Sabtu, 20 Agustus 2016

Inspirasi Para Pesohor

Google.com


Saya masih ingat petuah Joni Ariadinata ketika mengisi kelas menulis di Lesehan Sastra Kutub Yogykarta (LSKY) 11 agustus 2016 lalu. Isinya begini: “mempelajari ilmu terbang itu hanya butuh waktu lima menit, tapi tidak sekejap itu kalau mau belajar menulis, butuh kesabaran, kesabaran, dan kesabaran.” Waktu itu kami laksana diadili di ruang sidang, padahal beliau belum beranjak jauh membahas tentang semak belukarnya dunia penulisan cerpen, sontak semangat 45 kami untuk belajar menulis meredup tiba-tiba diawal perjumpaan. “saya dulu tukang bangunan, tukang becak, bahkan pengamen. Tapi sebutir debu-pun semangat saya tidak luntur, karena saya takut kalau tidak jadi penulis, tali gantungan di kamar kosku itu akan melilitku” tambahnya membakar suasana.

Iya, Joni Ariadinata memang memasang tali gantungan di kamar kos-nya yang setiap saat dipandangi kalau tiba-tiba beliau malas membaca buku dan menulis. Hingga pada akhirnya angin pencerahan berhembus, ketika cerpen pertamanya dimuat di Surabaya Post setelah satu tahun berproses dan memelototi tali gantungan itu. Bahkan cerpen keduanya (Lampor) langsung dimuat di harian koran Kompas, dan menjadi cerpen terbaik pilihan kompas 1994. Tiga tahun kemudian beliau mendapat penghargaan sebagai cerpenis terbaik nasional versi BSMI atas cerpennya berjudul Keluarga Muridku. Selanjutnya kediriannya sebagai seorang penulis mulai ditemukan, menempatkan dirinya sebagai individu yang otonom diantara ribuan cerpenis lainnya yang memiliki karakter dan rasa berbeda-beda dalam karyanya.

Perjuangan dan kesabaran yang sama juga dirasakan penulis Norwegia Knut Hamsun. Betapa tidak, dalam menulis novel Hunger (Lapar) ia berkisah tentang dirinya sendiri yang luntang-lantung diterpa badai dan dihempas ombak. Novel yang semi-autobiografi itu berkisah tentang seorang penulis muda maha miskin dan selalu kelaparan. Setiap hari ia mengelandang di jalanan Kota Christiania Norwegia karena tidak mampu bayar sewa kamar dan membeli makanan. Namun kesengkarutan hidupnya itu tidak membikin ia lupa bahwa ia seorang penulis, sehingga ia menulis berbagai genre tulisan untuk dikirimkan ke koran dan majalah untuk sesuap nasi dan bayar sewa kamar.

Tapi gayung bersambut, dan matahari seolah bersinar begitu cerah pagi ini. Memang tokoh dalam novel (Lapar) tetap meradang hinggga akhir cerita, tapi nasib Knut Hamsun (si penulis) berbanding terbalik. Walau di awal berdarah-darah untuk sebuah keabadian karya, ia mengakhiri cerita pedih hidupnya dengan bahagia “happy ending”. Novel Lapar-nya terjual hingga dua juta eksemplar dalam sekejap, dan meskipun terkesan seperti kisah 1001 malam, tanpa dinyana ia mendapatkan hadiah nobel sastra pada tahun 1920.

Hal yang sama juga dirasakan sang ibu penyihir Harry Potter (JK Rowling), wanita kelahiran Kota Chipping Sodbury, dekat Bristol, Inggris. Ia benar-benar berangkat dari nol dalam menyusun karir kepenulisannya, meski dari kecil ia sudah suka menulis, tapi kenyataan bersuara lain. Ia tergolong orang miskin yang sangat layak mendapat santunan, bahkan pemerintah Inggris sempat mengulurkan tangannya untuk membantu Rowling.

Kisah hidupnya semakin dramatis ketika ia harus menjadi single parent dalam mengurus buah hatinya. Ia bercerai dari suami pertamanya dan terpaksa harus hidup pas-pasan dengan ekonomi yang sangat buruk. Tapi justru kemiskinan itulah yang membuatnya tetap terpacu dan terbakar untuk tetap bangkit. Akhirnya ia kemudian terpacu untuk menyelesaikan naskah novel yang telah lama ia telantarkan.

Ia mendapat ide menulis tentang kisah penyihir berkacamata itu dalam sebuah perjalanan di kereta dari Manchester ke London. Dari perjalanan itu, entah mengapa tiba-tiba ia mendapat ide untuk memulai kisah Harry Potter yang diberinya judul Philosopher’s Stone tahun 1990. Akhirnya pada tahun 1995 ia berhasil menyelsaikan buku pertamanya. Tapi karena sangat miskin, ia terpaksa mengetik ulang naskah hingga beberapa rangkap dengan mesin ketik tua manual yang murah. Ia pun mengirimkan ke beberapa penerbit tapi naskahnya selalu ditolak, hingga pada penerbit ke sembilan (Bloomsbury) ia baru bisa merasakan naskahnya nampang di toko buku. JK Rowling mendapat uang muka sebesar 2500 euro untuk anak imajinasinya itu. Dan pada 30 juni 1997 novel Harry Potter and The Philosopher’s (seri pertama Harry Potter) diterbitkan di Britania Raya. Dan 01 september 1998, novel ini diterbitkan di Amerika oleh penerbit Scholastic dengan Harry Potter and The Sorcerer’s Stone.

Masih banyak pesohor lainnya yang tak kalah dramatis dari yang saya hidangkan di atas, namun yang menjadi catatan adalah: Di balik kisah sukses tokoh tentu ada perjuangan berdarah-darah sebelum ia bisa mendongakkan kepala, membusungkan dada dan berteriak “akulah penguasa semesta”. Apapun profesinya dan apapun pekerjaannya yang terpenting adalah sabar, tekun, dan jaga irama “semangat” untuk tetap pada porosnya.

Telah banyak dibuka kelas, sekolah menulis, bahkan jurusan sastra di muka bumi ini, dan ribuan bakal calon penulis berduyun-duyun mendafatar dan ikut semua rangkai kegiatannya. Memang ketika  disemangati dan diberikan materi tentang kepenulisan peserta yang ikut sudah merasa “jadi penulis” karena saking mudahnya sang mentor nyerocos tentang mudahnya menulis. Tapi toh ketika kelas itu selesai, semua bubar dan kembali ke rumah masing-masing, ternyata teori-teori itu tidak ada gunanya. Bahkan untuk memulai satu kalimatpun terasa menarik kereta dan memikul traktor. Saya selalu ingat kata rekan saya Daruz Armedian: “sastra bukan untuk diajarkan, tapi sastra untuk dipelejari.”

Dalam sepak bola saja, kita mengenal Cristiano Ronaldo yang tampan bin jangkung itu. Ketika shooting iklan selama satu minggu atau satu hari sekalipun, ia harus disiapkan peralatan fitnes di tempat pengambilan gambar. Karena ia memiliki kometmen “dimanapun berada, saya tetap harus menjaga fisik dan stamina” maka diumurnya yang menjelang uzur dalam usia rata-rata sepak bola, ternyata CR-7 itu masih dapat tampil sempurna di tengah lapangan, dan mendapat berbagai prestasi invidu dan klub yang begitu melimpah. Leonel Messi juga demikian, dia sempat kena penyakit Defisiensi Hormon Pertumbuhan (GHD) ketika usia 11 tahun, dan membuatnya kekurangan hormon dan tubuhnya tidak berkembang, tidak proposional untuk tubuh seorang atlet. Tapi lihat prestasi Messi sekarang dengan empat kali sebagai pemain terbaik Ballon D’Or-nya.

Tak ada kata instan dalam berproses, dan tak ada kata menyerah untuk sang penakluk. Mereka yang telah bertengger di atas itu memulai dari bawah, untuk naik ke atas kan dimulai dari bawah. Tapi jangan terlalu lama berdiaspora di bawah, karena teman kita sudah memanjat.


Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com