Pengunjung Kantin UJB |
Pagi ini pada kalender 24 Februari 2017, saya menyambangi kampus kawan yang letaknya persis di bantaran sungai Kali Nongo, dan di sektor timur diapit Pasar Pingit adalah Universitas Janabadra di Jl. Tentara Rakyat Mataram Yogyakarta. Akbar biasa dipanggil di kampusnya dan Komer untuk panggilan eksentriknya di pesantren Hasyim Asy’ari.
Bisa dibilang saya paling sering menyambangi Janabadra kalau dipresentasikan dengan kawan2 pesantren lainnya. Kampus lain, misalkan UIN, ISI, UGM, UNY, UAD, UII, jarang saya berkunjung. Alasannya sederhana, saya dan Komer tak ada tumpangan masing2 dan terpaksa kami melipat jarak boncengan bolak-balik UMY (kampus saya) dengan Janabadra kampus Komer.
Janabadra didirikan pada 7 Oktober 1958 dengan nama Perguruan Tinggi Janabadra. Universitas ini menjadi salah satu universitas tertua di Kota Yogyakarta. Setelah disesuaikan dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi namanya diubah menjadi Universitas Janabadra
Di balik perjumpaan yang kesekian dengan kampus Janabadra, ada satu peristiwa unik nan mendebarkan. Salah satunya dengan banyaknya kawan dari Indonesia timur yang banyak berkeliaran di kampus ini. Komer juga banyak bercerita dengan suara lengkingnya tentang perjumpaan dan berkawan dengan mereka. Satu hal yang menjadi spirit bersama anak-anak timur yakni rela merantau jauh-jauh kesini untuk belajar di tengah isu santer pemberhentikan kontrak Freeport di Papua. Jamak dipahami kalau saudara kita menggantungkan perekonomiannya ke surga minyak itu.
Selain perjumpaan dengan Michael Kudiae, Syarif, dan Risdi ketika berpacu menulis esai di Indonesia Buku Yogyakarta. Saya juga sedikit mengenal kelucuan mereka ketika seorang comic Kompas TV si Ari Kriting dan Abdur sering membawa topik tentang Indonesia timur. Bagaimana topik yang mereka bawakan kadangkala melipir dan menggoncang aparatus negara, tentang kesenjangan dan pembangunan daerah yang tidak merata, alokasi anggaran dari pusat yang kadang tersendat disalurkan ke daerah-daerah nun jauh. Ini yang coba diubah generasi muda Indonesia timur ketika merantau jauh-jauh ke Kota Gudeg dengan membawa misi perubahan berkelanjutan.
Di losmen Janabadra ini, ada pemandangan unik ketika kantin-kantin yang jumlahnya enam kios itu menarasikan kebahagiaan, sarana berbagi, bercerita, ngopi, merokok, bahkan dari aparatus kampus juga lebur bersama dalam canda tawa. Ini mungkin langka ketika menilik kantin-kantin kampus lain, yang biasanya kesenjangan dan pengkhususan kantin dosen ya hanya untuk dosen, kantin mahasiswa yaa hanya hunian mahasiswa seperti di kampus saya.
Saya masih ingat ketika tahun 2014 masuk ke UMY, dan dipertemukan dengan kantin rakyat sebelah aula Sportorium pada sayap selatan kampus. Sebelum digusur, dahulu kami jagongan dan diskusi tentang dinamika kampus dan apa apun di kantin itu. Di sayap utara pun juga dibangun kantin rakyat yang posisinya dekat Fakultas Teknik dan Kedokteran. Namun karena ketatnya kebijakan kampus akhirnya pada pertengahan 2015, kantin-kantin itu dibumihanguskan. Para pedagang yang sudah puluhan tahun mengais rezeki terpaksa harus menggulung warungnya untuk hengkang dari kampus muda mendunia itu. Tak ada relokasi dan tak ada yang tersisa.
Ini pun yang dirasakan mahasiswa UGM ketika relokasi kantin Bonbin yang dahulu posisinya di Fakultas Ilmu Bahasa. Banyak yang protes dan banyak poster disebar untuk menentang kebijakan kampus. Dahulu kantin Bonbin menjadi huniaan para seniman, sastrawan, dan civitas akademika yang tanpa kelas.
24/02/17