Rabu, 24 Agustus 2016

Mozaik Sastra Religi

Google.com


Pada tahun 2004, kita masih ingat dengan kesuksesan novel Ayat-ayat Cinta (AAC) yang berhasil menembus angka penjualan lebih dari 400.000 eksemplar. Bahkan ketika novel ini diangkat ke layar lebar, jutaan orang yang menonotonnya terjerembab ke dalam kubang emosi karena tokoh Fahri yang digambarkan sebagai laki-laki tanpa cela, tak pernah salah, apalagi berdosa. Habiburrahman El-Syirazi, Sang pengarang, bahkan terheran-heran dengan hal itu, karena sebelum novel itu naik cetak, ia sangat pesimis ketika pertama kali menyodorkan naskah kepada Ahmadun Yosi Herfanda, redaktur sastra harian Republika. 

Setelah kemuculan novel maha best seller itu, maka tak ayal kalau Damhuri Muhammad menyebutnya sebagai “sindrom ayat-ayat cinta” dalam buku kumpulan esainya (Darah-daging Sastra Indonesia). Barangkali karena novel itu pula, banyak berhamburan novel-novel yang berjenis kelamin sama, bahkan judul dan nama pengarangnya ikut-ikutan. Salah satunya bait-bait cinta (2008) karya Geidurrhman El Mishry yang penjualannya menembus angka 35.000 eksemplar, buku keduanya Langit Mekah Berkabut Merah (2008). Setali tiga mata uang, ketiga novel tersebut sama-sama mengambil setting tempat di Kairo (Mesir), kisah mahasiswa Indonesia, dengan nama tokoh yang juga hampir mirip “Fahri dan Firdaus”.

Namun dalam hal ini, saya tidak akan menyoroti kegemilangan Ayat-Ayat Cinta dalam meraup keuntungan, atau bahkan menyoroti berbagai elemen di balik layar atas lahirnya novel tersebut.  Tapi bagaimana substansi dan tema yang ditawarkan sastra yang bergenre religi/islami, posisinya diantara berjibun karya sastra populer dan sekuler.

Karya sastra religi atau religiusitas kesusastraan, adalah karya sastra yang di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transendental. Sastra religi selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan ditopang nilai kerohanian, yang berpuncak kepada Tuhan melaui lubuk hati terdalam kemanusiaannya.

Sastrawan religi yang mempunyai semangat religius menyadari bahwa gejala-gejala yang tampak oleh mata dan pikiran (realitas alam dan realitas budaya), hanyalah ungkapan lahir atau simbol dari suatu kenyataan yang lebih hakiki. Gejala lahiriah ini adalah alamat (ayat) Tuhan, yang harus dibaca dan dihayati secara mendalam, sebab tidak ada suatu realitas pun jika ia tidak ilahiah. Hal ini merupakan penjabaran dari Laa ilaaha illallah. Untuk itulah penyair Sutardji Calzoum Bachri menulis sajak “Walau” yang saya kutib sedikit: “Walau penyair besar takkan sampai sebaas Allah/ dulu pernah kuminta tuhan dalam diri, sekarang tak/ kalau mati, mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat, jiwa membumbung dalam baris sajak”.

Sastrawan yang setia dengan tema religi atau sastrawan profetik banyak sekali jumlahnya, misalkan sekaliber pujangga Jalaluddin Rumi, Mohammad Iqbal, Fahruddin Iraqi, Imam al-Busyiri, HafizFariduddin Attar, Abdurrahman Jami’, Naquib Mahfudz, Yasraf Fayyad. Dan di tanah air sekelas Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M., Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, K.H.A. Mustofa Bisri, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Kuntowijo dan K. Kuswaidi Syafi’e. Karya-karya mereka pun begitu membekas dan pembaca ingin selalu mengulang membaca. Dan yang paling urgent mereka menggunakan label “religi” tidak hanya berputar-putar pada objek bahasan tentang perkawinan, percintaan, dan kata assalamualaikum. Ini yang sangat dirindukan kita saat ini, ketika masa yang serba hedonis, kapitalis, dan praktis.

Memang ketika berkunjung ke toko buku, saya banyak menjumpai karya sastra religi  di rak-rak buku, dan saya tahu kalau sastra religi sudah mendapat tempat mulia di hati pembaca tanah air. Apakah saya gembira atau terkejut?, jawabannya; saya terkejut. Karena pasca kemunculan Novel Ayat-ayat Cinta beberapa tahun lalu, nyatanya banyak sekali karya sastra pengekor, dengan penulis-penulis baru yang begitu rapi menuliskannya. Tapi ketakjuban saya tiba-tiba memudar, ketika saya perhatikan semua yang bertemakan religi itu berhaluan romantik, dan populer, sehingga terkesan agak klise. Tak ayal kalau pelukis kondang Hardi menyebut “kalau mau disebut karya islami maka cukup diekspresikan dengan banyaknya kata assalamualaikum, dan kalau di film ditampilkan dengan pemakaian perempuan berjilbab, lelaki berbaju koko serta mengenakan sarung”.

Syahdan, karya sastra religi memang terlihat stagnan dan tidak ada pembaruan yang segar. Setelah  novel Robonya Surau Kami, Khotbah Di Atas Bukit, Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, dan Ayat-ayat Cinta yang fenominal itu, sekarang belum ada lagi yang mampu menyamainya. Tapi kita tak boleh putus harapan, kelak pasti  ada lawan tanding yang mampu merobohkan dominasi itu.

Untuk sampai pada maqam itu, alangkah baiknya kita harus merestorai kembali budaya literasi kita ke arah yang lebih baik. Misalkan dari sekarang kita akrapkan anak cucu kita dengan sastra, entah mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi sekalipun. Melihat gejolak tersebut, kita juga membutuhkan seorang kritikus-kritikus sastra religi untuk lebih mengapresiasi karya sastra religi. Pun juga dalam dunia akademis, sampai sekarang belum ada fakultas atau mata kuliah khusus tentang sastra religi. Adanya fakta ini menandakan bahwa sastra religi di dalam dunia pendidikan Indonesia masih disepelekan atau dianggap bukan sebuah main strean.

Kalau berkaca pada negara sebelah, seperti Malaysia, Turki, dan Mesir, sastra religi sudah dijadikan pelajaran atau kajian yang khusus. Bahkan, di negara itu sekarang sudah ada jurusan pascasarjana dan doktor sastra islam. Padahal kalau flash back pada sejarah nusantara, sastra religi itu sudah ada sejak Bahasa Indonesia masih menjadi Bahasa Melayu. Sejak masa itu sastra Melayu selalu dekat dengan kalangan ulama. Bahkan, ulama itulah yang sejak dahulu menulis sastra religi dan memang sudah diterima masyarakat jamak.

24 Agustus 2016


Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com