Sabtu, 31 Desember 2016

Prahara di Langit Desember

Berada di ujung tahun laksana berada di atas bukit. Dari atas bukit akan terbentang cakrawala maha luas, eksotis, dan tak terbatas. Dari atas bukit mata diberi kesempatan melihat pelbagai panorama, dan kesempatan melihat ke dalam diri tentang perasaan nelangsa yang membayangi masa lalu, masa kini, dan masa depan manusia.

Berada di ujung tahun adalah memparadekan debar jiwa. Dimana sebagian kita kadang terjebak pada gerbong hura-hura, sengaja mewarnai langit dengan kembang api, membisingi ruang dan waktu dengan suara leking terompet, dan kadangkala muda-mudi (mohon maaf) melucuti keperawanannya demi satu malam yang katanya sakral itu. Demi malam itu sebagian kita berharap semburat fajar kebaharuan yang telah lama lucut dari adabnya. Dan menghunjamkan spirit “kelahiran kembali” yang lahir dari kesadaran baru.

”Lahir” sebagai simbol terlepasnya diri dari sekapan kegelapan, dari keyakinan menikung yang tak membawa pencerahan dan dari gelegak nafsu yang dapat menjungkalkan marwah kemanusiaan ke tubir kehinaan. Dan ”baru” sebagai metafora kehidupan dengan semangat yang berbeda dari sesuatu yang kita anggap ”lama”.

Lebih luas lagi, seperti didengungkan Bang Asep Salahudin bahwa ”baru” itu satu tubuh dengan kebudayaan yang berjangkar pada etos penciptaan kebeningan batin (Cicero), keluhuran nalar (Raymond Williams), kekukuhan menjunjung tinggi nilai universal (Kant), daya imajinasi kreatif (Schiller), terus mengupayakan  terwujudnya masyarakat sempurna (EB Taylor) melalui gelegak daya kehidupan dengan membiarkan insting natural menemukan katupnya yang optimal (Nietzsche).

Ketika berada di ujung tahun, sepatutnya dijadikan momentum meraih pembebasan, meneguhkan sikap keterbukaan dan penegasan posisi dari keberagamaan dan kebernegaraan kita. Karena bagaimanapun kita akan mengkonstruksi konsep diri kita dengan mengendarai waktu. Ini barangkali yang jadi alasan metafisis, dalam ajaran Islam, Tuhan banyak bersumpah menggunakan diksi yang berdimensi waktu. Sebut saja: demi masa (wal ashri), demi malam (wal laili), demi siang (wan nahari), demi fajar (wal fajri), demi bulan (wal qamari), demi matahari (wasy syamsi), demi waktu duha (wadh dhuha).

Hasan al-Basri menambahkan tentang prahara waktu, “Hai anak Adam, sesungguhnya hidup kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hari milikmu itu pergi, berarti pergilah jua sebagian darimu”.

Tapi kadang kita terperangkap pada kata “waktu”. Kata “waktu” akan menjadi antitesis ketika dikawinkan dengan “baru”, keduanya memiliki ruas dan rel masing-masing dan tak bisa disatu-ranjangkan. Waktu tak pernah mengalami kebaharuan meskipun hari, bulan, tahun, dan abad telah berguguran. Waktu berjalan linear: melesat cepat ke depan menembus berbagai zaman meski penghuni semesta ini telah ribuan kali berganti dan berguguran. Bersama kecepatan pula kemudian sejumlah imperatif kehidupan hilang. Sehingga pada titik nadir ini, untuk apa mengucapkan “selamat tinggal Desember” dan “selamat datang Januari”.

Barangkali kita akan sedikit merasa tertusuk-tusuk untuk tidak melakukan lelaku mubazir di ujung tahun ketika membaca sajak Nota Bulan Desember karya Penyair Ahmad Nurullah: Tak perlu kuucapkan “selamat tinggal” pada detik terakhir bulan Desember / dan “selamat datang” untuk detik awal Januari / Untuk apa? Segala waktu sama / Waktu adalah sumbu semua sejarah, ibu segala kepedihan.  Almanak pun jatuh. Telungkup. Tahun bersalin / Tapi, di antara detik-detik yang gugur, bulan-bulan membusuk / hari-hari berkarat, dan jam yang menguning, banyak hal yang masih lengket—berkecamuk dalam kenangan.

Bahkan di bait ketiga dan keempat Nurullah seakan memparodikan keputusasaannya akan makhluk yang bernama waktu itu. Seperti almanak yang tajuh ia gambarkan tentang egoisnya waktu yang melibas beberapa peristiwa dan tragedi. Dalam konteks negeri ini misalnya, ketika waktu mempertontonkan tanah meledak, kota-kota terbakar, AIDS, flu burung, demam berdarah, busung lapar, fluktuasi BBM, harga-harga menjerat leher. Atau dalam rentang 12 bulan tahun 2016 misalnya, ditemukan isu bom dan terorisme, LGBT, reshuffle Kabinet, banjir Garut dan Bima, korupsi, pembakaran tempat ibadah, aksi demonstrasi 411 dan 212, pesona kopi Jesicca, bahkan berita nahas kegalaan Timnas Garuda mengangkat Piala AFF untuk yang kelima kalinya.

Sedangkan dalam konteks lintas batas garis teritorial, kita jumpai tragedi holocaust etnis Rohingya di Myanmar, ISIS di Irak dan Suriah, gelombang pengungsi Timur Tengah yang membanjiri Eropa, Brexit (British Exit), konflik Bashar al-Assad dengan oposisi, konflik Syiah-Sunni, bom di Turki, terpilihnya Antonio Gutteres sebagai Sekjen PBB, mangkatnya Raja Thailand Bhumibol Adulyadej, mangkatnya Komandan Fidel Castro, dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden ke-45 Amerika Serikat yang diluar dugaan melenggang mulus menyingkirkan Hilary Clinton. Tapi waktu tak peduli. Waktu terus berjalan, mengusung detak-detaknya, diam-diam menyembunyikan wajahnya di balik paras bulan merekah. Waktu adalah siluman yang pandai menyamar.

Lalu apa yang baru dari waktu? Apa yang hendak kita rayakan pada tahun baru?. Dengan nada dan getar yang sama, atau bahkan lebih lirih lagi Nurullah kembali membatin: Seperti waktu, akupun terus berjalan: gelisah oleh tatapan / mata bulan. Gemetar di bawah kerling matahari / sebab, gara-gara waktu, banyak hal berdesak untuk diingat / dan aku berjuang untuk lupa—sebagai jalan / pembebasanku. 

Maka diujung tahun ini, dengan tanpa niatan menyakiti penyuka gemerlap malam pergantian tahun. Alangkah etis dan beradabnya kita menyerobot kopi ditemani sebungkos rokok saja di rumah, atau duduk di kursi goyang sambil mendengarkan lagu Auld Lang Syne karya Robert Burns (penyair Skotlandia), yang liriknya berkisah tentang persahabatan, persaudaraan, dan menyiratkan pentingnya mengenang dan merenungkan peristiwa yang sudah-sudah. 










Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com