Tradisi Sekaten dirayakan kembali tahun ini, sebuah momentum luhur yang sangat dinanti masyarakat kota Madya Yogyakarta. Setiap tahunnya limpahan masyarakat memadati area Keraton Yogyakarta. Apalagi pengunjung Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS), yang digelar di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta tak pernah surut setiap malamnya. Dengan semangat religius, historis, dan kultural yang diusungnya, perayaan Sekaten dimaknai sebagai kristalisasi budaya, islamisasi, keramaian, pesta rakyat, hiburan dan menjadi ritual wajib masyarakat Yogyakarta setiap tahunnya.
Tradisi Sekaten berawal dari bangkitnya Islam di Jawa pada abad ke-16. Waktu itu Kerajaan Demak berhasil mengakuisisi kekuasaan di Pulau Jawa setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Dalam perkembangannya, perayaan Sekaten kemudian dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga dan para Walisongo. Para Wali ini berhasil menyatupadukan budaya setempat dengan nilai-nilai keislaman. Utamanya menggunakan kesenian karawitan (Gamelan Jawa) untuk memikat hati masyarakat.
Perayaan Sekaten diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal, tanggal 06 sampai dengan 12, bersamaan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pasar malam Sekaten sendiri berlangsung satu purnama penuh sebelum 12 Rabiul Awal. Selain PMPS, ada rentetan acara didalamnya yang tidak bisa dilewatkan. Seperti; Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan, Numplak Wajik, Kinang (Jawa: nginang), Gunungan atau Gerebeg Maulud, dan makanan-mainan khas Sekaten seperti (telur asin, pecut, celengan, endog abang, gasing), yang kemudian bertranformasi kini menjadi PMPS yang lebih komersial dan hedonis.
Segitiga Sekaten
Sekaten berasal dari kata Syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat, secara simbolik dua kalimat syahadat ini dipresentasikan dalam gamelan Kyai Sekati. Biasanya di sela-sela pagelaran, dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.
Dalam termenologi Walisongo, perayaan Sekaten adalah upaya untuk menyatupadankan antara agama dan budaya setempat (akulturasi). Serta proses islamisasi masyarakat waktu itu yang notabene memeluk agama Hindu. Upacara ini merupakan upaya kreatif Walisongo dalam mentransformasikan upacara Asmaweda, Asmaradana dan Sarada yang dilakukan oleh masyarakat Islam di Pulau Jawa sebelumnya.
Maka dalam syairnya, para wali, terutama Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya sembari memasukkan nilai keislaman. Seperti “semedi” dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja dewa-dewa. Karena Islam tidak mengenal dewa, maka diganti dengan memuja Allah SWT dengan zikir dan sholat. Kedua “sesaji” yang menurut agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan kepada dewa-dewa dan jin, diganti dengan zakat fitrah pada fakir miskin. Ketiga “keramaian” dalam agama hindu mempunyai maksud menghormat dewa-dewa, diganti keramaian menghormati hari raya dan peringatan Islam (Hari Kustanto, 1989)
Proses islamisasi di pulau Jawa oleh Walisongo menggunakan jalan damai, bukan dengan jalan revolusi akan tetapi dengan jalan evolusi, yaitu melalui pendekatan lunak berbasis budaya. Atau menggunakan cara “Tutwuri Angiseni” yakni mengikuti dari belakang sambil mengisi budaya yang telah ada dengan nilai-nilai keislaman. Inilah yang disebut segitiga Sekaten, tiga muatan pokok yang termaktub dari religius, historis, dan kultural.
Simtomatologi
Perayaan Sekaten merupakan pesta rakyat yang selain parade budaya juga merupakan momentum kemenangan Islam Jawa yang nostalgik. Sejak awal diproklamirkan hingga saat ini, tidak disangka perayaan Sekaten mengalami simtomatologi atau perubahan dari masa ke masa. Perayaan sekaten pada masa awal merupakan undangan Sri Sultan kepada Bupati di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menampilkan kesenian, kerajianan dan hasil bumi kabupaten. Pada masa Sultan Hamengkubuwono VIII, sekaten dibuka untuk masyarakat umum tidak hanya masyarakat Yogyakarta saja. Perkembangan selanjutnya Sekaten diorganisir oleh panitia khusus dari pemerintahan Daerah Yogyakarta.
Saat ini kebanyakan masyarakat, terutama kaum pemuda hanya mengetahui Sekaten sebagai tradisi yang rutin digelar tiap tahunnya tanpa mengetahui fungsi dari tiap prosesi di sekaten. Sekaten hanya dikenal dengan keramaian dan hiburan rakyatnya. Padahal Sekaten memiliki filosofi yang mendalam di tiap prosesinya. Dan sekarang tujuan asli Sekaten sebagai media penyebaran agama Islam telah luntur.
Dengan hilangnya pengetahuan tentang Sekaten sebagai media dakwah Islam, masyarakat seperti kekurangan referensi untuk melakukan dakwah-dakwah Islam secara cerdas. Sekaten dibuat oleh para Wali melalui proses berfikir yang cerdas, bagaimana agar Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa yang pada waktu itu menganut agama Hindu.
Tradisi Sekaten berawal dari bangkitnya Islam di Jawa pada abad ke-16. Waktu itu Kerajaan Demak berhasil mengakuisisi kekuasaan di Pulau Jawa setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Dalam perkembangannya, perayaan Sekaten kemudian dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga dan para Walisongo. Para Wali ini berhasil menyatupadukan budaya setempat dengan nilai-nilai keislaman. Utamanya menggunakan kesenian karawitan (Gamelan Jawa) untuk memikat hati masyarakat.
Perayaan Sekaten diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal, tanggal 06 sampai dengan 12, bersamaan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pasar malam Sekaten sendiri berlangsung satu purnama penuh sebelum 12 Rabiul Awal. Selain PMPS, ada rentetan acara didalamnya yang tidak bisa dilewatkan. Seperti; Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan, Numplak Wajik, Kinang (Jawa: nginang), Gunungan atau Gerebeg Maulud, dan makanan-mainan khas Sekaten seperti (telur asin, pecut, celengan, endog abang, gasing), yang kemudian bertranformasi kini menjadi PMPS yang lebih komersial dan hedonis.
Segitiga Sekaten
Sekaten berasal dari kata Syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat, secara simbolik dua kalimat syahadat ini dipresentasikan dalam gamelan Kyai Sekati. Biasanya di sela-sela pagelaran, dilakukan khotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan mengucapkan kalimat Syahadat, sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.
Dalam termenologi Walisongo, perayaan Sekaten adalah upaya untuk menyatupadankan antara agama dan budaya setempat (akulturasi). Serta proses islamisasi masyarakat waktu itu yang notabene memeluk agama Hindu. Upacara ini merupakan upaya kreatif Walisongo dalam mentransformasikan upacara Asmaweda, Asmaradana dan Sarada yang dilakukan oleh masyarakat Islam di Pulau Jawa sebelumnya.
Maka dalam syairnya, para wali, terutama Sunan Kalijaga menggunakan pendekatan budaya sembari memasukkan nilai keislaman. Seperti “semedi” dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja dewa-dewa. Karena Islam tidak mengenal dewa, maka diganti dengan memuja Allah SWT dengan zikir dan sholat. Kedua “sesaji” yang menurut agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan kepada dewa-dewa dan jin, diganti dengan zakat fitrah pada fakir miskin. Ketiga “keramaian” dalam agama hindu mempunyai maksud menghormat dewa-dewa, diganti keramaian menghormati hari raya dan peringatan Islam (Hari Kustanto, 1989)
Proses islamisasi di pulau Jawa oleh Walisongo menggunakan jalan damai, bukan dengan jalan revolusi akan tetapi dengan jalan evolusi, yaitu melalui pendekatan lunak berbasis budaya. Atau menggunakan cara “Tutwuri Angiseni” yakni mengikuti dari belakang sambil mengisi budaya yang telah ada dengan nilai-nilai keislaman. Inilah yang disebut segitiga Sekaten, tiga muatan pokok yang termaktub dari religius, historis, dan kultural.
Simtomatologi
Perayaan Sekaten merupakan pesta rakyat yang selain parade budaya juga merupakan momentum kemenangan Islam Jawa yang nostalgik. Sejak awal diproklamirkan hingga saat ini, tidak disangka perayaan Sekaten mengalami simtomatologi atau perubahan dari masa ke masa. Perayaan sekaten pada masa awal merupakan undangan Sri Sultan kepada Bupati di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menampilkan kesenian, kerajianan dan hasil bumi kabupaten. Pada masa Sultan Hamengkubuwono VIII, sekaten dibuka untuk masyarakat umum tidak hanya masyarakat Yogyakarta saja. Perkembangan selanjutnya Sekaten diorganisir oleh panitia khusus dari pemerintahan Daerah Yogyakarta.
Saat ini kebanyakan masyarakat, terutama kaum pemuda hanya mengetahui Sekaten sebagai tradisi yang rutin digelar tiap tahunnya tanpa mengetahui fungsi dari tiap prosesi di sekaten. Sekaten hanya dikenal dengan keramaian dan hiburan rakyatnya. Padahal Sekaten memiliki filosofi yang mendalam di tiap prosesinya. Dan sekarang tujuan asli Sekaten sebagai media penyebaran agama Islam telah luntur.
Dengan hilangnya pengetahuan tentang Sekaten sebagai media dakwah Islam, masyarakat seperti kekurangan referensi untuk melakukan dakwah-dakwah Islam secara cerdas. Sekaten dibuat oleh para Wali melalui proses berfikir yang cerdas, bagaimana agar Islam dapat diterima oleh masyarakat Jawa yang pada waktu itu menganut agama Hindu.