• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Kamis, 27 April 2017

Ibuku, Bumiku, dan Bukuku

Sumber Gambar: portalsejarah.com

Bulan April adalah bulan keindahan dan kebahagian. Selain hari kartini tanggal 21 April, ada hari bumi sedunia di tanggal 22 April, dan disusul hari buku sedunia pada tanggal 23 April. Laksana trilogi novel dan tribunal bangsa untuk tetap merawat karya manusia secara mondial. Hari Kartini sebagai ikon kebangkitan dan pembebasan, hari bumi sebagai lakon mewarat ekologi bumi dan manusia, dan hari buku sebagai penyampul dan perekat keduanya.   

Hari Kartini diperingati dengan berbagai lakon nan simbolik, dalam rangka menghormati hari kelahiran Raden Adjeng Kartini sebagai pahlawan perempuan Indonesia. Kartini adalah teladan perempuan yang didaulat paling berjasa menjunjung tinggi hak-hak perempuan. Ia adalah ibu bangsa, ibu Emansipasi, dan ibu buku pantas dialamatkan padanya.

Kartini lahir pada kalender 21 April 1879, atau dalam almanak Jawa 28 Rabiulakhir 1808 di Jepara, Jawa Tengah. Berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, dan merupakan putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara. Dan ibunya bernama M.A. Ngasirah seorang guru agama di Telukawur Jepara.

Sebagai anak ke-5 dari 11 bersaudara, Kartini bukanlah orang terdidik  secara formal, ia hanya enam tahun mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School), sekolah Belanda waktu itu. Padahal dalam sanubarinya membuncah mimpi untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas (Hogere Burger School) di  Surabaya Pusat. Nasib berkata lain, akhirnya mimpi itu kandas di tengah jalan karena ia dipingit tujuh tahun di Kadipaten. Meskipun pengalaman singkat singgah di bangku sekolah, memembuatnya bisa belajar Bahasa Belanda dan menulis surat untuk sahabat-sahabat korespondensi di Belanda (Netherlands).

Selain memperjuangkan emansipasi perempuan, Kartini juga layak dipanggil “Ibu Penulis”. Banyak karya-karya monumental lahir dari semangatnya dalam memberontak sosio-politik yang berkembang saat itu. Seperti; Het buwelijk bij de Kodjas (Upacara Perkawinan pada Suku Koja), De Batikkunst in Indie en baar Geschiedenis (Kesenian Batik Hindia Belanda dan Sejarahnya), dan yang paling kondang  Door Duisternis Tot Licht (Habis Kegelapan Menuju Cahaya) 1911, dibukukan oleh sahabat Kartini Mr. J.H. Abendanon. Kemudian Balai Pustaka menerbitkannya dengan bahasa Melayu (Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran) 1922. Dan pada tahun 1938 keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane.

Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh beberapa orang dari dalam dan luar negeri. Seperti Sulastin Sutrisno dengan tulisannya Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, gubahan Joost Cote Letters from Kartini, An Indonesian Feminis (1900-1904), atau apresiasi Pramoedya Ananta Toer atas pemikiran Kartini dari bukunya Panggil Aku Kartini Saja (1962).

“Kartini adalah Ibu Buku”. Kalimat ini sungguh kondang di telinga masyarakat, ia memang pembaca buku yang baik. Ia sosok yang betah berlama-lama menyuntuki huruf-perhuruf, kata-perkata, kalimat-perkalimat di dalam buku. Pengembaraan intelektualnya dimulai ketika ia banyak membaca koran dan majalah, Seperti koran De Locomotief  (Semarang), paket majalah Lesstrommel, koran terkenal Maatschappelijk werk in Indie, De Gids, dan majalah wanita Belanda De Hollandsche Leile. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hoolandsche Lelie.

Sebelum umur dua puluh tahun, Kartini telah melahap buku Max Havelaar dan Surat-surat Cinta karya Multatuli (1901), memamah buku De Stille Kraacht (kekuatan gaib) karya Louis Coperus, dan buku-buku bermutu tinggi karya Van Eeden, Augusta de Witt roman feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek, atau roman anti perang karangan Berta Von Suttner. Dari bacaan-bacaan itulah Kartini mengenal Revolusi Perancis, roman-roman Eropa, gerakan perempuan Eropa, hingga gegap-gempita sosial politik Eropa.

Melihat gelagat dan semangat Kartini, mengenalnya adalah sebuah keniscayaan. Ia tak hanya ibu emansipasi perempuan yang bergelung dan berkebaya, tapi juga ibu penulis dan ibu buku. Meminjam bahasa Muhidin M Dahlan, Kartini adalah ibu epistolari (ibu dalam tradisi bersurat) dan ibu penulis buku.

***

Syahdan, hari buku sedunia sebenarnya dahulu adalah perayaan Hari Saint George (pria memberikan mawar pada kekasihnya) di Katalonia, sejak abad pertengahan. Namun sejak tahun 1923, para pedagang buku memengaruhi tradisi ini untuk menghormati Miguel de Cervantes, seorang pengarang yang meninggal dunia pada 23 April. Maka perayaan di tanggal tersebut diganti dengan hari buku internasional. Hingga tahun 1925 para perempuan memberikan sebuah buku sebagai pengganti mawar yang diterimanya. Pada saat itu lebih dari 400.000 buku terjual dan ditukarkan dengan 4 juta mawar.

Iktikad baik itu ditanggapi serius orang Badan PBB untuk pendidikan. Pada tahun 1995, Konferensi Umum UNESCO di Paris, memutuskan tanggal 23 April sebagai World Book Day and Copyright Day (Hari Buku dan Hak Cipta Internasional). Berdasarkan eksistensi festival Katalonia serta pada tanggal 23 April tersebut: Shakespeare, Caervantes, Inca Garcilaso de la Vega dan Josep Pla meninggal dunia. Sedangkan Maurice Druon, Vladimir Nabokov, Manuel Mejia Vallejo and Halldor Laxness dilahirkan. Kelahiran dan kematian tokoh tersebut dipilih untuk jadi ikon resmi hari buku.  

Dalam nuansa debar dan peristiwa nostalgik ini—dalam diri Kartini dan penulis Miguel de Cervantes—kedua momentum ini laksana dua sisi mata uang, sama sisi saling mengisi dan berkontribusi. Hari kartini dan hari buku adalah sebuah entitas berbeda dan memiliki kemanunggalan cita-cita yang sama. Semangat kartini untuk membaca dan menulis inilah yang juga diharapkan menjangkiti penikmat buku secara nasional dan secara global. Kampanye buku dan membangun gerakan literasi begitu pas ketika mengkaji kedua perlehatan akbar tersebut. “April adalah bulan buku”, mungkin tema ini cocok untuk langkah awal yang bisa kita galakkan. 

26/04/17



Share:

100 Hari Kepemimpinan Donald Trump

Sumber Gambar: kctv5.com

Pada hari Sabtu (29/4), Presiden Amerika Serikat Donald Trump genap 100 hari menjadi penguasa Gedung Putih. Selama 100 hari kepemimpinannya, banyak perubahan terjadi ketika program-program kenegaraannya dilaksanakan, baik secara domistik maupun pengaruhnya di dunia internasional. Namun banyak pula janji-janjinya yang belum ditepati.

Apa pun alasan kemenangan dan keterkejutan dunia terhadap terpilihnya Donald Trump, dunia harus menghormati pilihan rakyat AS sebagai presidennya yang ke-45 dari partai Republik itu. Sehingga ketika Trump dilantik pada Jumat (20/02), muncul pertanyaan, apakah semua program-programnya dapat diwujudkan, atau itu hanya sebatas bualan dan janji semata. Apakah AS lebih inward looking?. Apakah AS akan menarik diri menjadi polisi dunia di sejumlah kawasan?. Apakah perdagangan bebas akan diakhiri?. Apakah AS akan menjadi anti imigran?. Apakah tembok tinggi jadi diangun?. Dan masih banyak apakah, apakah lainnya.  

Janji Semu

Kalau kita mengawal program Donald Trump ke 100 hari kepemimpinannya, terlihat jelas masih banyak yang belum dapat diwujudkan. Terlepas dari taipan 70 tahun itu baru dilantik, kenyataannya ia agak lamban dalam melangkah. Bahkan kata James Jefrrey (Mantan Duta Besar AS untuk Iraq dan Turki, saat diwawancarai CNN, 26/4) mengatakan: “ Trump Menyimpang 180 derajat.” Karena kalau dicontohkan seperti rencana Trump untuk membangun tembok pembatas di perbatasan AS dan Meksiko akhirnya diurungkan. Sebab jika Trump bersikeras terhadap rencana itu, maka AS terancam dinonaktifkan (shutdown).

Untuk urusan imigran, suami Melania Knauss itu juga gagal untuk mereformasi aturan imigrasi. Lihat saja beberapa pemangku kebijakan di negara bagian AS, menolak perintah eksekutif presiden  Donald Trump tentang pembekuan dana federal untuk kota-kota suaka, yakni kota yang membuka diri untuk para imigran dan pengungsi. Salah satunya dari hakim William Orrick dari San Fransisco, dan Ninth Circuit. Melihat gelagat tersebut Trump geram dan mengatakan “Sampai jumpa di MA”, tulis Trump di akun Twitter-nya.

Sedangkan di panggung internasional, Donald Trump terpaksa membatalkan niat luhurnya unuk menarik diri dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dia malah mendaurulang komitmen AS terhadap organisasi tersebut. Dia hanya mengimbau negara-negara anggota NATO yang lain untuk memberikan kontribusi finansial sesuai kesepakatan awal. Yakni, 2 persen GDP.

Di kawasan Timur Tengah juga demikian, aksi militer AS di era Donald Trump membombardir Suriah dan Afanistan juga sebuah kesemuan. Serangan pertama ke Suriah pada (6/4/17), dengan kapal perang AS menembakkan sekitar 60 rudal tomahwk ke pangkalan militer rezim Assad. Kemudian beberapa hari berikutnya, Bom seberat 9.800 kg yang dikenal dengan sebutan “mother all boms” juga menghantam Afganistan. Dari kedua serangan tersebut tidak sedikit masyarakat sipil dan tentara yang tewas, dan ratusan orang luka-luka. AS yang katanya mau inward looking tidak kelihatan di sini.

Sedangkan di kawasan ASIA, Trump membuat sengketa Laut Tiongkok Selatan (LTS) kian tegang karena kritik pedas yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Rex Tillerson terhadap Beijing. Washington mengatakan akan bertindak tegas jika Tiongkok terus menerus meningkatkan eksistensinya di pulau-pulau karang laut sengketa tersebut. 

Masih di kawasan ASIA, dalam dua pekan ini dunia ketar-ketir dibuatnya ketika ketegangan terjadi antara AS dan Korut. Kedatangan kapal USS Carl Vinson AS di semenanjung Korea, membuat Korut geram dan Pyongyang akan melancarkan serangan nuklir ke Washington dan ingin menenggelamkannya kapal induk bertenaga nuklir yang memiliki senjata lengkap itu. Maka tak ayal, kalau banyak pengamat mempertanyakan; Dengan kekuatan beberapa negara Super Power ikut terlibat, akankah terjadi Perang Dunia III?.       

Nipotisme

Selama beberapa dekade, dengan silih bergantinya Presiden, Amerika Serikat sempat bekerjasama dengan sejumlah negara, dan berupaya keras memberantas nepotisme. Alasannya sangat kuat, yakni nepotisme melahirkan korupsi. Tapi Presiden ke-45 AS saat ini memang telah lama diketahui bahwa mencintai nepotisme. Ia sering melibatkan anak-anaknya dalam usahanya. “Saya suka nepotisme,” kata Trump dalam wawancara dengan Larry King dari stasiun televisi CNN pada 2006. 

Lihat saja ketika Ivanka Trump (Putri Trump) diangkat menjadi penasehat kepresidenan. Di AS sendiri penunjukan Ivanka dan suaminya, Jared Kushner, sebagai penasehat Gedung Putih dikecam sebagai nepotisme. Atau kisah putra bungsu Trump, dari istri pertamanya (Ivana), secara resmi menjadi juru bicara sang ayah. Dia pun membela nepotisme yang dijalankan sang ayah degan menyebut praktik itu sebagai bagian dari kehidupan. Hingga pada tahapan ini, kita bisa mereka-reka empat tahun ke depan kondisi Amerika dan dunia di bawah nakhoda Donald Trump.  

27/04/17
Share:

Senin, 24 April 2017

Ziarah Literer si Anak Hilang

Sumber Gambar: Dok. Pribadi

Judul : Rumbalara Perjalanan
Penulis : Bernando J. Sujibto
Cetakan          : Pertama, Mei 2017
Penerbit          : DIVA press
ISBN : 978-602-61246-1-6
Tebal Halm. : 184: 14 x 20 cm 
Peresensi        : Khairul Mufid Jr*

Yuval Noah Harari, 41 tahun, sejarawan kebangsaan Israel pernah menulis dalam bukunya, Sapiens: A Brief History of Humankind (2014) yang isinya begini: Manusia sebagai Homo Sapiens (hewan bijak, hewan berpikir) menunjukkan keberhasilannya sebagai spesies yang tidak punah karena ia menyusun fiksi, manusia membayangkan hal-hal yang tidak ada, dan menciptakan apa yang belum pernah ada. Dan pada fragmentasi lain manusia juga kritis untuk melepaskan diri dari satu fiksi, pindah ke fiksi lain dan mampu membedakan fiksi dari fakta. Kemampuan itu memungkinkan manusia berhimpun dan bekerjasama secara luas dalam cara yang tidak mungkin dilakukan oleh hewan-hewan.

Dengan kata lain, kemampuan berimajinasi memungkinkan terjadinya perubahan cepat di dalam masyarakat manusia. Hewan-hewan tidak bisa melakukan revolusi karena mereka tidak bisa melakukan revolusi karena tidak berimajinasi. Dalam koloni lebah misalnya, dikenal adanya lebah ratu dan lebah pekerja dan di sana ada juga pembagian kerja, tetapi kita tidak akan pernah membawa berita bahwa pada suatu pagi seekor lebah di dalam koloni itu membunuh ratu lebah dan mengobarkan revolusi, dan membangun pemerintahan komunis demi menegakkan otoritas lebah-lebah pekerja. Mereka tidak mampu mengarang cerita tentang perjuangan kelas (AS. Laksana “Para Pendongeng” Tirto.id, 17 April 2017).

Manusia sebagai produsen kisah, tidak mungkin melewatkan segala benturan-benturan ruang dan waktu yang mengantarkannya pada suatu pendakian hidup. Seorang penyair sebagai Homo Sapiens, pasti melahirkan anak-anak sajaknya lewat benturan kehidupan yang empiris. Sangat tidak mungkin seorang penyair akan melewatkan momentum-momentum perlintasannya dengan segala hiruk-pikuk kehidupannya untuk tidak lekas menuliskannya. Mustahil. Walaupun ada sebagian penyair hanya mengembarakan imajinasinya saja untuk menulis sajak, tapi hasilnya dangkal dan hambar. Maka tidak dapat dimungkiri kalau sajak adalah jelma dari penyairnya itu sendiri. 

Pada 1927, pujangga besar asal India yang bernama Rabindranath Tagore berziah ke Candi Borobudur. Beliau menggubah sajak kenangan berjudul Borobudur. Kunjungan itu mengingatkan Tagore bahwa Jawa menjadi tanah tertua dalam alur sejarah religiusitas. Meski, perjumpaan singkat dengan Candi Borobudur dan tanah Jawa, beliau mampu melukiskan dan mengekspresikan ketakjubannya dalam sebuah sajak, yang tentu hasil sadur kehidupan nyata beliau.

Sebagai penyair cerdas dan cerdik membaca geliat kehidupan; Bernando J. Sujipto juga mencoba menggambarkan dan memaradekan kehidupannya dalam sehimpun sajak “Rumbalara Perjalanan”. Beje (nama akrabnya) tidak bisa melupakan dan atau meninggalkan sajak-sajaknya berserak begitu saja. Dari tahun 2003 ketika mengenyam pendidikan Pesantren di Annuqayah (Madura), hingga tahun 2016 ketika menyelesaikan Masternya di Turki, telah banyak sajak-sajak dihasilkannya lewat perjumpaan dengan kehidupan empiris, tidak mengada. Setelah melewati kepungan zaman yang kadang memenjarakannya, dia sanggup memenjarakan egoisme pribadi dan melanggengkannya pada kematangan diri untuk menulis sajak, yang terangkum dalam antologi tunggalnya ini.

Dalam kumpulan sajaknya ini, penyair membagi menjadi dua fase. Fase pertama Biografi yang Tak Utuh dan fase kedua Rumbalara Selat. Dari kedua fase tersebut, mengisahkan dari awal penyair memulai pengembaraan puitiknya, hingga prosesi pengembaraan penyair ke negeri-negeri jauh yang ditulis rapi sebagai catatan perjalanan. Fase pertama, banyak melukiskan tentang kehidupan penyair dari kampung halamannya dan kritik historis ketika penyair mampu menuliskan kampung halamannya yang padahal dia tidak lagi disana. Seperti sajak Ke Madura Pulang Sebentar (hlm. 48), dan Pulau (hlm. 56).

Masih di fase pertama. Dalam pengembaraan puitiknya, penyair juga merekam kehidupan uniknya ketika menempa diri di Yogyakarta, secara khusus di Pesantren menulis PPM. Hasyim Asy’ari Yogyakarta. Bacalah sajak Nota Perburuan (hlm. 40). Sajak kepada guru menulisnya, Semuanya Lahir Kepada Namanya Sendiri, Gus Zainal Arifin Thoha (hlm. 41). Atau sajak nostalgiknya tentang sajak Ontel yang sengaja saya kutib beberapa bagian di sini: Keringat ini seperti logam/jatuh berdentingan di tanah/gugur seperti daun-daun/jalan-jalan terjal meleleh/dari pori-poriku lahir kembali.

Syahdan, pada fase kedua, penyair lebih peka dan menghadirkan kata, bahasa, dan latar tempat yang jarang didengar telinga kita. Pada fase ini penyair banyak merekam perjumpaannya dengan gerak sosial berbeda ketika sempat beberapa kali mengunjungi negeri-negeri nun jauh, seperi Amerika, Australia, Kolombia dan lainnya. Seperti dalam sajak Charlotte dan Jenderal Sunter (hlm.79), Horseshoe I (hlm. 80), dan sajak Pucuk Daun Ranting Basah (hlm. 85). Dalam sajak terakhir ini, penyair memaradekan bagaimana jarak yang memenggal perjumpaan fisik dengan ibunya. “Ini baru saja hujan, ibu/aroma tanah selalu sama/rindu yang membuatnya beda/kepada nama masing-masing. Hingga dipungkasi dengan beberapa narasi kerinduan: “Adakah daun bambu bekas mainan perahu/dibelakang langgar itu juga terhanyut?/aku ingin menjelangnya di sini/pada sungai-sungai yang mengalir/dari jantungmu ke jantungku.” Sajak ini ditulis ketika penyair mengembara ke Kolombia, Juni 2010.

Pengembaraan penyair tidak berhenti disitu, ia mengembara ke Negeri Bunga Tulib, Turki. Lihatlah sajak Seperti Deras Sungai Tigris (hlm.121), sajak Ankara-Angkara (hlm.123), Bataille d’Aboukir (hlm.127) dan Suatu Waktu di Anatolia (hlm.148). Dalam perjumpaan penyair dengan beberapa gerak sosial baru di Turki, dihadirkanlah sajak-sajak nostalgik yang mengajak pembaca menziarahi beberapa monumen jejak kejayaan Kerajaan Ottoman, gerak politik pemerintahan Turki, atau tentang kesohoran ahli rohani Jalaluddin Rumi. Penyair mampu memberi kesegaran dalam dunia persajakan. Karena penyair tidak sedang berangan-angan, dan bermetafor semata, penyair merekam dan melakukan observasi mendalam terhadap segala objek bahasan dalam sajaknya.

Dalam Puisi Ziarah (hlm.144), penyair menyampaikan pesan spiritual yang ia persembahkan untuk Jalaluddin Rumi. Dengan bahasa naratif, penyair mampu menghadirkan debar bagi pembaca. Karena rasa nyaman berada dan bercumbu dengan kenangan dan keagungan sang Sufi itu, penyair selalu bersikeras menziarahi petilasan sang Sufi. Dan tentu membawa seabrek cinta dan kerinduan yang membuncah dari negeri asal penyair. “Aku takkan mengatakan selamat tinggal/untuk cinta yang kau arsir dari kitab suci”, katanya.

Puisi Ziarah di atas adalah puisi sederhana, menggunakan metafor dan diksi yang biasa-biasa saja, dan mungkin banyak ditemui dalam kehidupan kita. Tapi jangan salah, untuk menyajikan yang sederhana itu, dengan menyelipkan makna mendalam itu sangat sulit bagi seorang penyair. Maka jangan main-main dengan seorang penyair. 

Secara keseluruhan, penyair memang menghadirkan bahasa sederhana dan dengan penjabaran renyah dibaca. Penyair juga tidak mendikte pembaca, menggurui, amarah dan ihwal buruk lainnya. Tapi menawarkan dan memberi kebaharuan untuk memaksa pembaca berlama-lama dan menyuntuki setiap rakitan kata-katanya.

Acep Zamzam Nur dalam esai pengantar antologi ini berujar: Menulis puisi sederhana tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Kesederhanaan bukan semacam bentuk kepolosan atau keluguan, apalagi sejenis kemalasan berusaha, improvisasi atau asal jadi. Lewat puisi ini malah saya seperti kembali disadarkan bahwa inti dari sebuah kesedernaan adalah ketepatan dalam menimbang serta kepekaan menentukan takaran. Dengan kata lain peralatan bahasa digunakan secara efektif dan fungsional sesuai kebutuhan.  

Si anak hilang kini kembali pulang. Pengembaraannya belum final. Sebagai cerdik yang berfikir dan berakal tentu ia tak lekas puas dengan pelawatannya dengan sajak, suasana, dan tempat-tempat. Kita tunggu ziarah literer berikutnya darinya.   


23/04/17







Share:

Sabtu, 15 April 2017

Che, dalam Kesaksian Kamerad Fidel Castro

Sumber Gambar: Dok. Pribadi
  

Judul Buku                 : Che, dalam Kenangan Fidel Castro Penulis/penerjemah    : Ruslani
Cetakan                      : I: Maret 2017
Penerbit                      : MATAANGIN
Tebal Halaman           : 364
Peresensi                    : Khairul Mufid Jr*


Hasta la Victoria siempre! (Maju terus menuju kemenangan!)
Patria o muerte!  (Tanah air atau mati!)

Kalimat di atas adalah kalimat magis dari sang revoluisioner Kuba, Ernesto Che Guevara. Che (nama akrabnya) berdarah Rosario, Argentina yang lahir pada 14 Juni 1928 ini adalah sosok pribadi tangguh. Selama 12 tahun dia mengabdikan sebagian hidupnya untuk sebuah revolusi di Kuba. Bersama Kamerad perang Fidel Castro, mereka berhasil menggulingkan pemerintah Fulgensio Batista (1 Januari 1959). Akhirnya Batista kabur, dan terciptalah Kuba yang baru dengan sistem pemerintahan yang lebih memperjuangkan kelompok minoritas.

Bulan Juli atau Agustus 1955, adalah pertama kalinya Fidel bertemu dengan Che pada malam hari yang indah. Mereka dipertemukan dalam ekspedisi Granma masa depan, meskipun pada saat itu ekspedisi sama sekali tidak memiliki kapal, senjata, maupun pasukan. Dalam pasukan ekspedisi itu ada nama Raul Castro (Presiden Kuba, sekaligus adik kandung Fidel) yang juga ikut andil.

Dalam kenangan Fidel, Che adalah seorang yang sangat dicintai dan disukai karena kesederhanaannya, karakternya, sikap apa adanya, sikap keramahan dan persahabatannya, kepribadiannya, kesejatiannya, dan kebijakannya yang unik adalah kompleksitas ketika memasuki karakter Che. Laiknya sebuah bangunan yang memiliki seribu pintu, Che adalah sosok yang multidimensional untuk dimasuki (hal. 133).

Sebelum menjadi pasukan militer, Che adalah seorang dokter dalam menjaga dan merawat para tentara yang sakit. Dalam suatu peristiwa, dia bukan seorang dokter seperti kejamakan, dia adalah pejuang luar biasa yang memiliki nilai humanistik tinggi. Lihat saja ketika dia merawat kamerad terluka, dan pada saat yang sama juga merawat pasukan musuh yang terluka.

Dalam pintu lain, Che adalah relawan yang banyak membikin decak kagum. Dia seorang pribadi dengan gagasan-gagasan yang mendalam, pribadi yang pikirannya mengendalikan mimpi perjuangan di belahan benua yang lain dan yang meiliki watak sangat altruistik, tidak egois, dan selalu bersedia melakukan hal-hal resiko mempertaruhkan nyawanya.

Masih dalam pandangan Fidel. Che adalah tentara yang tak terbandingkan, dialah pemimpin yang tiada tanding. Dari sudut pandang militer, Che adalah pribadi yang cakap luar biasa, berani luar biasa, dan memiliki watak pejuang yang luar biasa. Sebagai seorang gerilyawan sejati, ia diibaratkan memiliki panah Achilles, maka panah itu adalah kualitasnya yang sangat kombatif, semangatnya yang mutlak untuk menerjang bahaya (hal. 38).    

Namun jika kita ingat Che, ketika berpikir tentang Che, pada dasarnya kita tidak berpikir tentang keunggulan-keunggulan militernya. Tidak!. Perang adalah cara, bukan tujuan. Pertempuran adalah alat bagi kaum revolusioner. Hal yang penting adalah revolusi. Yang penting adalah semangat revolusioner gagasan-gagasan revolusioner, tujuan-tujuan revolusioner, sentimen-sentimen revolusioner, dan kebajika-kebajikan revolusioner.

Sebagai gerilyawan perang, darahnya menetes di tanah Kuba saat ia terluka dalam beberapa pertempuran, darahnya juga tumpah di Bolivia, Vietnam, dan Guatemala adalah representasi untuk generasi selanjutnya. Biar jasat lesat dari badan, tapi warisan revolusionernya akan tetap abadi dan hidup sejahtera.

15/0417

*Pertama kali dipublikasikan di Koran Jakarta, Rabu, 26 April 2017



Share:

Jumat, 14 April 2017

Mens Sana In Corpore Sano

Tim Kutub FC, Sumber Gambar: Dok. Pribadi

Tim Futsal ini dibentuk pada tanggal 22 Desember 2013, bertepatan dengan hari Natal, dan lahirnya anak pengasuh Pesantren Hasyim Asy'ari. Ketiga peristiwa ini memang berbeda genre, tapi memiliki makna mendalam di hati kami.

Tidak hanya nasib yang mempertemukan kami, hobi kebugaran tubuh dalam lakon futsal juga jadi alasan kedekatan kami. Kutub FC kami memberi label di jersey merah muda itu.  Iya,  kami memang membuat Jersey futsal untuk merekatkan kebersamaan dan untuk tidak malu-maluin ketika sparring. Tidak bagus, agak jelek sih, tapi berlaga tanpa mengenakannya di tengah lapangan adalah sebuah gerakan mundur. Hanya ada satu Jersey: Sarekat kere..!!

Dalam tim ini, sempat kami cekcok dan saling sikat sesaudara dan sesangkar. Meskipun problemnya klasik: Karena boddy balance antarpemain di dalam lapangan. Memang dalam sepakbola khususnya (futsal) tak ada kelas dan derajat lebih tinggi di lapangan. Siapa yang lebih leyeh-leyeh akan dilabrak walaupun dirasa lebih uzur. Dalam sepak bola kan demikian, coba saja lihat ketika pertandingan El clasico (Madrid vs Barcelona). Pemain di dua tim itu dihuni rata-rata pemain Timnas Spanyol, seperti Iniesta, Ramos, Torres, Xavi, Casillas, dan Alonso.  Tapi lihatlah mereka bertabrakan dan bertubrukan satu sama lain,  padahal ketika di Timnas begitu harmonis sampai menggondol Piala Dunia tahun 2010. Masih ingat to?

Dalam menapaki usia tim ini yang ke-4 tahun, telah banyak peristiwa dan kejadian memilukan kami alami.  Mulai dari sering bentrok dengan lawan sparring,  ikut turnamen dan tidak pernah menang, atau pun kebiasaan tidak bayar parkir. Para jukir kami dibohongi.

Dan lagi, home best kami nomaden. Sering gonta-ganti lapangan. Mulai lapangan rumput,  matras,  hingga tanah liat. Mulai di GPS futsal,  Cah,  4R, Jokokaryan, Piramid, Dolano, Telaga,  MU, Salvator, joglo, dll.

Dulu, tim ini sempat di pisah jadi tim A dan tim B,  dan saling gojlok ketika ada yang kalah. Sakit hati iya, tapi kehangatan kembali terjalin ketika kami berhasil mengelabui jukir. Dan disatukan oleh sebatang rokok untuk dihisab bersama.

Masalah yang di hadapi tim ini adalah regenerasi atau rekrutmen pemain baru yang tidak intens untuk membekingi pemain2 uzur yang sudah tak sanggup menyepak bola.  Iya, generasi setelah angkatan saya (tahun 2013) tak ada yang minat lagi main futsal. Padahal ini menjadi suatu kebobrokan persaudaraan perusak kebinnekaan yang sudah lama dianyam.

Karena dalam jiwa yang sehat, terdapat tubuh yang kuat,  dalam tubuh yang kuat terdapat futsal yang giat (Begitu sanggah Alunk S. Tohank, selaku central back tim ini).

Hanya ada satu pesan saya: Jika tim ini pubar,  jangan lupa kita bayar hutang uang parkir ya..

13/04/17
Share:

Senin, 10 April 2017

Post Child Syndrome

Sumber Gambar: webneel.com

Setelah gegap-gempita revolusi industri Perancis (1789-1799), setelah perang dunia I dan II (1914-1945), dan sehabis perang dingin purna pada tahun 1991, langkah peradaban dunia kini memasuki era baru. Semacam gerak zaman yang kau dan aku sebut zaman modern atau galib disebut globalisasi. 

Pada zaman modern, ruang baru yang dipertontonkan adalah kebebasan dan individualisme. Kebebasan untuk melakukan sesuatu dan kerja individu yang sekonyong-konyong banyak mendulang material. Langkah zaman pun ditandai dengan kehadiran teknologi dan percepatan informasi. Kau dan aku hari ini, jam ini, dan detik ini bisa tahu kehidupan orang-orang nun jauh yang terpenggal oleh batas geografis. Tanpa tedeng aling-aling dan tanpa keraguan sedikitpun, kau dan aku tahu apa yang tengah terjadi di belahan negara manapun, saat ini juga. 

Namun pada fragmentasi lain, hal ini akan menciptakan segregasi yang dapat mengakuisisi  kedirian manusia itu sendiri. Contohnya; kau dan aku semakin hari merasa semakin hidup sendiri, dan merasa hidup bersama ketika mendapatkan followers dan teman banyak di media sosial. Padahal itu sebuah keterpelantingan sosial yang durjana. Kau dan aku tidak tahu nama dan kepribadian tetangga terdekat, walaupun rumahnya berdempetan dengan rumah kita. Inilah yang disebut "mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat."

Atau dalam contoh lain seperti penyuplai informasi koran cetak, yang kini hampir punah karena diusik oleh mengakarnya media online. Hingga puncaknya media online dirasa lebih kredibel, lebih dan lebih. Inilah yang disebut para pakar "Senjakala Media Cetak." Padahal yang instan itu lebih cepat basi.

Pada petak zaman era modern ini,  alangkah eloknya kalau kau dan aku menyitir tetek-bengek adab media sosial.  Memang kau dan aku dihadiahi kemewahan dan kegembiraan lewat sebuah teknologi, gawai (telepon pintar) dan televisi misalkan. Ia menyediakan segalanya, termasuk (mohon maaf) menonton kerja keras kakek Sugioyono untuk melayani cucu-cucunya. 

Makin ke sini, semua orang pun semakin mudah dan gampang untuk terkenal secara konvensional. Tak usah capai-capai ikut kompetisi Indonesian Idol, The X Factor, atau Dangdut Akademy,  kau dan aku cukup unggah video kegilaan di You Tube maka bak gayung bersambut kau dan aku pasti jadi buah bibir di kalangan masyarakat. Kau dan aku pasti ingat bagaimana kehebatan Fingerstyle Guitar (Nathan), atau kekonyolan Ajudan Pribadi di instagram, bahkan pameran bola basket Duo Serigala yang banyak kecam itu. Semuanya  cepat terkenal,  dan insyaallah cepat pula hilang: Norman Kamaru dan Cesar contohnya.  Kemana mereka sekarang?.

Yang paling anyar adalah bocah kelas 6 SD: Dimas Pratama. Video somplaknya begitu banyak berkeliaran di YouTube, dan tentu sangat mengocok perut karena cadel untuk berbicara. Dalam video itu menggambarkan kehidupan masa kecil Dimas nan bahagia, waktu bermain diparadekan bersama teman-temannya. Bagi yang sudah terenggut masa kecilnya,  seolah bayangan masa kecil Dimas adalah jelmaan masa kecil kita, dan kita hanya bisa tersenyum kalau mengingat-ingatnya kembali.

Ya,  inilah yang disebut Post Child Syindrome. Dimana bayangan dan perasaan jadi anak kecil selalu muncul ke permukaan kembali, seolah-olah masih kecil dan muda walaupun rambut tak lagi hitam mengkilat. Meskipun bayangan itu terlihat subtil akan tetapi ia tertanam kokoh dalam batin dan pikiran seseorang. Seorang kakek pasti merindukan masa kecilnya,  seorang bapak pasti hapal masa kecilnya. Atau masa kecil saya yang kini juga berpulang ditelan waktu. Seperti baru kemarin, kata Gus Mus. 

Memang fenomena itu akan terampas sendiri seiring waktu dan zaman yang terus menggelinding cepat. Yang sudah tua akan merindukan masa pertama menikah, yang sudah berkeluarga merindukan masa-masa kuliah, yang kuliah merindukan masa-masa SMA, dan yang SMA merindukan masa-masa SD, yang SD merindukan masa-masa bayinya,  dan mungkin yang masih bayi merindukan kehidupan di alam rahimnya. Semuanya tersimpan rapi dalam kenangan. “Waktu adalah pabrik kenang-kenangan, seindah apapun kenangan itu, namun tetap menyakitkan.” Sanggah penyair Kuswaidi Syafi'ie pada suatu kesempatan. 

Proses mengingat-ingat ini adalah lelaku produktif untuk pengembaraan hidup kau dan aku sekarang. Pada zaman, umur dan kategori (anak, remaja, dewasa, tua) apakah kau dan aku sekarang?. Semua yang kita lihat saat ini adalah anak dan cucu masa lalu. Kau dan aku adalah produk kau dan aku yang dahulu, tetap sama dan mungkin iman dan pikiran saja yang berkembang atau bahkan terjangkal.

Dari siapa pun kau dan aku harus belajar. Bahkan dari tokoh yang sudah mendahului kita sekalipun. Maka simaklah puisi “Ziarah ke Makam Ayah” karya Ridhofi Ashah Atalka ini: “Begitu banyak, orang yang telah mati memberi semangat pada yang masih hidup/Dan banyak pula orang yang masih hidup membuat tak semangat orang lain/Ternyata benang keduanya begitu tipis oh paman/Seperti alis tipis yang uban dan alis tebal yang hitam legam.”
  
Begitu penting kau dan aku mengingat-ingat masa yang sudah-sudah. Alangkah eloknya kau dan aku membaca kejayaan Islam masa Rasulullah Saw. Masa Khulafaur rasyidin,  masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Kau dan aku tahu, islam dahulu hampir menguasai seluruh daratan dunia. Ekspansionisme khalifah atau proses islamisisi sampai ke negeri matador, Spanyol (Andalusia). Kau dan aku wajib belajar ketika keberislaman dan kebinekaan kita tengah tersaruk-saruk. Timur-Tengah telah porak poranda, Eropa dan Amerika tengah dikuasai kelompok konservatif sayap kanan, dan pakah kita juga demikian?.

Burjo: 10/04/17

*Pertama kali dipublikasikan di Koran Minggu Pagi, Jumat, 21 April 2017


Share:

Jumat, 07 April 2017

Dilema Keamanan Asia Tenggara

Sumber Gambar: Koleksi Pribadi
Kawasan Asia Tenggara termasuk salah satu kawasan yang dinamis dan paling cepat pertumbuhannya di dunia. Mulai dari pertubuhan ekonominya, dan ditopang oleh keamanan regional serta hubungan internasional yang relatif harmonis.

Dari ke sebelas negara anggota ASEAN, pada dasarnya memiliki keanekaragaman dalam hal budaya, sosial, ekonomi, agama, serta politik. Dan secara geografis Asia Tenggara terbagi menjadi dua: yakni, Asia Tenggara Kontinental dan Asia Tenggara Maritim. Yang termasuk kategori Asia Tenggara Kontinental (daratan) adalah Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. Sedangkan yang termasuk dalam ketegori maritim adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Philipina, Brunei Darussalam dan Timor Leste. Dan uniknya hampir semua negara adalah bekas kolonialisme barat kecuali negeri Gajah Putih Thailand (hal. 27). 

Dari dialektika keberagaman tersebut, Asia Tenggara kalau berkaca pada sejarah memiliki Rapor merah tentang dilema keamanan nasional negaranya bahkan keamanan antarnegara sesama anggota negara kawasan. Misalkan dari gerakan separatisme Bangsa Moro di Philipina, gerakan separatisme Pattani di Thailand, gerakan separatisme Kachin dan Karen di Myanmar dan gerakan separatisme Papua dan Aceh di Indonesia. Pembahasan tersebut dikupas secara berturut-turut dalam buku ini pada bab II, III dan IV.

Dilema keamanan yang berpotensi konflik juga banyak ditemui karena sengketa teritorial antarnegara di kawasan Asia Tenggara. Pasca kemerdekaan, masalah sengketa wilayah dan klaim kedaulatan yang tupang tindih (overlapping). Misalkan masalah Sipadan dan Ligitan dan blok Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia, sengketa perbatasan antara Thailand-Laos, serta Thailand dan Myanmar. Sengketa Kuil Preh Vihear antara Thailand dengan Kamboja, sengketa Pula Pedra Branca antara Singapura dan Malaysia. Dan negara yang bersengketa garis teritorial selalu berpegangan pada konsep (legally bounded territory), merupakan sebuah konsep warisan kolonial Barat (hal. 85).

Bahkan pada bab VI buku ini juga menjabarkan tentang kemelut Laut Tiongkok Selatan yang sampai sekarang masih belum menunjukkan perdamaian antarnegara yang bersengketa.  Pada dasarnya konflik LTS sudah dimulai jauh sebelum negara-negara Asia Tenggara merdeka. Namun konflik resmi antarnegara meledak di sekitar LTS baru dimulai pada abad ke-19. Inti permasalahan LTS pada dasarnya adalah terkait tumpang tindihnya garis wilayah perbatasan akibat saling klaim negara-negara terlibat terhadap pulau-pulau di LTS yakni kepulauan Spratly dan kepulauan Paracel. Berdasarkan U.S. Energy Information Administration (EIA) kedua kepulauan tersebut diduga kuat mengandung cadangan mineral misalnya 2,5 milyar barel danada sekitar 25,5 Tcf gas alam. Sehingga sangat logis kalau ke-6 negara (Brunei Darussalam, China, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam) saling klaim untuk mendapatkan kepulauan itu.

Sehingga dengan gerakan separatisme dan klaim kepulauan di LTS tersebut menjadikan Asia Tenggara sebagai kawasan yang rawan konflik dan mencitapkan implikasi dilema keamanan. Padahal berbagai isu konflik di atas masih dalam tataran kelompok perspektif realisme, yang menganggap “keamanan” sebagai ketiadaan perang atau ancaman peperangan. Yang menjadi rujukan hanyalah negara (State Security) dan ancaman berifat militer dan sumber ancaman dari luat.

Dalam perkembangan isu hubungan internasional, pada konteks abad  ke-20 dan 21 telah muncul upaya pergeseran dan perluasan makna. Kemanan dari yang semula hanya berfokus kepada State Security atau keamanan negara/rezim bergeser kepada fokus baru yakni manusia (Human Security). Human Security diartikan sebagai suatu kondisi dimana individu berada dalam keadaan aman baik dari sisi sosial dan ekonomi dalam konteks persamaan dan keadilan (hal. 130).

Laporan United Nations Development Programe (UNDP) tahun 1994 menunjukkan bahwa ancaman utama bagi kehidupan manusia saat ini lebih bersifat ekonomi dan sosial, seperti kemiskinan,, penyakit, pengangguran, pendidikan rendah, pengungsi, lingkungan hidup yang buruk, ketimpangan gender dan sebagainya. Bisa dilihat di Asia Tenggara, tentang isu pengungsi etnis rohingnya banyak mengungsi ke negara-negara tenggara karena penindasan oleh rejim atau junta militer Myanmar.

Maka untuk meminimalisir konflik dan menciptakan kemanan di kawasan Asia Tenggara, pemangku kebijakan ASEAN membentuk suatu badan keamanan multilateral. Seperti  Asean Security Community (ASC), ASEAN Regional Forum (ARF), dan campur tangan dari negara great power Amerika Serikat, Jepang dan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara.

Sedangkan peran Asean Security Community (ASC) sebagai sebuah konsep komunitas keamanan yang menjadi diskursus di Asia Tenggara. Dalam perjalannya ASC merupakan implementasi dari kesepakatan anggota ASEAN untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan di Asia Tenggara. Konsep ASC diantaranya didukung oleh norma “ASEAN Way” yang bisa mengkonsolidasikan negara anggota.

Selain itu ada juga ASEAN Regional Forum (ARF), merupakan forum dialog dan kerja sama keamanan regional yang didirikan tahun 1994 beranggotakan negara-negara ASEAN dan negara di kawasan Asia-Pasifik. Tujuan didirikiannya ARF adalah untuk menciptakan pola-pola hubungan yang stabil dan dapat diprediksi antara negara-negara ASEAN dan negara-negara di kawasan ini. 

Berikutnya pada bab XI buku ini membahas tentang peran Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Sebagai pemain utama dalam politik internasional yang cukup memengaruhi konstelasi politik kawasan Asia Tenggara. Karena secara aspek ekonomi AS sangat paham bahwa Asia Tenggara menyimpan banyak potensi sumber daya alam yang melimpah. Sedangkan dalam aspek politk AS memiliki kepentingan di balik kemengangan kelompok “kanan” atas kelompok “kiri” di kawasan Asia Tenggara terutama di Indonesia.

Pada bab berikutnya XII dan XIII buku ini membahas tentang campur tangan Jepang dan Tiongkok sebagai negara kuat secara ekonomi dan politik dari Asia Timur. Tentu kedua negara tersebut ingin menancapkan ideologi dan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara secara ekspansionis.

Kehadiran Buku ini sebagai pelengkap literatur dispilin ilmu hubungan internasional. Fokus penulis (Dr. Ali Muhammad & Dr. Ali Maksum), adalah sebagai penambah kekayaan khazanah keilmuan hubungan internasional yang sebelumnya telah banyak ditulis pakar dan akademisi ilmu hubungan internasional. Seperti mantan rektor Universitas Muhammadiyah: Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A dengan bukunya Hubungan Internasional di Asia Tenggara (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). Akhirnya, selamat membaca!


Judul Buku : Keamanan Asia Tenggara (Antara Konflik, Kerjasama dan Pengaruh Negara-negara Besar)
Penulis : Dr. Ali Muhammad & Dr. Ali Maksum
Cetakan         : I, Agustus 2016
Penerbit         : LP3M UMY
ISBN : 978-602-7577-83-1
Tebal Halaman : 322
Peresensi        : Khairul Mufid Jr


























  



Share:

Setangkai Rindu untuk Sang Perawat Literer

Sumber Gambar: akubuku.blogspot.co.id

"Allahummaghfir lahu, warhamhu, wa’aafihi, wa’fu ‘anhu, waj’alil jannata matswahu”

Ada beberapa penyair yang telah meraba-raba kematiannya pada puisi yang dicipta semasa hidup. Kristanto Agus Purnomo atau Kriapur salah satunya, dalam puisinya yang berjudul "Kupahat Mayatku di Air." Atau si binatang jalang (Chairil Anwar) dalam puisi "Yang Terhempas dan Yang Putus". Ketiganya, mengakhiri kehidupan sama persis apa yang telah dibayangkan.

Selain mereka, Gus Zainal Arifin Thoha juga pernah meraba kematiannya dalam puisi "Ciuman Terakhir Menjelang Kematian". Pada puisi yang dimuat dalam antologi puisi tunggal "Engkaulah Cinta, Akulah Rindu" itu, ia menulis begini: "Tuhan beri aku ciuman, biar segera lesat ini sukma, dan terlemparlah bangkai badan dari bau semesta". Gus Zainal pun dijemput maut dengan cepat dan mudah. Hanya dua cegukan dan beberapa menit menggigil kedinginan. Seperti permintaannya; "biar segera lesat ini sukma.”

Pada kalender 14 Maret 2007 Gus Zainal Arifin Thoha wafat. Tepatnya hari Rabu malam, sekira jam 22:00 WIB, di usia yang ke-35. Dan pada saat itu pula warisan berharganya (pesantren) hampir lenyap. Dengan segala lika-likunya Alhamdulillah warisan sejarah itu masih bisa bertahan hingga kini. Walau jurang dan tebing itu  begitu angkuh untuk ditaklukkan.

Setiap paruh waktu bulan Maret, kami (santrimu) selalu menyenandungkan doa yang dikemas dengan pengajian dan pagelaran sastra. Ada nama sastrawan kaliber Evi Idawati, Joni Ariadinata, Muhidin M Dahlan, Bambang Darto, Kuswaidi Syafi'ie dan santri pertamamu (Salman Rusydi Anwar) yang melibatkan diri untuk kristalisasi warisanmu itu. Hasilnya pun positif, kami bisa merawat dan meramaikan gubuk mungilmu di bantaran Jl. Parangtritis km 7,5. Dusun Cabean, Panggungharjo, Sewon Bantul itu.

Adalah Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'ari, atau masyhur dengan dengan nama Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Macam Pesantren mandiri yang didirikan Gus Zainal Arifin Thoha (alm). Kami menyebutnya "Pesantren Menulis," karena kesibukan santrinya selain mengaji kitab klasik, pun juga mengaji sastra, politik dan filsafat. Dengan lelaku menguliti buku, menyemai kata-kata, dan mengirimkannya ke harian media cetak dan online adalah warisanmu yang tetap kami rawat hingga saat ini.  Pesantren ini lahir pada awal abad ke-21, awal masa reformasi, dan sebelum gadget berkeliaran di bumi Pertiwi. Sekira tahun 2000-an.

Para santri yang mondok di pesantren menulis ini, adalah mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Para santri diajarkan bagaimana cara hidup mandiri, lepas dari orang tuanya, dengan menulis di media masa, menjual koran, buku, mengelola penerbitan, dan usaha lainnya. "Sudah miskin, jelek, sok-sokan mau kuliah, pemalas pula, tapi masih saja tidak berusaha" begitulah dawuh beliau untuk membakar semangat santri-santrinya.

Walaupun saya salah satu santri yang tidak sempat bersua denganmu, tapi saya masih ingat dan masih hapal nyanyian itu. Perjuanganmu membesarkan para santri ini adalah refleksi dari kehidupanmu semasa menginjakkan kaki di Yogyakarta. Tanpa  bantuan orang tua dan dengan mengendarai mimpinya yang meledak-ledak itu; panjenengan berani hidup mandiri, hidup dan membiayai kuliah di Yogyakarta dengan kocek sendiri. Menulis adalah salah satu atau profesi terbesar yang menghidupinya selama di Yogyakarta.

Barangkali karena perjuanganmu, lewat perantaramu yang dititipkan Allah Swt, maka tumbuh bermekaran penulis-penulis muda yang selalu menghiasi pelbagai media masa, misalnya Salman Rusydi Anwar, Gugun El-Guyani, Muhammadun As, Ahmad Muchlish Amrin, dan lain-lain.

Mungkin panjenengan belum tahu gus; Joni Ariadinata, sahabat dan kolega menulismu, yang dahulu saban satu minggu sekali mempresentasikan hasil bacaan bukunya dihadapanmu itu, kini tengah menakhodai (redaktur) cerpen di Jurnal basabasi.co. Atau santri penyairmu, Muhammad Ali Fakih, yang panjenengan jemput sendiri ke Terminal Giwangan itu kini telah berkeluarga, dan bekerja di penerbitan Diva Press. Dan kabar dari santri jeniusmu, Bernando J. Sutjipto, baru saja menyelesaikan masternya di Konya, Turki. Dan tentu kabar terbaru dari santri pertamamu, Salman Rushdi Anwar, kini melanjutkan kuliah S2 di UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta. Semangat belajarnya, pulang-pergi menaklukkan jarak Kebumen-Yogyakarta yang kira-kira 130 km itu. Uniknya, Cak Rusydi (nama karibnya) yantri lagi di pesantrenmu gus. Dan tentu untuk membimbing kami yang saban waktu tidak konsisten, malas-malasan, dan jarang mandi.

Dalam suatu kesempatan, Cak Kuswaidi Syafi’ie mengakatan; “Zainal Arifin Thoha seperti bangunan, di dalamnya ada berbagai dimensi pintu yang bisa dimasuki.” Jamak dipahami selama hidupnya, Gus Zainal tidak hanya dikenal sebagai aktivis, kiai, akademisi, jago silat, budayawan, tukang ramal, tapi juga sebagai perawat literer yang baik. Selain mengisi rubrik Serambi Jum’at di Koran Merapi, beliau juga tidak segan beradu tangkas dan produktif dengan santri-santrinya, saling sikat/sindir ketika ada yang paling dulu dimuat di media massa.

Egoisme yang tumbuh subur dalam diri Gus Zainal didesak paksa dengan kebeningan hatinya. Sifat kesederhanaannya adalah bukti kegagahan rohaninya, beliau tidak pandang bulu dengan siapa berkawan dan dengan siapa berhadapan. Karena bagi Gus Zainal semua itu adalah senyum pembebasan untuk lesat dalam pendakian spiritual.    

Satu hal yang selalu melekat dalam diri santri-santrimu gus, yakni tentang "trilogi azimat santri" spiritualitas, intelektualitas dan profesionalitas. Azimat Spiritualitas, terpantul dalam kegiatan-kegiatan keagamaan seperti shalawat barzanji dan mengaji kitab klasik. azimat Intelektualitas terpatri dalam kegiatan-kegiatan intelektual seperti kajian sastra dan kajian ilmiah. Sedangkan azimat Profesionalitas tercermin dari segala kegiatan-kegiatan para santri, seperti jual koran, berdagang, dan kuliah agar berprilaku profesional dan progresif. Sehingga trilogi azimat santri tersebut bisa jadi sangu ketika resign dari pesantren.

Dimensi inilah yang dibangun sekaligus menjadi jargon pesantren. Gus Zainal mengajak seluruh santri untuk berjalan beriringan menerapkan dimensi yang termanifestasikan dalam satu hadis khairun naas anfa’uhum linnaas (sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat kepada orang lain).

Maka untuk memungkasi tulisan ini, alangkah eloknya kalau menyimak sajak dengan judul "Zainal Arifin Thoha"" karya Kuswaidi Syafi'ie ini: Kau seorang kiai/Kau juga budayawan/Ucapanmu terpuji/Akhlakmu menawan. Sehabis takziah di Minggiran/Tadi aku berhenti depan rumahmu/Betapa rupamu amat jelas oh kawan bercawan-cawan rindu. Oh tuak apa ini yang sudah kutenggak/Hingga wajahmu jadi alamat Ilahi/Oh anggur apa ini yang sudah kugasak/Hingga hati menari tak kunjung henti. Dulu di malam-malam yang jelita/Kita berbincang tentang rindu dan cinta/Lalu batin kita memekarkan bunga/Yang harumnya melampaui langit jingga. Sudah lama kau menghadap pada-Nya/Sembari menungguku di sana, di sana (Sewon/ 9/ 03/ 2016).

07 April 2017





Share:

Menangkal Terorisme, Menyemai Deradikalisme

Sumber Gambar: Koleksi Pribadi
Buku yang ditulis Muhammad Nur Islami ini adalah pencerah dalam khazanah radikalisme, dan terhadap pengertian dasar terorisme. Dia mempertanyakan pengertian umum terorisme yang mengeliminasi suatu kelompok tertentu; Islam misalkan. Bahkan dia berspekulasi bahwa kemunculan terorisme adalah project kenegaraan Barat pasca perang dingin. Ketika kekuatan dunia terpusat pada Amerika pasca keruntuhan Uni Soviet (1991), terciptalah kehampaan perang/konflik dan membuat mereka terpaksa menanam bibit-bibit musuh baru untuk kepentingan militer dan jual beli persenjataan secara transnasional.
 
Dengan bersandarkan pada Konvensi PBB tahun 1937, yang menjelaskan pengertian terorisme sebagai bentuk tindak kejahatan dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang dan kelompok tertentu, Muhammad Nur Islami mengkategorikan kasus invasi Amerika ke Vietnam, Irak, Afganistan dan Afrika Utara adalah tindak pelaku terorisme juga. Sehingga dia meyakini bahwa sebenarnya aksi-aksi teror yang dilakukan tak ubahnya sebentuk drama kolosal dan pada titik akhir adalah bentuk perlawanan.

Walter Reich menyebut terorisme adalah permasalahan yang kompleks, penyebabnya beragam dan orang-orang yang terlibat di dalamnya lebih beragam lagi. semua usaha untuk memahami motivasi tindakan individu atau kelompok teroris harus memperhitungkan keberagamaan yang begitu banyak ini. oleh karenanya, tidak ada satu pun teori psikologi atau bidang ilmu lain yang secara mandiri dapat menjelaskan perihal terorisme (hal. 16).

Lebih jauh lagi, pengertian terorisme itu sangat berkaitan dengan kepentingan politik, sosial, ideologi, dan ekonomi. Maka pemahaman tentang terorisme pun sangat rancu dan beragam. Kalau AS dan Israel mengatakan pejuang-pejuang Palestina itu teroris, maka sebaliknya negara-negara Islam dan umat Islam seluruh dunia mengatakan bahwa Amerika dan Israel lah teroris yang sesungguhnya. Pandangan-pandangan semacam ini berdampak sangat luas terhadap penanggulangan persoalan terorisme (hal. 319).

Dari kekaburan pengertian terorisme itu, mendasari Muhammad Nur Islami untuk meluruskan pengertian terorisme dengan perspektif eklektisisme (saling mengambil dan memberi); mulai dari Hukum Islam, Hukum Nasional dan Hukum Internasional. Hukum islam dirasa penting karena sebagian besar pelaku teror beragama islam (bahkan menganggap perbuatannya sebagai jihad). Hukum nasional juga penting karena sudah menjadi kewajiban setiap negara sebagai anggota masyarakat internasional untuk menegakkan kedaulatan hukum negaranya. Sedangkan hukum internasional terasa lebih penting karena terorisme ini menjadi persoalan bersama dalam hubungan antarbangsa di dunia.

Sejak penyerangan WTC (World Trade Center) dan Pentagon, Amerika Serikat (11 September 2001), maka melambunglah adagium terorisme ke berbagai penjuru dunia. Amerika di bawah nakhoda George Walker Bush merasa dilecehkan dan membumikan gerakan melawan terorisme.  Global War on Terror, kampanye yang diusung Amerika ke seluruh dunia. Bahkan dengan keras mengatakan: Yang tidak bergabung bersama kami adalah teroris.

Pada tanggal 18 September 2001 Kongres AS memberikan wewenang kepada Presiden Bush: “untuk menggunakan seluruh kekuatan yang sesuai dan diperlukan untuk melawan bangsa-bangsa, organisasi-organisasi, atau orang-orang yang menurutnya merencanakan, melakukan, terlibat atau mendanai serang teroris yang terjadi pada 11 September 2001, atau menahan orang tertentu guna menghindari aksi-aksi terorisme internasional di masa mendatang terhadaep AS, oleh bangsa, orgnisasi atau orang tertentu.”
 
Maka ketika visi itu dikumandangkan, otomatis akan menyudutkan islam secara mondial. Lihatlah bagaimana kehidupan umat islam di Amerika diberedel ketat, dan lihatlah penolakan imigran muslim di Eropa. Hal inilah yang kemudian disitir Muhammad Nur Islami, bahwa kita harus membedakan antara memahami motif tindakan teroris atas nama agama dan pemberantasan terorisme dengan memberantas ideologinya. Sebab, sekalipun tindakan teroris itu menurut pelakunya dianggap jihad dan bukan kejahatan, bukan berarti ini dapat dibenarkan hingga teroris hanyalah oknum dan tidak bisa digeneralisir terhadap umat Islam. Sebaliknya pernyataan Jusuf Kalla, bisa jadi umat Islam dirugikan pendidikannya, pesantrennya, semangat jihadnya, dan lain sebagainya.
 
Adab Jihad dalam islam sendiri jelas-jelas melarang membunuh, melindungi darah manusia kecuali dengan alasan ynag benar, melindungi nyawa orang-orang lemah dari pihak musuh, dan cukup mendakwahi orang-orang kafir supaya memeluk Dinul Islam, disertai dengan penjelasan tentang hakikat Dinul Islam agar mereka mengetahui apa tujuan kaum muslimin mendekati mereka (hal. 301).
 
Maka konsep penyelesaian kasus terorisme dalam buku ini menggunkan persepektif eklektisisme, penyesuaian hukum yang dapat dilakukan dengan: Pertama, memperluas sumber hukum yang dipergunakan, termasuk ketentuan dari Hukum Humaniter Internasional dan Konvensi Internasional lainnya. Dan juga ketentuan dari Hukum Islam disamping ketentuan dari UU No.15 tahun 2003 dan KUHP. Kedua, pemerintah harus melakukan rekonstruksi dalam cara berhukum dari penegak hukum baik kepolisisan, jaksa, pengacara dan hakim.
 
Apalagi jika otoritas pemerintah, ulama, dan Ormas islam untuk meningkatkan pemahaman agama yang baik bagi syarat, tersangka/mantan tersangka teroris dan kelompoknya. melakukan dialog-dialog bersahabat antara aparat penegak hukum dengan unsur-unsur lembaga masyarakat. Dan terakhir peningkatan pengetahuan hukum dan HAM bagi masyarakat, tokoh organisasi kemasyarakatan Islam, dan kalangan pesantren.

04 April 2017

Judul Buku    : Terorisme, Sebuah Perlawanan
Penulis           : Dr. Muhammad Nur Islami, SH. M.Hum
Cetakan         : I: Maret 2017
Penerbit         : Pustaka Pelajar
ISBN             : 978-602-229-707-9
Tebal Halaman: 428
Peresensi       : Khairul Mufid Jr*
 


Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com