Rabu, 04 Oktober 2017

Dosa Besar Penerjemah Karya Sastra

Sumber gambar: ruangbahasa.com
Tulisan ini berangkat dari pembicaraan khalayak beberapa minggu terakhir ini, yakni tentang ulasan saudara Fazabinal Alim di media online basabasi.co dengan judul “Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani” pada 28 September bulan lalu. Faza (nama sohornya) mempertanyakan bahkan meragukan keajekan beberapa puisi Nizar Qabbani yang diterjemahkan Usman. Faza menjabarkan “ketika puisi yang begitu estetik itu diterjemahkan dengan tidak estetik, dan nyaris asal-asalan,” ia sangat menyayangkan karena puisi-puisi idolanya tersebut dialihbahasakan secara serampangan. Ia pun memereteli satu persatu puisi terjemahan Usman dengan beberapa contoh terjemahan lebih pas yang jumlahnya tidak sedikit di ulasannya itu.

Peristiwa itu sejatinya adalah prahara kesekian yang seringkali terjadi di bumi putera ini, bahkan di belahan dunia lainnya. Salah satunya kritik Nirwan Dewanto (Tempo, 22/1/ 2001) terhadap penerjemahan karya Milan Kundera Kekekalan yang diterjemahkan oleh Nur Cholis. Kritik Nirwan benar sejauh memang ada kesalahan teknis dan logika penerjemahan sehingga informasi yang disampaikan berbeda dengan logika atau informasi sebelumnya. Peristiwa semacam ini semestinya dibicarakan, dikritik untuk ekosistem keilmuan (teruma dalam kesusastraan) agar lebih baik dan terarah.

Kehadiran seorang penerjemah—teruma dalam kesusastraan—adalah penyambung lidah pengarang asli agar distribusi karya tidak hanya muter-muter di dalam negeri dan ujuk-ujuk untuk bahan diplomatis suatu bangsa untuk mengenalkan budaya lokal suatu bangsa. Berkaitan dengan itu, Alexander Pushkin (sastrawan Rusia) mengibaratkan seorang penerjemah sebagai “kurir sastra” yang bertugas sebagai utusan menyampaikan sesuatu yang penting dengan cepat dan kredibel. Bahkan Jose Saramago (peraih Nobel Sastra tahun 1998), mengatakan; seorang pengarang hanya menulis karya sastra dalam bahasa ibunya, tetapi sesungguhnya sastra dunia adalah ciptaan para penerjemah.

Tantangan sang penerjemah harus melukiskan sebuah rumah-rumah indah di negara lain, sementara di negarnya sendiri rumah dengan arsitektur seperti itu tidak ada, bahkan seluruh keadaan alamnya pun berbeda. Inilah salah satu batu loncatan bagi penerjemah yakni memindahkan gambaran dengan kata-kata ke dalam bahasa sasaran dengan sejumlah acuan yang terkadang kurang dikuasi mereka, termasuk pengetahuan atas ungkapan khas suatu bahasa dan latar belakang suatu karya yang berkaitan dengan aspek-aspek suatu karya yang berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, sosiologi, dan budaya.


Penerjemah, menurut hemat saya tak ubahnya seorang penunjuk jalan (guide) untuk orang asing yang lagi tersesat. Tugas penunjuk jalan memberikan informasi tentang apa yang ditanyakan dan dibutuhkan si orang asing tersebut, dan tentu menggunakan bahasa mereka yang dimengerti sang penunjuk jalan. Sang penerjemah tugasnya memberikan sajian dan informasi kepada pembaca lintas negara terutama di negerinya sendiri tentang karya pesohor dunia. Tapi pertanyaannya kemudian, kalau si penunjuk jalan itu memberikan informasi yang sesat dan asal-asalan, maka akan menyebabkan orang asing tadi kian tersesat di dalam ketersesatannya.

Baiklah, ada beberapa tipe karya sastra terjemahan yang membikin pembaca tersiksa ketika membacanya. Pertama, penerjemah yang tidak menguasai bahasa sumber dengan baik sehingga ia bekerja asal-asalan. Kedua, sang penerjemah mengusai bahasa sumber asli akan tetapi tidak terampil berbahasa Indonesia dengan baik. Oleh karena itu, penerjemah dengan backround sastrawan/penulis biasanya relatif bagus daripada penerjemah yang hanya tahu bahasa sumber tapi kaku untuk berbahasa Indonesia.

Sedangkan  yang ketiga, penerjemah mengusai bahasa sumber tapi ia terlampau terpesona pada teks sumber, sehingga dalam balutan keterpesonaannya itu membuatnya terlau setia pada teks sumber dan tak mau melewatkan detail sekecil apapun. Seperti kata Arif Bagas Prastyo, penerjemah macam ini memang akan memuaskan pembaca yang pernah membaca teks sumber (golongan pembaca yang sebetulnya tidak butuh terjemahan), akan tetapi bisa menyiksa pembaca lainnya yang tak punya akses kepada teks sumber asli.

Maka dari itu seorang penerjemah bisa (baca: wajib) menguasai bahasa sumber dan bahasa sendiri dengan baik dan benar. Akan tetapi itu saja tidak cukup untuk mengatakan konpetensi berbahasa (linguistik) tidak serta merta menjamain mutu terjemahan. Pendapat Eugene A. Nida bisa menjadi acuan bahwa selain kompetensi dan keterampilan dalam komunikasi verbal setidaknya penerjemah mempunyai tiga kapasitas ini. Pertama, kekaguman sungguh-sungguh kepada ciri formal karya yang diterjemahkan. Tanpa itu, penerjemah akan sulit memiliki kesabaran atau wawasan mendalam yang dibutuhkan untuk menghasilkan terjemahan yang memadai. Kedua, harus respek kepada isi teks, agar ia tidak gampang sembrono atau semena-semena mengubah kandungan pesannya. Dan terakhir, kemampuan mengeskpresikan kreativitasnya sendiri melalui kreasi orang lain.


Bahkan selepas dari itu, karya terjemahan yang sudah dirasa cukup kredibel oleh si penerjemah, pada akhirnya karya itu melanggeng ke penerbit, ada editor yang kadang menjadi hantu menakutkan dengan semena-mena juga memereteli karya tersebut. Untuk menyusaikan ideologi penerbit dan komersialisasi lebih mumpuni, mengharuskannya memoles sana-sini karya terjemahan tersebut. Sehingga ketika karya itu hadir di tengah-tengah pembaca, dengan titel bahan jadi (barang istan) yang jauh dari cita rasa aslinya dari sang penerjemah.

Hal macam ini menjadi batu sandungan, ketika di lapangan kadang pembaca banyak dikecewakan ketika membaca karya pesohor dunia dan ternyata hasilnya tidak sesuai harapan. “loh, kok cuma segini kualitas karya si A yang dikatan mapan tulisannya itu, padahal aku penasaran dan mengharapkan lebih.” Kira-kira seperti itu kata-kata yang sering muncul kepermukaan di kalangan pembaca.

Kita harus sedikit berkaca dan mencontoh apa yang terjadi di Barat yang berbahasa Inggris. Kontrol mutu terjemahan sastra dari bahasa non-Inggris ke bahasa Inggris bukan saja diperkuat oleh pengamat/kritikus karya terjemahan, tetapi seringkali juga oleh pengarang asli, yang umumnya bisa berbahasa Inggris. Terjemahan dibaca dahulu, dikoreksi bila perlu oleh pengarang asli, bahkan digarap bersama oleh keduanya sang penerjemah dan pengarang. Sedangkan di negeri ini seperti ungkapan Arif Bagas Prastyo (penerjemah karya sastra), “selama saya menerjemah, keterlibatan pengarang asli hanya terjadi pada penerjemahan karya non-fiksi karangan Indonesianis asing, yang tentau saja bisa berbahasa Indonesa. Sementara keterlibatan pengarang asli untuk ikut mengontrol mutu terjemahan tidak diharapkan para sastrawan dunia yang karyanya banyak diterjemahkan di sini jelas tak bisa berbahasa Indonesia.”

Seorang penerjemah harus hati-hati memilih rajutan kata-kata, dipundaknya dipertaruhkan karya sumber yang akan dibaca dan ditafsir kemudian hari. Jangan terulang dosa-dosa macam ini berikutnya. Dan jika masih terjadi selain didiskusikan dan alangkah baiknya ada forum nasional untuk menggiring karya sastra terjemahan, penerjemah, penerbit dan yang memiliki kapasitas lainnya untuk membikin Lembaga Penerjemahan yang tugasnya menjadi barometer terjemahan nasional.





















































Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com