Jumat, 19 Agustus 2016

SELFIENISME

Google.com

Ibnu Haitham lahir di Basra (salah satu sentra ilmu di Iraq) pada tahun 965 M, ia dikenal sebagai ilmuan muslim Polymath, yaitu seorang pakar yang mengusai berjibun bidang ilmu: filsafat, matematika, fisika, falak, geometri, pengobatan, dan secara serius mengkaji seluk-beluk ilmu optik. Ia telah menginspirasi ahli sains barat seperti Roger Bacon dan Joseph Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop, dan siapa sangka ia pula yang menemukan kamera pertama kali di jagat semesta ini.

Adalah kamera obscura temuannya. Kamera sebesar kulkas itu ditemukan Ibnu Haitham ketika mempelajari gerhana matahari. Ia terinspirasi oleh bulan, kamera (Qumroh dalam Bahasa Arab) itu ibarat kamar kecil yang semua sudutnya tertutup rapat tak ada cahaya sama sekali, hanya ada lubang kecil didepannya. Dan dengan lubang itu cahaya akan masuk kemudian menyimpan bayangan yang terbayang masuk oleh cahaya ke dalam kamera yang didalamnya sudah disediakan media untuk menyimpan bayangan tersebut.

 Jadi ibarat bulan yang bersinar ditengah kegelapan, pun demikian kamera yang gelap kemudian ada cahaya kecil yang masuk kedalamnya dan menyimpan obyek yang terbawa oleh cahaya tersebut. Kajian ilmu optik berupa kamera obscura itulah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini digunakan seluruh umat manusia. Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai “ruang gelap”.

Kamera obscura pun diperkenalkan di Barat sekitar abad ke-16 M, lima abad setelah penemuan kamera obscura. Adalah Cardano Geronimo (1501-1576 M) dan Joseph Kepler (1571-1630 M), yang terpengaruh oleh pemikiran Ibnu Haitham ketika menguliti kitab al-Manazir (buku optik) karya Ibnu Haitham, keduanya tambah yakin kalau kamera kelak akan digandrungi banyak orang. Geronimo mulai mengembangkan kamera obscura seperti mengganti lubang bidik lensa dengan lensa (camera), Kepler meningkatkan fungsi kamera itu dengan menggunakan lensa negatif di belakang lensa positif, sehingga dapat memperbesar proyeksi gambar meskipun jarak jauh.

Di Tahun 1855 kamera obscura mulai memiliki dwifungsi, Roger Fenton menggunakan plat kaca negatif untuk mengambil gambar dari tentara Inggris selama perang Crimean. Bahkan sebuah versi kamera obscura temuan Ibnu Haitham itu ikut andil dalam perang dunia I untuk melihat pesawat terbang, dan pengukuran kinerja pada perang dunia II, dan kamera obscura juga digunakan untuk memeriksa keakuratan navigasi perangkat radio.

Dengan gelinding zaman yang terus berubah, fungsi dan kecanggihan kamera juga terus mengalami pembaruan dan make over, dari kamera obscura kemudian lahir kamera daguerreotypes dan calotypes, lahir lagi dry paltes, kemudian kodak dan film, lalu compact camera dan canon, lalu TLRs, SLRs dan nikon, lalu kamera analog, dan yang paling mutakhir yakni kamera digital: DSLR serta kamera ponsel yang menempel manja di depan-belakang telpon pintar kita saat ini.

Kecanggihan kamera dari zaman ke zaman ternyata menyisahkan kisah memilukan, saat ini kamera tak hanya difungsikan sebagai perangkat pesawat tempur, tak hanya digunakan sebagai senjata para jurnalis, atau sebagai alat mata-mata istana kepresidenan. Tapi sekarang kamera digunakan sebagai media narsisme individual yang begitu menjamur di permukaan bumi ini, untuk sebuah “eksistensi” para pelaku swafoto (jenis foto potret diri yang diambil sendiri) rela merogoh kocek mahal untuk sebuah ponsel canggih yang tentu memiliki kamera dengan hasil jepretan bersih nan terang. Mazhab selfienisme kalau saya tunjuk mereka yang suka moncongin mulut kalau di depan kamera.

Fenomena selfie sebanarnya sudah lama menggelegar di jagat semesta ini, awal mula foto selfie ditemukan oleh Robet Cornelius yang merupakan seorang berkebangsaan Amerika yang juga perintis dalam dunia fotografi, dia membuat sebuah ekspresi dirinya sendiri pada tahun 1839, dimana ini merupakan foto selfie orang pertama kali. Di zaman itu seorang yang menjepret dirinya juga memakai cermin untuk menstabilkan kamera baik pada objek dekat atau pada tripod saat framing melalui viewfinder di bagian atas kotak.

Tak ayal di tahun 1914, fenomena narsisme di depan kamera juga dilakukan putri kekaisaran Rusia, Anastasia Nikolaevna. Ia adalah remaja yang diketahui mengambil fotonya sendiri melalui cermin untuk dikirim kepada temannya. Dalam surat yang dikirim bersama foto itu ia menulis: “Saya mengambil foto ini menggunakan cermin. Sangat susah dan tangan saya gemetar”.

Sedangkan awal penggunaan kata selfie terjadi pada tahun 2002. Kata ini pertama kali digaungkan dalam sebuah forum internet Australia (ABC Online) pada tanggal 13 september 2002. Hingga sedemikian populernya kata selfie ini, maka pada november tahun 2013 kata selfie secara resmi tercantum dalam Oxford Dictionary menobatkan kata selfie sebagai Word of the Year di tahun 2013.

Dari awal dikumandangkannya kata selfie hingga sekarang, telah banyak menyedot perhatian publik untuk melakukan hal yang sama seperti dilakukan Anastasia Nikolaevna. Lewat selfie banyak orang ingin memamerkan baju baru kemudian dilayangkan ke akun sosial media, sebelum menyantap makanan selfie, mau tidur selfie, mengendarai mobil selfie, di dalam kamar mandi pun selfie, berkumpul dengan sahabat di kafe selfie bareng, atau euforia selfie di tempat pengambilan bekas gambar film Ada Apa dengan Cinta 2 yang begitu menggoda itu. Di setiap kegiatan tak elok kalau belum menunaikan ibadah selfie.

Saking keranjingan selfie, kita masih ingat kan dengan Erri Yunanto (mahasiswa Universitas Atmajaya Yogyakarta) yang selfie di puncak Garuda Merapi, meskipun hasil jepretannya bagus tapi naas ia harus terjungkal ke kawah merapi sedalam 200 meter, dan tentu nyawanya tak tertolong. Di negeri Jiran Malaysia, kemalangan juga pernah menimpa Norhayati dan Siti Yulianis, karena selfie di dalam mobil akhirnya mobil keluar jalur dan disambar truk yang ada di belakangnya. Innalillahi wainnnailaihi rojiun. Masih banyak penganut selfienisme yang berakhir pada kematian, yang tak mungkin saya dijabarkan semua di sini.

Fungsi kamera seperti disebut Susan Sontang dalam esainya pada 1970-an sebagai peranti untuk merealisasikan dan sebagai bukti atas pengalaman seseorang, kini harus diragukan. Fungsi kamera yang dulu sebagai alat perekam sejarah dan begitu suci, serkarang telah kehilangan marwahnya dan menjadi media narsisme. Kamera tak ubahnya manipulasi virtual yang tak ditemukan rimbanya, alih fungsi kamera tersebut bahkan menjadi kebahagiaan semu, walaupun manusia seakan hidup sempurna kalau menumpuk ribuan foto selfie di telpon pintarnya. Dan saya yakin, Ibnu Haitham akan menangis sesenggukan kalau tahu pembelokan ini.

19 Agustus 2016




Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com