Google.com |
Republik
ini lahir dari rasa rindu yang dalam akan keadilan. Republik ini lahir dari ketidaksangkupan
menahan rasa pahit akibat tertindas. Republik ini lahir dari kesadaran bahwa
identitas ke-Indonesia-an harus dipertahankan dan direbut kembali dari
kolonialisme-imperialisme. Itulah pledoi “Indonesia Mengguat” yang dibacakan
Ir. Suekarno di hadapan pengadilan kolonial
di Bandung pada 02 Desember 1930.
Menjalani
kemerdekaan tidak segampang yang dibayangkan. Ada perubahan drastis bangsa ini
yang semula patriotik (pra kemerdekaan) menjadi bangsa lebih pendiam (pasca
kemerdekaan). Semangat anti kolonialisme-imperialisme sejak awal, telah dibabat
habis pada tahun 1965 hingga sekarang. Indonesia yang “garang” tiba-tiba menjadi begitu “ramah”
kepada Barat dan amat terbuka. Ini menjadi cambuk, akan seperti apa paras
Indonesia kelak, minimal di usia yang ke-100 kemerdekaan pada tahun 1945.
Dalam
dua dekade terakhir, selain isu tentang demokrasi, korupsi, intolerensi dan
terorisme. Kita juga sering membicarakan isu “identitas nasional” yang sering
difokuskan dan diperdebatkan dalam kajian psikoanalitik, paskastrukturalis dan paskakolonial.
Isu identitas nasional Indonesia menjadi penting dibahas karena darurat multi penetrasi
di semua sisi, yang wujudnya lebih samar padahal lebih berbahaya meskipun tanpa
ada kontak fisik secara masif.
Bahasa
Indonesia adalah identitas nasional. Atas nama keberagaman dan perbedaan itulah
Bahasa Indonesia menjadi simpul erat bangsa ini, menjadi gerbong penyatu dari Sabang
(ujung barat) dan Marauke (ujung timur). Dan terpatri kuat dalam kalimat magis
“Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Menjoenjoeng Bahasa Persatuan, Bahasa
Indonesia”, Sumpah Pemuda 28 oktober 1928.
Secara
formal sampai saat ini Bahasa Indonesia mempunnyai empat kedudukan: (1) Bahasa
Indonesia sebagai identitas nasional, dibuktikan dengan digunakannya dalam
Sumpah Pemuda. (2) Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, yang dibuktikan
dengan masih digunakannya sampai sekarang ini. (3) Bahasa Indonesia sebagai
alat komunikasi, misalnya dalam buku, koran, acara televisi, siaran radio,
website, dan lain-lain.
Identitas yang Luntur
Setelah
peristiwa tahun 1998, dan setelah perang dingin menghasilkan jawara tunggal
kapitalisme tahun 1991, ancaman terhadap Bahasa Indonesia kian hari tambah mencekam.
Salah satunya “kegandrungan kita belajar Bahasa asing”. Bukan menjadi rahasia
umum lagi kalau bangsa ini berduyun-berduyun mengikuti kursus-kursus bahasa
asing, prodi-prodi bahasa asing dibuka. Bahasa Inggris salah satunya. Bahkan
konon katanya, orang yang pintar Bahasa Inggris ia lebih bertuah, lebih gampang
mendapatkan pekerjaan layak, dan menjanjikan kehidupan lebih baik. Tapi kita
lupa dimana kita berpijak, dimana kita menghirup udara, dimana kita minum air,
di tanah ibu pertiwi ini kan? Di tanah surga ini kan?.
Bukti
kedua yakni “penyakit menular sok nginggris”. Dalam kegiatan sehari-sehari
banyak ditemukan Bahasa asing yang keluar dari mulut kita; misalnya kata oke, download,
upload, print, dinner, dan driver.
Padahal dalam Bahasa Indonesia sudah ada kata iya, unduh, unggah, cetak, makan malam, dan pengemudi. Seolah-olah
kita gengsi dan beranggapan kalau tidak menggunakan bahasa Inggris akan
ketinggalan zaman, kuno, kurang beradab, dan tidak “gaul”. Belum lagi
penyerapan bahasa asing. Secara adab penyerapan bahasa, alangkah etis,
kalau kita menyerap bahasa daerah
terlebih dahulu, baru bahasa Asia, baru bahasa Arab, dan mentok-mentoknya
bahasa barat, atau boleh dibilang Bahasa Inggris. Inilah yang dikatakan Remy Sylado “9 dari 10
kata Bahasa Indonesia adalah bahasa asing” dalam bukunya.
Pertanyaannya,
mengapa kita abai terhadap krisis identitas Bahasa Indonesia dari dahulu hingga
sekarang. Padahal kalau kita renungkan tulisan Ajip Rosidi “berbanggalah dengan
Bahasa Indonesia” mestinya kita malu. Ia menulis: “sebelum kita merdeka, Bangsa
Indonesia sudah mempunyai satu bahasa nasional, Bahasa Indonesia. Sementara itu
negara jiran Malaysia tidak dapat menetapkan satu bahasa saja sebagai bahasa
nasionalnya. Di negeri siti Nurbaya itu ada empat bahasa resmi; Inggris,
Melayu, Tionghoa, dan Tamil”.
Kondisi
serupa juga dijumpai di India, di negeri Shah Rukh Khan itu ada 16 bahasa
resmi, selain bahasa Indi, mereka memiliki bahasa alternatif Bahasa Inggris
yang merupakan warisan bahasa penjajah. Di Filipina sama saja, Bahasa Tagalog
berdampingan dengan bahasa-bahasa lain termasuk Bahasa Inggris. Tapi alih-alih
kita bangsa dengan bahasa satu yang penuh haru biru, malah cenderung tidak
menghormati bahasa nenek moyang, dengan mogok tidak berbahasa Indonesia lagi.
Fenomena
ini diperparah, ketika Presiden Joko Widodo meminta agar syarat memiliki
kemampuan berbahasa Indonesia untuk pekerja asing dihapus. Konon, tujuannya
untuk menggenjot iklim investasi di Indonesia. Sekretaris Kabinet Pramono Anung
membenarkan; “Memang disampaikan secara spesifik oleh Presiden Joko Widodo
untuk membatalkan persyaratan berbahasa Indonesia bagi pekerja asing di
Indonesia”. (Kompas, Didik Sulistyanto. 19 September 2015). Ya basta..!!! Ya
basta..!!!
Kalau
kita lihat di beberapa Negara Eropa, Italia misalnya; di sana sangat sulit menemukan
hal-hal yang tidak menggunakan Bahasa Italia. Seluruh rambu-rambu jalan
menggunakan Bahasa Italia, majalah dan Koran berbahasa Inggris sulit sekali
ditemukan. Walaupun ada, tetapi hanya di tempat-tempat tertentu dengan harga
yang lebih tinggi dan tersedia hanya beberapa eksemplar saja. Televisi lokal,
bahkan hanya satu program acara yang berbahasa selain Italia. Apakah kita bisa
demikian? Jawabannya “bisa”. Tinggal kita menggenjot, mengajak, dan memberi
tauladan ke generasi muda di setiap jenjang untuk mencintai Bahasa Indonesia.
Saling gotong-royong antar pemangku jabatan di daerah hingga pusat untuk memasyarakatkan
Bahasa Indonesia.
Bulan
oktober adalah “Bulan Bahasa”. Bulan refleksi dan tidak pantas hanya untuk
nostalgia. Mohammad Yamin akan tersenyum kalau peringatan “Sumpah Pemuda” menjadi
magnet dan kilas balik sejarah untuk pengokohan identitas bangsa ini.