Sabtu, 15 Oktober 2016

YA BASTA..!!! (Memutus Siklus Imperialisme Bahasa)

Google.com


Republik ini lahir dari rasa rindu yang dalam akan keadilan. Republik ini lahir dari ketidaksangkupan menahan rasa pahit akibat tertindas. Republik ini lahir dari kesadaran bahwa identitas ke-Indonesia-an harus dipertahankan dan direbut kembali dari kolonialisme-imperialisme. Itulah pledoi “Indonesia Mengguat” yang dibacakan Ir. Suekarno  di hadapan pengadilan kolonial di Bandung pada 02 Desember 1930.

Menjalani kemerdekaan tidak segampang yang dibayangkan. Ada perubahan drastis bangsa ini yang semula patriotik (pra kemerdekaan) menjadi bangsa lebih pendiam (pasca kemerdekaan). Semangat anti kolonialisme-imperialisme sejak awal, telah dibabat habis pada tahun 1965 hingga sekarang. Indonesia  yang “garang” tiba-tiba menjadi begitu “ramah” kepada Barat dan amat terbuka. Ini menjadi cambuk, akan seperti apa paras Indonesia kelak, minimal di usia yang ke-100 kemerdekaan pada tahun 1945.

Dalam dua dekade terakhir, selain isu tentang demokrasi, korupsi, intolerensi dan terorisme. Kita juga sering membicarakan isu “identitas nasional” yang sering difokuskan dan diperdebatkan dalam kajian psikoanalitik, paskastrukturalis dan paskakolonial. Isu identitas nasional Indonesia menjadi penting dibahas karena darurat multi penetrasi di semua sisi, yang wujudnya lebih samar padahal lebih berbahaya meskipun tanpa ada kontak fisik secara masif.

Bahasa Indonesia adalah identitas nasional. Atas nama keberagaman dan perbedaan itulah Bahasa Indonesia menjadi simpul erat bangsa ini, menjadi gerbong penyatu dari Sabang (ujung barat) dan Marauke (ujung timur). Dan terpatri kuat dalam kalimat magis “Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Menjoenjoeng Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia”, Sumpah Pemuda 28 oktober 1928.

Secara formal sampai saat ini Bahasa Indonesia mempunnyai empat kedudukan: (1) Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional, dibuktikan dengan digunakannya dalam Sumpah Pemuda. (2) Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, yang dibuktikan dengan masih digunakannya sampai sekarang ini. (3) Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, misalnya dalam buku, koran, acara televisi, siaran radio, website, dan lain-lain.

Identitas yang Luntur

Setelah peristiwa tahun 1998, dan setelah perang dingin menghasilkan jawara tunggal kapitalisme tahun 1991, ancaman terhadap Bahasa Indonesia kian hari tambah mencekam. Salah satunya “kegandrungan kita belajar Bahasa asing”. Bukan menjadi rahasia umum lagi kalau bangsa ini berduyun-berduyun mengikuti kursus-kursus bahasa asing, prodi-prodi bahasa asing dibuka. Bahasa Inggris salah satunya. Bahkan konon katanya, orang yang pintar Bahasa Inggris ia lebih bertuah, lebih gampang mendapatkan pekerjaan layak, dan menjanjikan kehidupan lebih baik. Tapi kita lupa dimana kita berpijak, dimana kita menghirup udara, dimana kita minum air, di tanah ibu pertiwi ini kan? Di tanah surga ini kan?.

Bukti kedua yakni “penyakit menular sok nginggris”. Dalam kegiatan sehari-sehari banyak ditemukan Bahasa asing yang keluar dari mulut kita; misalnya kata oke, download, upload, print, dinner, dan driver. Padahal dalam Bahasa Indonesia sudah ada kata iya, unduh, unggah, cetak, makan malam, dan pengemudi. Seolah-olah kita gengsi dan beranggapan kalau tidak menggunakan bahasa Inggris akan ketinggalan zaman, kuno, kurang beradab, dan tidak “gaul”. Belum lagi penyerapan bahasa asing. Secara adab penyerapan bahasa, alangkah etis, kalau  kita menyerap bahasa daerah terlebih dahulu, baru bahasa Asia, baru bahasa Arab, dan mentok-mentoknya bahasa barat, atau boleh dibilang Bahasa Inggris.  Inilah yang dikatakan Remy Sylado “9 dari 10 kata Bahasa Indonesia adalah bahasa asing” dalam bukunya.

Pertanyaannya, mengapa kita abai terhadap krisis identitas Bahasa Indonesia dari dahulu hingga sekarang. Padahal kalau kita renungkan tulisan Ajip Rosidi “berbanggalah dengan Bahasa Indonesia” mestinya kita malu. Ia menulis: “sebelum kita merdeka, Bangsa Indonesia sudah mempunyai satu bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Sementara itu negara jiran Malaysia tidak dapat menetapkan satu bahasa saja sebagai bahasa nasionalnya. Di negeri siti Nurbaya itu ada empat bahasa resmi; Inggris, Melayu, Tionghoa, dan Tamil”.

Kondisi serupa juga dijumpai di India, di negeri Shah Rukh Khan itu ada 16 bahasa resmi, selain bahasa Indi, mereka memiliki bahasa alternatif Bahasa Inggris yang merupakan warisan bahasa penjajah. Di Filipina sama saja, Bahasa Tagalog berdampingan dengan bahasa-bahasa lain termasuk Bahasa Inggris. Tapi alih-alih kita bangsa dengan bahasa satu yang penuh haru biru, malah cenderung tidak menghormati bahasa nenek moyang, dengan mogok tidak berbahasa Indonesia lagi.

Fenomena ini diperparah, ketika Presiden Joko Widodo meminta agar syarat memiliki kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing dihapus. Konon, tujuannya untuk menggenjot iklim investasi di Indonesia. Sekretaris Kabinet Pramono Anung membenarkan; “Memang disampaikan secara spesifik oleh Presiden Joko Widodo untuk membatalkan persyaratan berbahasa Indonesia bagi pekerja asing di Indonesia”. (Kompas, Didik Sulistyanto. 19 September 2015). Ya basta..!!! Ya basta..!!!

Kalau kita lihat di beberapa Negara Eropa, Italia misalnya; di sana sangat sulit menemukan hal-hal yang tidak menggunakan Bahasa Italia. Seluruh rambu-rambu jalan menggunakan Bahasa Italia, majalah dan Koran berbahasa Inggris sulit sekali ditemukan. Walaupun ada, tetapi hanya di tempat-tempat tertentu dengan harga yang lebih tinggi dan tersedia hanya beberapa eksemplar saja. Televisi lokal, bahkan hanya satu program acara yang berbahasa selain Italia. Apakah kita bisa demikian? Jawabannya “bisa”. Tinggal kita menggenjot, mengajak, dan memberi tauladan ke generasi muda di setiap jenjang untuk mencintai Bahasa Indonesia. Saling gotong-royong antar pemangku jabatan di daerah hingga pusat untuk memasyarakatkan Bahasa Indonesia.

Bulan oktober adalah “Bulan Bahasa”. Bulan refleksi dan tidak pantas hanya untuk nostalgia. Mohammad Yamin akan tersenyum kalau peringatan “Sumpah Pemuda” menjadi magnet dan kilas balik sejarah untuk pengokohan identitas bangsa ini.


Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com