Selasa, 07 November 2017

Nasionalisme Turki di Ujung Tanduk

Pada perayaan 10 tahun berdirinya Republik Turki (29 Oktober 1933), Presiden dan suksesor sekulerisme Turki Mustafa Kemal Pasa Ataturk mengucapkan kalimat: Ne Mutlu Turkum Diyene (Betapa Bahagianya Seorang yang Menyebut Dirinya; Aku Orang Turki). Kalimat ini menjadi candradimuka dan fondasi nasionalisme Turki yang tidak bisa ditawar. Selain kalimat tersebut, Renklerimizde, dillerimizle, kulturlerimizle biz bir olduk, biz kardes olduk  (dengan warna-warna kita, dengan bahasa-bahasa kita, dengan budaya-budaya kita, kita satu, kita bersaudara) adalah kalimat kedua untuk sebuah perbedaan yang coba disatukan dan disejajarkan. Hal ini, mempunyai kemanunggalan arti dengan Bhinneka Tunggal Ika versi negara kita Indonesia. 

Sebagai simpul/pengikat keberagaman dan keberagamaan, Ne Mutlu Turkum Diyene (NMTD) mempunyai arti mendalam yang tidak hanya pada tataran konsep dan slogan saja. Akan tetapi kalimat ini menyemaikan semacam semangat penggerak bagi bangsa Turki, agar bangga dengan identitasnya sebagai seorang Turki. Bangsa Turki bukan lagi pesakitan di tanah Eropa dan Amerika. Sebab mereka telah bangkit menjadi bangsa baru setelah Revolusi Kemalis yang dioprasikan sejak awal abad ke-20.

Di negara Eurasia (negara superbenua, atau negara dengan dua benua) ini, kita bisa lihat bagaimana kata NMTD tidak hanya terpatri dalam sanubari, akan tetapi terekspos dalam laku kehidupan praksis. Kalimat NMTD kita bisa temui di cincin, kalung, dan kaos. Bahkan jangan terkejut kalau kalimat tersebut kerap muncul di profil picture atau dinding media sosial orang-orang Turki. Bendera Turki juga terpasang di halaman rumah orang-orang Turki, hukumnya fardu ain. Nah, hal ini pernah dirasakan Yanuar Agung Anggoro (salah satu tim redaksi Turkish Spirits), ketika ia dengan temannya tengah jagongan di salah satu kafe di Turki. Di tengah keasikan mereka mengobrol, tiba-tiba semua orang di kafe itu senyap dan berdiri sembari menyanyikan lagu kebangsaan Turki “Istiklal Marsi”. Mereka tengah menyaksikan Timnas Sepak Bola Turki di televisi yang juga meyanyikan lagu kebangsaan Istiklal Marsi. Di tengah keramain kota, cobalah kita iseng-iseng menyetel lagu kebangsaan Turki, bisa dipastikan semua orang akan berhenti beraktifitas dan khidmat menyanyikan lagu tersebut.

Berbeda dengan cerita Didid Haryadi, ia menemukan nasionalisme Turki di dalam masjid. Ketika ia tengah shalat Jum’at di salah satu bolge (wilayah) di Kota Istambul. Waktu itu ia melihat mimber (mimbar) masjid berlatar belakang sebuah bendera Turki berukuran kecil. Anehnya ketika ia shalat di tempat lain, bendera mungil itu kembali ditemukan, adalah peristiwa yang memang disengaja oleh pemerintah Turki (49). Bagi bangsa Turki, Allah, Tanah Air, dan Bendera adalah tiga paket yang tak boleh dipecah-belah. Kesadaran nasionalisme seperti itu terus menancap di dada mereka secara turun-temurun. Masjid dalam konteks nasionalisme menjadi semacam “ruang publik” khas di Turki.

Beberapa contoh nasionalisme Turki modern di atas dibangun sejak dan diimpikan untuk bertahan lama. Di bawah tokoh sentral nasionalisme Turki—Mustafa Kemal Pasa Ataturk—ia mendandani Turki modern dengan prinsip-prinsip “Kemalis” yakni republikanisme, nasionalisme, republisme, etatisme, reformasi dan westernisasi. Revolusi dilakukan dan membentuk negara Turki sekuler ala Prancis. Ia menghendaki agar urusan agama adalah yang privasi dan tidak boleh dibawa-bawa ke ranah pemerintahan dan ruang publik. Serta Anayasa (Undang-Undang Dasar) Turki tidak didasarkan atas cultural communities (etnik/ras tertentu), dan niat luhur untuk menghapuskan negara-bangsa yang berbasis political communities.

Makin ke sini, bangunan kokoh nasionalisme Turki kembali digoyang ketika bermunculan kekerasan-kekerasan yang mengancam proses kemajuan dan penguatan bangsa negara. Seperti prinsip bangsa-negara yang katanya tidak dibangun atas cultural communities, ternyata di lapangan identitas Turki modern lebih bercirikan pada satu kelompok tertentu, yakni kelompok atau etnis Turk. Kelompok Kurdi, Armenia, Arab, Laz, dan etnik non-Turki lainnnya dipaksa untuk menerima identitas Turk. Dengan tidak hanya pendekatan persuasif, pendekatan represif pun menjadi lakon terbuka dan didadar di hadapan rakyat. Sehingga terjadilah isyan (pemberontokan) yang awalnya bernuansa agamis—seperti dipimpin oleh Syekh Said Nursi—dan berujung pada pemberontakan yang sifatnya perjuangan etnik pada tahun 1930.

Ketika gelombang penguatan politik kanan yang penuh retorika rasisme dan mengagungkan kelompok Turk tersebut, saat yang sama maka lahirlah gerakan politik kiri radikal.  Dan perjuangan minoritas yang kebanyakan berada di sayap kiri akhirnya memilih melawan konsepsi Turk (Turkey) resmi, lalu mencoba untuk mencerminkannya pada sebuah wacana baru yang disebut Turkiyeli. Turkiyeli maknanya bukan sekadar orang Turki (dalam artian ras), namun sebuah konsep yang mirip seperti Americans atau bangsa Indonesia (hlm: 34).

Memang secara literer nama Turkey, dalam konteks politik identitas berpotensi menyemaikan problem serius ke depan. Contohnya hari ini, ketika etnis Kurdi memperjuangkan hak kemerdekaan dan ingin mendirikan negara bangsa sendiri. Kita beruntung memakai nama “Indonesia” yang bukan merupakan nama dari salah satu etnik di dalam wilayah negara. Dengan pilihan nama “Indonesia”, bukan Jawa atau Melayu sebagai mayoritas etnik di negara Indonesia.

Seperti dalam tulisan Bernando J. Sujibto (hal: 133-134), ada tiga kelompok yang menggoyahkan nasionalisme Turki saat ini. Pertama, gerakan separatis suku Kurdi yang diwakili PKK. Gerakan yang lahir pada tahun 1978 ini, selain mengembangkan sayapnya dalam internal Turki, secara politik ada HDP yang secara implisit telah menjadi corongnya di parlemen. Dalam sayap eksternal yang mendukung PKK juga banyak, selain suku Kurdi di Irak dan Suriah, negara seperti Rusia, Inggris, dan Perancis pun ada dibalik mereka.

Kedua, adalah kelompok kiri-komunis yang diwakili DHKP/C (Front-Partai Pembebasan Rakyat Revolusioner). Kelompok ini sudah terbukti terbiasa memainkan bom dan senapan api dengan menyerang pasukan keamanan Turki. Kelompok ini menyasar apparatus state, khusunya pasukan keamanan (polisi) sebagai target mereka. Mereka sudah banyak meledakkan bom dan menembak polisi dalam 10 tahun terakhir. Kelompok ketiga adalah ISIS, kelompok ini sangat mengacam stabilitas dan rasa nasionalime Truki. Karena sebagai kelompok misterius dan tidak bisa dibaca, ISIS bisa menyerang siapa pun dari elit pemerintahan bahkan rakyat sipil.

Harus diakui bahwa nasionalisme yang diekspresikan dengan luar biasa saat ini di Turki, tidak lain adalah karena keberhasilan indoktrinasi dengan bumbu represi (penekanan) militer sedari awal terbentuk negara Republik. Indoktrinasi yang berlebihan akan menciptakan ketegangan dan kekerasan di kemudian hari. Menghargai keberagaman adalah goal dari demokrasi, dan demokrasi yang ideal adalah mampu menyimpul perbedaan dan keberagaman. 

Judul Buku    : Turki Yang Tak Kalian Kenal
Penulis           : Tim Turkish Spirts dan Kurator Bernando J. Sujibto
Cetakan          : I, November 2017
Penerbit          : IrCisoD
ISBN              : 978-602-7696-37-2
Tebal Halaman: 312
Peresensi        : Khairul Mufid*
Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com