Rabu, 20 Juli 2016

Gadis Bartender



Seluas samudra, tanda-tanya itu menghampar di ruang kosong kepala. Seruncing dakar jarum, tanda tanya itu mencocok saraf kepala. Dan layaknya sebutir debu, tanda tanya itu beterbangan di tempurung kepala, tanda tanya dan paceklik di kepala Jamilah, tanda tanya yang semakin terang, tanda tanya yang semakin kejam menghantui, tanda tanya yang menggunung semenjak Jamilah berdiam di kelas dua Madrasah Aliyah. Ia sekarang di ujung tanduk, bercokol di kelas akhir salah satu Madrasah di kampung.

            Sedari hasil akhir ujian nasional direngkuh Jamilah, Ia orang pertama yang merasa bahagia sebelum yang lain, siapa yang tak bahagia kalau lulus UN dengan predikat terbaik, Ia-pun demikian, hingga sempat meneteskan air mata, lantaran rawan terharu bangga, namun kebahagian itu mengular duka, duka karena Ia harus melanjutkan kemana studinya setalah ini, duka dengan geliat masa depan yang teramat misteri, dan duka akan tanggung jawab sebagai seorang intelektual di keluarga dan kampungnya.
                                                  
            Dengan mencengkram ijazah yang baru ia dapati, tanda tanya itu semakin bertambah jumlahnya, walau jasadnya tengah sampai rumah, tapi pikirannya terus gentayangan menyusur waktu dan mimpinya sebagai mahasiswa kedokteran.

***


            Waktu terus menggelinding, hari terus meluncur, dan bulan terus mengelupas tak disangka-sangka. Hingga detik ini pun Jamilah belum menemukan jawaban tanda tanya itu, tercatat ia menganggur enam bulan selepas status kesiswaannya.

            Hingga pada suatu pagi yang berseri, di atas lencak dari anyam bambu, Jamilah mematung bersama matahari, dan ujar suara membuyarkan keakraban mereka.
“Lagi apa Jamilah?”  sesosok perempuan mengawali.
“Lagi duduk aja ne Mbak, maklum tak ada kerjaan lain, selain menghayal dan ngegalau” jawabnya datar.
“Bagaimana kalau kamu ikut saya ke kota,” perempuan itu membuka kran pembicaraan
“Ngapain Mbak Anis?”
“Yaa bekerja, dari pada kamu nganggur begini, kan bisa dapat duit dan pengalaman hidup di kota” tambah perempuan beranak satu itu,

Anis adalah seorang janda muda yang bekerja di kota, tak satu pun orang tahu Ia bekerja apa. Jamilah pun menggenalnya sebagai perempuan modis, lampai, dan stylish karena saking seringnya memakai baju ketat dan make-up menor.

“Tahu ya Mbak, aku jadi bingung, kalau aku ke kota, terus Ibu sama siapa, Beliau sendirian di sini, apalagi tengah sakit-sakitan”.
“Maka dari itu Jamilah, dari perantauanmu ke kota, kamu bisa membahagiakan Ibumu, membuat Ibumu tambah bangga, dan bisa mengoperasi jantungnya itu”.
“Gimana ya Mbak, Aku tambah bingung,”
“Ayolah Jamilah, nggak usah banyak mikir,” derak Anis yang semakin memaksa.
“baiklah Mbak,”.

            Sehabis diguyur rayuan, dan sehabis mendapat lampu hijau dari sang Ibu, Ia pun ikut Anis ke kota dengan berbekal ijazah dan keberanian semata, namun Ia telah mengubur impiannya sebagai mahasiswa kedokteran, karena Ia tak tahu cara mewujudkannya, hingga Ia memutar haluan sebagai pencari uang.

***

            Di bawah temaram lampu osmium pematang jalan, Jamilah berdiri dan membelalakkan mata menyimak asesoris kota, sampai-sampai tak bisa menyimpulkan keindahannya, Maklum, Ia pertama kali menginjakkan kaki di kota. Belum punah Ia rekam kehidupan malam kota itu, tiba-tiba Anis mengajaknya menuju rumah indekos yang letaknya tidak begitu jauh.

            Besoknya, malam yang berhias kenangan, malam yang berdandan keindahan, Jamilah menyibukkan diri untuk berangkat kerja, Ia tak tahu bakal bekerja apa, yang Ia tahu hanyalah kewajibannya berdandan cantik dan berpakaian seksi, bajunya pun telah disiapkan Anis, dengan bawahan celana pendek abu-abu, dan atasan baju buntung merah. Jamilah sekarang sampai puncak persiapan. Dengan mengendari angkot dan dipayungi awan pekat mereka berangkat.

Sejam di tubuh angkot, akhirnya mereka sampai pada suatu tempat hiburan malam, tempat muda-mudi mabuk-mabukan, tempat pacaran. Awalnya Jamilah tak tahu itu tempat apa, namun ketika Ia diberi tahu plang nama dengan tuliskan“The Rock Bar”, Ia baru siuman kalau itu adalah klub-malam, tempat bersantai, dugem, minum dan hal gelap lainnya. Ia sangat takut dan gagap dengan keberadaannya di bar, Ia hanya manut apa yang diilhamkan Anis.

Dari pemandangan itu, akhirnya Jamilah dikenalkan dengan presiden (The Rock Bar) Bapak Subono, setelah ngomong panjang lebar, akhirnya Jamilah diterima jadi karyawan dengan tanpa hisab, tak usah pakek ijazah dan syarat formal lainnya, “cukup dengan penampilan cantik dan keahlian untuk menarik pelanggan”, imbuh Bapak Subono.
           
            Dengan perasaan was-was, dan dari ronta hatinya yang selalu bertanya, akhirnya Jamilah mengalunkan pertanyaan, “saya bekerja sebagai apa Pak?”.
“oiya, Anis belum ngasih tahu kamu ya, kamu itu bekerja sebagai Bartender, yang tugasnya hanya meracik minuman, dan melayani tamu-tamu yang bersantai di Bar ini”
“tapi, kan saya tidak tahu caranya Pak?” tambah Jamilah semakin mengejar.
“Nanti, ada kru kami yang akan ngelatih kamu kok, tenang aja Jamilah, ini kerja ringan, dan menyenangkan” Bapak Subono memberi penjelasan.

***

“Sebagai Bartender yang baik, kamu harus mengusai dua hal: (1) Meracik minuman sembari Jugling, (2) Kemampuan meracik minuman kreasi sendiri dengan taste memikat”. Pesan dasar yang selalu diingat Jamilah ketika di karantina. Ia dilatih berbagai hal. Berlatih Bottle Juggling dan  Flair Bartending atau suatu ilmu ketangkasan, kecepatan dan ketepatan dalam memainkan botol pada atraksi di Bartending.
Selama seminggu dikarantina akhirnya Jamilah sedikit-banyak tahu apa yang musti dilakukan sebagai sorang Bartender profesional. Meskipun latar belakang seorang perempuan, atau asalnya dari kampung, lulusan Madrasah, Ia tidak mengindahkan hal itu, Ia hanya bekerja sesuai prosedur dan kemampuannya.

Pada dentum suara musik disko yang lincah, dan gelamor lampu pelangi menari-nari, Jamilah tampil nyentrik menghibur penonton dengan gaya, gerak, dan olah tubuh yang serasi diiringi lempar botol, dan tarian ringan mengimbangi musik jingkrak. Semua penonton terperangah, sorot mata mereka menukik tajam pada Jamilah. Kemunculannya, begitu cantik, seksi, dan modis, Ia pula adalah gadis Bartender pertama di “The Rock Bar” pendahulunya lelaki semua. Sungguh malam perdana yang memuaskan.

***

Malam minggu, malam istimewa bagi sebagian orang, malam ini pun malam yang tak mungkin dilupakan Jamilah, malam ke tiga puluh Ia bekerja di bar, malam untuk gaji pertamanya, sungguh tak bisa dibayangkan bagaimana Ia dapat rupiah dari perasan keringatnya sendiri.

Semakin cepat waktu beranjak, Jamilah diam-diam terus menyusur kehidupan yang membaja, Ia begitu tegak melumat segala hal di perantauan, Ia pula kini hidup berkecukupan, Ia telah menambah boming “The Rock Bar”, banyak gelayar tamu baru ke bar itu, Mereka hanya ingin menonton aksi Jamilah memintal dan memainkan botol, atau sekedar merasakan keunikan minuman yang Jamilah racik.

Sungguh tak bisa disangka, Ia telah mampu menyembuhkan penyakit Ibunya, Ia juga menjadi buah bibir sekampung, Ia pula yang menggusur pandangan umum, kalau sukses itu tidak hanya tumbuh dari bangku sekolahan.

Kutub, Maret 2014.
Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com