Jumat, 20 Oktober 2017

Santri dan Pentingnya Kesadaran Interpreneur

Sumber Gambar: nahdlatululama.id
“SANTRI bukan yang mondok saja, tapi siapapun yang berakhlak SANTRI yang tawadlu’ kepada Gusti Allah, tawadlu’ kepada orang-orang alim kalian namanya SANTRI” (Mustofa Bisri).

Pernyataan Gus Mus (Mustofa Bisri) di atas adalah bentuk sakralisasi dan penjelas peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 22/10, yang selama dipandang eksklusif dan milik satu golongan tertentu. Tentu hal ini tidak menjadi soal lagi, karena seperti Hari Buruh, Hari Ibu, dan Hari Pramuka yang anteng-anteng saja, Hari Santri juga semestinya tidak menimbulkan gesekan berlebih. Karena Santri adalah mereka yang memiliki komitmen keislaman dan keindonesian, dan mereka yang hidupnya diinspirasi dan diselimuti nilai-nilai keislaman serta kesadaran penuh tentang kebangsaan dan kemajemukan.   

Maka, sekarang waktu yang pas untuk berbenah dan merawat imajinasi kembali tentang peran Santri dalam percaturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain perawat moral, pewujud cita-cita luhur keislaman, dan hubungan vertikal dengan sang kuasa, alangkah elok kalau Santri juga merespon tantangan zaman (globalisasi) dengan ikut andil dalam segala hal termasuk dalam kemandirian ekonomi (interpreneur).

Santripreneur Adalah Masa Depan

Istilah Santripreneur adalah seorang Santri yang berwirausaha, atau secara terminologi bisa diartikan usaha Santri dalam kemandirian ekonomi dengan memanfaatkan potensi-potensi yang ada terutama yang ada di pesantren-pesantren. Modernisasi, globalisai adalah seperti lorong waktu yang musti dihadapi dan direspon benar-benar untuk masa depan sang Santri. Maka dengan interpreneur bisa diterjemah sebagai lokomotif, yang membawa gerbong cita-cita sang Sang santri ke masa depan lebih baik.

Seperti dalam bukunya Samuel Huntington, The Clash of Civilization, dikatakan bahwa dalam  konteks globalisasi; umat Muslim (khususnya: Santri) dipandang sebagai umat yang berpotensi menjadi kompetitor Barat. Sebagai  negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia dituntut menunjukkan kepada dunia bahwa SDU (Sumber Daya Umat) Muslim Indonesia benar-benar layak berkiprah di jagad global. Maka pengembangan SDU Muslim mutlak dilakukan secara baik, sistematis dan komprehensif. SDU Muslim Indonesia sangat tinggi, setali tiga mata uang dengan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) di negara kita yang juga tinggi. Hal ini bisa dimanfaatkan untuk pengembangan kemandirian umat Islam (Santri).

Pentingnya meningkatkan dan mengembangkan SDU memang salah satu misi utama Rasulullah saw. Beliau diutus ke dunia salah satunya dalam rangka peningkatan kualitas SDU yang sepenuhnya tidak hanya pemenuhan secara jasmaniah tapi juga secara rohaniah. Dahulu ketika di Mekkah beliau menanamkan tauhid yang menjadi dasar fundamental bagi pembentukan nucleus masyarakat historis yang viable untuk menjawab tantangan zaman. Di Madinah beliau juga telah menunjukkan peranannya sebagai pendidik utama dalam pembangunan masyarakat sosial-politik. Di Madinah beliau tidak hanya membangun tatanan politik sebagaimana terefleksikan dalam “Konstitusi Madinah”, tetapi juga membangun tradisi pendidikan Islam dengan memfungsikan masjid sebagai tempat tidak hanya untuk pendidikan keagamaan tapi juga untuk kegiatan-kegitan pendidikan sosial dalam pengertian yang sangat luas (Azyumardi Azra, 2001: 55-56).

Membangun kemandirian ekonomi sejatinya menjadi kesadaran umat Islam. Maka dari itu, dalam konteks saat ini mereka mulai meresponnya dengan baik, misalkan ketika lahirnya lembaga-lembaga keuangan syariah, kelompok usaha kecil berbasis syariah, dan munculnya pesantren-pesantren yang membekali santrinya dengan berbagai ilmu kewirausahaan. Pesantren dituntut untuk mengembangkan fiqh muamalah-nya dalam tataran yang lebih aplikatif.

Saat ini, telah ditemukan banyak sekali pesantren yang sukses menjalankan program santripreneur. Misalnya Pondok Pesantren Mukmin Mandiri, yang telah berhasil memiliki sebuah produk kopi yang merupakan hasil produksi para santri. Hingga saat ini, produk kopi yang berlabel “Mahkota Raja” ini telah memiliki omset 1-5 miliyar perbulan. Usaha ini telah mempekerjakan 115 santri dan tiap santri mendapatkan gaji sebesar 1,3 juta per bulan. Dan masih banyak pesantren-pesantren lain yang juga bergerak dalam jargon “santripreneur”, Pesantren Sidogiri misalnya. Mendirikan Kapontren-kapontren, Smescomart (kerjasama koperasi pesantren dengan Alfa Mart), usaha bidang pertanian, pelatihan keterampilan santri tentang produksi barang dengan label pesantren adalah contoh riil untuk berdikari secara ekenomi.

Dengan cara pendidikan di kalangan santri tersebut, maka pesantren tidak di tuduh sebagai lembaga yang turut serta memproduksi pengangguran. Di Indonesia misalnya, tingkat pengangguran menunjukkan tren yang meningkat sebagaimana dilansir oleh Tempo.com (Rabu, 11 April 2012), bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menyatakan kaum muda memiliki tingkat kesulitan mencari pekerjaan lima kali lebih besar daripada pekerja dewasa. Hal ini disebabkan karena ketersediaan lapangan kerja untuk angkatan muda semakin menurun. Kaum muda diperkirakan 4,6 kali lebih besar menjadi pengangguran dibanding pekerja dewasa. Hal ini diperkuat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bahwa tingkat pengangguran terbuka usia muda antara 15 hingga 29 tahun di Indonesia mencapai 19,9 %. Sementara Srilangka 17,9 % dan Filipina 16,2 %. Data tersebut membuat Indonesia menyandang gelar sebagai negara dengan pengangguran usia muda tertinggi di Asia Pasifik. 

Maka, inilah momentum yang tidak hanya peristiwa diperingati setiap tahun, dan lakon sambil lalu yang tidak melulu pada ihwal seleberasi. Karena Potensi local content Santri, sejatinya teramat kaya, seperti pemikiran, kerukunan, santripreneur, dan keikhlasan. Ini merupakan modal yang sangat berharga dalam mengembangkan gerakan-gerakan Islam dan kemandirian sang Santri. Oleh karena itu, Santri selalu dituntut think locally at globally. Perilaku positif wajib sesuai nilai-nilai Islam dan sosio-kultur bangsa Indonesia boleh saja dikumandangkan, akan tetapi pemikiran dan cara pandang terhadap pengembangan sains-teknologi boleh juga bersifat global. Yang terpenting Santri harus berfikir out of the box, agar tidak menjadi gagap akan keadaan di luar sana. Ditetapkannya “Hari Santri Nasional” tidak hanya bahan refleksi, akan tetapi menjadi titik pijak untuk Santri selalu mengabdi, berimajinasi dan berdikari. 




   

 








Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com