Google.com |
Pada tahun 2004, kita
masih ingat dengan kesuksesan novel Ayat-ayat Cinta (AAC) yang
berhasil menembus angka penjualan lebih dari 400.000 eksemplar. Bahkan ketika
novel ini diangkat ke layar lebar, jutaan orang yang menonotonnya terjerembab
ke dalam kubang emosi karena tokoh Fahri yang digambarkan sebagai laki-laki
tanpa cela, tak pernah salah, apalagi berdosa. Habiburrahman El-Syirazi, Sang
pengarang, bahkan terheran-heran dengan hal itu, karena sebelum novel itu naik
cetak, ia sangat pesimis ketika pertama kali menyodorkan naskah kepada Ahmadun
Yosi Herfanda, redaktur sastra harian Republika.
Setelah kemuculan novel maha best seller itu,
maka tak ayal kalau Damhuri Muhammad menyebutnya sebagai “sindrom ayat-ayat
cinta” dalam buku kumpulan esainya (Darah-daging Sastra Indonesia). Barangkali
karena novel itu pula, banyak berhamburan novel-novel yang berjenis kelamin
sama, bahkan judul dan nama pengarangnya ikut-ikutan. Salah satunya bait-bait
cinta (2008) karya Geidurrhman El Mishry yang penjualannya menembus
angka 35.000 eksemplar, buku keduanya Langit Mekah Berkabut Merah
(2008). Setali tiga mata uang, ketiga novel tersebut sama-sama mengambil setting tempat
di Kairo (Mesir), kisah mahasiswa Indonesia, dengan nama tokoh yang juga hampir
mirip “Fahri dan Firdaus”.
Namun dalam hal ini, saya tidak akan menyoroti
kegemilangan Ayat-Ayat Cinta dalam meraup keuntungan, atau
bahkan menyoroti berbagai elemen di balik layar atas lahirnya novel
tersebut. Tapi bagaimana substansi dan tema yang ditawarkan sastra
yang bergenre religi/islami, posisinya diantara berjibun karya sastra populer
dan sekuler.
Karya sastra religi atau religiusitas kesusastraan,
adalah karya sastra yang di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam
kaitannya dengan dimensi transendental. Sastra religi selalu membicarakan
persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian,
yang berpuncak kepada Tuhan melaui lubuk hati terdalam kemanusiaannya.
Sastrawan religi yang mempunyai semangat religius
menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran (realitas alam
dan realitas budaya), hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan
yang lebih hakiki. Gejala lahiriah ini adalah alamat (ayat) Tuhan, yang harus
dibaca dan dihayati secara mendalam, sebab tidak ada suatu realitas pun jika ia
tidak ilahiah. Hal ini merupakan penjabaran dari Laa ilaaha illallah.
Untuk itulah penyair Sutardji Calzoum Bachri menulis sajak “Walau” yang saya
kutib sedikit: “Walau penyair besar takkan sampai sebaas Allah/ dulu pernah
kuminta tuhan dalam diri, sekarang tak/ kalau mati, mungkin matiku bagai batu
tamat bagai pasir tamat, jiwa membumbung dalam baris sajak”.
Sastrawan yang setia dengan tema religi atau sastrawan
profetik banyak sekali jumlahnya, misalkan sekaliber pujangga Jalaluddin Rumi,
Mohammad Iqbal, Fahruddin Iraqi, Imam al-Busyiri, Hafiz, Fariduddin Attar, Abdurrahman Jami’, Naquib
Mahfudz, Yasraf Fayyad. Dan di tanah air sekelas Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M.,
Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, K.H.A. Mustofa Bisri, Hamzah Fansuri, Raja
Ali Haji, Kuntowijo dan K. Kuswaidi Syafi’e. Karya-karya mereka pun begitu
membekas dan pembaca ingin selalu mengulang membaca. Dan yang paling urgent mereka
menggunakan label “religi” tidak hanya berputar-putar pada objek bahasan
tentang perkawinan, percintaan, dan kata assalamualaikum. Ini
yang sangat dirindukan kita saat ini, ketika masa yang serba hedonis,
kapitalis, dan praktis.
Memang ketika berkunjung ke toko buku, saya banyak
menjumpai karya sastra religi di rak-rak buku, dan saya tahu kalau
sastra religi sudah mendapat tempat mulia di hati pembaca tanah air. Apakah
saya gembira atau terkejut?, jawabannya; saya terkejut. Karena pasca kemunculan
Novel Ayat-ayat Cinta beberapa tahun lalu, nyatanya banyak
sekali karya sastra pengekor, dengan penulis-penulis baru yang begitu rapi
menuliskannya. Tapi ketakjuban saya tiba-tiba memudar, ketika saya perhatikan
semua yang bertemakan religi itu berhaluan romantik, dan populer, sehingga
terkesan agak klise. Tak ayal kalau pelukis kondang Hardi menyebut “kalau mau
disebut karya islami maka cukup diekspresikan dengan banyaknya kata assalamualaikum,
dan kalau di film ditampilkan dengan pemakaian perempuan berjilbab, lelaki berbaju
koko serta mengenakan sarung”.
Syahdan, karya sastra religi memang terlihat stagnan
dan tidak ada pembaruan yang segar. Setelah novel Robonya
Surau Kami, Khotbah Di Atas Bukit, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, dan Ayat-ayat
Cinta yang fenominal itu, sekarang belum ada lagi yang mampu
menyamainya. Tapi kita tak boleh putus harapan, kelak pasti ada
lawan tanding yang mampu merobohkan dominasi itu.
Untuk sampai pada maqam itu, alangkah
baiknya kita harus merestorai kembali budaya literasi kita ke arah yang lebih
baik. Misalkan dari sekarang kita akrapkan anak cucu kita dengan sastra, entah
mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi sekalipun. Melihat gejolak
tersebut, kita juga membutuhkan seorang kritikus-kritikus sastra religi untuk
lebih mengapresiasi karya sastra religi. Pun juga dalam dunia akademis, sampai
sekarang belum ada fakultas atau mata kuliah khusus tentang sastra religi.
Adanya fakta ini menandakan bahwa sastra religi di dalam dunia pendidikan
Indonesia masih disepelekan atau dianggap bukan sebuah main strean.
Kalau berkaca pada negara sebelah, seperti Malaysia,
Turki, dan Mesir, sastra religi sudah dijadikan pelajaran atau kajian yang
khusus. Bahkan, di negara itu sekarang sudah ada jurusan pascasarjana dan
doktor sastra islam. Padahal kalau flash back pada sejarah
nusantara, sastra religi itu sudah ada sejak Bahasa Indonesia masih menjadi
Bahasa Melayu. Sejak masa itu sastra Melayu selalu dekat dengan kalangan ulama.
Bahkan, ulama itulah yang sejak dahulu menulis sastra religi dan memang sudah
diterima masyarakat jamak.
24 Agustus 2016