Zakerah Adventure:Road to Gili Labak |
Aku
dan tiga belas manusia merasakan debar yang sama di atas Sampan Kateran (sampan
nelayan Madura), di atas kedalaman laut yang maha itu kami harap-harap cemas,
karena takut jasad kami tak mencium daratan lagi. Hempas ombak sesekali menguji
adrenaline karena sampan kami
bergoyang eksotik tanpa henti. Ada yang baca sholawat, ada yang muntah liur,
ada yang pucat pasi termenung, bahkan ada salah satu teman sok tidur padahal
sulit memejamkan mata.
Iya,
kami memang mengarungi samudera sekarang, selama satu jam lebih, tanpa standarisasi
pengamanan mumpumi, tanpa alat keselamatan atau pelambung. Kami bergantung
pada-Nya dan awak kapal yang selalu berusaha mencairkan keadaan “tenang dik,
ini ombaknya stadium rendah kok.” Ujarnya, petuah-petuah itu dilantunkan
laksana kultum jum’at di atas lautan.
Kami
ingin ke Gili Labak. Iya, sebuah pulau mini yang kondang dengan julukan hiden
paradise “surga yang tersembunyi” di Desa Kombang, Kecamatan Talango, kabupaten
Sumenep. Sebuah pulau yang hanya sebesar lapangan sepak bola, sekitar 5 hektar, dengan 35 kepala keluarga itu ternyata menyimpan intan permata yang
puluhan tahun tidak tercium pecinta alam bahkan di blow up media. Sebuah pulau kecil, yang kalau mengitarinya memakan
waktu 30 menit dan kepulan asap dua batang rokok.
Dulunya, pulau ini bernama “pulau tikus”
karena menurut masyarakat di pulau ini merupakan sarang tikus. Namun, kini
pulau ini lebih dikenal dengan istilah Gili Labak, untuk menarik minat
pengunjung. Tak heran jika dahulu pulau ini masih belum jadi buah bibir seperti
sekarang ini.
Butuh perjuangan keras menuju Gili Labak ini,
bisa ditempuh dengan kapal sampan sekitar 2 jam dari pelabuhan Kalianget
Madura, bisa juga dari Desa Kombang Talango, bisa dari Saronggi, dan Lobuk
Kecamatan Bluto. Tarif sewa sampan beragam, ada 350.000, ada 500.ooo, bahkan
ada bisa sampai 1.000.000 jutaan.
Aku
dan teman-teman terbelalak dari jarak 1 km dari bibir pantai Gili Labak,
putihnya pasir pantai menggoda kami untuk segera mencumbunya, teman yang
muntah, tidur, melamun, merapal mantra telah siuman melihat keangkuhan pulau
kecil nan minor itu. Sungguh kebanggan tersendiri bagi kami yang kebetulan beribu
dan berbapak di Sumenep.
Perahu
kami merapat, mesin kapal telah mati, teman-teman berdiri dan ada beberapa
orang yang menyempatkan foto selfie.
Menginjak kelembutan pasir yang masih perawan itu, sungguh kami merasakan
pemandangan anyar karena di kampung (Pakamban Daya/Jaddung) kami hanya biasa melihat
berjibun batu dan jurang-jurang. “My Trip
My Adventure” Sanggah Ipunk yang kebetulan melihat plang terpacak di bibir
pantai bertuliskan kalimat itu. Pertengahan 2016, memang Adipati Dolken pernah
ke surga tersembunyi ini, shooting di
sana, snorkling, merasakan riak ombak
dan cantiknya terumbu karang. Ketika streaming film itu di publish ke publik, jutaan manusia berdatangan dari dalam dan luar
negeri, mungkin mereka juga ingin mengatakan “My Trip My Adventure” kayak di tv-tv.
Tahun
lalu pulau itu masih unyu-unyu karena tak ada pembangunan serius dari
pemerintah setempat. Tapi sekarang masih sama nasibnya, namun sudah ada
riak-riak pembangunan dan fasilitas makan. Ada ragam venue bisa dijumpai di sana, mulai dari pelabuhan impian di muka
pantai sebelah utara, atau gubuk-gubuk kecil dengan atap janur yang dianyam,
ada penginapan bagi yang ingin bermalam, bahkan musholla yang dulu dekil bin
jorok itu sekarang telah bersih dengan wajah biru-kuning. Sungguh kami tak jua
berhenti takjub melihat keindahan karya Ilahi Robbi yang satu itu. Dan kalau
dipresentasekan, Gili Labak bisa diadu dengan Gili Trawangan Lombok Nusa
Tenggara Barat.
Uniknya,
bagi penjual non Gili Labak diberedel kalau mau jualan disana, dan rata-rata
warga setempat sekarang mulai memanfaatkan potensi wisata dengan beralih
menjadi penyedia kebutuhan para pelancong. Omset pun tidak tanggung-tanggung,
jutaan rupiah dalam 24 jam bisa didapuk, bahkan kata salah satu pedagang di
sana, pernah meraup 15 juta dalam sehari semalam. Waaww....!!!
Aku
tak habis pikir, kalau kesempatan menjadi OKB (Orang Kaya Baru) juga
menyambangi penduduk Gili Labak, rezeki seolah berlomba-lomba datang menumpangi
Sampan Kateran, yang datangnya tanpa dijemput dan pulangnya tanpa diantar.
Kalau bukan karena pertanyaan teman luar daerah tentang Gili Labak, mana mungkin
aku tahu ada surga tersembunyi di daerahku, bulshit
aja nggak papa kan sekalian promosi daerah sendiri. “iya, tempat itu cantik
banget cuy, udaranya masih alami, pasirnya putih, terumbu karangnya masih
bagus, dll”. Padahal waktu itu aku belum ke sana.
Namun
yang perlu diperhatikan, ketika daerah itu semakin maju, sarana dan prasarana
makin lengkap, ingat tetap jaga keaslian pulau itu, jangan nyampah, jangan
rusak terumbu karangnya, dan jangan disengketakan. Bisa jadi kan, besok-besok
semua penduduk setempat saling tebas, untuk tanah 4x5 meter, bisa jadi kan,
besok-besok penduduk vs pemerintah saling serang untuk kepemilikan Gili
Labak.