Sabtu, 15 Oktober 2016

Jihad Melawan Terorisme

Istilah Black September (11 september 2001) adala
h idiom berkabung atas tragedi besar yang menggemparkan dunia dan memalukan negara superpower, Amerika Serikat. Bersamaan dengan itu masyarakat dunia prihatin dan empati kepadanya. Luluh lantaknya gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon telah mengubah mimik muka dunia setelah berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet tahun 1991. George W. Bush, presiden Amerika Serikat (ke-43) waktu itu naik pitam, gusar, dan mengumandangkan: Amerika Serikat perang melawan terorisme “Global War on Terror”.

 Belum terobatinya sakit hati dan duka para korban tragedi Black September. Pada 12 oktober 2002, dunia kembali dikejutkan dengan bom Bali I yang dikenal dengan sebutan Bali Blast, terjadi di pusat Hiburan diskotik Sari Club di Legian Bali Indonesia. Tidak hanya itu, pengeboman terjadi lagi di hotel JW. Marriot dan Ritch Calton Jakarta (05/08/03). Disusul bom Bali II (01/10/ 05). Hingga yang paling mutakhir pengeboman dan penembakan di Sarinah daerah sekitar Plaza, Jakarta 14 Januari 2016. Tragedi demi tragedi pengeboman seolah berlomba saling susul-menyusul dan tak bisa diprediksi kapan menyentuh garis finish. Dan inilah yang disebut Muhammad Taufiq “Semesta Terorisme” dalam bukunya (Serial Terorisme Demokrasi 2: Densus & Terorisme Negara).
Kata “Terorisme” berasal dari bahasa latin “Terrere” yang berarti gemetaran, dan “Deterre” yang berarti takut. Teror, teroris, terorisme memiliki pengertian bahwa adanya perbuatan yang dilakukan oleh seorang atau kelompok yang menyebabkan kekhawatiran, kegelisahan masyarakat yang memiliki dampak negatif terhadap keamanan suatu negara. Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau kultural melawan ideologi yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. (hal 8)

Namun dalam perkembangannya, kelompok teroris semakin berurat-berakar dan memiliki motif berbeda-beda di balik aksinya. Menurut Salahudin Wahid, motif terorisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga ketegori: teror karena motif ekonomi-politik, motif separatisme atau untuk memperjuangkan kemerdekaan negara, dan motif agama. Kalau dicontohkan, seperti invasi Amerika Serikat terhadap Irak (2003) adalah menggunakan motif ekonomi-politik. Tidak hanya dalam rangka membinasakan Saddam Hussein tetapi juga menginterogasi keberadaan senjata pemusnah massal, eksploitasi sumber daya alam minyak, dan pen-demokratisasi-an negara-negara Timur Tengah.

Contoh kedua tentang deklarasi Palestine Libration Organisation atau PLO pada tahun 1988. Sampai kapanpun bagi Israel PLO digolongkan sebagai kelompok teroris karena ingin mengambil alih kedaulatan Negara Israel. Dan PLO memiliki motif memperjuangkan kemerdekaan negaranya. Yang terakhir teror dengan motif agama, seperti aksi pengeboman WTC, bom Bali, dan/atau binalnnya kelompok radikalis militan baru-baru ini. Kelompok ini menyatakan bahwa: karena terjadi deskriminasi sosial dan imperialisme agama baru, maka perlu ditegakkan Khilafah Islamiyah di muka bumi ini, dengan jalan jihad dan perang.

Terorisme dengan motif agama pada hakikatnya adalah fenomena gunung es, semua yang muncul ke permukaan dianggap representasi final dari suatu pokok permasalahan, padahal di bawah sana masih menggelayut permasalahan lainnya yang belum terungkap. Setelah peristiwa 11 september 2001 sampai sekarang, stigmasisasi buruk terhadap Islam terus terjadi hingga puncaknya hawa Islamophobia. Agama Islam dituduh sebagai pencetak teroris, pesantren-pesantren menjadi basecame teroris, dan diskriminasi eksistensial terhadap orang berjenggot, pakai gamis keluyuran di mal-mal ditangkap karena takut membawa bom.

Teror yang menggunakan jubah agama terus merangsek masuk dan seolah merepresentasikan Islam yang sesungguhnya. Sinisme Barat dan dunia terhadap Islam hadir pada konteks ini: padahal mereka kurang paham dan kusamnya data, tafsir, dan analisa yang tidak menjelaskan wajah Islam yang sebenarnya. Wajah Islam secara utuh tak bisa diperas dengan representasi sekelompok pelaku teror yang mengatasnamakan jihad sebagai panggilan agama. Padahal dalam Islam istilah jihad tidak sepicik itu. Jihad arti sebenarnya bekerja keras, bersungguh-sungguh, merangarahkan seluruh kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau mencapai tujuan yang mulia di jalan Allah SWT.

Jihad dengan terorisme tidak ada hubungannya. Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan dengan baik, bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa yang tidak membedakan sasaran. (hal 27)

Oleh sebab itu kita harus bersama-sama mengubur rapat-rapat kelompok radikalis dalam agama, dalam negara, bahkan dalam diri kita. Terorisme adalah permasalahan global yang sepatutnya tidak melulu diselesaikan dengan pertumpahan darah. Meskipun banyak organisasi militer anti terorisme diciptakan, telah banyak teroris yang dieksekusi mati, tapi masih saja ada benih-benih teroris baru tumbuh subur.

Buku ini adalah penyambung lidah dari berbagai literatur pendahulunya yang mengulas isu terorisme. Dalam penjabarannya yang mengalir, antara kata perkata, antara kalimat-perkalimat memudahkan pembaca untuk lebur ke inti pembahasan. Buku ini seolah menjadi autokritik terhadap apa sebenarnya jihad itu, Agama Islam, fundamentalisme dan radikalisme, dan siapa yang musti dicap teroris atau teroris yang benar-benar teroris.

Judul Buku      : Serial Terorisme Demokrasi 2: Densus dan Terorisme Negara
Penulis             : Dr. Muhammad Taufiq. S.H., M.H.
Cetakan           : I, Septermber 2016
Penerbit           : Pustaka Pelajar
ISBN               : 978-602-229-652-2
Tebal Halaman: 157
Peresensi         : Khairul Mufid Jr




Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com