Selasa, 07 Februari 2017

Ziarah Kampung Halaman


Sejak catatan ini dibuat, saya pulang kampung kira-kira sudah 10 kali dalam linimasa 4 tahun perantauan di Kota Gudeg Yogyakarta. Angka kepulangan yang tergolong padat jikalau dibandingkan dengan para pemburu ilmu kaliber Mbah Kholil (Bangkalan) yang sampai puluhan tahun tidak pulang kampung. Atau seperti tetangga saya yang men-TKI-kan diri ke negeri Jiran Malaysia atau ke negeri onta Arab Saudi yang pulang 5 tahun sekali. 

Ada yang berubah dan ada yang hilang kalau saya lihat mimik muka dan gerak masyarakat kampung saya. Misalkan dari arsitektur bangunan yang mengalami restorasi ala-ala kota, jalanan depan rumah saya pun sudah di-paving block, atau jalan desa yang Alhamdulillah juga sudah mulus. Bahkan pergantian generasi ke generasi masyarakat, dari banyaknya balita yang lahir dan tidak sedikitnya orang yang juga berpulang menghadap-Nya. Aneh kalau boleh saya katakan, karena saya rasakan gelinding waktu begitu cepat dan rasanya baru kemarin saya lulus dari sekolah madrasah di kampung saya, dan baru kemarin merasakan ospek di kampus (sekarang semester VI.)

Di kepulangan yang ke-10 ini saya rasakan banyak gejolak yang membara di hati saya. Pertama, tentang gerak asmara saya ketika sempat diparadekan dengan beberapa perempuan di kampung. Iya, memang ada beberapa perempuan yang pernah mengisi ruang-ruang hati saya, dan tak mungkin saya sebutkan di sini karena agak banyak (harap maklum). Tapi dari deret perempuan itu status mereka sudah jadi mantan-mantan saya, jomblo status saya saat ini. Dan sekarang tampaknya saya ingin mencari tambatan hati lagi, bukan untuk yang aneh-aneh tapi ke jenjang yang lebih serius.

Puncaknya—ketika teman-teman MA saya dahulu—sekarang sudah banyak dapat teman hidupnya, inilah titik didih batin saya. Agaknya. Dari tetangga sebelah rumah misalkan, ia sudah dapat tunangan yang setalah wisuda dan tunangannya lulus MA, mereka ditafsirkan akan melenggang ke pelaminan. Bahkan ada yang sudah mendahuluinya dengan kondisi teman saya sudah menimang dede kecil.

Ada banyak pertanyaan menggempur dari sekeliling saya tentang semesta asmara. Apakah saya cuek? Tidak juga. Apakah saya malu? Agaknya. Apakah saya juga ingin menyusul teman saya? Kayaknya begitu. Entah mengapa ketika pulang kampung nuansa macam itu selalu datang, saya selalu gusar dibuatnya. Hal ini jadi antitesis ketika di perantauan, yang isi otak saya hanya belajar, bermain, menulis, kuliah, mikirin karier, berselimut dengan lapar, dan ihwal asmara nampaknya jarang menghantui. Tapi sekarang agaknya momen yang pas untuk merajut vartikel-vartikel yang sudah lama hilang itu… wkwkwk..

Ketika sowan ke salah satu ustad. Sudah sepantasnya kamu menemukan teman hidup, kelakar beliau sok serius. Sambil dibumbui dengan kalimat-kalimat panas agar saya lekas mewujudkannya.

Dari beliau, ada tawaran perempuan yang dahulu sempat berjanji suci dengan saya. Dengar-dengar sekarang si orang tua mantan saya itu nyari orang Madura untuk dikawinkan dengan ankanya. Dan mafhum dikenal orang tua mantan saya itu hanya mengenal saya. Sontak saya gelisah, antara iya dan tidak, dan kayaknya saya mengarah ke tidak. Kenapa? Pasti teman-teman seangkatan MA tahu alasannya.

Entahlah, disisi lain saya sekarang memang kepincut dengan salah seorang perempuan lain yang saya yakini memang partikel rusukku yang hilang. Ia lebih santun dan tak ada bercak sama sekali dalam kisah asmara sebelumnya. Semoga saja memang dia!

Kedua, tentang carut-marut perekonomian keluarga. Saya kuliah memang karena keberuntungan, dan tentu doa orang sekeliling saya yang selalu berada di balik layar perjalanan hidup saya. Ketika saya pulang kampung, kenyataanya nasib keluarga saya lebih parah dari kehidupan di tanah rantau. Di sana, meskipun saya sering menahan lapar, dan memelas peradaban ke kos-kos teman, ternyata keluarga saya tak pernah makan masakan padang, atau mendapat uang 700 rb dalam sekejab, dan atau 3.600.000 dalam paruh enam bulan seperti yang saya rasakan. Mereka hidup sederhana, kerja serabutan, tidak cukup untuk beli kebutuhan sekunder dan tersier. Alokasi pendapatan diprioritaskan hanya untuk kebutuhan dapur. Apalagi sekarang, ketika alam tidak memberikan angin segar, tapi malah memberikan hujan-angin, yang semua tahu itu membingungkan petani untuk bercocok tanam. Keluarga saya memang bergantung kepada alam, dan alam juga yang mampu melemparkan saya ke tempat nun jauh di sana. Jika alam begitu, yah.. kasihan mereka.

Dalam keluarga saya ada sosok pahlawan yang selalu menjadi pencerah. Selain ibu kandung dan almarhum bapak saya, ada sosok perempuan tangguh yang usianya sudah 93 tahun; Rasmiya nama lengkapnya, dan mbah nama familiarnya bagi saya. Di usia yang hampir seratus tahun, beliau masih kuat untuk meladang dan berjalan kaki berkilo-kilo meter. Beliau juga aset keluarga ketika engkong saya dulu jadi tentara dan karena jasanya, mbah saya dapat pensiunan hingga sekarang. Darinya saya mendapatkan semuanya, semangat tak pernah menyerah, dan arti pengorbanan.

Ketika pulang kampung, selalu ada yang bisa dibawa ke negeri rantau. Gelora batin progresif saya laiknya laptop dan gadget yang baru di-install ulang. Semangat perjuangan untuk selalu mendaki dan berusaha jadi lebih baik, selalu mengalun mesra dalam sanubari terdalam. Hingga resolusi balik rantau saat ini adalah: saya harus lebih produktif menulis, rajin kuliah, mandiri semandiri mandirinya, jaga sholat, menembak si dia, dan selalu bermanfaat bagi sesama.. amin..!!

03/02/2017
Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com