Masih lekat
dalam ingatan saya ketika mengikuti dialog sirkus sastra Salihara 11
Maret 2014, waktu itu Penyair Sapardi Joko Damono dan Elisabeth Korah-Go, yang
menjadi pengompor suasa dan membahas tentang Faust dalam sastra Malaysia dan
Indonesia karya Goethe. Diwaktu yang sama saya mencerna sebuah kata magis yang
dilontarkan Sapardi yang isinya begini “Seorang Chairil Anwar menemukan
bahasa-bahasa baru nan indah dari pekerjaannya menerjemah, ia seorang
penerjemah ulung yang terlampau berani, ia juga penerjemah ngawur yang memeras
suatu karya sastra asing kedalam bahasa Indonesia menurut versinya sendiri,
melabrak muatan karya sastra aslinya dengan tertejemahannya yang lebih indah,
dan Chairil adalah seorang penerjemah pintar, kreatif, dan inovatif ”.
Sepulang
dari dialog itu, kemudian saya terpanggil untuk sedikit menguliti tentang
keberadaan seorang penerjemah yang andal dan harus nakal. Apakah segampang
khayalan kita untuk menerjemah? Kiat apa yang harus dilalui untuk menerjemah?
Ataukah penerjemah memang sudah tiada?.
Memang dalam menerjemah subuah karya sastra
(puisi, prosa, dan novel) memerlukan keberanian dan komitmen yang tinggi, untuk
bisa menghasilkan terjemahan yang bagus
dan banyak dikonsumsi orang. Karena menerjemah bukan semudah membalikkan
tangan, perlu keahlian khusus untuk mentranformasi teks sastra aslinya ke dalam
bahasa kita yang dituju, karena selama ini seperti yang digelisahkan para
pendahulu kita mereka mengeluh dan ingin menyudahi pekerjaan itu, dikarenakan
sulitnya menerjemah karya sastra yang bagus dan indah.
Apalagi banyak orang memandang
sinis dan rendah seorang penerjemah, mereka dianggap sebagai perusak karya asli
sastra, karena mereka menerjemah seenaknya tanpa perenungan yang mendalam,
bahkan apa yang dilakukan Chairil Anwar jauh lebih berani dan nyeleneh untuk
membongkar karya sastra asli dengan bahasanya sendiri yang menurut Sapardi jauh
lebih bagus dan indah.
Di sinilah nasib seorang
penerjemah dipertaruhkan, mereka harus berjuang hidup ditengah gempuran dan
cibiran yang tidak mengenakkan. Padahal kalau ditarik lebih dalam dari tugas
pokok seorang penerjemah. Pekerjaan itu adalah suci, merekalah yang berperan
penting sebagai jembatan lalu lintas informasi dan juga pengetahuan antar
Negara di seluruh dunia. Kita juga bisa membayangkan, apa yang akan terjadi
jika tidak ada seorang penerjemah. Kita tidak akan pernah bisa menikmati
berbagai macam karya, terutama karya tulis novel, puisi, prosa, dan film, yang
berasal dari Negara lain. kita juga mungkin akan terkurung tanpa masukan
informasi dari berbagai Negara di seluruh dunia. Dengan adanya penerjemah kita
juga bisa menikmati hiburan yaitu berupa film, anime, dan berita yang berbahasa
asing.
Meski demikian, tak ada
penghormatan yang memadai terhap karya sastra terjemahan.
Penghargaan-penghargaan sastra sama sekali tidak meliriknya dan mungkin
menganggapnya sepi. Tidak ada undangan khusus kepada penerjemah untuk
membincangkan sekaligus mempertanggungjawabkan karya terjemahannya.
Maka imbasnya, para penerjemah
karya sastra tidak begitu percaya diri menampakkan wajah. Hal ini terlihat dari
jarangnya mereka mencantumkan nama sebagai penerjemah di sampul depan sebuah
buku sastra terjemahan. Di antara yang sedikit bisa disebut misalnya NH Dini,
Nin Bakdi Soemanto dan A.S. Laksana. Masing-masing ketika menerjemahkan Sampar
(Albert Camus), The Name of the Rose (Umberto Eco) dan Daerah
Salju (Yasunari Kawabata). Umumnya nama penerjemah tertulis kecil di
halaman kredit title. Tanpa riwayat, tanpa penjelasan. Atau sekadar tertera di
halaman dalam, dengan nada yang agak malu-malu.
Kecenderungan kedua: penerjemah
biasanya tidak memberikan pengantar pengalamannya bergumul dengan teks-teks
asing, ikhtiarnya memahami siktaks, diksi dan gaya si pengarang,
kesulitan-kesulitan yang dihadapi, berapa lama menerjemah, dan akhirnya
sarannya kepada calon pembaca karya terjemahannya, singkatnya semacam “catatan
penerjemah”. Pada halaman pertama setelah halaman Romawi sering tiba-tiba kita
disuguhkan langsung dengan terjemahan. Gejala ini sesegera mungkin harus kita
basmi, karena ditakutkan populasi penerjemah karya sastra akan benar-benar
punah, dan jelas efeknya terfokus pada kemunduran khazanah kesusastraan secara
jamak.
Hal inilah yang juga
digelisahkan Aprinus Salam, yang mengatakan bahwa “pada dasarnya sebuah teks
sastra terjemahan adalah sebuah teks sastra sendiri yang sudah berbeda dari
teks sastra dalam bahasa aslinya.” Atau bila saya gambarkan lebih lebar sebuah
teks sastra terjemahan bukan lagi bagian dari kahzanah sastra asal teks yang
diterjemahkan, tetapi ia menjadi bagian dari khazanah sastra dalam bahasa apa
teks sastra tersebut diterjemahkan. Jika sebuah novel ditulis dalam bahasa
Arab, ia merupakan bagian dari khazanah sastra Arab. Akan tetapi jika novel
tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, ia menjadi bagian dari
khazanah sastra Indonesia. Demikian sebaliknya, jika novel Pramoedya
diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Inggris, Rusia, atau Cina. Maka novel Pramoedya
menjadi bagian dari khazanah sastra keempat Negara tersebut.
Tapi terserahlah, karena yang
penting adalah bagaimana membuat terjemahan yang menarik sehingga memikat untuk
dibaca. Ada buku yang bagus, tetapi ketika diterjemahkan ke bahasa lain menjadi
jelek. Atau ada buku yang mungkin tidak begitu bagus, tetapi setelah
diterjemahkan ke satu bahasa tertentu justru menjadi bagus. Saya secara relatif
memilih yang kedua. Artinya cara dan kreativitas menerjemahkankan lebih penting
dari persoalan teknis menerjemahkan.
Menerjemahkan mungkin bukan
pekerjaan mudah, tapi membuat terjemahan yang menarik dan memikat pasti jauh
lebih sulit. Dan yang perlu diingat, penerjemah andal berangkat dari menerjemah
secara nakal.
0 komentar:
Posting Komentar