Peradaban dunia banyak dibangun dari peradaban sungai. Sungai menjadi ikon penting, yang diyakini manusia—dari pelbagai lini masa—sebagai sarana kelangsungan kehidupan, dan mengantarkannya pada gelanggang kemajuan yang sakral. Peradaban suatu bangsa/kelompok yang masyhur ialah menjaga ekosistem sungai pada koridornya agar tetap lestari. Sehingga ekologi antara makhluk dan lingkungan tetap harmonis.
Melihat sungai adalah melihat sejarah. Banyak negeri yang masyhur karena mencipta peradabannya melalui sungai: seperti Mesir dengan Lembah Sungai Nil-nya, atau Mesopotamia yang bergantung pada Sungai Eufrat dan Tigris, India dengan Sungai Indus dan Sungai Gangga, China dengan Sungai Huang Ho (Kuning), dan tentang keangkeran Sungai Amazon di Amerika Selatan. Semuanya memiliki khazanah dan sejarahnya masing-masing. Bahkan, Sungai Nil (Mesir) oleh seorang ahli sejarah Yunani, Heredotus mengatakan “tanpa Sungai Nil Mesir tidak mungkin maju, Mesir adalah hadiah sungai Nil.”
Begitu juga di Indonesia, banyak peradaban manusia dimulai dari sungai. Seperti kebudayaan Maritim Sriwijaya dibangun oleh manajemen Sungai Musi dan Batanghari. Bagaimana kebudayaan Kediri dan Majapahit dibangun dari manajemen Sungai Berantas, bagaimana kebudayaan Tarumanegara dibangun dari Sungai Citarum dan Ciliwung, dan peradaban masyarakat Jawa (terutama Sunda) dimulai dari Sungai Cimanuk, sebagai pulabuhan terbesar kedua setelah Pelabuhan Calapa (Sundakalapa).
Seperti dalam catatatan, Tome Pires, penulis sejarah sekaligus Bendahara Portugis, dalam bukunya yang berjudul “Suma Oriental”, mencatat sejarah peradaban yang terjadi di sungai Cimanuk. Melalui “Suma Oriental” yang berarti “Dunia Timur”, Tome Pires menulis bahwa pada tahun 1512-1515 Portugis telah menjamah nusantara melalui beberapa pelabuhan. Seperti, Pelabuhan Bantam (Banten), Pomdam (Pontang), Cheguide (Cigede) Tamgaram (Tangerang) Capala (Sundakalapa) dan Chemano (Cimanuk). Chemano kata Peres untuk menunjuk Sungai Cimanuk pertama kali.
Melihat kemasyhuran Sungai Cimanuk tempo dulu, melihat pengelupasan sejarah Sungai Cimanuk yang ambivalensi sekarang, inilah yang coba direstorasi oleh Dewan Kesenian Indramayu (DKI) Jawa Barat, untuk memotret dan menyimpul sejarah yang terlupakan. Dengan menggunakan medium sastra (puisi), DKI mencoba menapaktilasi kemasyhuran Sungai Cimanuk dari hulu (Gunung Papandayan) sampai hilir (Indramayu). Dengan menggelar Lomba Cipta Puisi “Sail Puisi Cimanuk 2016”.
Dengan jumlah ribuan penyair yang mendaftar, akhirnya 100 naskah terbaik didapat dan dibukukan dalam antologi Puisi 100 Penyair Nusantara, Cimanuk, Ketika Burung-burung Kini Telah Pergi (2016). Proses seleksi yang panjang, dan diterbitkannya buku ini adalah hasil jerih payah Dewan Kesenian Indramayu untuk mewakili getar dan harmoni masyarakat Indramayu terhadap Sungai Cimanuk. Buku ini adalah potret samsara kelahiran kembali peradaban Sungai Cimanuk. Buku ini tidak hanya lamunan nostalgik, tapi bagaimana kolaborasi estetik yang diciptakan melalui medium sastra (puisi).
Syhadan. Seperti sungai panjang pada umumnya, Sungai Cimanuk mengaliri 5 Kabupaten yakni Garut, Sumedang, Majalengka, Cirebon dan mengalir ke arah timur laut sepanjang 180 km dan bermuara di Laut Jawa di Kabupaten Indramayu. Wajah Indramayu (hilir) dahulu berlimpah kekayaan alam, dan dilirik oleh banyak bangsa di belahan dunia, karena kesuburannya yang kemudian menghasilkan komoditi-komoditi unggulan seperti padi, tebu, dan hasil bumi lainnya. Seperti juga disinggung Isbedy Stiawan ZS: Pedangang dari jazirah Arab dan Cina / Menyandarkan kapal di pelabuhan ini, jauh sebelum / orang-orang Eropa datang dan mengangkut / Rempah dan buah-buahan. Di sini, Pelabuhan Cimanuk, / jadi penanda bagi daerah-daerah lain; dari kerajaan demi kerajaan (puisi “Cimanuk, Ketika Burung-burng Kini Telah Pergi”).
Menurut Joao de Barros dalam da Asia, Decada IV (1615), Sungai Cimanuk memotong seluruh pulau tersebut (Jawa) dari laut ke laut, sehingga apabila orang Jawa terjalin ke barat dengan Pulau Sunda melewati Sungai Cimanuk. Sungai Cimanuk tersebut memisahkan kedua negeri itu; dan ke sebelah timur Pulau Bali dan ke utara Pulau Madura dan ke selatan terdapat laut yang belum diketahui. Sungai Cimanuk menjadi batas di antara kedua kerajaan, Sunda dan Majapahit (Supali Kasim, oktober 2016)
Masyarakat terdahulu di bantaran Sungai Cimanuk memiliki aktivitas di sawah atau ladang, serta nelayan di muara Cimanuk. Uniknya, masyarakat sekitar mudah lebur dengan pendatang dari jazirah Arab dan daratan Cina dalam hubungan sosial dan perdagangan. Aktivitas pribumi tak sebatas pertanian dan perikanan. Kerajinan batik, yakni Batik Paoman juga berkembang. Terutama dikerjakan para ibu atau istri nelayan. Konon, motif batik tersebut banyak dipengaruhi motif batik Lasem (Jawa Tengah) serta motif flora dan motif mitologi fauna khas Cina. Ada pula kerajinan gerabah di blok Anjun. Nama “Anjun” memang berarti gerabah dalam bahasa Sansekerta (dyun).
Saat Wiralodra (pendiri Indramayu) mendirikan pedukuhan, pendopo dan masjid agung juga berada di tepi berat Sungai Cimanuk. Ibukota tersebut kemudian dialihkan ke sebelah timur Sungai Cimanuk dengan pola kota Islam-Jawa. Peninggalan lainnya mengiringi jejak kehidupan yang terus berjalan seiring pergantian masa, yakni masa kolonialisme, hampir seluruh kantor-kantor penting berada di tepi sungai Cimanuk. Gedong Duwur (kantor Asisten Residen Cirebon), kantor pos, pos militer, bank, hingga gereja, kelenteng, sekolah, rumah sakit, maupun kantor-kantor dinas pemerintahan.
Tapi ketika Belanda berkuasa pada abad ke-17 keemasan Cimanuk mulai luntur, mereka memonopoli perdagangan, peran Sungai Cimanuk menjadi surut, terlebih ketika dibangun Jalan Raya Pos dan jalur kereta api yang membelah Jawa. Pelabuhan Cimanuk semakin terbengkalai ketika pecah Perang Dunia II (1938-1945) dan perang revolusi kemerdekaan (1945-1950). Bahkan Sungai Cimanuk yang membelah kota Indramayu juga pernah ”dimatikan” pada dekade 1980. Sehingga fenomena ini juga digelisahkan Penyair Ahmad Faridatul Akbar: Sampai akhirnya sebagian tubuhku mulai menghilang / Bangunan-bangunan tua kini tak lagi bersuara kepadaku / Tak kurasakan sandaran kapal yang membawa bea cukai / mengingatkan jangkarnya di kakiku / sampai makam Arya Wiralodra dan Endang Dharma Ayu tak lagi menyapaku (Puisi “Chiamo”).
Ketika pendudukan Barat di nusantara, Cimanuk juga mencatat pergelokan perjuangan Bagus Rangin di sekitar Jatitujuh, Indramayu, Cirebon dan sekitarnya dalam melawan Belanda pada sekitar 1818. Perlawanan ala santri, yang bahkan sangat mungkin menjadi inspirasi Pangeran Diponegoro pada 1825-1830 di sekitar Yogyakarta.
Maka wajah Sungai Cimanuk setelah kemerdekaan, atau setelah Indonesia berganti 7 presiden, Sungai Cimanuk adalah seperti sungai pada umumnya, banyak sampah, kotor, dan masyarakat mulai menjauhi bantaran sungai karena tidak menemukan peradaban lagi di sana. Mungkin rintihan Sungai Cimanuk akan tergambar dalam puisi Bambang Widiatmoko: Tubuh Cimanuk menggigil / Jiwa terpanggil / Dan hanya mampu mengucap lirih / Biarlah segala mitos tentang diriku, tersembunyi di laut Jawa (Puisi “Cimanuk Meliuk-Mencari Bentuk”).
Kajian tentang Sungai Cimanuk bisa jadi merupakan rentetan estetik yang telah terbangun sebelumnya. Liuk-liuk aliran Sungai Cimanuk bukan hanya mengalirkan air kehidupan, tapi benturan peristiwa antara dahulu dan sekarang. Mungkin peristiwa banjir di Garut (20/09/16), dengan meluapnya Sungai Cimanuk adalah sebuah petaka bagaimana manusia sekarang telah mengesampingkan alam, memunggungi lautan, mencemari sungai, dan mengundulu hutan.
Tema “Sungai” kadang lebih estetis dari riuh-rendah politik, ekonomi, dan hal ihwal negeri ini yang tak kunjung final. Didalamnya banyak menyimpan artefak, peradaban, imajinasi, intuisi, hingga akulturasi budaya yang kalau penyair menuliskannya akan lebih puitis.
Judul Buku : Cimanuk, Ketika Burung-burung Kini Telah Pergi (Antologi Puisi 100 Penyair Nusantara)
Penulis : Isbedy Stiawan ZS, dkk.
Cetakan : I, Novermber 2016
Penerbit : LovRinz Publishing
ISBN : 978-602-6330-87-1
Tebal : 251 Halaman
Peresensi : Khairul Mufid Jr
Melihat sungai adalah melihat sejarah. Banyak negeri yang masyhur karena mencipta peradabannya melalui sungai: seperti Mesir dengan Lembah Sungai Nil-nya, atau Mesopotamia yang bergantung pada Sungai Eufrat dan Tigris, India dengan Sungai Indus dan Sungai Gangga, China dengan Sungai Huang Ho (Kuning), dan tentang keangkeran Sungai Amazon di Amerika Selatan. Semuanya memiliki khazanah dan sejarahnya masing-masing. Bahkan, Sungai Nil (Mesir) oleh seorang ahli sejarah Yunani, Heredotus mengatakan “tanpa Sungai Nil Mesir tidak mungkin maju, Mesir adalah hadiah sungai Nil.”
Begitu juga di Indonesia, banyak peradaban manusia dimulai dari sungai. Seperti kebudayaan Maritim Sriwijaya dibangun oleh manajemen Sungai Musi dan Batanghari. Bagaimana kebudayaan Kediri dan Majapahit dibangun dari manajemen Sungai Berantas, bagaimana kebudayaan Tarumanegara dibangun dari Sungai Citarum dan Ciliwung, dan peradaban masyarakat Jawa (terutama Sunda) dimulai dari Sungai Cimanuk, sebagai pulabuhan terbesar kedua setelah Pelabuhan Calapa (Sundakalapa).
Seperti dalam catatatan, Tome Pires, penulis sejarah sekaligus Bendahara Portugis, dalam bukunya yang berjudul “Suma Oriental”, mencatat sejarah peradaban yang terjadi di sungai Cimanuk. Melalui “Suma Oriental” yang berarti “Dunia Timur”, Tome Pires menulis bahwa pada tahun 1512-1515 Portugis telah menjamah nusantara melalui beberapa pelabuhan. Seperti, Pelabuhan Bantam (Banten), Pomdam (Pontang), Cheguide (Cigede) Tamgaram (Tangerang) Capala (Sundakalapa) dan Chemano (Cimanuk). Chemano kata Peres untuk menunjuk Sungai Cimanuk pertama kali.
Melihat kemasyhuran Sungai Cimanuk tempo dulu, melihat pengelupasan sejarah Sungai Cimanuk yang ambivalensi sekarang, inilah yang coba direstorasi oleh Dewan Kesenian Indramayu (DKI) Jawa Barat, untuk memotret dan menyimpul sejarah yang terlupakan. Dengan menggunakan medium sastra (puisi), DKI mencoba menapaktilasi kemasyhuran Sungai Cimanuk dari hulu (Gunung Papandayan) sampai hilir (Indramayu). Dengan menggelar Lomba Cipta Puisi “Sail Puisi Cimanuk 2016”.
Dengan jumlah ribuan penyair yang mendaftar, akhirnya 100 naskah terbaik didapat dan dibukukan dalam antologi Puisi 100 Penyair Nusantara, Cimanuk, Ketika Burung-burung Kini Telah Pergi (2016). Proses seleksi yang panjang, dan diterbitkannya buku ini adalah hasil jerih payah Dewan Kesenian Indramayu untuk mewakili getar dan harmoni masyarakat Indramayu terhadap Sungai Cimanuk. Buku ini adalah potret samsara kelahiran kembali peradaban Sungai Cimanuk. Buku ini tidak hanya lamunan nostalgik, tapi bagaimana kolaborasi estetik yang diciptakan melalui medium sastra (puisi).
Syhadan. Seperti sungai panjang pada umumnya, Sungai Cimanuk mengaliri 5 Kabupaten yakni Garut, Sumedang, Majalengka, Cirebon dan mengalir ke arah timur laut sepanjang 180 km dan bermuara di Laut Jawa di Kabupaten Indramayu. Wajah Indramayu (hilir) dahulu berlimpah kekayaan alam, dan dilirik oleh banyak bangsa di belahan dunia, karena kesuburannya yang kemudian menghasilkan komoditi-komoditi unggulan seperti padi, tebu, dan hasil bumi lainnya. Seperti juga disinggung Isbedy Stiawan ZS: Pedangang dari jazirah Arab dan Cina / Menyandarkan kapal di pelabuhan ini, jauh sebelum / orang-orang Eropa datang dan mengangkut / Rempah dan buah-buahan. Di sini, Pelabuhan Cimanuk, / jadi penanda bagi daerah-daerah lain; dari kerajaan demi kerajaan (puisi “Cimanuk, Ketika Burung-burng Kini Telah Pergi”).
Menurut Joao de Barros dalam da Asia, Decada IV (1615), Sungai Cimanuk memotong seluruh pulau tersebut (Jawa) dari laut ke laut, sehingga apabila orang Jawa terjalin ke barat dengan Pulau Sunda melewati Sungai Cimanuk. Sungai Cimanuk tersebut memisahkan kedua negeri itu; dan ke sebelah timur Pulau Bali dan ke utara Pulau Madura dan ke selatan terdapat laut yang belum diketahui. Sungai Cimanuk menjadi batas di antara kedua kerajaan, Sunda dan Majapahit (Supali Kasim, oktober 2016)
Masyarakat terdahulu di bantaran Sungai Cimanuk memiliki aktivitas di sawah atau ladang, serta nelayan di muara Cimanuk. Uniknya, masyarakat sekitar mudah lebur dengan pendatang dari jazirah Arab dan daratan Cina dalam hubungan sosial dan perdagangan. Aktivitas pribumi tak sebatas pertanian dan perikanan. Kerajinan batik, yakni Batik Paoman juga berkembang. Terutama dikerjakan para ibu atau istri nelayan. Konon, motif batik tersebut banyak dipengaruhi motif batik Lasem (Jawa Tengah) serta motif flora dan motif mitologi fauna khas Cina. Ada pula kerajinan gerabah di blok Anjun. Nama “Anjun” memang berarti gerabah dalam bahasa Sansekerta (dyun).
Saat Wiralodra (pendiri Indramayu) mendirikan pedukuhan, pendopo dan masjid agung juga berada di tepi berat Sungai Cimanuk. Ibukota tersebut kemudian dialihkan ke sebelah timur Sungai Cimanuk dengan pola kota Islam-Jawa. Peninggalan lainnya mengiringi jejak kehidupan yang terus berjalan seiring pergantian masa, yakni masa kolonialisme, hampir seluruh kantor-kantor penting berada di tepi sungai Cimanuk. Gedong Duwur (kantor Asisten Residen Cirebon), kantor pos, pos militer, bank, hingga gereja, kelenteng, sekolah, rumah sakit, maupun kantor-kantor dinas pemerintahan.
Tapi ketika Belanda berkuasa pada abad ke-17 keemasan Cimanuk mulai luntur, mereka memonopoli perdagangan, peran Sungai Cimanuk menjadi surut, terlebih ketika dibangun Jalan Raya Pos dan jalur kereta api yang membelah Jawa. Pelabuhan Cimanuk semakin terbengkalai ketika pecah Perang Dunia II (1938-1945) dan perang revolusi kemerdekaan (1945-1950). Bahkan Sungai Cimanuk yang membelah kota Indramayu juga pernah ”dimatikan” pada dekade 1980. Sehingga fenomena ini juga digelisahkan Penyair Ahmad Faridatul Akbar: Sampai akhirnya sebagian tubuhku mulai menghilang / Bangunan-bangunan tua kini tak lagi bersuara kepadaku / Tak kurasakan sandaran kapal yang membawa bea cukai / mengingatkan jangkarnya di kakiku / sampai makam Arya Wiralodra dan Endang Dharma Ayu tak lagi menyapaku (Puisi “Chiamo”).
Ketika pendudukan Barat di nusantara, Cimanuk juga mencatat pergelokan perjuangan Bagus Rangin di sekitar Jatitujuh, Indramayu, Cirebon dan sekitarnya dalam melawan Belanda pada sekitar 1818. Perlawanan ala santri, yang bahkan sangat mungkin menjadi inspirasi Pangeran Diponegoro pada 1825-1830 di sekitar Yogyakarta.
Maka wajah Sungai Cimanuk setelah kemerdekaan, atau setelah Indonesia berganti 7 presiden, Sungai Cimanuk adalah seperti sungai pada umumnya, banyak sampah, kotor, dan masyarakat mulai menjauhi bantaran sungai karena tidak menemukan peradaban lagi di sana. Mungkin rintihan Sungai Cimanuk akan tergambar dalam puisi Bambang Widiatmoko: Tubuh Cimanuk menggigil / Jiwa terpanggil / Dan hanya mampu mengucap lirih / Biarlah segala mitos tentang diriku, tersembunyi di laut Jawa (Puisi “Cimanuk Meliuk-Mencari Bentuk”).
Kajian tentang Sungai Cimanuk bisa jadi merupakan rentetan estetik yang telah terbangun sebelumnya. Liuk-liuk aliran Sungai Cimanuk bukan hanya mengalirkan air kehidupan, tapi benturan peristiwa antara dahulu dan sekarang. Mungkin peristiwa banjir di Garut (20/09/16), dengan meluapnya Sungai Cimanuk adalah sebuah petaka bagaimana manusia sekarang telah mengesampingkan alam, memunggungi lautan, mencemari sungai, dan mengundulu hutan.
Tema “Sungai” kadang lebih estetis dari riuh-rendah politik, ekonomi, dan hal ihwal negeri ini yang tak kunjung final. Didalamnya banyak menyimpan artefak, peradaban, imajinasi, intuisi, hingga akulturasi budaya yang kalau penyair menuliskannya akan lebih puitis.
Judul Buku : Cimanuk, Ketika Burung-burung Kini Telah Pergi (Antologi Puisi 100 Penyair Nusantara)
Penulis : Isbedy Stiawan ZS, dkk.
Cetakan : I, Novermber 2016
Penerbit : LovRinz Publishing
ISBN : 978-602-6330-87-1
Tebal : 251 Halaman
Peresensi : Khairul Mufid Jr