Seluas
samudra, tanda-tanya itu menghampar di ruang kosong kepala. Seruncing dakar jarum,
tanda tanya itu mencocok saraf kepala. Dan layaknya sebutir debu, tanda tanya itu
beterbangan di tempurung kepala, tanda tanya dan paceklik di kepala Jamilah, tanda
tanya yang semakin terang, tanda tanya yang semakin kejam menghantui, tanda tanya
yang menggunung semenjak Jamilah berdiam di kelas dua Madrasah Aliyah. Ia
sekarang di ujung tanduk, bercokol di kelas akhir salah satu Madrasah di
kampung.
Sedari hasil akhir ujian nasional
direngkuh Jamilah, Ia orang pertama yang merasa bahagia sebelum yang lain,
siapa yang tak bahagia kalau lulus UN dengan predikat terbaik, Ia-pun demikian,
hingga sempat meneteskan air mata, lantaran rawan terharu bangga, namun
kebahagian itu mengular duka, duka karena Ia harus melanjutkan kemana studinya
setalah ini, duka dengan geliat masa depan yang teramat misteri, dan duka akan
tanggung jawab sebagai seorang intelektual di keluarga dan kampungnya.
Dengan mencengkram ijazah yang baru
ia dapati, tanda tanya itu semakin bertambah jumlahnya, walau jasadnya tengah
sampai rumah, tapi pikirannya terus gentayangan menyusur waktu dan mimpinya
sebagai mahasiswa kedokteran.
***
Waktu terus menggelinding, hari
terus meluncur, dan bulan terus mengelupas tak disangka-sangka. Hingga detik
ini pun Jamilah belum menemukan jawaban tanda tanya itu, tercatat ia menganggur
enam bulan selepas status kesiswaannya.
Hingga pada suatu pagi yang berseri,
di atas lencak dari anyam bambu, Jamilah mematung bersama matahari, dan ujar
suara membuyarkan keakraban mereka.
“Lagi
apa Jamilah?” sesosok perempuan
mengawali.
“Lagi
duduk aja ne Mbak, maklum tak ada kerjaan lain, selain menghayal dan ngegalau”
jawabnya datar.
“Bagaimana
kalau kamu ikut saya ke kota,” perempuan itu membuka kran pembicaraan
“Ngapain
Mbak Anis?”
“Yaa
bekerja, dari pada kamu nganggur begini, kan bisa dapat duit dan pengalaman hidup
di kota” tambah perempuan beranak satu itu,
Anis adalah seorang janda muda yang bekerja di kota, tak
satu pun orang tahu Ia bekerja apa. Jamilah pun menggenalnya sebagai perempuan
modis, lampai, dan stylish karena saking
seringnya memakai baju ketat dan make-up menor.
“Tahu
ya Mbak, aku jadi bingung, kalau aku ke kota, terus Ibu sama siapa, Beliau sendirian
di sini, apalagi tengah sakit-sakitan”.
“Maka
dari itu Jamilah, dari perantauanmu ke kota, kamu bisa membahagiakan Ibumu,
membuat Ibumu tambah bangga, dan bisa mengoperasi jantungnya itu”.
“Gimana
ya Mbak, Aku tambah bingung,”
“Ayolah
Jamilah, nggak usah banyak mikir,” derak Anis yang semakin memaksa.
“baiklah
Mbak,”.
Sehabis diguyur rayuan, dan sehabis mendapat
lampu hijau dari sang Ibu, Ia pun ikut Anis ke kota dengan berbekal ijazah dan
keberanian semata, namun Ia telah mengubur impiannya sebagai mahasiswa
kedokteran, karena Ia tak tahu cara mewujudkannya, hingga Ia memutar haluan
sebagai pencari uang.
***
Di bawah temaram lampu osmium pematang
jalan, Jamilah berdiri dan membelalakkan mata menyimak asesoris kota, sampai-sampai
tak bisa menyimpulkan keindahannya, Maklum, Ia pertama kali menginjakkan kaki di
kota. Belum punah Ia rekam kehidupan malam kota itu, tiba-tiba Anis mengajaknya
menuju rumah indekos yang letaknya tidak begitu jauh.
Besoknya, malam yang berhias
kenangan, malam yang berdandan keindahan, Jamilah menyibukkan diri untuk
berangkat kerja, Ia tak tahu bakal bekerja apa, yang Ia tahu hanyalah kewajibannya
berdandan cantik dan berpakaian seksi, bajunya pun telah disiapkan Anis, dengan
bawahan celana pendek abu-abu, dan atasan baju buntung merah. Jamilah sekarang
sampai puncak persiapan. Dengan mengendari angkot dan dipayungi awan pekat
mereka berangkat.
Sejam di tubuh angkot, akhirnya mereka sampai pada suatu tempat
hiburan malam, tempat muda-mudi mabuk-mabukan, tempat pacaran. Awalnya Jamilah
tak tahu itu tempat apa, namun ketika Ia diberi tahu plang nama dengan tuliskan“The
Rock Bar”, Ia baru siuman kalau itu adalah klub-malam, tempat bersantai, dugem,
minum dan hal gelap lainnya. Ia sangat takut dan gagap dengan keberadaannya di
bar, Ia hanya manut apa yang diilhamkan Anis.
Dari pemandangan itu, akhirnya Jamilah dikenalkan dengan
presiden (The Rock Bar) Bapak Subono, setelah ngomong panjang lebar, akhirnya
Jamilah diterima jadi karyawan dengan tanpa hisab, tak usah pakek ijazah dan
syarat formal lainnya, “cukup dengan penampilan cantik dan keahlian untuk menarik
pelanggan”, imbuh Bapak Subono.
Dengan perasaan was-was, dan dari
ronta hatinya yang selalu bertanya, akhirnya Jamilah mengalunkan pertanyaan,
“saya bekerja sebagai apa Pak?”.
“oiya,
Anis belum ngasih tahu kamu ya, kamu itu bekerja sebagai Bartender, yang
tugasnya hanya meracik minuman, dan melayani tamu-tamu yang bersantai di Bar
ini”
“tapi,
kan saya tidak tahu caranya Pak?” tambah Jamilah semakin mengejar.
“Nanti,
ada kru kami yang akan ngelatih kamu kok, tenang aja Jamilah, ini kerja ringan,
dan menyenangkan” Bapak Subono memberi penjelasan.
***
“Sebagai Bartender yang baik, kamu harus mengusai dua hal:
(1) Meracik minuman sembari Jugling, (2)
Kemampuan meracik minuman kreasi sendiri dengan taste memikat”. Pesan dasar
yang selalu diingat Jamilah ketika di karantina. Ia dilatih berbagai hal.
Berlatih Bottle Juggling dan Flair
Bartending atau suatu ilmu ketangkasan, kecepatan dan ketepatan dalam
memainkan botol pada atraksi di Bartending.
Selama
seminggu dikarantina akhirnya Jamilah sedikit-banyak tahu apa yang musti
dilakukan sebagai sorang Bartender profesional. Meskipun latar belakang seorang
perempuan, atau asalnya dari kampung, lulusan Madrasah, Ia tidak mengindahkan
hal itu, Ia hanya bekerja sesuai prosedur dan kemampuannya.
Pada dentum suara musik disko yang lincah, dan gelamor lampu
pelangi menari-nari, Jamilah tampil nyentrik menghibur penonton dengan gaya,
gerak, dan olah tubuh yang serasi diiringi lempar botol, dan tarian ringan
mengimbangi musik jingkrak. Semua penonton terperangah, sorot mata mereka
menukik tajam pada Jamilah. Kemunculannya, begitu cantik, seksi, dan modis, Ia
pula adalah gadis Bartender pertama di “The Rock Bar” pendahulunya lelaki
semua. Sungguh malam perdana yang memuaskan.
***
Malam minggu, malam istimewa bagi sebagian orang, malam ini pun
malam yang tak mungkin dilupakan Jamilah, malam ke tiga puluh Ia bekerja di
bar, malam untuk gaji pertamanya, sungguh tak bisa dibayangkan bagaimana Ia
dapat rupiah dari perasan keringatnya sendiri.
Semakin cepat waktu beranjak, Jamilah diam-diam terus
menyusur kehidupan yang membaja, Ia begitu tegak melumat segala hal di
perantauan, Ia pula kini hidup berkecukupan, Ia telah menambah boming “The Rock Bar”, banyak gelayar
tamu baru ke bar itu, Mereka hanya ingin menonton aksi Jamilah memintal dan
memainkan botol, atau sekedar merasakan keunikan minuman yang Jamilah racik.
Sungguh tak bisa disangka, Ia telah mampu menyembuhkan
penyakit Ibunya, Ia juga menjadi buah bibir sekampung, Ia pula yang menggusur
pandangan umum, kalau sukses itu tidak hanya tumbuh dari bangku sekolahan.
Kutub, Maret 2014.
0 komentar:
Posting Komentar