Selasa, 18 Oktober 2016

La Jeu Gan, Raja Bhumibol Adulyadej

Negeri Gajah Putih, Thailand tengah berduka. Raja Thailand Bhumibol Adulyadej (88) telah mangkat pada hari kamis, 13 oktober 2016. Peristiwa memilukan ini menjadi pukulan telak bagi keluarga kerajaan, rakyat Thailand, dan dunia akan sepak terjang raja (yang bergelar Rama IX) selama hidupnya. Rakyat Thailand kehilangan raja yang dicintai dan termanifestasikan dengan “berkabung nasional selama satu tahun”. Seluruh badan pemerintahan mengibarkan bendera setengah tiang selama sebulan, dan rakyat menggunakan baju hitam selama tenggat waktu yang tidak ditentukan.

 Raja Bhumibol Adulyadej lahir di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, 05 Desember 1927. Ia mendapat gelar sebagai Raja Rama IX pada 09 Juni 1946, di usia ke-19 tahun. Waktu itu ia tengah belajar ilmu hukum dan ilmu politik di Swiss. Ia diangkat menjadi raja menggantikan kakaknya, Raja Ananda Mahidol yang ditemukan tewas di kamarnya dengan peluru di kepalanya. Pada tanggal 05 Mei 1950, beberapa hari setelah menikah dengan sepupunya, yang kemudian dikenal dengan nama Ratu Sirikit, ia kembali ke Thailand dan dinobatkan secara resmi sebagai raja Rama IX.
Kepergian Raja Rama IX, yang tidak pernah tersenyum ini meninggalkan banyak pertanyan politik domestik  yang harus menentukan penggantinya menjadi Rama X. Kalau secara garis keturunan kaum aristokrasi adalah anak putra tertua, putra mahkota Pangeran Maha Vajiralongkorn sebagai satu-satunya anak laki-laki di antara empat anak Bhumibol. Namun pengangkatan raja masih ditunda sampai selesainya masa perkabungan. Sedangkan kelangsungan Dinasti Chikri sementara berada pada Perdana Menteri Prem Tinsulanonda, Kepala Dewan Penasihat Kerajaan.

Membangun dan Menghidupi

Raja Bhumibol yang mempunyai sikap santun dan sederhana itu berkuasa selama 70 tahun, 126 hari. Ia tercatat sebagai raja kaya raya dan terlama berkuasa di suatu negara di dunia. Rakyat Thailand telah menganggap Raja Bhumibol sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, bagian dari sejarah rekonstruksi Thailand yang hancur.

Setelah dinobatkan sebagai Raja Rama IX pada 09 Juni 1946, sang raja secara sistematis membangun seluruh negeri, tak sungkan turun ke desa-desa, merealisasikan kekayaan pribadinya untuk membangun sekolah dan sektor pertanian. Makin ke sini, ia mengubah wajah Thailand dari sebuah negeri berbasis pertanian menjadi salah satu negeri industri dan perdagangan modern serta memiliki kelas menengah yang terus berkembang. Tak ayal kalau Trias Kuncahyono mengatakan: Raja Bhumibol mewarisi semangat dan roh reformasi dari kakek-moyangnya, Raja Mongkut (1804-1868).

Raja Bhumibol  menjadi magnet bagi rakyat Thailand. Ia menghidupi dan membangun peradaban Negeri Singa Putih itu. Ia selalu muncul sebagai penengah jika terjadi ketegangan antara sipil dan militer. Selama 70 tahun terakhir, kudeta demi kudeta terjadi, perdana menteri pun datang dan pergi. Sementara Raja Bhumebol tetap berdiri kokoh di tempatnya. Bahkan, pada tahun 1992 ketika terjadi kerusuhan berdarah di Bangkok, menyusul kudeta militer, Raja Bhumibol memanggil pelaku kudeta, Jenderal Suchinda Kraprayoon, dan memintanya mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan darurat. (Kompas: 16 oktober 2016).

Dalam hiruk-pikuk perkabungan mengantar arwah Raja Bhumibol, Jumat 14 oktober 2016. Ada salah satu rakyat mengatakan: “Raja kami adalah orang yang membuat Thailand seperti ini. Dia orang baik, dia membangun banyak hal untuk Thailand dan untuk kami sangat kehilangan.” Kata Thanyaluck (59) warga asal distrik Minburi.

Ancaman baru

Duka rakyat Thailand tidak hanya karena kepulangan Raja Bhumibol, tapi ketar-ketir akan masa depan Thailand ketika disetir Pangeran Maha Vajiralongkorn. Karena rakyat meragukan sang pangeran menginat selama Pangeran Maha Vajiralongkorn hidup selalu di bawah bayang-bayang ayahnya. Beban berat sebagai putra mahkota membuat ia tidak dapat mengembangkan kapasitas dirinya secara penuh.


Sepanjang hidupnya, Pangeran Vajiralongkorn lebih sering tinggal di luar Thailand, Jerman dan Australia misalnya. Ia sudah menikah dan tiga kali cerai, dan menjadi antithesis dari mendiang ayahnya yang menikah hanya sekali dengan satu istri hingga akhir hayatnya.

Menurut Rene L Pattiradjawane, ada beberapa pandangan terkait persoalan ini: Pertama, putra mahkota Vajiralongkorn tidak memiliki karisma ayahnya, yang menjadi simbol politik penting di Thailand dalam menyatukan seluruh kekuatan rakyat di tengah arus globalisasi. Perilaku kehidupannya dikhawatirkan akan menjadikan Vajiralongkorn sebagai raja yang justru memberikan dukungan penuh kepada kaum setia, yang didukung elite militer yang selama ini berlindung di balik undang-undang lese-majeste yang menghukum siapa saja yang menghina dan menentang raja.

Kedua, persoalan politik domistik Thailand akan menjadi batu sandung serius bagi tumbuhnya Masyarakat ASEAN yang ditopang oleh pilar politik keaman dalam membangun sistem demokratis menjunjung asasi manusia ke luar dari penindasan kekuasaan. Ketiga, karena hambatan pertumbuhan masyarakat madani ASEAN, sulit bagi organisasi itu untuk menjadikan Asia Tenggara modern terkait dengan perubahan-perubahan penting guna menata ulang mekanisme ASEAN secara keseluruhan. Inilah ancaman baru otoritas Dinasti Chikri dan rakyat Thailand, yang pasti akan terjadi dan tinggal menunggu waktu saja.





Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com