• Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More
  • Khairul Mufid Jr

    Lahir di Sumenep-Madura Pada Kalender 16 Februari 1994, Sekarang Tinggal di Yogyakarta dan Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogakarta. Biasa menulis di media, seperti Jawa Pos, Suara Karya, Lampung Post, Koran Jakarta, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Solo Pos, Riau Pos, Analisa, dll.

    Read More

Jumat, 31 Maret 2017

Jalan Diplomasi “Terra Incognita” Bung Karno

Sumber Gambar: Koleksi Pribadi
Selain konsep “Bebas Aktif,” politik luar negeri Indonesia pada awal kemerdekaan menggunakan taktik bersahabat dengan para pemimpin dunia. Politik luar negeri Indonesia adalah “Terra Incognita” kata Rosihan Anwar, sebuah diskursus politik yang tidak kelihatan/dikenal. Dilihat dari pernyataan pidato-pidato para pemimpin bangsa saat itu juga tidak banyak menyinggung masalah politik luar negeri. Seperti pidato Founding Fathers Bung Karno, Syahrir dan Hatta.

Selain menggunakan fisik (militer), Indonesia juga menggunakan jalur diplomasi sebagai cara ampuh untuk menggalang dukungan dari dunia internasional. Karena diplomasi, menurut Syahrir adalah cara yang paling tepat mengingat kondisi dalam negeri yang masih lemah serta konstelasi politik internasional yang didominasi oleh dua negara great powers Amerika Serikat dan Uni Soviet ketika Perang Dingin (Suryadinata:1998).

Jalur diplomasi yang dipilih Indonesia, tidak memihak ke Timur (Uni Soviet) dan Barat (Amerika Serikat) akhirnya menginesiasi Gerakan Non-Blok pada tahun (1955) bersama negara ketiga lainnya. Bung Karno sebagai presiden sekaligus diplomat Indonesia, tidak tanggung-tanggung menjalin hubungan dengan negara-negara dunia ketiga untuk menentang kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, rasisme, dan imperialisme.

Buku Dunia dalam Genggaman Bung Karno yang ditulis Diplomat Kemlu, Sigit Aris Prasetyo ini menarasikan kemesraan dan jalan diplomasi “diam-diam” Bung Karno dengan beberapa pemimpin-pemimpin dunia. Buku ini adalah buku kedua Sigit yang membahas suksesor Presiden Ir. Soekarno. Buku pertama terbit dengan judul “Go to Hell with Your Aid: Pasang Surut Hubungan Sukarno dengan Amerika.” Saat ini penulis tengah merampungkan tulisan berikutnya, yaitu “Indonesia-AS: Hegemoni dan Politik Bebas Aktif,” dan “Membedah Revolusi Mental ala Sukarno.” 

Dalam penjabaran yang tidak kaku—ditopang pengalaman penulis dalam ilmu hubungan internasional—buku ini banyak membahas jalan diplomasi dan kedekatan Bung Karno dengan tokoh-tokoh dunia. Dalam pernyataannya, Bung Karno menyebut 2/3 negara-negara di dunia pernah dikunjunginya. Alasannya sederhana, “karena aku pada dasarnya ingin berkawan, aku ingin Indonesia dikenal orang. Aku ingin dunia tahu, bagaimana rupa orang Indonesia, dan melihat bahwa kami bukan lagi bangsa yang tolol, seperi orang-orang Belanda berulang-ulang menyebut kami.”

Di balik sifat agresor dan revolusionernya, Bung Karno ternyata memendam sifat humanis, dengan pendekatan bersahabat dan berkawan yang luar biasa dengan orang lain. Ada momentum unik ketika Presiden Rusia, Nikita Krushchev melakukan kunjungan ke Indonesia pada tanggal 27 Februari hingga 02 Maret 1960. Ketika Krushchev di Istana Tampaksiring, Kabupaten Gianyar Bali, ada momen kedekatan yang berhasil diabadikan, yaitu saat Bung Karno dan Presiden Krushchev melakukan “sambung rokok” setelah jamuan makan malam. Dalam budaya Rusia, saat kedua sahabat telah minum “Vodka” atau “sambung rokok” menandakan telah mencapai level persahabatan “wahid” atau saling percaya. Maka tak ayal dengan medium persahaban itu, Bung Karno berhasil membujuk Krushchev untuk memberi bantuan ekonomi senilai US$ 250 juta selama tujuh tahun dengan bunga 2,5% kepada Indonesia (hal. 44).

Menurut catatan Michael Leifer, Rusia juga memberi bantuan senjata kepada Indonesia yang tengah menghadapi Belanda. Jika dihitung-hitung, Indonesia saat itu sebagai negara non komunis yang menerima bantuan militer tersebasar dari Uni Soviet. Indonesia juga sebagai penerima bantuan ekonomi terbesar setelah India dan Mesir. Kedekatan Bung Karno dengan Krushchev membuat Amerika geram dan cemburu.

Diplomasi Terra Incognita Bung Karno juga menyasar negara super power Amerika Serikat. Makna kunjungan Bung Karno ke Amerika Serikat pada awal Januari 1961, adalah momentum dan peluang luar biasa Indonesia untuk menjalin kerja sama. Bung Karno disambut luar biasa di bandara Washington DC oleh Presiden John F. Kennedy. Pada  tahun yang sama J.F. Kennedy pernah berujar: “Presiden Sukarno, I admire you greatly. Like myself you a searching, inquiring mind. You’ve read everything. You’re very well informed.”

Dari lawatan itu pula Indonesia mendapat bantuan ekonomi, dan pengiriman Peace Corps sebagai misi Amerika dalam upaya “Spirit of the New Frontier” dan dalam jangka panjang untuk membendung komunisme di Indonesia. Dari kedekatan kedua Fajar itu, Indonesia dapat membeli 10 pesawat Hercules tipe B ke Amerika. Dan Indonesia menjadi negara pertama di luar Amerika Serikat yang mengoperasikan pesawat angkut C-130.

  Persahabatan Bung Karno dengan Jawaharlal Nehru (Perdana Mentri India) juga tidak bisa dilupakan. Bung Karno dan Nehru ibarat saudara kandung satu peradaban. Keduanya memiliki hubungan personal yang dekat secara ideologi dan fisik. Kedekatan mereka seperti kakak-adik. Saat Indonesia masih dalam bayang-bayang Belanda pada tahun 1947-1948, Nehru dan rakyat India memberikan dukungan dan simpati. Bahkan nehru salah satu pemimpin dunia yang menentang keras Belanda dan Inggris. Nehru juga memberikan bantuan obat-obatan untuk mengurangi penderitaan rakyat Indonesia yang tengah diblokade Belanda. Maka sebagai balasan, pada tanggal 20 Agustus 1946, Bung Karno mengirimkan bantuan 500 ribu ton beras kepada India saat India dilanda kelaparan berkepanjangan. Padahal kondisi Indonesia tengah terseok-seok menata peradaban (hal. 82). 

Selanjutnya, persahabatan yang mendebarkan adalah persahabatan Bung Karno dengan Kim Il-Sung (orang nomor satu Korea Utara), ayah King Jong-Il dan kakek King Jong-un (Presiden Korut sekarang). Persahabatan Bung Korno dengan Kim Il-Sung tergolong langka, karena Korut selalu menutup diri dari dunia internasional, Korut hanya berteman dengan negara-negara tertentu. Tiongkok dan Vietnam misalnya. Alasan Korut menerima Indonesia, karena kedua negara memiliki kesamaan misi seperti menentang praktek kolonialisme dan imperialisme, dan pentingnya kemandirian suatu bangsa.  

Jalan diplomasi Bung Karno bisa diterapkan oleh pemangku kebijakan saat ini. Sikap visioner dan agresor Bung Karno adalah harga mati untuk kedaulatan bangsa Indonesia. Bung Karno adalah pahlawan dunia karena visinya “To Build the World Anew.” Seperti hakikat kemerdekaan, jalan diplomasi adalah jalan lurus menuju kemenangan.


Judul Buku        : Dunia dalam Genggaman Bung Karno
Penulis               : Sigit Aris Prasetyo
Cetakan              : I: Februari 2017
Penerbit              : Imania
ISBN                  : 978-602-7926-33-2
Tebal Halaman   : 354
Peresensi            : Khairul Mufid



















Share:

Senin, 27 Maret 2017

Hari Puisi, Refleksi, dan Sapardi

Sumber Gambar: wendibarian.wordpress.com
Sifat dan karakter asli puisi ialah arogan. Ia tebang pilih kepada siapa hati dan raganya akan diberikan. Ia pun berada di ruang soliter nan sunyi, agar tak sembarang orang menemukan dan menaklukkannya. Maka siapa pun yang bermental kelinci (pemalu dan suka sembunyi), ataupun bermental dubuk (pemakan bangkai yang penakut) lekaslah urungkan niatmu untuk mendekati puisi.

Puisi punya daya lenting seluas dan sedalam samudra, yang bisa mencerahkan bahkan menenggelamkan. Sekian orang menuliskannya tapi miliaran orang mencampakkannya. Bukan karena puisinya, bukan karena ia tak menjanjikan apa-apa, tapi puisi memilah dan memilih siapa yang sanggup bersetia dengannya. Maka fenomena perceraian puisi dengan manusia itu sendiri begitu kentara di zaman borderless society ini. Padahal keemasan puisi era Kekhalifahan Abbasiyah dan Kerajaan Romawi dahulu begitu diagungkan, yang hampir semua lapisan masyarakat menggandrungi puisi. 

Maka melihat keretakan itu, aparatus UNESCO (the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) mencoba mengembalikan romantisme puisi dengan manusia. Pada tahun 1999, dalam Sidang Umum di Paris, UNESCO menetapkan tanggal 21 Maret sebagai hari puisi sedunia. Sebuah nomenklatur akhir abad ke-20 yang tidak lain untuk membumikan puisi, memuisikan manusia dan jagat raya ini. Karena puisi adalah jendela keragaman dan nafas kemanusian, sanggah Irina Bokova (UNESCO Director-General). 

Momentum 21 Maret dirasa penting, karena pada tanggal itu hari pertama musim semi di belahan utara bumi. Dengan bekal keseriusan dan visi nir-utopis, aparatus UNESCO mengaku telah melibatkan sekira 50 organisasi nasional, regional, dan internasional untuk mengurusi puisi (dalam survie) dan 15 penyair/perwakilan dari pusat-pusat perpusian di pelbagai wilayah geokultural (dalam rapat di markas UNESCO, 29 Maret 1999).

Hari puisi dunia (world poetry day) sejatinya bukan peristiwa sambil lalu, tetapi ketaatan dan koeksistensi kehidupan manusia dan puisi yang tidak bisa disejajarkan dengan hari libur nasional atau internasional. Tujuan hari puisi adalah untuk mempromosikan pekerja intelektual yang suka membaca, menulis, menerbitkan buku dan mengajarkan puisi secara mondial. Apalagi ditambah dengan jargon utama hari puisi: “puisi memerlukan pengakuan segar dan dorongan untuk gerakan puisi nasional, regional dan internasional.”

Hari puisi sebagai penyokong keragaman linguistik melalui ekspresi puitis, sejatinya menawarkan kesempatan kepada bahasa-bahasa yang terancam punah supaya didengarkan dalam komunitas masing-masing. Di hari itu—pada belahan dunia lain—semarak menggalakkan tradisi pembacaan puisi lisan, menyebarkan pengajaran puisi, memulihkan dialog antara puisi dan bidang-bidang seni lain. Ada pula menyokong penerbit-penerbit kecil, dan menciptakan citra puisi yang menarik di media agar seni puisi tidak lagi dianggap kadaluwarsa (TIRTO.id, 21 Maret 2017).

London merespon hari puisi dengan perayaan unik yang disebut “Puisi Kafe”. Di dinding kafe terpasang indah puisi-puisi penyair legendaris dari berbagai lini masa, ada peluncuran buku, kopi gratis dengan tiket masuk selembar puisi. Kabar baik lainnya, perusahaan kopi Austria “Julius Meinl” mengumumkan lebih dari 1.000 outlet di seluruh dunia akan menawarkan kopi gratis untuk pecinta kopi dengan membarter sebuah puisi. Karena di balik perbedaan dan kepercayaan masih tumbuh menyala kesamaan untuk berbagi: yakni dengan hati. Mereka memeluk emosi, melambat dan diganti mata uang normal dengan puisi.

Senada dengan itu, Indonesia tak mau ketinggalan, pada tanggal 26 Juli ditetapkanlah sebagai hari puisi nasional. Diinesiasi oleh Rida K Liamsi dan dideklarasikan di Pekanbaru Riau, tanggal 22 November 2012. Hari puisi nasional Indonesia sebagai apresiasi dan pengahargaan atas dedikasi kepenyairan Chairil Anwar yang lahir pada 26 Juli 1922. 

Baru-baru ini kita juga disuguhkan oleh sebuah pagelaran sastra yang bertajuk “Malam Perayaan 77 Tahun Sapardi” di Bentara Budaya Jakarta (22/03/17). Pagelaran ini terasa spesial, selain karena memperingati hari puisi dan peluncuran 7 buku Sapardi, tanggal 20 Maret menjadi hari kelahiran penyair Ratu Rono, Solo itu. Di usianya yang ke 77 tahun, Sapardi terus saja meninjau dan mempertimbangkan jalan kepenyairan yang telah ia tempuh sepanjang hidupnya. Ia terus gelisah, terus merenung, dan melahirkan karya.

Sumber Gambar: myfreakysunday.wordpress.com

Goenawan Mohamad dalam sambutannya mengatakan: “sejarah menceritakan apa yang jatuh dan bangun, yang mulia kemudian menjadi busuk. Tapi puisi selalu kasmaran kepada dunia, terkesima pada benda yang tak berarti maupun tragedi yang paling mengerikan dan menyedihkan. Puisi semacam berita kebangkitan kembali. Puisi menolak untuk sekadar berulang. Demikian juga hari ini, Sapardi Djoko Damono tidak berulang tahun. Dia dilahirkan kembali.”

Sapardi seperti menolak zaman dan waktu, ia bahkan menantang generasi muda untuk adu tangkas dan produktif dalam berkarya. Ia berjanji akan menulis, terus-menerus menulis sampai akhir hayatnya. Joko Pinurbo menyebutnya sebagai perawat karya yang tangguh, Sapardi punya kedispilinan yang tinggi terhadap dirinya sendiri. 

Maka di malam peluncuran buku itu, puluhan pasang mata berkaca-kaca menyaksikan. Dalam diri Sapardi telah bersemayam nyala puisi yang tetap terjaga dari angin-angin keganasan. Ia telah menaklukkan puisi, dan puisi sadar bahwa pilihannya sangat tepat untuk hidup rukun dalam perbedaan.










Share:

Kamis, 16 Maret 2017

Kiai Mushaffa di Mata Saya

Sumber Gambar: Dok. Pribadi
Kiai Mushaffa Sa’id yang ahli ilmu, kiai yang sederhana, kiai yang ahli tasawuf, kiai yang suka membaca, kiai yang istiqomah, dan kiai yang kharismatik adalah kompleksitas kepribadian beliau. Inilah barangkali jamak diketahui masyarakat, santri-santrinya, bahkan siapa pun yang pernah berlintasan dengan beliau.

Ketika beliau masih hidup, terutama amalnya dalam mendirikan Pondok Pesantren Al-Ihsan III/A (Darul Ihsan sekarang) ternyata bukan perkara mudah. Beliau merintis pesantren tersebut dari bawah, mendirikan dari 0 ketika di kampungnya belum ada pesantren dan masyarakat yang kurang renponsif dengan dunia pendidikan. Pada titik nadir, ide tentang mendirikan pesantren ternyata banyak menuai kritikan dari sana-sini, bahkan bertendensi fisik. Alhamdulillah duri-duri dan bebatuan tajam itu bisa dilaluinya dengan berdarah-darah dan penuh kesabaran.

Akhirnya, dengan melanjutkan cita-cita kakek beliau (Kiai Asrawi), Pondok Pesantren Al-Ihsan III/A berhasil didirikan di Kampung Bakburu, Desa Pakamban Daya, Pragaan Sumenep Madura pada tahun 1960. Berbekal ilmu yang didapat dari perlintasannya di berbagai pesantren dalam dan luar Madura itu, Kiai Mushaffa Sa’id bersama keluarga membina/melatih santri-santrinya dengan penuh keikhlasan, ketekunan, dan kesabaran

Berdasarkan Buku Autobiografi Sketsa Perjalanan Hidup sang Kiai (2016),  Pondok Pesantren Al Ihsan III/A merupakan sekolah tertua dari sekolah-sekolah yang ada di sekitarnya. Pada waktu awal berdirinya, kegiatan belajar mengajar masih dibagi dua waktu berbeda, kelas 1,2 dan 3 masuk pagi hari, sedangkan kelas 4, 5 dan 6 masuk sore hari. Keterbatasan guru dan fasilitas KBM itu yang menyebabkan Kiai Mushaffa memutar ide bagaimana santrinya dapat belajar. Dan sejak awal berdirinya madrasah K. Mushaffa telah memberikan ajian kitab Salafi pada santri dan masyarakat. Beliau juga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan juga ke-NU-an.

Nah, lokasi pesantren memang pass ada di depan rumah saya. Bukan karena jarak yang menggetarkan saya dan atau dorongan orang tua, tapi mau tidak mau saya harus mondok di pesantren asuhan Kiai Mushaffa berkat keterpesonaan saya pada beliau. Saya hanya 3 tahun nyantri (mukim) di pesantren, dan 14 tahun saya habiskan menunutut ilmu di pesantren Al-Ihsan dari PAUD hingga Madrasah Aliyah. Sungguh sebentar, sungguh sekejab, karena selain saya bandel, seolah ilmu yang saya dapat begitu minim sekali.

Saya masih ingat, ketika beliau naik-turun tangga untuk membimbing kami belajar kitab klasik (kuning), padahal kesehatan beliau sedang tidak stabil. Tapi pengabdiannya membuat kami terharu dan selalu direspon dengan kelengkapan kami (santri) satu kelas waktu itu. Kesederhanaan beliau, dengan kealiman ilmu beliau diekspresikan dengan tidak sedikit pun menegur santrinya walaupun tengah tidur pulas di bangkunya masing-masing. Maafkan kami kiai..!!

Hingga menginjak kelas akhir, kesehatan beliau semakin memburuk. Beliau tidak lagi menghadiri kelas-kelas kami, kami harus belajar di beranda rumah (dhalem) beliau, tak ada yang berubah, tak ada yang berkurang, beliau tetap menampilkan raut wajah kecerahan walaupun tengah sakit. Hingga pada suatu kisah, di tengah-tengah perjumpaan itu beliau berdawuh: “Guleh, pakkun aduaki santre-santre, sanajjen ampon keloar dheri pondhuk,”  saya tetap mendoakan santri-santri saya meskipun sudah lulus dari pesantren ini. Sungguh luar biasa rasa empati dan cinta beliau terhadap santri-santrinya.

Setelah lebih dari satu tahun beliau struk dan satu minggu mengalami koma, akhirnya isak tangis pecah mengantarkan arwah almarhum K. Mushaffa Sa’id pada usia ke-78 tahun. Beliau berpulang ke surga di kediamannya, Pondok Pesantren Darul Ihsan Pakamban Daya Pragaan Sumenep, pukul  01-00 Wib Hari Jum’at, tanggal 19 September 2014. Janazah almarhum dimakamkan di pemakaman keluarga, disebelah utara Madrasah Ibtidaiyah, bersebelahan dengan istri beliau yang juga baru Wafat pada malam Ahad tanggal 14 November 2015.

Satu pesan dari beliau untuk estafet kepengasuhan Pondok Pesantren Darul Ihsan ke depan:“pesantren reah benni tang endik tape din masyarakat bennyak, maka dilaok beginnah be’en kaangkui ajegeh pesantren reah”. Wasiat beliau mengenai pondok pesantren ini di dapat dari Fathor Rahman (tetangga, sekaligus wali santri dari anaknya yang dimondokkan di pesantren Kiai Mushaffa Sa’id).

Share:

Selasa, 14 Maret 2017

Menjaring Wisatawan Timur Tengah

Sumber Gambar: Tribunnews.com
Kunjungan kenegaraan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz Al-Saud (82) ke Indonesia pada 1-9 Maret 2017, menjadi trending topic baik di arus media utama maupun di semesta maya beberapa pekan terakhir. Ketika berlibur ke pulau Dewata Bali, animo masyarakat juga begitu kuat untuk menyaksikan dari dekat, raja penjaga dua kota suci yang dilantik (23/01/2015) itu. Dalam satu purnama kunjungannya ke negara-negara ASEAN, dan beberapa hari di Indonesia, Raja Salman begitu terpesona pada laut Bali. Seperti dikutip Kedubes Arab Saudi di Jakarta, memberitahukan bahwa Raja Salman akan memperpanjang liburannya hingga 12 Maret. 

Respon positif berdatangan ketika beberapa nota kesepahaman RI-Arab Saudi ditandatangani kedua pimpinan negara, termasuk pembicaraan kedua negara dalam pengembangan sektor pariwisata. Tren positif ini menjadi nomenklatur dan modal besar untuk promosi pariwisata Indonesia di pasar Timur Tengah, dan kalangan masyarkat negara-negara kaya di Teluk, terutama Arab Saudi. Karena berdasarkan laporan Pusat Hotel dan Restoran Republik Indonesia (PHRI) Bali: Pengeluaran atau belanja wisatawan Timur Tengah lebih besar dari wisatawan Eropa. Rata-rata wisatawan Eropa di Bali berbelanja sekitar 300 dollar AS (Rp 3,9 juta) per-hari, wisatawan Timur Tengah bisa dua kali lipatnya.

Maskapai Penerbangan

Kunjungan Raja Salman adalah kunjungan balasan atas kunjungan Presiden RI pada 2015. Kunjungan ini pula bisa dimaknai sebagai peningkatan sektor pariwisata kedua negara di pentas dunia. Untuk Indonesia sendiri, dalam beberapa tahun terakhir ini, Indonesia sedang gencarnya memprosikan konsep wisata halal di mana wisatawan Timur Tengah yang menjadi target pasar. Arab Saudi sendiri juga melirik ke Timur dalam bidang ekonomi, budaya, dan pariwisata untuk mewujudkan visi 2030. Dalam konteks kawasan, negara-negara Arab kini berlomba-lomba membangun industri penerbangan.

Wisatawan Timur Tengah, seperti laporan Badan Pusat Statistik RI (2015), jumlah kedatangan wisatawan dari kawasan itu mengalami lonjakan tajam dari tahun ke tahun. Jika melihat jumlah kunjungan pada tahun 2012 wisatawan Timur Tengah yang masuk ke Indonesia sebanyak 148.788, tahun 2013 sebanyak 188.676, sementara itu pada 2014 mengalami kenaikan tajam menjadi 195.518. Melihat tren positif ini, melihat progress pariwisata Indonesia, mengabarkan bahwa salah satu destinasi prioritas wisatawan Timur Tengah adalah Indonesia.

Momentum kedatangan Raja Salman di Bali sangat tepat, karena negara-negara Arab Teluk sedang gencar merancang visi nasional era pasca-energi. Salah satu pilar utamanya adalah pengembangan industri wisata dan maskapai penerbangan. Negara-negara kaya Teluk saat ini memang memiliki konsep bahwa industri wisata dan maskapai penerbangan adalah satu paket yang tak terpisahkan. Selanjutnya Indonesia bisa membujuk maskapai Timur Tengah untuk bekerjasama, salah satunya seperti Saudia Airlines, Qatar Airways, dan Etihad Airways, yang sekarang tengah memuncaki pasar internasional.

Maskapai besar Timur Tengah tersebut sedang menguasai pasar internasional. Etihad Airways yang berbasis di Abu Dhabi, UEA, misalnya, berhasil mengangkut 18,5 juta penumpang pada tahun 2016 dan memiliki 116 rute penerbangan di seluruh dunia. Hal demikian juga ditorehkan Saudi Airlines, maskapai itu meletakkan program memiliki 206 pesawat hingga tahun 2020 dengan menambah rute penerbangan sesuai Visi Arab Saudi 2030. Saudi Airlines kini hanya memiliki 113 pesawat dengan rata-rata usia 9 tahun.

Melihat peluang tersebut, kerjasama di sektor penerbangan dan pariwisata begitu penting untuk prospek pembangunan Indonesia ke depan. Ketika kunjungan Raja Salman ke Bali, seperti diungkapkan Tjok Ace (BPPD) Bali: Yang masih perlu disoroti adalah kemampuan landasan Bandara Internasional Ngurah Rai untuk menampung kedatangan pesawat berbadan besar. Landasan pacu bandara itu hanya satu. Butuh investasi besar jika landasan itu ingin ditambah atau diperlebar.
Di tengah kegairahan negara-negara Arab membangun visi pasca-energi, penerbangan langsung dari kota-kota di negara Arab ke Denpasar dipastikan akan menarik turis serta investor di negara itu untuk berkunjung ke Bali.

Magnet Wisata

Pemberitaan Raja Salman, ketika berlibur ke Bali beberapa hari terakhir ini menyiratkan pesan mendalam. Kesohoran Raja Salman dan semakin sering diberitakan, akan membuat opini dunia tentang Indonesia juga lebih baik dan tambah diperhitungkan. Tentang Bali, tentang Jakarta, Istana Bogor, dan tentang peluang investor pada sektor pariwisata adalah narasi estetis Asian Tour Raja Salman beserta rombongan.   

Pemilihan Bali sebagai tempat liburan bukan hal yang serta merta. Dalam teori Travel Motivation (Crompton, 1979), ada dua faktor penting yang memotivasi wisatawan untuk melakukan perjaalan dan mengambil keputusan tentang destinasi wisata mana yanga akan ia kunjungi, yaitu: Faktor pendorong (Push Factors) dan Faktor Penarik (Pull Factors). Faktor pendorong adalah motivasi wisatawan yang datang dari internal, sedangkan faktor penarik adalah motivasi wisatawan yang datang dari eksternal.

Ketika Travel Motivation dikontekskan dengan kunjungan Raja Salman ke Indonesia khususnya Bali: Faktor pendorong Raja Salman disebabkan keterdesakan Arab Saudi dalam konflik dan perang di Timur Tengah, pengepungan Islam Syi’ah di berbagai sisi, Barat yang tidak menjanjikan lagi, sehingga kondisi itu yang memaksa Arab Saudi mulai melirik ke Timur dan membangun hubungan bilateral dengan negara-negara ASIA, seperti Jepang, China, dan Indonesia.

Sedangkan faktor penarik, ketika dikontekskan dengan Indonesia: Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia, demokrasi yang cukup matang, dan ekonomi yang stabil. Dalam sektor pariwisata, Indonesia mempunyai pulau Bali, Raja Ampat, Labuan Bajo, dan tempat wisata lainnya, yang juga tak kalah indah dan memiliki keragaman budaya yang unik. Akhirnya, tunggu apa lagi. Datanglah ke sini!   








Share:

Sebuah Trilogi: Puisi, Musik, dan Kopi

Sumber Gambar: Kopikeliling.com
Bulan lalu, saya menghadiri simposium literasi Yogyakarta yang bertajuk MocoSik (12-14 Februari 2017). Sebuah kolaborasi kesenian antara musik dan buku yang diselenggarakan promotor musik Rajawali Indonesia Com dan promotor buku Kampung Buku Jogja. Dalam draf acaranya, pengunjung disuguhkan artis, pemusik, penulis, bahkan presenter: Sebut saja penyanyi Raisa, Glenn, Tompi, presenter Najwa Shihab, penulis FX Rudy Gunawan, Ahmad Nirwan Arsuka dan deretan penulis lainnya.

Para musisi itu sempat berkaca-kaca ketika ada sesi bercerita tentang kedekatannya dengan buku. Salah satunya datang dari Raisa: “Jika bukan karena ayah yang memperkenalkan aku kepada buku, aku tentu tidak menjadi seperti sekarang, bisa menulis lagu dan puisi”. Atau tamparan keras Najwa Shihab: “Membaca tak sebatas mengeja huruf. Membaca itu kerja menaut dan mengaitkan ide. Maka sebagai awal, bacalah buku sebanyak-banyaknya.”

Kisah sukses MocoSik, dengan buku sebagai tiket masuknya itu barangkali yang menginspirasi Ons Untoro, seorang penggagas acara “Puisi, Musik, dan Kopi” di Tembi Rumah Budaya Timbulharjo, Sewon, Bantul, Selasa (07/03) malam kemarin. Malam itu, puisi-puisi dilagukan, musik-musik dipuisikan, dan di tengah keheningan dan tamasya batin itu barulah kopi diseruput. Mintaraga Pakasi (pemilik PT Dua Gendhis yang bergerak di bidang perkopian), melayani tamu yang hadir dengan seduhan kopi kualitas estetis dan semantis.

Berbeda dengan kegiatan seni lain, misalnya Sastra Bulan Purnama juga di Tembi Rumah Budaya, lebih banyak diadakan di teater arena atau panggung. “Puisi, Musik, dan Kopi” di gelar di dalam ruangan dengan format round table. Rencana “Puisi, Musik, dan Kopi” kedepannya akan digelar tiga kali dalam satu tahun dengan menu yang selalu berganti-ganti. Puisi tak harus baru, bisa karya penyair tua maupun muda, tentu yang enak dilagukan (KR, 09/03).

Puisi, musik, dan kopi adalah benda mati. Puisi hanyalah kumpulan kata-kata pada tubuh kertas, yang berlembar-lembar kemudian dibendel. Musik, gitar misalkan, hanyalah enam buah kawat yang angkuh kemudian dipetik. Ataupun kopi, yang hanya ulekan gula, air, krimer nabati, dan kopi bubuk. Namun jika trilogi itu disentuh, puisi dibacakan, musik dibunyikan, dan kopi diseruput, seketika itu menggemalah orkestrasi kehidupan yang estetis dari ketiganya.

Pada konteks ini, kita dibawa untuk memadupadankan satu komponen dengan komponen lainnya yang sebelumnya belum tersentuh. “Puisi, Musik, dan Kopi” Tiga entitas berbeda, rekam jejak yang kurang begitu purna disatukan sebelumnya. Tapi pada fragmen lain membikin satu ornamen kokoh yang kalau dikembangkan akan menemukan kebaharuan dalam dunia kesenian dan dunia literasi. Antara musik dan puisi misalkan, kita tidak bisa berpaling dari kenyataan jikalau lirik lagu yang estetis dan memiliki makna mendalam adalah puisi. Atau puisi naratif yang panjang dengan anak-anak lariknya adalah lirik lagu. Keduanya mendialogkan modus budaya kreatif dalam satu rekayasa. “Membaca lagu dan menyanyikan buku” sebuah slogan cantik dalam simposium literasi MocoSik.

Tahun lalu, seorang Bob Dylan yang mempunyai latar musikus, sekonyong-konyong bisa menggondol hadiah prestisius Nobel Kesusastraan. Menyingkirkan Haruki Murakami yang adalah pesaing terberatnya, dibuktikan beberapa kali masuk nominator. Mungkin tidak hanya Murakami yang cemburu, penyanyi Katy Perry, Ariana Grande, dan Lady Gaga pun akan ngiler untuk kedepannya mengubah mazhab lirik lagunya lebih puitis dan romantis. Karena leluhur sastra sesungguhnya adalah musik. Tekslah yang membuatnya berbeda. Tanpa teks, yang ada ialah musik, sanggah Nirwan Ahmad Arsuka, suatu ketika.

Pertalian puisi dengan kopi juga tidak bisa diremehkan. Seorang penulis atau seorang alim begadang misalkan, ia tidak bisa mengeluarkan ide dan gagasan untuk menulis kalau tidak ditemani dengan secangkir kopi dan sealambum lagu. Maka tak ayal, kadangkala ia mengunjungi ruang-ruang inspirasi laiknya kedai kopi dan kafe hanya untuk menemukan ide yang kemudian dihadirkan secara imajiner, diolah, kemudian lahirlah satu karya monumental.

Sekaliber Abdurrahman Wahid, presiden dan intelektual muslim Indonesia itu adalah pecandu kopi. Dengan kopi atau berdiam di kedai kopi, adalah alasan beliau untuk mengasah kreativitas, dengan cara berdiskusi, menulis dan tentu ditemani sahabat setianya “kopi”. Masih tentang sosok Gus Dur, beliau sering mengunjungi kedai kopi saat menimba ilmu di Negeri Piramida (Mesir), tulis Greg Barton dalam buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid  (2003).

Ihwal tentang kopi, yang disebut penyair Inggris Sir George Sandys “sehitam jelaga dengan rasa tak biasa” itu telah memiliki pertalian simetris dengan sebuah gerak kesusastraan bahkan politik. Masih lekang dalam ingatan ketika pecahnya revolusi Perancis 1789 yang lahir dari kedai kopi, ide tentang pelepasan kejumudan ke arah tatanan kenegeraan yang modern tercipta dari sana.

Pada catatan penyair, Kopi juga dijadikan objek penciptaan puisi. Tomy Saleh salah satunya dengan puisi Catatan Kopi: “Mengunyah sore, menyesapi kerinduan/wangi kopi ini terasa senyap sayangku/aromanya menjelma dirimu/menari-nari di dalam cangkirku./Tepian cangkir kopiku sekadar tambatan perahu keluh/mampir sejenak membuah muatan galau/jika habis ini kopi, sayang/aku melaut lagi/ya, ke sana, ke samudera ganas.

Akhirnya, Trilogi “Puisi, Musik, dan Kopi” adalah protes akan Post-Cultural-Syindrome dari catatan masa silam yang menyesakkan. “Puisi, Musik, dan Kopi” bertujuan untuk menggemakan nafas kehidupan dari ketiganya. Event MocoSik, dan kuliner Literasi di Tembi Taman Budaya adalah titik awal dari proses perjumpaan literasi dengan berbagai ornamen-ornamen kehidupan lainnya.



Share:

Senin, 06 Maret 2017

Puisi-puisi Istianatul Mubarakah*

Ya Salman

Ahlan Wa Sahlan Ya Salman

Mendengar dan mengkaji kedatanganmu, kita terpagut
Bukan kekayaan dan kesohoranmu
Tapi dahaga kerinduan yang membuncah sejak 47 tahun
Seperti hutang, seperti dendam, rindu harus terbayarkan

Barangkali bukan embel-embel invetasi dolaran
Barangkali bukan narasi kemewahan
Tapi egkau bersedia membuka dan menjalin hubungan dengan yang lain
Meski bukan satu keyakinan

Era keterbukaan pemimpin dua masjid
Era penghapusan warisan kekolotan

Engkau dan bangsamu di sana
Engkau dan keanjlokan minyakmu
Mau tak mau harus bergerilya mencari oasis di tengah padang
Konflik kawasan dan jutaan nyawa melayang
Mau tak mau, kau harus datang kemari
Untuk keyakinan yang lebih moderat

Ahlan Wa Sahlan Ya Salman

Pamekasan, 2017


Maaf

Maaf yang kau utarakan itu..
Tak pantas ada
Kau tak perlu minta maaf
Kau tetap ada
Maafmu, sakitku, dan sakitnya telah memasung
Gerbang-gerbang cinta
Yang telah lama dibangun dan dibangun kembali

Bila maaf adalah maujud penyesalan
Maka biarkan ia mencari luka-luka
Yang tertimbun di padang Karbala
Biakan ia mencari dara-darah usang
Yang mengental di Madway, Okinawa, dan Pearl Harbor

Tak ada jaminan, meski kau mencium kaki budakmu.

Pamekasan, 2017


Dramaturgi

Pagi yang gugup utuk memulai kebiasaan lama
Kebiasaan yang selalu kucoba dengan debar baru
Tak habis pikir, ketika semangat dikalahkan badai
Atau gelombang lautan yang terus menenggelamkan

Inilah semesta duka, meski tak sedahsyat kawan di tengah samudera itu
Tapi bak pusaran dan gemuruh ombak itu aku hanyut
Pada apa lagi aku harus bermetafor kalau bukan pada kata
Manusia laksana serigala bagi manusia lainnya, kata Hobbes
Manusia merasa ada kalau ia tertawa
Karena keberlimpahan cinta, harta, dan tahta
Padahal tak…

Apa yang kita buru di tengah samudera kehidupan
Kalau bukan rindu dan air mata

Pamekasan, 2017


Dunia Kedap Luka

Berjuta nyawa melayang, berjuta zaman tumbang
Berjibun luka mengendap, berbagai perasaan terpasung
Inikah dramaturgi?

Gedung-gedung dibangun, jalan diaspal
Masjid da gereja dimegahkan
Rumah-rumah di tingkat
Muda-mudi melepas remajanya
Laki-perempuan melepas usianya
Tapi kecongkaan dan keegoisan jarang disinggung
Apakah yang kau-aku cari pada dunia kedap luka ini
 
Pamekasan, 2017



Penjara Nawang

Penjara langit sembunyikan musim
Dalam hari-hari tempat ku puja
Hingga malam berganti biasa bermimpi
Aku dahaga
Ronta laun sendiri meranggas

Kapan kemarau mengubah embun
Dengan bahasa-bahasa langit
Yang kau sebut penjara nenek moyangmu
Dan besi tua yang menyaksikanku
Di ujung celah dinding itu.





*)Istianatul mubarakah, Mahasiswi Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Madura (UIM).
Share:

Rabu, 01 Maret 2017

Angin Perubahan Arab Saudi

Sumber Gambar: beritagar.id 
Kunjungan kenegaraan Raja Arab Saudi Salman bin Abdul Aziz Al-Saud (82) ke Indonesia pada 1-9 Maret 2017 menjadi trending topic hangat, baik di arus media utama maupun di semesta maya beberapa pekan terakhir. Cerita tentang Raja Salman dan keluarganya tersebar luas di media sosial, seperti foto raja, artikel tentang pengaruhnya di Arab Saudi, Raja Salman yang hafiz sejak usia 10 tahun, persiapan penyambutan nan mewah di Jakarta dan Bali, bahkan putri-putrinya nan cantik jelita.

Barangkali inilah kali pertama kunjungan kenegaraan yang paling menyita perhatian masyarakat. Kunjungan Presiden Barack Obama pada November 2010 tidak seheboh ini. Dengan membawa 1.500 rombongan, diantaranya 25 pangeran, dan 10 menteri, kunjungan Raja Salman bisa dibilang adalah kunjuangan balasan atas kunjungan Presiden Jokowi ke Saudi pada September 2015. Kunjungan Raja Salman adalah terma positif untuk mempererat hubungan Indonesia-Saudi, terlebih ini sebagai penghilang dahaga kerinduan masyarakat Indonesia setelah kunjungan Raja Saudi terjadi pada 47 tahun silam. Terakhir Raja Saudi mengunjungi Indonesia pada 10-13 Juni 1970 oleh Raja Faisal. Tiga raja berikutnya: Khalid (1975-1982), Fahd (1982-2005), dan Abdullah (2005-2015) tidak sekali pun mengunjungi Indonesia.

Dalam konteks hubungan interasional, kunjungan para pemimpin politik senior atau pemimpin tertinggi suatu negara bisa dimaknai sebagai sebuah entitas proporsional dalam menjalin kerja sama bilateral kedua negara. Hal ini begitu berarti ketika melihat kunjungan Presiden Joko Widodo ke Australia (25-26/02/17), yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan negara bertetangga yang saling mengkhormati dan kerja sama militer. Atau kunjungan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe ke Indonesia (15-16/01/2017), yang membicarakan isu ekonomi. Dan dipungkasi oleh kunjungan Raja Arab Saudi Salman ke Indonesia 1-9 Maret ini, sebagai lawatan bersejarah bagi kerja sama kedua negara yang termaktub dalam 10 nota kesepahaman yang akan ditandatangani kedua pemimpin negara.

Babak Baru

Sejak Arab Saudi mendeklarasikan visi 2030—di bawah nakhoda Raja Salman—Arab Saudi kini memasuki babak baru dalam membangun keseimbangan hubungan politik, ekonomi, dan budaya. Babak baru itu ditandai upaya Arab Saudi menancapkan kaki hubungan diplomatik dengan Barat dan Timur secara seimbang. Akan tetapi aplikasi di lapangan dan kalau flash back pada sejarah, orientasi Arab Saudi di berbagai bidang selalu mengacu ke Barat, khususnya Amerika Serikat. Sebaliknya, Arab Saudi selalu melihat Timur dengan sebelah mata. Maka dari itu, selama 10 tahun terakhir ini Arab Saudi lambat laun mulai melirik ke Timur berkat kemajuan ekonomi yang pesat di Asia Timur dan tenggara. Laiknya Cina, Jepang, Singapura, dan Indonesia.

Saat ini sangat sulit bagi Arab Saudi menjadikan Amerika sebagai main reference. Selain karena sifat demagog Donald Trump terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah dan dunia islam, masalah kawasan yang sampai saat ini masih menebali langit Timur Tengah akibat konflik tak berkesudahan. Fakta lain, sebanyak 34 aliansi militer di bawah komando Riyadh tampaknya belum ampuh menggoyahkan pemerintahan Basyar al-Assad yang dibekingi Iran dan promotornya. Di Irak pun Saudi sudah tidak lagi diperhitungkan.

Apalagi ketika ancaman eksternal kian mengungkung Arab Saudi dari berbagi sisi, kekuatan Syiah dan wahabisme misalnya. Negara itu memang sudah terkepung dengan kekuatan Syiah. Di Timur, berhadapan dengan Iran yang berbasis pusat Syiah terbesar. Di Utara, Saudi harus menghadapi kenyataan pahit, negeri yang dulu dipimpin Sunni, lalu dikuasai Syiah. Di selatan, Yaman Utara (Sha’adah dan sekitarnya) juga dikuasai Syiah dibawah kombatan Houthi.

Babak baru tersebut bisa dilihat dari lawatan panjang Raja Salaman ke sejumlah negara-negara Asia selama satu bulan, dari akhir Februari hingga akhir Maret. Bahkan untuk hiburan pun Raja Salman melirik ke Timur, yakni Pulau Bali dan Maladewa. Di Bali, Raja Salman dan rombongan akan menghabiskan waktu sekitar 6 hari, 4-9 Maret ini. Mengapa demikian?. Mengapa seorang raja dengan hukum islam yang sangat ketat, malah berlibur ke Bali?. Menurut Abdul Muta’ali: Begitu cerdiknya Raja Salman membangun dialektika logika global. Ketika ada gerakan terorisme dan radikalisme di dunia internaional akar genealoginya berasal dari paham literal dan puritan, Saudi ingin mengatakan kepada dunia, kami bangsa yang sangat human.

Harapan

Angin perubahan Arab Saudi sudah terekam jelas saat Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi melakukan kunjungan kehormatan pertama kali kepada Raja Salman di Jeddah, Mei 2015. Dalam pertemuan itu, Raja Salman menegaskan keinginannya memperkuat kembali hubungan bilateral dengan negara-negara Islam. “On the top of the list is Indonesia (nomor satu dalam daftar itu adalah Indonesia),” tangkas Raja Salman ketika itu.

Di tengah huru-hara konflik di Timur Tengah dan tidak menentunya Barat, Indonesia berpeluang untuk merangkul kerekatan-keretakan dunia islam secara mondial. Islam Indonesia yang moderat, Indonesia yang bisa bergaul baik dengan negara-negara Sunni dan negara-negara Syiah. Apalagi ditopang dengan kematangan demokrasi Indonesia yang cukup, dan dipungkasi perekonomiannya relatif stabil menjadi komponen eksoterik yang harus dikumandangkan.

Primordialisme kunjungan Rasa Salman ke Indonesia semoga saja tidak hambar. Karena tidak ada kerja sama atau pertemuan khusus antara pihak kerajaan dan pimpinan Ormas Islam serta para ulama. Dan yang juga luput dari perhatian dan terasa sepi dari pemberitaan adalah perlindungan bagi perempuan pekerja migran Indonesia di Arab Saudi. Karena saat ini berdasarkan catatan Migrant Care, ada 40 perempuan pekerja migran terancam hukuman mati di Arab Saudi. Perlindungan bagi perempuan dan kerja migran tersebut tidak disebut di dalam 10 nota kesepahaman yang akan ditandatangani Presiden Joko Widodo dan Raja Salman. Dan yang paling urgent Saatnya semua komponen bangsa kedua negara sama-sama mengambil peran untuk saling mengisi. Ahlan wa Sahlan fi Indonesia, Ya Raja Salman.






Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com