Rabu, 14 September 2016

Robohnya “Bahasa” Kami

Google.com



Tulisan ini lahir, dari rasa prihatin saya melihat kegandrungan masyarakat kita terhadap bahasa selain Indonesia. Waktu itu, saya sedang mengendarai motor bebek hendak ke kampus. Di tempat pemberhentian lampu merah, saya menemukan iklan-iklan di papan reklame yang berbahasa Inggris, seperti Kuantan Regency, Royale Village, Merapi View, dan Kurahan Residence. Sehingga muncul pertanyaan “mengapa iklan itu menggunakan Bahasa Inggris daripada Bahasa Indonesia”.

Saya tiba di kampus, justru pemandangan di lampu merah tadi terulang lagi, dengan medium dan daya eksplor berbeda. Teman-teman saya bicara Bahasa Inggris, walau tidak keseluruhan, tapi teman itu rasa-rasanya tidak sungkan menyelipkan Bahasa Inggris dalam percakapannya. Ini mungkin hal biasa dijumpai di tempat lain, tapi yang lebih “parah” dosen-dosen saya juga dengan bangga menyelipkan Bahasa Inggris ke dalam ceramahnya di depan kelas. Ini semacam langkah maju atau mundur bagi kita?.

Kenyataanya, memang banyak kita jumpai masyarakat kejamakan, dari siswa, mahasiswa, dosen dan lainnya, berduyun-duyun mengikuti kursus Bahasa Inggris, kuliah Jurusan Bahasa Inggris, bahkan konon katanya, orang yang pintar Bahasa Inggris lebih mudah mendapatkan pekerjaan, dan menjanjikan kehidupan lebih baik. Mereka telah memastikan Bahasa Inggris bertuah alias mengantar mereka menjadi pejabat, penguasa, pekerja, dan pegawai. Ah..! Bahasa Inggris demi rezeki. Mereka tidak lagi bisa memosisikan Bahasa Indonesia setara dengan Bahasa Inggris.

 Fenomena ini diperparah, ketika Presiden Joko Widodo meminta agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing dihapus. Konon ,tujuannya untuk menggenjot iklim investasi di Indonesia. Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga membenarkan; “Memang disampaikan secara spesifik oleh Presiden untuk membatalkan persyaratan berbahasa Indonesia bagi pekerja asing di Indonesia” (Kompas, Didik Sulistyanto. 19 September 2015)

Padahal telah terbit Undang-Undang RI baru No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta lagu kebangsaan. Produk hukum yang disahkan oleh Presiden ke-enam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, tentang penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik. Pasal 38 Ayat (1) menyebutkan: “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum”. Mengetahui atau tidak pelanggaran tersebut, hormat saya, beberapa pihak yang terjangkit di atas setidaknya memahami produk hukum formal Negara Indonesia, agar tidak lagi memberikan nama dan bercakap dalam bahasa selain Bahasa Indonesia.

Bahasa Persatuan

Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, karya anak bangsa yang harus dirawat dan diaktualisasi dalam kehidupan kita. Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi sekaligus bahasa resmi Republik Indonesia yang sudah diresmikan setelah dilakukannya kongres pemuda I, dilaksanakan selama dua hari- 27-28 Oktober di Batavia (Jakarta), kongres tersebut menghasilkan tiga bulir sumpah pemuda. Di mana pada bulir ketiga berisi “kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”.

Secara formal sampai saat ini Bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan; (1) Bahasa  Indonesia sebagai identitas Nasional, kedudukan pertama dari kedudukan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda. (2) kedudukan kedua dari kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dibuktikan dengan masih digunakannya Bahasa Indonesia sampai sekarang ini. (3) Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, misalnya saja dalam buku, koran, acara televisi, siaran radio, website, dan lain-lain. Yang ke (4) Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa yang berbeda suku, agama, ras, adat-istiadat dan budaya.

Kita harus bangga dan berterima kasih banyak kepada bapak Bangsa Indonesia, yang telah melegalkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Sehingga budayawan Ajip Rosidi dalam tulisannya “berbanggalah dengan bahasa Indonesia” mengemukakan bahwa sejak awal merdeka, Rakyat Indonesia sudah mempunyai satu Bahasa Nasional, yaitu Bahasa Indonesia. Sementara itu Negara Jiran Malaysia tidak dapat menetapkan satu bahasa saja sebagai Bahasa Nasionalnya. Di Negeri Siti Nurbaya itu ada empat bahasa resmi (Inggris, Melayu, Tionghoa, dan Tamil) yang digunakan masyarakatnya yang multi etnis dan multi bahasa itu.

Kondisi serupa juga dijumpai di India, di negeri Shah Rukh Khan itu ada 16 bahasa resmi, selain Bahasa Inggris yang merupakan warisan bahasa dari yang pernah menjajah, di Filipina sama saja, Bahasa Tagalog berdampingan dengan bahasa-bahasa lain termasuk Bahasa Inggris. Tapi alih-alih kita bangsa dengan bahasa satu yang penuh haru biru, malah cenderung tidak menghormati bahasa nenek moyang, dengan mogok tidak berbahasa Indonesia lagi.

Bukti kongkretnya, dalam kegiatan keseharian kita, seperti kata “oke” padahal padanan kata dalam Bahasa Indonesia adalah “baik”. Contoh lain download, upload, print, dinner, dan driver, dalam Bahasa Indonesia adalah unduh, unggah, cetak, makan malam, dan sopir. Faktor utama adalah “gengsi” dan beranggapan kalau tidak menggunakan Bahasa Inggris akan ketinggalan zaman, kurang beradab, dan berjarak dengan identitas “gaul”.

Ayo, Berbahasa Indonesia Lagi

Indonesia, di usianya yang menjelang hampir satu abat ini, Bahasa Indoensia telah berkembang sedemikian rupa, bahkan dikenal dan dipelajari orang banyak di luar negeri. Di Cina misalnya, saat ini telah berdiri sembilan Universitas yang memiliki Jurusan Bahasa Indonesia, generasi muda negeri Jackie Chan tersebut begitu bernafsu belajar Bahasa Indonesia. Sampai-sampai mereka harus belajar di Indonesia selama bertahun-tahun, baik dalam rangka beasiswa maupun berbiaya sendiri. Sedangkan kita malah lari jauh meninggalkan Bahasa Indonesia.

Kita lihat di beberapa Negara Eropa, Italia misalnya; di negara itu sangat sulit untuk menemukan hal-hal yang tidak menggunakan Bahasa Italia. Seluruh rambu jalan menggunakan Bahasa Italia, majalah dan Koran berbahasa Inggris sulit sekali ditemukan. Walaupun ada, tetapi hanya di tempat-tempat tertentu dengan harga yang lebih tinggi dan tersedia hanya beberapa eksemplar saja. Televisi lokal, bahkan hanya satu program acara yang berbahasa selain Italia.

 Sebentar lagi bulan oktober, adalah “Bulan Bahasa” bagi kitta, di bulan itu peristiwa hari Sumpah Pemuda lahir. Kita harus berbangga hati, karena Bahasa Indonesia juga digandrungi pihak asing, dan kita malu kalau meninggalkan Bahasa Indonesia yang telah berakar kuat. Tibalah saatnya kita kembali ke fitrah dan ke akar budaya lokal bangsa ini, kita harus membumikan kembali Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional yang bermartabat di dalam dan luar negeri, caranya dengan menggunakan Bahasa Indonesia dalam kegiatan sehari-hari, sesuai konteksnya.

Karena Bahasa Indonesia juga mempunyai peluang besar menjadi bahasa ASEAN, karena melihat animo masyarakat asing yang belajar Bahasa Indonesia. Selanjutnya kita buang perasaan “gengsi” saat mengucapkan Bahasa Indonesia baik dan benar, serta hilangkan ketergantungan kepada bahasa yang selain Bahasa Indonesia. “Ayo kerja, ayo berbahasa Indonesia, kalau bukan sekarang, kapan lagi”.
Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com