Google.com |
Tulisan ini lahir, dari
rasa prihatin saya melihat kegandrungan masyarakat kita terhadap bahasa selain Indonesia.
Waktu itu, saya sedang mengendarai motor bebek hendak ke kampus. Di tempat pemberhentian
lampu merah, saya menemukan iklan-iklan di papan reklame yang berbahasa
Inggris, seperti Kuantan Regency, Royale
Village, Merapi View, dan Kurahan
Residence. Sehingga muncul pertanyaan “mengapa iklan itu menggunakan Bahasa
Inggris daripada Bahasa Indonesia”.
Saya tiba di kampus,
justru pemandangan di lampu merah tadi terulang lagi, dengan medium dan daya
eksplor berbeda. Teman-teman saya bicara Bahasa Inggris, walau tidak keseluruhan,
tapi teman itu rasa-rasanya tidak sungkan menyelipkan Bahasa Inggris dalam
percakapannya. Ini mungkin hal biasa dijumpai di tempat lain, tapi yang lebih “parah”
dosen-dosen saya juga dengan bangga menyelipkan Bahasa Inggris ke dalam
ceramahnya di depan kelas. Ini semacam langkah maju atau mundur bagi kita?.
Kenyataanya, memang banyak
kita jumpai masyarakat kejamakan, dari siswa, mahasiswa, dosen dan lainnya,
berduyun-duyun mengikuti kursus Bahasa Inggris, kuliah Jurusan Bahasa Inggris,
bahkan konon katanya, orang yang pintar Bahasa Inggris lebih mudah mendapatkan
pekerjaan, dan menjanjikan kehidupan lebih baik. Mereka telah memastikan Bahasa
Inggris bertuah alias mengantar mereka menjadi pejabat, penguasa, pekerja, dan
pegawai. Ah..! Bahasa Inggris demi
rezeki. Mereka tidak lagi bisa memosisikan Bahasa Indonesia setara dengan Bahasa
Inggris.
Fenomena ini diperparah, ketika Presiden Joko
Widodo meminta agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja
asing dihapus. Konon ,tujuannya untuk menggenjot iklim investasi di Indonesia.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga membenarkan; “Memang disampaikan secara
spesifik oleh Presiden untuk membatalkan persyaratan berbahasa Indonesia bagi
pekerja asing di Indonesia” (Kompas, Didik Sulistyanto. 19 September 2015)
Padahal telah terbit
Undang-Undang RI baru No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta lagu kebangsaan. Produk hukum yang disahkan oleh Presiden ke-enam
Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, tentang penggunaan Bahasa Indonesia di
ruang publik. Pasal 38 Ayat (1) menyebutkan: “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan,
fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum”.
Mengetahui atau tidak pelanggaran tersebut, hormat saya, beberapa pihak yang
terjangkit di atas setidaknya memahami produk hukum formal Negara Indonesia,
agar tidak lagi memberikan nama dan bercakap dalam bahasa selain Bahasa Indonesia.
Bahasa Persatuan
Bahasa Indonesia adalah bahasa
persatuan, karya anak bangsa yang harus dirawat dan diaktualisasi dalam
kehidupan kita. Bahasa Indonesia adalah alat komunikasi sekaligus bahasa resmi
Republik Indonesia yang sudah diresmikan setelah dilakukannya kongres pemuda I,
dilaksanakan selama dua hari- 27-28 Oktober di Batavia (Jakarta), kongres
tersebut menghasilkan tiga bulir sumpah pemuda. Di mana pada bulir ketiga berisi
“kami poetra dan poetri Indonesia
mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”.
Secara formal sampai saat
ini Bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan; (1) Bahasa Indonesia sebagai identitas Nasional,
kedudukan pertama dari kedudukan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda. (2)
kedudukan kedua dari kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dibuktikan dengan masih digunakannya Bahasa Indonesia sampai sekarang ini. (3)
Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, misalnya saja dalam buku, koran,
acara televisi, siaran radio, website, dan lain-lain. Yang ke (4) Bahasa Indonesia
sebagai alat pemersatu bangsa yang berbeda suku, agama, ras, adat-istiadat dan
budaya.
Kita harus bangga dan
berterima kasih banyak kepada bapak Bangsa Indonesia, yang telah melegalkan Bahasa
Indonesia sebagai bahasa Nasional. Sehingga budayawan Ajip Rosidi dalam tulisannya
“berbanggalah dengan bahasa Indonesia” mengemukakan bahwa sejak awal merdeka, Rakyat
Indonesia sudah mempunyai satu Bahasa Nasional, yaitu Bahasa Indonesia.
Sementara itu Negara Jiran Malaysia tidak dapat menetapkan satu bahasa saja sebagai
Bahasa Nasionalnya. Di Negeri Siti Nurbaya itu ada empat bahasa resmi (Inggris,
Melayu, Tionghoa, dan Tamil) yang digunakan masyarakatnya yang multi etnis dan
multi bahasa itu.
Kondisi serupa juga
dijumpai di India, di negeri Shah Rukh Khan itu ada 16 bahasa resmi, selain Bahasa
Inggris yang merupakan warisan bahasa dari yang pernah menjajah, di Filipina
sama saja, Bahasa Tagalog berdampingan dengan bahasa-bahasa lain termasuk Bahasa
Inggris. Tapi alih-alih kita bangsa dengan bahasa satu yang penuh haru biru, malah
cenderung tidak menghormati bahasa nenek moyang, dengan mogok tidak berbahasa
Indonesia lagi.
Bukti kongkretnya, dalam
kegiatan keseharian kita, seperti kata “oke”
padahal padanan kata dalam Bahasa Indonesia adalah “baik”. Contoh lain download, upload, print, dinner, dan driver, dalam Bahasa Indonesia adalah
unduh, unggah, cetak, makan malam, dan sopir. Faktor utama adalah “gengsi” dan
beranggapan kalau tidak menggunakan Bahasa Inggris akan ketinggalan zaman,
kurang beradab, dan berjarak dengan identitas “gaul”.
Ayo,
Berbahasa Indonesia Lagi
Indonesia, di usianya yang
menjelang hampir satu abat ini, Bahasa Indoensia telah berkembang sedemikian
rupa, bahkan dikenal dan dipelajari orang banyak di luar negeri. Di Cina
misalnya, saat ini telah berdiri sembilan Universitas yang memiliki Jurusan Bahasa
Indonesia, generasi muda negeri Jackie Chan tersebut begitu bernafsu belajar
Bahasa Indonesia. Sampai-sampai mereka harus belajar di Indonesia selama
bertahun-tahun, baik dalam rangka beasiswa maupun berbiaya sendiri. Sedangkan kita
malah lari jauh meninggalkan Bahasa Indonesia.
Kita lihat di beberapa Negara
Eropa, Italia misalnya; di negara itu sangat sulit untuk menemukan hal-hal yang
tidak menggunakan Bahasa Italia. Seluruh rambu jalan menggunakan Bahasa Italia,
majalah dan Koran berbahasa Inggris sulit sekali ditemukan. Walaupun ada,
tetapi hanya di tempat-tempat tertentu dengan harga yang lebih tinggi dan
tersedia hanya beberapa eksemplar saja. Televisi lokal, bahkan hanya satu
program acara yang berbahasa selain Italia.
Sebentar lagi bulan oktober,
adalah “Bulan Bahasa” bagi kitta, di bulan itu peristiwa hari Sumpah Pemuda lahir.
Kita harus berbangga hati, karena Bahasa Indonesia juga digandrungi pihak
asing, dan kita malu kalau meninggalkan Bahasa Indonesia yang telah berakar
kuat. Tibalah saatnya kita kembali ke fitrah dan ke akar budaya lokal bangsa
ini, kita harus membumikan kembali Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional
yang bermartabat di dalam dan luar negeri, caranya dengan menggunakan Bahasa
Indonesia dalam kegiatan sehari-hari, sesuai konteksnya.
Karena Bahasa Indonesia
juga mempunyai peluang besar menjadi bahasa ASEAN, karena melihat animo
masyarakat asing yang belajar Bahasa Indonesia. Selanjutnya kita buang perasaan
“gengsi” saat mengucapkan Bahasa Indonesia baik dan benar, serta hilangkan ketergantungan
kepada bahasa yang selain Bahasa Indonesia. “Ayo kerja, ayo berbahasa
Indonesia, kalau bukan sekarang, kapan lagi”.