Rabu, 13 Juli 2016

Dicari, Penerjemah Karya Sastra Andal dan Nakal



Masih lekat  dalam ingatan saya ketika mengikuti dialog sirkus sastra Salihara 11 Maret 2014, waktu itu Penyair Sapardi Joko Damono dan Elisabeth Korah-Go, yang menjadi pengompor suasa dan membahas tentang Faust dalam sastra Malaysia dan Indonesia karya Goethe. Diwaktu yang sama saya mencerna sebuah kata magis yang dilontarkan Sapardi yang isinya begini “Seorang Chairil Anwar menemukan bahasa-bahasa baru nan indah dari pekerjaannya menerjemah, ia seorang penerjemah ulung yang terlampau berani, ia juga penerjemah ngawur yang memeras suatu karya sastra asing kedalam bahasa Indonesia menurut versinya sendiri, melabrak muatan karya sastra aslinya dengan tertejemahannya yang lebih indah, dan Chairil adalah seorang penerjemah pintar, kreatif, dan inovatif ”.


            Sepulang dari dialog itu, kemudian saya terpanggil untuk sedikit menguliti tentang keberadaan seorang penerjemah yang andal dan harus nakal. Apakah segampang khayalan kita untuk menerjemah? Kiat apa yang harus dilalui untuk menerjemah? Ataukah penerjemah memang sudah tiada?.

            Memang dalam menerjemah subuah karya sastra (puisi, prosa, dan novel) memerlukan keberanian dan komitmen yang tinggi, untuk bisa  menghasilkan terjemahan yang bagus dan banyak dikonsumsi orang. Karena menerjemah bukan semudah membalikkan tangan, perlu keahlian khusus untuk mentranformasi teks sastra aslinya ke dalam bahasa kita yang dituju, karena selama ini seperti yang digelisahkan para pendahulu kita mereka mengeluh dan ingin menyudahi pekerjaan itu, dikarenakan sulitnya menerjemah karya sastra yang bagus dan indah.

Apalagi banyak orang memandang sinis dan rendah seorang penerjemah, mereka dianggap sebagai perusak karya asli sastra, karena mereka menerjemah seenaknya tanpa perenungan yang mendalam, bahkan apa yang dilakukan Chairil Anwar jauh lebih berani dan nyeleneh untuk membongkar karya sastra asli dengan bahasanya sendiri yang menurut Sapardi jauh lebih bagus dan indah.

Di sinilah nasib seorang penerjemah dipertaruhkan, mereka harus berjuang hidup ditengah gempuran dan cibiran yang tidak mengenakkan. Padahal kalau ditarik lebih dalam dari tugas pokok seorang penerjemah. Pekerjaan itu adalah suci, merekalah yang berperan penting sebagai jembatan lalu lintas informasi dan juga pengetahuan antar Negara di seluruh dunia. Kita juga bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika tidak ada seorang penerjemah. Kita tidak akan pernah bisa menikmati berbagai macam karya, terutama karya tulis novel, puisi, prosa, dan film, yang berasal dari Negara lain. kita juga mungkin akan terkurung tanpa masukan informasi dari berbagai Negara di seluruh dunia. Dengan adanya penerjemah kita juga bisa menikmati hiburan yaitu berupa film, anime, dan berita yang berbahasa asing.

Meski demikian, tak ada penghormatan yang memadai terhap karya sastra terjemahan. Penghargaan-penghargaan sastra sama sekali tidak meliriknya dan mungkin menganggapnya sepi. Tidak ada undangan khusus kepada penerjemah untuk membincangkan sekaligus mempertanggungjawabkan karya terjemahannya.

Maka imbasnya, para penerjemah karya sastra tidak begitu percaya diri menampakkan wajah. Hal ini terlihat dari jarangnya mereka mencantumkan nama sebagai penerjemah di sampul depan sebuah buku sastra terjemahan. Di antara yang sedikit bisa disebut misalnya NH Dini, Nin Bakdi Soemanto dan A.S. Laksana. Masing-masing ketika menerjemahkan Sampar (Albert Camus), The Name of the Rose (Umberto Eco) dan Daerah Salju (Yasunari Kawabata). Umumnya nama penerjemah tertulis kecil di halaman kredit title. Tanpa riwayat, tanpa penjelasan. Atau sekadar tertera di halaman dalam, dengan nada yang agak malu-malu.

Kecenderungan kedua: penerjemah biasanya tidak memberikan pengantar pengalamannya bergumul dengan teks-teks asing, ikhtiarnya memahami siktaks, diksi dan gaya si pengarang, kesulitan-kesulitan yang dihadapi, berapa lama menerjemah, dan akhirnya sarannya kepada calon pembaca karya terjemahannya, singkatnya semacam “catatan penerjemah”. Pada halaman pertama setelah halaman Romawi sering tiba-tiba kita disuguhkan langsung dengan terjemahan. Gejala ini sesegera mungkin harus kita basmi, karena ditakutkan populasi penerjemah karya sastra akan benar-benar punah, dan jelas efeknya terfokus pada kemunduran khazanah kesusastraan secara jamak.

Hal inilah yang juga digelisahkan Aprinus Salam, yang mengatakan bahwa “pada dasarnya sebuah teks sastra terjemahan adalah sebuah teks sastra sendiri yang sudah berbeda dari teks sastra dalam bahasa aslinya.” Atau bila saya gambarkan lebih lebar sebuah teks sastra terjemahan bukan lagi bagian dari kahzanah sastra asal teks yang diterjemahkan, tetapi ia menjadi bagian dari khazanah sastra dalam bahasa apa teks sastra tersebut diterjemahkan. Jika sebuah novel ditulis dalam bahasa Arab, ia merupakan bagian dari khazanah sastra Arab. Akan tetapi jika novel tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ia menjadi bagian dari khazanah sastra Indonesia. Demikian sebaliknya, jika novel Pramoedya diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Inggris, Rusia, atau Cina. Maka novel Pramoedya menjadi bagian dari khazanah sastra keempat Negara tersebut.

Tapi terserahlah, karena yang penting adalah bagaimana membuat terjemahan yang menarik sehingga memikat untuk dibaca. Ada buku yang bagus, tetapi ketika diterjemahkan ke bahasa lain menjadi jelek. Atau ada buku yang mungkin tidak begitu bagus, tetapi setelah diterjemahkan ke satu bahasa tertentu justru menjadi bagus. Saya secara relatif memilih yang kedua. Artinya cara dan kreativitas menerjemahkankan lebih penting dari persoalan teknis menerjemahkan.

Menerjemahkan mungkin bukan pekerjaan mudah, tapi membuat terjemahan yang menarik dan memikat pasti jauh lebih sulit. Dan yang perlu diingat, penerjemah andal berangkat dari menerjemah secara nakal.








Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com