Google.com |
Ibnu Haitham lahir di Basra (salah satu sentra ilmu di
Iraq) pada tahun 965 M, ia dikenal sebagai ilmuan muslim Polymath,
yaitu seorang pakar yang mengusai berjibun bidang ilmu: filsafat, matematika,
fisika, falak, geometri, pengobatan, dan secara serius mengkaji seluk-beluk
ilmu optik. Ia telah menginspirasi ahli sains barat seperti Roger Bacon dan
Joseph Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop, dan siapa sangka ia
pula yang menemukan kamera pertama kali di jagat semesta ini.
Adalah kamera obscura temuannya. Kamera sebesar kulkas
itu ditemukan Ibnu Haitham ketika mempelajari gerhana matahari. Ia terinspirasi
oleh bulan, kamera (Qumroh dalam Bahasa Arab) itu ibarat kamar kecil yang semua
sudutnya tertutup rapat tak ada cahaya sama sekali, hanya ada lubang kecil
didepannya. Dan dengan lubang itu cahaya akan masuk kemudian menyimpan bayangan
yang terbayang masuk oleh cahaya ke dalam kamera yang didalamnya sudah
disediakan media untuk menyimpan bayangan tersebut.
Jadi ibarat bulan yang bersinar ditengah kegelapan,
pun demikian kamera yang gelap kemudian ada cahaya kecil yang masuk kedalamnya
dan menyimpan obyek yang terbawa oleh cahaya tersebut. Kajian ilmu optik berupa
kamera obscura itulah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini digunakan
seluruh umat manusia. Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan
sebagai “ruang gelap”.
Kamera obscura pun diperkenalkan di Barat sekitar abad
ke-16 M, lima abad setelah penemuan kamera obscura. Adalah Cardano Geronimo
(1501-1576 M) dan Joseph Kepler (1571-1630 M), yang terpengaruh oleh pemikiran
Ibnu Haitham ketika menguliti kitab al-Manazir (buku optik) karya Ibnu Haitham,
keduanya tambah yakin kalau kamera kelak akan digandrungi banyak orang.
Geronimo mulai mengembangkan kamera obscura seperti mengganti lubang bidik
lensa dengan lensa (camera), Kepler meningkatkan fungsi kamera itu dengan
menggunakan lensa negatif di belakang lensa positif, sehingga dapat memperbesar
proyeksi gambar meskipun jarak jauh.
Di Tahun 1855 kamera obscura mulai memiliki dwifungsi,
Roger Fenton menggunakan plat kaca negatif untuk mengambil gambar dari tentara
Inggris selama perang Crimean. Bahkan sebuah versi kamera obscura temuan Ibnu
Haitham itu ikut andil dalam perang dunia I untuk melihat pesawat terbang, dan
pengukuran kinerja pada perang dunia II, dan kamera obscura juga digunakan
untuk memeriksa keakuratan navigasi perangkat radio.
Dengan gelinding zaman yang terus berubah, fungsi dan
kecanggihan kamera juga terus mengalami pembaruan dan make over,
dari kamera obscura kemudian lahir kamera daguerreotypes dan calotypes, lahir lagi
dry paltes, kemudian kodak dan film, lalu compact camera dan canon, lalu TLRs,
SLRs dan nikon, lalu kamera analog, dan yang paling mutakhir yakni kamera
digital: DSLR serta kamera ponsel yang menempel manja di depan-belakang telpon
pintar kita saat ini.
Kecanggihan kamera dari zaman ke zaman ternyata
menyisahkan kisah memilukan, saat ini kamera tak hanya difungsikan sebagai
perangkat pesawat tempur, tak hanya digunakan sebagai senjata para jurnalis,
atau sebagai alat mata-mata istana kepresidenan. Tapi sekarang kamera digunakan
sebagai media narsisme individual yang begitu menjamur di permukaan bumi ini,
untuk sebuah “eksistensi” para pelaku swafoto (jenis foto potret diri yang
diambil sendiri) rela merogoh kocek mahal untuk sebuah ponsel canggih yang
tentu memiliki kamera dengan hasil jepretan bersih nan terang. Mazhab
selfienisme kalau saya tunjuk mereka yang suka moncongin mulut kalau di depan
kamera.
Fenomena selfie sebanarnya sudah lama
menggelegar di jagat semesta ini, awal mula foto selfie ditemukan
oleh Robet Cornelius yang merupakan seorang berkebangsaan Amerika yang juga
perintis dalam dunia fotografi, dia membuat sebuah ekspresi dirinya sendiri
pada tahun 1839, dimana ini merupakan foto selfie orang
pertama kali. Di zaman itu seorang yang menjepret dirinya juga memakai cermin
untuk menstabilkan kamera baik pada objek dekat atau pada tripod saat framing melalui viewfinder di
bagian atas kotak.
Tak ayal di tahun 1914, fenomena narsisme di depan
kamera juga dilakukan putri kekaisaran Rusia, Anastasia Nikolaevna. Ia adalah
remaja yang diketahui mengambil fotonya sendiri melalui cermin untuk dikirim
kepada temannya. Dalam surat yang dikirim bersama foto itu ia menulis: “Saya
mengambil foto ini menggunakan cermin. Sangat susah dan tangan saya gemetar”.
Sedangkan awal penggunaan kata selfie terjadi
pada tahun 2002. Kata ini pertama kali digaungkan dalam sebuah forum internet
Australia (ABC Online) pada tanggal 13 september 2002. Hingga sedemikian
populernya kata selfie ini, maka pada november tahun 2013 kata selfie secara
resmi tercantum dalam Oxford Dictionary menobatkan kata selfie sebagai Word
of the Year di tahun 2013.
Dari awal dikumandangkannya kata selfie hingga
sekarang, telah banyak menyedot perhatian publik untuk melakukan hal yang sama
seperti dilakukan Anastasia Nikolaevna. Lewat selfie banyak
orang ingin memamerkan baju baru kemudian dilayangkan ke akun sosial media,
sebelum menyantap makanan selfie, mau tidur selfie,
mengendarai mobil selfie, di dalam kamar mandi pun selfie, berkumpul
dengan sahabat di kafe selfie bareng, atau euforia selfie di
tempat pengambilan bekas gambar film Ada Apa dengan Cinta 2 yang
begitu menggoda itu. Di setiap kegiatan tak elok kalau belum menunaikan ibadah selfie.
Saking keranjingan selfie, kita masih
ingat kan dengan Erri Yunanto (mahasiswa Universitas Atmajaya Yogyakarta) yang selfie di
puncak Garuda Merapi, meskipun hasil jepretannya bagus tapi naas ia harus
terjungkal ke kawah merapi sedalam 200 meter, dan tentu nyawanya tak tertolong.
Di negeri Jiran Malaysia, kemalangan juga pernah menimpa Norhayati dan Siti
Yulianis, karena selfie di dalam mobil akhirnya mobil keluar
jalur dan disambar truk yang ada di belakangnya. Innalillahi
wainnnailaihi rojiun. Masih banyak penganut selfienisme yang
berakhir pada kematian, yang tak mungkin saya dijabarkan semua di sini.
Fungsi kamera seperti disebut Susan Sontang dalam
esainya pada 1970-an sebagai peranti untuk merealisasikan dan sebagai bukti
atas pengalaman seseorang, kini harus diragukan. Fungsi kamera yang dulu
sebagai alat perekam sejarah dan begitu suci, serkarang telah kehilangan
marwahnya dan menjadi media narsisme. Kamera tak ubahnya manipulasi virtual
yang tak ditemukan rimbanya, alih fungsi kamera tersebut bahkan menjadi kebahagiaan
semu, walaupun manusia seakan hidup sempurna kalau menumpuk ribuan foto selfie di
telpon pintarnya. Dan saya yakin, Ibnu Haitham akan menangis
sesenggukan kalau tahu pembelokan ini.
19 Agustus 2016