Google.com |
Saya masih ingat petuah Joni Ariadinata ketika mengisi
kelas menulis di Lesehan Sastra Kutub Yogykarta (LSKY) 11 agustus 2016 lalu.
Isinya begini: “mempelajari ilmu terbang itu hanya butuh waktu lima menit, tapi
tidak sekejap itu kalau mau belajar menulis, butuh kesabaran, kesabaran, dan
kesabaran.” Waktu itu kami laksana diadili di ruang sidang, padahal beliau
belum beranjak jauh membahas tentang semak belukarnya dunia penulisan cerpen,
sontak semangat 45 kami untuk belajar menulis meredup tiba-tiba diawal
perjumpaan. “saya dulu tukang bangunan, tukang becak, bahkan pengamen. Tapi
sebutir debu-pun semangat saya tidak luntur, karena saya takut kalau tidak jadi
penulis, tali gantungan di kamar kosku itu akan melilitku” tambahnya membakar
suasana.
Iya, Joni Ariadinata memang memasang tali gantungan di
kamar kos-nya yang setiap saat dipandangi kalau tiba-tiba beliau malas membaca
buku dan menulis. Hingga pada akhirnya angin pencerahan berhembus, ketika
cerpen pertamanya dimuat di Surabaya Post setelah satu tahun berproses dan
memelototi tali gantungan itu. Bahkan cerpen keduanya (Lampor) langsung dimuat
di harian koran Kompas, dan menjadi cerpen terbaik pilihan kompas 1994. Tiga
tahun kemudian beliau mendapat penghargaan sebagai cerpenis terbaik nasional
versi BSMI atas cerpennya berjudul Keluarga Muridku. Selanjutnya
kediriannya sebagai seorang penulis mulai ditemukan, menempatkan dirinya
sebagai individu yang otonom diantara ribuan cerpenis lainnya yang memiliki
karakter dan rasa berbeda-beda dalam karyanya.
Perjuangan dan kesabaran yang sama juga dirasakan
penulis Norwegia Knut Hamsun. Betapa tidak, dalam menulis novel Hunger (Lapar)
ia berkisah tentang dirinya sendiri yang luntang-lantung diterpa badai dan
dihempas ombak. Novel yang semi-autobiografi itu berkisah tentang seorang
penulis muda maha miskin dan selalu kelaparan. Setiap hari ia mengelandang di
jalanan Kota Christiania Norwegia karena tidak mampu bayar sewa kamar dan
membeli makanan. Namun kesengkarutan hidupnya itu tidak membikin ia lupa bahwa
ia seorang penulis, sehingga ia menulis berbagai genre tulisan untuk dikirimkan
ke koran dan majalah untuk sesuap nasi dan bayar sewa kamar.
Tapi gayung bersambut, dan matahari seolah bersinar
begitu cerah pagi ini. Memang tokoh dalam novel (Lapar) tetap meradang hinggga
akhir cerita, tapi nasib Knut Hamsun (si penulis) berbanding terbalik. Walau di
awal berdarah-darah untuk sebuah keabadian karya, ia mengakhiri cerita pedih
hidupnya dengan bahagia “happy ending”. Novel Lapar-nya terjual hingga
dua juta eksemplar dalam sekejap, dan meskipun terkesan seperti kisah 1001
malam, tanpa dinyana ia mendapatkan hadiah nobel sastra pada tahun 1920.
Hal yang sama juga dirasakan sang ibu penyihir Harry
Potter (JK Rowling), wanita kelahiran Kota Chipping Sodbury, dekat Bristol,
Inggris. Ia benar-benar berangkat dari nol dalam menyusun karir kepenulisannya,
meski dari kecil ia sudah suka menulis, tapi kenyataan bersuara lain. Ia
tergolong orang miskin yang sangat layak mendapat santunan, bahkan pemerintah
Inggris sempat mengulurkan tangannya untuk membantu Rowling.
Kisah hidupnya semakin dramatis ketika ia harus
menjadi single parent dalam mengurus buah hatinya. Ia bercerai
dari suami pertamanya dan terpaksa harus hidup pas-pasan dengan ekonomi yang
sangat buruk. Tapi justru kemiskinan itulah yang membuatnya tetap terpacu dan
terbakar untuk tetap bangkit. Akhirnya ia kemudian terpacu untuk menyelesaikan
naskah novel yang telah lama ia telantarkan.
Ia mendapat ide menulis tentang kisah penyihir
berkacamata itu dalam sebuah perjalanan di kereta dari Manchester ke London.
Dari perjalanan itu, entah mengapa tiba-tiba ia mendapat ide untuk memulai
kisah Harry Potter yang diberinya judul Philosopher’s Stone tahun
1990. Akhirnya pada tahun 1995 ia berhasil menyelsaikan buku pertamanya. Tapi
karena sangat miskin, ia terpaksa mengetik ulang naskah hingga beberapa rangkap
dengan mesin ketik tua manual yang murah. Ia pun mengirimkan ke beberapa
penerbit tapi naskahnya selalu ditolak, hingga pada penerbit ke sembilan
(Bloomsbury) ia baru bisa merasakan naskahnya nampang di toko buku. JK Rowling
mendapat uang muka sebesar 2500 euro untuk anak imajinasinya itu. Dan pada 30
juni 1997 novel Harry Potter and The Philosopher’s (seri
pertama Harry Potter) diterbitkan di Britania Raya. Dan 01 september 1998,
novel ini diterbitkan di Amerika oleh penerbit Scholastic dengan Harry
Potter and The Sorcerer’s Stone.
Masih banyak pesohor lainnya yang tak kalah dramatis
dari yang saya hidangkan di atas, namun yang menjadi catatan adalah: Di balik
kisah sukses tokoh tentu ada perjuangan berdarah-darah sebelum ia bisa
mendongakkan kepala, membusungkan dada dan berteriak “akulah penguasa semesta”.
Apapun profesinya dan apapun pekerjaannya yang terpenting adalah sabar, tekun,
dan jaga irama “semangat” untuk tetap pada porosnya.
Telah banyak dibuka kelas, sekolah menulis, bahkan
jurusan sastra di muka bumi ini, dan ribuan bakal calon penulis berduyun-duyun
mendafatar dan ikut semua rangkai kegiatannya. Memang ketika disemangati
dan diberikan materi tentang kepenulisan peserta yang ikut sudah merasa “jadi
penulis” karena saking mudahnya sang mentor nyerocos tentang
mudahnya menulis. Tapi toh ketika kelas itu selesai, semua
bubar dan kembali ke rumah masing-masing, ternyata teori-teori itu tidak ada
gunanya. Bahkan untuk memulai satu kalimatpun terasa menarik kereta dan memikul
traktor. Saya selalu ingat kata rekan saya Daruz Armedian: “sastra bukan untuk
diajarkan, tapi sastra untuk dipelejari.”
Dalam sepak bola saja, kita mengenal Cristiano Ronaldo
yang tampan bin jangkung itu. Ketika shooting iklan selama
satu minggu atau satu hari sekalipun, ia harus disiapkan peralatan fitnes di
tempat pengambilan gambar. Karena ia memiliki kometmen “dimanapun berada, saya
tetap harus menjaga fisik dan stamina” maka diumurnya yang menjelang uzur dalam
usia rata-rata sepak bola, ternyata CR-7 itu masih dapat tampil sempurna di
tengah lapangan, dan mendapat berbagai prestasi invidu dan klub yang begitu
melimpah. Leonel Messi juga demikian, dia sempat kena penyakit Defisiensi
Hormon Pertumbuhan (GHD) ketika usia 11 tahun, dan membuatnya kekurangan hormon
dan tubuhnya tidak berkembang, tidak proposional untuk tubuh seorang atlet.
Tapi lihat prestasi Messi sekarang dengan empat kali sebagai pemain terbaik
Ballon D’Or-nya.
Tak ada kata instan dalam berproses, dan tak ada kata
menyerah untuk sang penakluk. Mereka yang telah bertengger di atas itu memulai
dari bawah, untuk naik ke atas kan dimulai dari bawah. Tapi jangan terlalu lama
berdiaspora di bawah, karena teman kita sudah memanjat.