sasaran dengan sejumlah acuan yang terkadang kurang dikuasi mereka, termasuk pengetahuan atas ungkapan khas suatu bahasa dan latar belakang suatu karya yang berkaitan dengan aspek-aspek suatu karya yang berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, sosiologi, dan budaya.


Penerjemah, menurut hemat saya tak ubahnya seorang penunjuk jalan (guide) untuk orang asing yang lagi tersesat. Tugas penunjuk jalan memberikan informasi tentang apa yang ditanyakan dan dibutuhkan si orang asing tersebut, dan tentu menggunakan bahasa mereka yang dimengerti sang penunjuk jalan. Sang penerjemah tugasnya memberikan sajian dan informasi kepada pembaca lintas negara terutama di negerinya sendiri tentang karya pesohor dunia. Tapi pertanyaannya kemudian, kalau si penunjuk jalan itu memberikan informasi yang sesat dan asal-asalan, maka akan menyebabkan orang asing tadi kian tersesat di dalam ketersesatannya.

Baiklah, ada beberapa tipe karya sastra terjemahan yang membikin pembaca tersiksa ketika membacanya. Pertama, penerjemah yang tidak menguasai bahasa sumber dengan baik sehingga ia bekerja asal-asalan. Kedua, sang penerjemah mengusai bahasa sumber asli akan tetapi tidak terampil berbahasa Indonesia dengan baik. Oleh karena itu, penerjemah dengan backround sastrawan/penulis biasanya relatif bagus daripada penerjemah yang hanya tahu bahasa sumber tapi kaku untuk berbahasa Indonesia.

Sedangkan  yang ketiga, penerjemah mengusai bahasa sumber tapi ia terlampau terpesona pada teks sumber, sehingga dalam balutan keterpesonaannya itu membuatnya terlau setia pada teks sumber dan tak mau melewatkan detail sekecil apapun. Seperti kata Arif Bagas Prastyo, penerjemah macam ini memang akan memuaskan pembaca yang pernah membaca teks sumber (golongan pembaca yang sebetulnya tidak butuh terjemahan), akan tetapi bisa menyiksa pembaca lainnya yang tak punya akses kepada teks sumber asli.

Maka dari itu seorang penerjemah bisa (baca: wajib) menguasai bahasa sumber dan bahasa sendiri dengan baik dan benar. Akan tetapi itu saja tidak cukup untuk mengatakan konpetensi berbahasa (linguistik) tidak serta merta menjamain mutu terjemahan. Pendapat Eugene A. Nida bisa menjadi acuan bahwa selain kompetensi dan keterampilan dalam komunikasi verbal setidaknya penerjemah mempunyai tiga kapasitas ini. Pertama, kekaguman sungguh-sungguh kepada ciri formal karya yang diterjemahkan. Tanpa itu, penerjemah akan sulit memiliki kesabaran atau wawasan mendalam yang dibutuhkan untuk menghasilkan terjemahan yang memadai. Kedua, harus respek kepada isi teks, agar ia tidak gampang sembrono atau semena-semena mengubah kandungan pesannya. Dan terakhir, kemampuan mengeskpresikan kreativitasnya sendiri melalui kreasi orang lain.


Bahkan selepas dari itu, karya terjemahan yang sudah dirasa cukup kredibel oleh si penerjemah, pada akhirnya karya itu melanggeng ke penerbit, ada editor yang kadang menjadi hantu menakutkan dengan semena-mena juga memereteli karya tersebut. Untuk menyusaikan ideologi penerbit dan komersialisasi lebih mumpuni, mengharuskannya memoles sana-sini karya terjemahan tersebut. Sehingga ketika karya itu hadir di tengah-tengah pembaca, dengan titel bahan jadi (barang istan) yang jauh dari cita rasa aslinya dari sang penerjemah.

Hal macam ini menjadi batu sandungan, ketika di lapangan kadang pembaca banyak dikecewakan ketika membaca karya pesohor dunia dan ternyata hasilnya tidak sesuai harapan. “loh, kok cuma segini kualitas karya si A yang dikatan mapan tulisannya itu, padahal aku penasaran dan mengharapkan lebih.” Kira-kira seperti itu kata-kata yang sering muncul kepermukaan di kalangan pembaca.

Kita harus sedikit berkaca dan mencontoh apa yang terjadi di Barat yang berbahasa Inggris. Kontrol mutu terjemahan sastra dari bahasa non-Inggris ke bahasa Inggris bukan saja diperkuat oleh pengamat/kritikus karya terjemahan, tetapi seringkali juga oleh pengarang asli, yang umumnya bisa berbahasa Inggris. Terjemahan dibaca dahulu, dikoreksi bila perlu oleh pengarang asli, bahkan digarap bersama oleh keduanya sang penerjemah dan pengarang. Sedangkan di negeri ini seperti ungkapan Arif Bagas Prastyo (penerjemah karya sastra), “selama saya menerjemah, keterlibatan pengarang asli hanya terjadi pada penerjemahan karya non-fiksi karangan Indonesianis asing, yang tentau saja bisa berbahasa Indonesa. Sementara keterlibatan pengarang asli untuk ikut mengontrol mutu terjemahan tidak diharapkan para sastrawan dunia yang karyanya banyak diterjemahkan di sini jelas tak bisa berbahasa Indonesia.”

Seorang penerjemah harus hati-hati memilih rajutan kata-kata, dipundaknya dipertaruhkan karya sumber yang akan dibaca dan ditafsir kemudian hari. Jangan terulang dosa-dosa macam ini berikutnya. Dan jika masih terjadi selain didiskusikan dan alangkah baiknya ada forum nasional untuk menggiring karya sastra terjemahan, penerjemah, penerbit dan yang memiliki kapasitas lainnya untuk membikin Lembaga Penerjemahan yang tugasnya menjadi barometer terjemahan nasional.





















































Share:

Sabtu, 23 September 2017

3 Ritus Wajib Dilakukan Mahasiswa Proletar di Tempat KKN

Anda mahasiswa akhir?, anda mahasiswa tua dengan predikat belasan semester tapi belum juga lulus?, jangan-jangan anda juga belum KKN?. Ya lord.. anda nunggu apa sih, nunggu pergantian rektor baru. Padahal sejak anda masuk kuliah sudah 9 rektor dan 9 warna gedung ganti kulit menemani hidup anda di kampus. 

Berbicara tentang KKN, terkadang memunculkan stigma semi negatif. Seringkali, KKN dibilang (Kuliah, Kerja, Nikah) atau (Kanan, Kiri, Ngintip) dan sebangsanya. Tapi KKN yang aku maksud, ya Kuliah Kerja Nyata bukan yang nggak-nggak. 

Nah, dari semua mahasiswa yang pernah KKN,  bisa dipastikan ada beberapa mahasiswa yang hidupnya melarat,  hidup di kolong jembatan dan hidup nomaden dari masjid ke masjid. Tapi mereka bisa juga kok kalau cuma mengoprasikan lift kampus. Sebagai karakter bawaan dan nasib, mereka tak bisa menghindarinya, meskipun berusaha memakai topeng Rey Mysterio dan topeng Batman sebagai kedok kemalaratannya. Ada adagium nyentrik dari mereka:  "biarkan gua melarat, tapi menjadi melarat yang bermartabat ". Ada kan?. ada kan?. Atau anda sendiri.!!

Inilah yang saya sebut mahasiswa proletar. Sebangsa mahasiswa unik bin aneh yang karena door prize Tuhan saja bisa kuliah di perguruan tinggi, yang gedungnya pada tinggi-tinggi itu. Usut punya usut, selain mahasiswa proletar ada juga mahasiswa borjuis yang kebiasaannya nongkrong di burjo (warung makan milik masyarakat Sunda yang begitu sohor di Yogyakarta dan sekitarnya). Sedangkan mahasiswa proletar biasa nongkrong di trotoar, angkringan ber-wifi kencang dan sering banget nongkrongin perutnya. Bukan apa-apa, selain tidak punya apa-apa mereka juga ingin meningkatkan kualitas ibadahnya dengan puasa sampai lulus kuliah. Kira-kira, menurut anda aku masuk bangsa yang mana??.  iya..  jawaban yang tepat..

Sebagai mahasiswa bangsa ke dua, aku mau bagi-bagi tips untuk mahasiswa proletar nasional di tempat KKN. Tujuannya nggak muluk-muluk, biar anda survive saja ketika ngumpul dengan tipe mahasiswa sebelah (pertama):

1.    Biasakan Ramah dengan Bangsa Borjuis.

Inilah yang sering aku lakukan. Pembiasaan ramah dengan mahasiswa borjuis adalah harga mati, agar bangsa proletar tetap hidup di tempat KKN. Waktu Ospek dulu, trik ini sudah aku terapkan sedari awal untuk proses keberlangsungan hidup. Waktu itu aku angkrapi mahasiswa asal/asli Yogya, sebut saja mawar (bukan nama samaran). Tujuannya? yaa untuk titipan barang-barang bawaan Ospek. Nah trik ini terasa manjur banget guys, bahkan happy ending, semua barang bawaan tadi digratisin oleh kawan Mawar tersebut.

Waktu kuliah pun juga demikian. Aku angkrapi semua mahasiswa borjuis yang sekiranya ringan tangan, sampai yang berat tangan. Aku pun menyanggupi setiap kemauan yang mereka minta, harus fisik tapi. Walau pun terkesan jadi babu, tapi tak apalah asalkan mereka tak bisa mengendus kalau tengah masuk perangkap.

Dilalah, waktu KKN-pun demikian. Bahkan lebih parah lagi. Aku angkrapi semuanya tanpa kecuali sampai tipe mahasiswa antagonis sekalipun. Dari kawan cewek, agar bisa dapat snack gratis, dari kawan cowok agar bisa dapat pinjeman motor gratis, bahkan dari Bapak Dukuh, agar bisa dapat nilai bagus, dan (tentu) rokok gratis. Dari Ibu Dukuh, aku bisa dapat teh gratis dan sabun cuci gratis. Dan dari Dosen Pembimbing Lapangan, selain mendapat nilai separuh baik, paling tidak aku tahu alamat rumahnya, untuk silaturrahmi dan numpang ngombe.

Meski kami dari bangsa kelas bawah, usaha mengibuli bangsa borjuis adalah keniscayaan, semacam penjajakan untuk memasyarakatkan ideologi kami, kelas bawah juga mempunyai trah hidup layak, agar yang kaya tidak semakin kaya, dan yang miskin semoga bertambah banyak. Maka keruklah secara perlahan keberpunyaan mereka dengan medium selambat-lambatnya.

2.    Smoker Ulung

Aku adalah smoker. Tingkat ke-smokeran-ku di atas rata-rata. ngumpul ora ngumpul yang penting nyemok. Lapar ora lapar yang penting nyemok. Puntung ora puntung yang penting nyemok. Begitulah azimat smoker bangsa proletar yang begitu bijak. Candu nyemok tapi budget tak ada. 

Bangsa proletar yang suka nyemok punya ritual khusus untuk menyuplai asap di mulutnya setiap hari. Selain menengadah pada kaum borjuis, adakalanya ide kreatif mereka musti digembalakan, yakni beli bako untuk bekal KKN. Jangan salah loo.. melinting lebih estetis dan lebih kelihatan seninya ketimbang beli rokok pabrikan yang serba kapitalis itu. Melinting punya nilai keasyikan tersendiri. Yakni, ketika jemari mulai memilih tembakau dan menatanya di atas kertas rokok atau biasa disebut papir, lantas menaburi dengan cengkeh ala-ala Barista menuangkan kopi gitu. Komposisinya pun tak memakai ukuran pasti, tergantung selera. Namun feeling mereka sudah terlatih untuk menghasilkan racikan bercitarasa khas pada setiap batang rokok.

Pelinting ulung sekalas Rimba (kawanku yang hidupnya dialokasikan untuk melinting) mengatakan: Untuk melinting butuh kesabaran dan sanse seni tinggi. Karena banyak yang gugur dan tidak mendapatkan satu batang rokok yang padat, nikmat, dan nyaman dilihat laiknya produk pabrikan. Aku aja mati-matian belajar ngelinting tuh..  angel tenan. Sumpah!!.

Meski kadang harus menanggung malu pada bangsa borjuis di tempat KKN, tapi mereka mengapresiasi baik kok, kasihan aja mungkin. Dan tak jarang ikutan melinting. Kalau mau lebih ekstrim lagi, bolehlah kalau anda sesekali memungut puntung di jalanan, biar ngga melulu ngelinting dan beli rokok pabrikan. Seru kok, asalkan disamak dulu sebelum disedot. 

Syahdan, menjadi smoker di tempat KKN kadang menjadi alat diplomasi keakraban.  Dengan nyemok bisa nambah bahan cangkrukan, karena imajinasi digembalakan mengiringi kepulan asap yang hilang entah kemana.

3.    Jangan Malu

Malu bertanya sesat di jalan, pemalu adalah lakon memalukan, siapa saja, di mana saja dan kapan saja.

Begitulah bangsa proletar harus bersikap, dan ta…a..ii.. kucing dengan malu. Anda takkan beranjak kalau menyimpan malu dalam sanubari terdalam. Dan kunci utama untuk melaksanakan dua tips di atas adalah pada tips ke tiga, sejatinya tips ketiga adalah pelatuknya. Seberapa tega anda pada diri anda sendiri, dan seberapa sering berlatih dengan kawan sebangsa dan setanah air anda; bangsa proletar, dan tanah air kemelaratan.
Share:

Selasa, 12 September 2017

On Galery







Share:

Sabtu, 19 Agustus 2017

Penulis Belum Merdeka

Sumber Gambar: rujakemas.com
Dalam nuansa kemerdekaan ini saya jadi teringat kata sastrawan Dul Abdul Rahman, dia bilang begini: “jika ingin merdeka menulislah, Anda bisa mengata-ngatai dan mencaci maki tentara, polisi, politisi, dan pemerintah dengan menulis”. Memang kalau dicerna secara konvensional, ungkapan itu memang luhur, tapi kalau melihat di lapangan ternyata menjadi antitesis.

Di negeri yang kaya raya ini, seorang penulis ternyata hanya merdeka soal kemahakaryaan, tetapi terjajah dalam diri untuk menebarkan gagasan tidak segampang membalikkan telapak tangan. Penulis merdeka soal ide, soal gagasan, tetapi miskin dalam materi, hidup kelaparan di tengah lumbung padi. Sehingga ada anggapan kolektif yang semi memojokkan penulis; pekerjaan menulis dianggap tidak akan mendatangkan kekayaan. Mereka yang terus melanjutkan hobi menulisnya hanyalah orang-orang pilihan yang sengaja diturunkan Tuhan ke bumi pertiwi. Ia adalah manusia yang betul-betul ingin mengabdikan diri sebagai penyumbang gagasan untuk negerinya semata, bukan jadi pengusaha yang ingin kaya selama-lamanya.

Menurut esais Anindita S Thayf, Ada dua golongan penulis. Pertama, penulis pegawai. Artinya, selain sebagai penulis, dia memiliki pekerjaan utama entah sebagai pekerja kantor, guru, dosen, politisi atau semacamnya. Penghasilan utama penulis golongan ini berasal dari pekerjaan pokoknya itu. Biasanya, penulis macam ini tidak terlalu mengejar honorarium. Selama tulisan mereka dimuat di media, mereka sudah merasa senang.

Kedua, penulis yang hidup dari menulis. Penulis macam ini betul-betul menggantungkan hidup dari setiap tulisan yang dihasilkannya. Tidak menulis berarti asap dapur tidak mengebul. Menulis adalah pekerjaan utamanya. Penulis golongan ini bekerja secara profesional, tetapi pekerjaannya tidak tercatat di Biro Pusat Statistik.

Nah, pada golongan kedua ini yang banyak ditemui di negeri ini. Begitu banyak penulis yang menggantungkan nasibnya pada royalti dari koran atau penerbit yang nominalnya sedikit sekali. Dan jangan bandingkan dengan gaji PNS bahkan masih kalah dengan orang jualan cilok di pinggir jalan. 

Syahdan, saya sendiri bergiat di salah satu komunitas menulis di Yogyakarta. Semua anggotanya menggantungkan hidupnya pada honorarium tulisan di media massa atau penerbit buku. Kami sudah coba untuk seprofesional-profesionalnya, dengan menyajikan karya yang serius dan fokus untuk keabadian karya. Tapi bak habis manis sepah dibuang, kami tidak mendapat perlakuan layak dengan jerih payah dan keringat kuning yang meleleh dari ubun-ubun kami. Persaingan penulis begitu ketat, kami mati-matian untuk bisa menarik perhatian redaktur koran agar memuat tulisan kami. Tulisan dimuat, honorariumnya masih nunggu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Jika sedang sial, beberapa media mangkir membayar royalti kami dan pihak yang bertanggung jawab tiba-tiba tidak bisa dihubungi. Inilah yang kami sebut “Komplikasi Penderitaan”.
Para penulis buku juga dijajah dan dibiarkan mati sendiri dalam karya-karyanya, sebelum karyanya itu dicicipi dan dilahap oleh khalayak. Ini jelas-jelas terlihat dari langkah yang diterapkan Menteri Keuangan Nomor 123/2013, yang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) buku dikisaran 10 persen. Jika PPN buku tinggi, sudah pasti biaya produksi buku akan semakin mahal. Dan penulis buku yang mau menerbitkan karya-karyanya hanya bisa gigit jari sambil menatap karya-karyanya mengendap sebagai naskah purba di file komputer (Damang Averroes Al-Kawarizmi, Tribun 17/08/17). Maka jangan disalahkan para pembeli yang datang ke toko buku dengan niat luhur ingin membeli buku, tiba-tiba banting setir menuju toko sayur dan Rumah Makan Padang karena harga buku mahal.

Permasalahan semakin kompleks ketika kita lihat minat baca masyarakat Indonesia. Berdasarkan studi “Most Litered Nation in The Word” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University, pada Maret 2016 tahun lalu, kita dinyatakan menduduki posisi underdog pada peringkat ke 60 dari 65 soal minat baca.

Nah, dari semua problem tersebut akan tercipta komplikasi penyakit bangsa yang katanya sudah merdeka ini. Apalagi tentang masa depan penulis kita yang tak tahu arah. Nasib penulis memang di bawah level para buruh atau petani yang secara kasat mata telah lama berjarak dengan kemapanan itu. Sistem yang amburadul dibuat pemangku jabatan, tingginya buta huruf, dan rendahnya minat baca menjadi penyebab utama mengapa penulis dengan karyanya terkatung-katung di tengah lautan, di atas kapal tua yang digoyang-goyang ombak besar. Ia hanya menunggu kematiannya.

Padahal dunia kepenulisan kita—terutama dalam kualitas karya—kalau dikatakan stagnan, tidak juga. Dikatakan maju, ternyata tak. Dunia kepenulisan kita memang bisa melangkah tapi geraknya seperti kura-kura atau siput yang lamban sekali. Karena kepenulisan wabil khusus puisi seolah berada pada ruang sunyi yang tentu orang-orang pilihan saja yang bisa memasukinya. Industri buku puisi pun beberapa tahun belakangan tampak lesu dan tak menumbuhkan minat baca publik. Penyair mati bila dihadapkan dengan penjualan buku puisi yang selalu sepi di bawah oplah minuman dan makanan ringan. Penyair lebih memilih mempublikasikan puisi-puisinya melalui media massa dan kemudian membukukan secara indie atau perorangan.

Nasib penulis generasi sekarang lebih menderita dari penulis dahulu. Simaklah apa yang diungkapkan Anindita S Thayf dalam esainya Nasib Pengarang pada Hari Lebaran (Solo Pos, 21/06/2017). “Dalam lanskap kapitalisme dunia ketiga seperti Indonesia, profesi penulis masih terpinggirkan. Pada masa awal kemerdekaan, nasib pengarang jauh lebih baik. Hubungan penulis, penerbit dan redaktur media massa cukup dekat. Saat itu, penulis bisa meminta uang muka atas karyanya yang akan dimuat—sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada hari ini. Bila bukunya diterbitkan, seorang penulis juga akan menerima royalti yang dibayar di muka sesuai jumlah buku yang dicetak. Dengan begitu, dia bisa langsung menikmati hasil kerjanya. Sekarang, hubungan penulis dengan media massa maupun penerbit murni hubungan produksi kapitalis”.

Tapi sudahlah!. Pada momentum kemerdekaan ini lebih baik kita berbenah, dan alangkah eloknya kita renungkan kata-kata Pramoedya Ananta Toer (1988) ini, mungkin saja ada segelintir pemangku jabatan negeri ini yang terenyuh. “orang boleh pandai setinggi langit. Tetapi selam ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah”. Semoga renungan kemerdekan ini menjadi titik balik negeri ini untuk menjunjung dunia literasi kembali, terutama kesejahteraan penulis. Salam!!
Gatep 19/02/17
Share:

Jumat, 18 Agustus 2017

Quovadis Kemerdekaan Literasi?

Sumber Gambar: Kompasiana.com
“Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas” (Muhammad Hatta).

Bung Hatta melontarkan kata magis itu bukanlah bualan semata. Kalimat itu semacam azimat untuk membakar semangat anak bangsa dalam mengawal kemerdekaan dengan medium literasi. Wawasan luas yang dimiliknya memang tak lepas dari kecintaannya terhadap buku. Bahkan, saat ia dibuang ke Digoel, ia sampai membawa empat peti besar berisi buku-bukunya. Koleksi bukunya berasal dari berbagai bahasa, mulai dari berbahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman. Hatta menggunakan buku sebagai referensi bagi pemikiran-pemikirannya, terkhusus dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pada 10 November 1945, Sutan Sjahrir menulis buku berjudul “Perdjoeangan Kita”. Buku itu berisi analisis siatuasi Indonesia dan kerja pemerintah setelah 17 Agustus 1945. Sjahrir mengajukan kritik-kritik yang bermaksud menentukan arah kemajuan bagi Indonesia. Ia mengungkapkan pesimisme. “Sangat menjedihkan keadaan djiwa pemoeda kita. Mereka teroes di dalam kebimbangan, meskipoen semangatnja meloeap-loeap, mereka beloem mempoenjai pengertian tentang kemoengkinan serta kedoedoekan perdjoeangan jang diperdjoengkannja sehingga pandangannja tak dapat djaoeh” (Bandung Mawardi, Jawa Post 17 Agustus 2015).

Tidak hanya Sjahrir, yang menempatkan budaya literasi sebagai alat pembebasan belenggu ahistoris dan kebodohan struktural, tokoh besar pergerakan Indonesia kaliber Tan Malaka dalam Madilog-nya juga pernah berujar soal ini. “selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibetuk kembali. Kalau perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”

Tentu sosok Bung Besar (Soekarno) sendiri adalah pengawal literasi Indonesia. Modal pengetahuan luas akan kebangsaan, lengkap dengan jiwa pemimpin dan kemampuan berpidato berapi-api di atas mimbar itu tidak serta merta datang dari langit. Tentu ia adalah penggila buku, gila baca, dan gila menulis. Maka, Hatta dengan “Alam Pikiran Yunani”-nya, Sjahrir dengan “Perdjoeangan Kita”-nya, Tan Malaka dengan “Madilog”-nya, dan Soekarno dengan “Di Bawah Bendera Revolusi”-nya, adalah sumbu revolusi masa depan bangsa, dan pengawal kemerdekaan lierasi Indonesia.

Kerja literasi harus selalu digaungkan sebagai konsuken luhur dari bangsa yang merdeka. Sebuah bangsa besar bisa diukur dari kerja literasi yang begitu terstruktur, rapi, dan masyarakatnya sadar akan pentingnya berliterasi. Maka jangan salah, kalau peradaban dunia abad ke-15 SM berpusat di Mesopotamia dan tepi Sungai Nil (Mesir) di bawah kekuasaan raja Fir’aun Mesir Kuno. Fir’aun yang abadi dalam sejarah, ternyata kekuasaannya dibangun tidak semata-mata dengan kekuatan militer. Pada saat berkuasa ia memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi sebanyak 20.000 buku. Maka tak ayal kalau Francis Bacon, Filsuf asal Inggris itu menyebut sebagai “pengetahuan adalah kekuatan, siapa pun pelakunya.”

Paradoks

Geliat literasi di awal kemerdekaan yang dipelopori oleh founding leaders adalah bukan keniscayaan. Akan tetapi mereka mencipta, bekerja keras, dan mengimajinasikan pikirannya untuk masa depan Indonesia. Mereka punya gaya khas masing-masing dalam menuangkan gagasan, sebagai gerbong melawan penjajah. Piagam Jakarta yang melahirkan pula dasar negara bernama Pancasila, tentu tidak tercipta Indonesia kalau saja Panitia Sembilan bukan orang-orang yang mahir dalam menulis. Pancasila tak ubahnya Piagam Madinah yang bisa menyatukan penduduk Makkah dan Madinah yang multi keyakinan dan multikultur.

Namun peristiwa lampau yang dipuja itu menjadi paradoksal ketika negara ini menginjak usia ke-72 setelah kemerdekaan dari kolonialisme. Merdeka dari penjajah belum tentu merdeka dalam berliterasi. Profesi menulis hingga kini belum mendapatkan kemerdekaan sejati. Pekerjaan menulis dianggap tidak akan mendatangkan kekayaan. Mereka yang terus melanjutkan hobi menulisnya akan terkatung-katung di tengah lautan sebagaimana kapal tua.  Nakhodanya ada, tapi ia tak tahu mengarahkan kemana kapalnya. Kalau pun ada orang yang bertahan, hanyalah orang-orang pilihan yang hanya mengabdikan diri sebagai penyumbang gagasan literasi, tanpa apresiasi, tanpa materi.

Soal minat baca kita pun terpuruk. Berdasarkan studi “Most Litered Nation in The Word” yang dilakukan oleh Centrel Connecticut State University, pada Maret 2016 tahun lalu, kita dinyatakan menduduki posisi underdog pada peringkat ke 60 dari 65 soal minat baca.

Rendahnya literasi membaca kita juga berbanding lurus dengan angka buta huruf. Di era teknologi dan informasi yang semakin masif ini, ternyata tidak membawa bangsa kita lepas dari prahara buta huruf. Kita lebih gandrung berselancar di media sosial ketimbang menyuntuki huruf-huruf di kertas atau pun membaca tulisan ebook di laptop dan gadget. Kita harus sadari itu. Atau pun yang lebih naïf lagi, kita lebih banyak mengoleksi baju daripada buku.

Maka tak ayal kalau Pusat Data dan Statistik Kemendikbud tahun 2015 menyebutkan, angka buta huruf di Indonesia masih tinggi yang jumlahnya mencapai 5.984.075 orang. Ini tersebar di enam provinsi meliputi Jawa Timur 1.258.184 orang, Jawa Tengah 943.683 orang, Jawa Barat 604.683 orang, Papua 584.441 orang, Sulawesi Selatan 375.221 orang, Nusa Tenggara Barat 315.258 orang. 

Ini adalah problem bersama yang mau tidak mau harus segera dibenahi. Tidak elok kalau saling serang siapa yang salah dan siapa yang bertanggungjawab. Ini tanggung jawab kita semua. Di jajaran elit pemerintahan, mulailah untuk melirik ke bawah sana. Telah terjadi kekurangan pasokan buku di berbagai pelosok negeri ini. Manjakanlah rakyatnya dengan bacaan yang melimpah. Orang tua perkenalkanlah anak-anaknya dengan bacaan. Dan yang terakhir, mulailah dari sekarang, jangan tunda besok atau lusa!.

 Gatep 17/08/17

   

Share:

Selasa, 08 Agustus 2017

Qabbani, dan Makrokosmos Konflik Timur Tengah

Sumber Gambar: albawabaeg.com
Cara luhur mengetahui jati diri sebuah bangsa adalah melalui sosio-kulturalnya, membaca sejarah bangsanya hingga ke akar-akarnya. Baru kemudian melacak para ilmuan yang kompeten, dan dipungkasi dengan berkenalan dengan para politisi, pemimpin, dan para pengusahanya. Dalam konteks regional Timur Tengah—selain para politisi dan pemimpin negara yang selalu mendapat lampu sorot lebih—sejatinya tumbuh subur penyair-penyair kenamaan yang wanginya tercium hingga ke bumi pertiwi ini. Sebutlah: Muhyidin Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Imam al-Busyiri Ibnu Burdah, Muhammad Iqbal, dan Nizar Tawfiq Qabbani.

Melihat Timur Tengah tak ubahnya melihat peradaban Islam. Dari tanah tandus itu, tidak hanya minyak yang menyumbar tapi puisi-puisi tasawuf juga mengalir deras. Bahkan, puisi-puisi politis dan romantis tidak jarang dikobarkan oleh para penyairnya, salah satunya oleh Nizar Qabbani.

Timur Tengah yang remuk-redam memang terasa terwakili oleh beberapa puisi gubahan Nizar Qabbani. Ia menyorot begitu detail kecamuk perang yang terjadi di Irak, Suriah, bahkan tanah para nabi Jerusalem (al-Quds). Selain puisi politis, Qabbani juga menulis puisi romantik dan sensual. Qabbani banyak menulis puisi di harian berbahasa Arab, Al-Hayat. Puisinya dikenal banyak kalangan luas karena banyak dinyanyikan para penyannyi Lebanon dan Suriah. Karena itu, banyak orang di Timur Tengah, yang bertutur menggunakan bahasa Arab sangat mengenal karyanya.

Qabbani lahir pada 21 Maret 1923 di Damaskus, Suriah, dan meninggal pada 30 April 1998 di London, Inggris. Ia berasal dari keluarga pedagang dari kelompok kelas menengah. Ia juga cucu pionir dramawan Arab, Ab Khall Qabbani. Ia belajar ilmu hukum di Universitas Damaskus. Setelah lulus, Qabbani mengawali kariernya sebagai diplomat. Sebagai diplomat, Qabbani pernah bertugas di Kedutaan Besar Suriah di Mesir, Turki, Lebanon, Inggris, China dan Spanyol, sebelum akhirnya pensiun pada 1966. Setelah pensiun, Qabbani pindah ke Beirut, Lebanon. Di Beirut ia mendirikan sebuah perusahaan penerbitan yang bernama Manshurt Nizr Qabbani. Ketika itu, ia kemudian banyak menulis puisi. Awalnya ia menulis puisi bergaya klasik, dan banting setir menulis puisi-puisi bebas yang tentu  memberi pengaruh besar terhadap dunia puisi Arab modern (Trias Kuncahyono, Kompas 24/07/17).

Salah satu puisi familiarnya, dan sangat inheren ketika melihat gejolak di Timur Tengah saat ini adalah “Yerusalem (al-Quds)”: Saya kutib di sini beberapa bagian: Aku menangis hingga air mataku mengering/aku berdoa hingga lilin-lilin padam/aku bersujud hingga lantai retak/aku bertanya tentang Muhammad dan Yesus/ Yerusalem, o, kota nabi-nabi yang bercahaya/jalan pendek antara surga dan bumi!/Yerusalem, kota seribu menara/seorang gadis cilik yang cantik dengan jari-jari terbakar/kota penuh duka,o, air mata yang sangat besar/bergetar di kelopak matamu/siapa yang akan menyelamatkan Injil?/siapa yang akan menyelamatkan Qur’an? (Yerussalem, Setiap Aku Menciummu. Akar Indonesia, 2016).

Jerusalem memang “wangi oleh para nabi”, kota suci agama-agama samawi. Sejak dahulu kala, Jerusalem dipertahankan sebagai tempat yang menginspirasi kedamaian di bawah cahaya iman agama-agama samawi. Tidak jauh dari Masjid al-Aqsa (Islam) terdapat Gereja Makam Kristus (Kristiani) dan Tembok Ratapan (Yahudi). Jerusalem merupakan sumber inspirasi untuk mewujudkan perdamaian. Barang siapa yang berziarah ke Jerusalem, maka ia tidak hanya berziarah ke satu tempat suci, tapi juga berziarah ke tempat suci agama-agama samawi. Inilah yang membuat kota ini unik walau beberapa kali terjadi gesekan atas nama teologis dan ihwal politis.

Seperti ungkapan Qabbani, Jerusalem tak ubahnya gadis kecil nan cantik dengan jari-jarinya terbakar. Nasib kota suci itu seperti kisah anak perempuan, ibu-ibu hamil, dan jutaan korban lainnya saban hari mendapat gempuran bom dan senapan. Parade konflik tak ada jedanya, walau jarum jam menunjuk 01:00 tengah malam. 

Masih menurut Qabbani, Jerusalem seperti kota “Sang Perawan” dengan tatapan murung dan impian yang tak pernah final. Menara-menara masjid pun murung, Tembok Ratapan pun bersimbah luka, hingga gereja itu pun tak mampu berdiri tegap lagi. Sehingga, siapa yang akan menyelamatkan Kristus? siapa yang akan menyelamatkan manusia? Yerusalem, kotaku tercinta!, kata Qabbani.

Sejarah menjelaskan secara gamblang bahwa Jerusalem adalah kota yang selalu diperebutkan, ditaklukkan, dan dihancurkan. Karena itu, Jerusalem menderita, bahkan penderitaannya hingga sekarang. Maka cerita tentang pemasangan alat pemindai metal (17/07/17) di Masjid al-Aqsa oleh Israel adalah ranting konflik dari pohon konflik Jerusalem selama bertahun-tahun. Sejak akhir perang 1948 (perang kemerdekaan bagi Israel; dan perang awal kolonialisasi bagi Palestina), Jerusalem memulai kisah baru dengan bibit-bibit konflik yang mulai bermekaran. Situasi semakin memburuk setelah perang pada 1967 hingga saat ini. Tak ayal kalau Jerusalem menjadi salah satu sumber konflik di Timur Tengah. Jerusalem pun tak sesuai dengan nama kota itu, “Kota Perdamaian”. Jerusalem tak sesuai lagi dengan nama dalam bahasa Arab, al-Quds, yang berarti “kudus”.

Di tanah kelahiran Qabbani, Suriah, siapa bilang aman dan damai. Di negeri Bashar al-Assad itu bahkan lebih mengerikan lagi. Akar konfliknya begitu kompleks, ada banyak kepentingan atas nama teologi, ideologi, materi bahkan campur tangan eksternal (barat) yang membikin musim semi di Suriah kian lama. Suriah tengah dalam proses penghancuran sistematis melalui perang yang telah berlangsung kurang lebih delapan tahun terakhir. Kehancuran Suriah, dengan demikian disebut bencana geopolitik (geopolitical disaster) yang melibatkan simpul-simpul utama international order yang tak kunjung berhasil menemukan kesepakatan mengenai kawasan.

Qabbani lahir dari ekosistem macam itu. Seperti kata Faizal Kamandobat; Ia mewarisi masa lalu dalam wajah Negara Suriah modern yang tak sepenuhnya mampu mengolah potensi yang diwarisinya ke level teknokrasi lebih lanjut. Sebagai diplomat, ia merasakan betul pertikaian negaranya dengan Israel, yang buah pahitnya antara lain berupa nasib dataran tinggi Golan yang tak pasti hingga kini. Maka Qabbani berujar dalam kealpaan tentang nasib saudara dan negaranya: karena kata-kata dalam kamus telah mati/karena kata-kata dalam riwayat telah mati/karena kata-kata dalam buku-buku telah mati/maka kubuka sebuah jalan cinta/di mana aku dapat mencintaimu tanpa kata-kata.

Baik Jerusalem, Suriah, Lebanon, Irak, dan Negara Timur Tengah lainnya adalah sebuah elegi dan tragedi bagi Qabbani. Qabbani begitu lara menarasikan betapa negara-negara Arab tengah murung dengan awan hitam tebal di atas kepalanya. Dalam rentang waktu lima tahun, Qabbani melihat orang-orang Arab menjadi guruh (guntur) dan tak pernah menjadi hujan. Mereka memasuki peperangan namun tak pernah meninggalkannya. Mereka terus mengunyah kebijakan, namun tak pernah menelannya. Musim di tanah tandus itu tak lagi kemarau, tapi musim semi berkepanjangan, dan tak tahu kapan kemarau tiba.

Qabbani adalah salah salah satu contoh terbaik dari penyair yang bertanggung jawab pada bangsa dan peradaban; dari keduanya ia berhutang semangat, gagasan dan bahasa, maka kepada keduanya ia mendedikasikan dan mengembalikan karya-karyanya. Dari Qabbani dan puisinya adalah suara lara masyarakat Timur Tengah.

08/08/17



Share:

Sabtu, 29 Juli 2017

Mengapa Bunuh Diri?

Sumber Gambar: Okezone.com

“Ayah, nikmati apa pun yang kau lakukan hari ini. Cintai hidupmu karena ini seperti: Castle of Glass” (Tyler Lee Bennnington).

Begitulah isi secarik memo yang ditempel Tyler untuk ayahnya pada sebuah cangkir, awal Juni 2017. Tyler (11 tahun) adalah buah hati Chester Bennington, sang vokalis Linkin Park yang begitu sohor. Tyler sepertinya sudah meraba kematian ayahnya, maka 1,5 bulan setelahnya, Chester Bennington benar-benar meninggal dunia setelah gantung diri di kediaman pribadinya yang terletak di Palos Vendes Estates, Los Angeles (21/07). Inilah tragedi yang sangat mengejutkan, maka tak ayal kalau awan gelap menyelimuti dunia musik internasional saat ini.

Pilihan Chester mengakhiri hidupnya adalah sebuah kenekatan. Ia bahkan menyusul mendiang sang sahabat,Chris Cornell yang juga gantung diri di kamar hotel setelah konser, pada 18 Mei 2017. Chester seperti menghadiahkan nyawanya untuk Cornell, karena di hari kematiannya bertepatan dengan hari ulang tahun Cornell ke-53. Padahal sebelum kematinnya, Linkin Park rupanya baru saja merilis video musik baru yang berjudul “Talking to Myself”. Video yang disutradarai dan diedit oleh Mark Flore ini menunjukkan momen saat Linkin Park menjalankan tur di Eropa. Dalam video ini, Chester memang begitu ditonjolkan (Tribun, 21/07/17)

Kalau flashbcak lagi, kehidupan Chester memang diselimuti kepedihan. Orang tuanya bercerai ketika usianya 11 tahun. Ia kemudian tinggal dengan ayahnya, yang merupakan polisi dalam kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak. Anehnya, Chester sendiri menjadi korban kekerasan seksual sejak usia 7 tahun oleh pria yang lebih tua. Ia juga harus berjuang keras untuk mengatasi kecanduan obat-obatan dan alkohol. Tapi sederet kisah Chester kecil bisa dilaluinya dengan baik, hingga namanya melambung tinggi ketika bergabung dengan grup band Linkin Park.

Dalam dunia musik sendiri, kematian Chester adalah termasuk kisah klasik yang lukanya tetap segar. Banyak musisi yang nekat mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Sebut saja: Elvis Presley (1935-1977) yang meninggal dunia karena overdosis. Jimi Hendrix (1942-1970) yang meninggal karena muntahnya sendiri setelah minum obat antidepresi barbiturate, dan obat tidur dengan jumlah 18 kali lebih banyak pada malam sebelum meninggal. Kurt Cobain (1967-1994) yang tewas setelah mengonsumsi heroin dalam jumlah besar dan bekas diazepam juga ditemukan dalam darahnya. John Bonham (1948-1980), ia meninggal setelah menenggak sekitar empat puluh shot vodka. Dan kisah tragis Elliot Smith (1969-2003) yang meninggal dengan dua luka tusukan di dada pada usia ke-34, hasil autopsi meyakini luka tusukan itu dilakukan oleh dirinya sendiri. Sehingga muncul pertanyaan kemudian, benarkah Chester bunuh diri karena masa lalu yang membuat ia terlempar ke lembah keputusasaan, atau ada faktor dimensional lainnya?.

Impostor Syndrome

Melihat tragedi tersebut kita dibenturkan dengan berbagai praduga-praduga, yang sebenarnya si pelaku bunuh diri sendiri yang benar-benar tahu alasan mengapa ia bunuh diri. Namun dalam kasta medis dan psikologi, tragedi itu bisa dibaca sebagai gejala impostor syndrome.   

Dalam situs Psychology Today, Susan Weinschenk, Ph.D., behavioral psychologist, penulis, dan konsultan neuropsikologi mendeskripsikan kondisi ini. Istilah impostor syndrome pertama kali dicetuskan oleh psikolog klinis Dr. Pauline R. Clance dan Suzanne A. Imes pada 1978. Hal ini merujuk kepada kondisi yang dialami orang-orang berprestasi yang tidak mampu menginternalisasi pencapaiannya. Ketakutan akan dianggap sebagai "penipu" juga terus menerus dialami oleh orang-orang ini. Bukti-bukti kesuksesan yang mereka terima dipandang sebagai suatu keberuntungan atau hal yang terjadi pada saat yang baik saja. Tidak jarang mereka merasa bahwa kesuksesan tersebut adalah hasil dari menipu orang sekitarnya sehingga mereka dianggap lebih pintar dan kompeten daripada yang sebenarnya mereka pikir (tirto.id 22/07/17).

Impostor syndrome mengakibatkan orang-orang bekerja lebih keras untuk mencegah orang mendapati mereka tengah "menipu". Semakin banyak prestasi yang dikumpulkan, semakin menanjak kebutuhan untuk diterima dan diakui yang muncul dalam diri para penderita impostor syndrome. Tidak hanya itu, mereka juga terobsesi pada gagasan bahwa mereka akan membuat kesalahan, mendapat umpan balik negatif, hingga kemudian mencicipi kegagalan. Perasaan takut mencoba hal baru juga hal yang lumrah ditemukan dalam diri orang-orang dengan impostor syndrome.

Gejala Impostor syndrome juga bisa mendera siapa pun yang tidak mampu menepis jauh-jauh syndrome ini. Dari latar belakang apa saja, dari kalangan aktris, pejabat, akademikus, sastrawan bahkan petani dan pedagang sekalipun. Semua memiliki kans atau peluang terjangkiti itu. Namun ketika melihat melihat Chester dan sederet musisi lainnya tersebut, kita diajarkan bagaimana ketika sedang di puncak dengan berbagai tantangan dilalui, bukan tidak mungkin akan terjungkal ke jurang kealpaan. Mungkin saja mereka selalu merasa takut akan nama tenarnya, atau mungkin caranya yang salah dalam meraih kesuksesan, atau karena selalu dihantui rasa cemas kisah masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kurang apa coba dalam diri Chester?, selain bakat suaranya yang cantik dan kuat, fans yang begitu menjamur, tapi siapa sangka kesuksesan itu sendiri adalah momok bagi kehidupannya. Tak ada jaminan hidup yang pas meski menurut prakiraan matematikawan atau ahli sains. Semuanya adalah ilusi, tapi semoga kita yang akan membikinnya abadi.

27/07/2017
Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com