Senin, 13 November 2017

Sekaten, Sinkretisasi dan Modernisasi

Sumber Gambar: hipwee.com
Perayaan Sekaten telah tiba lagi. Masyarakat menyambutnya gegap gempita, karena momentum luhur ini adalah kebahagian kolektif dan telah mengakar sejak lama dan menjadi kisah sukses sinkretisme kebudayaan Jawa dan agama Islam. Setiap tahunnya digelar Gerebeg Gunungan Sekaten dan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) di erea Keraton, baik di Keraton Ngayogkarta dan Keraton Surakarta. Dengan semangat religius, historis, dan kultural, perayaan Sekaten dimaknai sebagai kristalisasi budaya, syiar, islamisasi, pesta rakyat, hiburan, dan penggerak ekonomi masyarakat Surakarta dan Yogyakarta.

Tidak banyak perbedaan, di antara kedua keraton tersebut dalam perayaan tradisi ini. Keduanya sama-sama diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal, tanggal 06 sampai dengan 12, bersamaan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Pasar Malam Sekaten sendiri berlangsung satu purnama penuh sebelum 12 Rabiul Awal. Selain PMPS, ada rentetan acara di dalamnya yang tidak bisa dilewatkan, Seperti; Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan, Numplak Wajik, Kinang (Jawa: nginang), Gunungan atau Gerebeg Maulud, dan makanan-mainan khas Sekaten seperti (telur asin, pecut, celengan, endog abang, gasing), yang kemudian dimodernisasi dan bertranformasi kini menjadi PMPS yang lebih komersial.

Perayaan Sekaten berawal dari bangkitnya Islam di Jawa pada abad ke 15-16 (masa pemerintahan Raden Patah; selaku Adipati Kabupaten Demak Bintara). Waktu itu Kerajaan Demak berhasil mengakuisisi kekuasaan di Pulau Jawa setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Dalam perkembangannya, perayaan Sekaten kemudian dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga dan para Walisongo. Para Wali ini berhasil menyatupadukan budaya setempat dengan nilai-nilai keislaman. Utamanya menggunakan kesenian karawitan (Gamelan Jawa) untuk memikat hati masyarakat. Sedangkan nama “Sekaten” berasal dari nama Kiai Sekati (nama Gamelan Sunan Kalijaga). Tetapi teori lain mengatakan, nama Sekaten berasal dari kalimat “Syahadatain” (asyhadu anla ilaha illa Allah). Kedua teori ini berbeda, namun memiliki kemanunggalan rasa dan misi perayaan Sekaten.

Sekaten dan Sinkretisme

Islam dan Jawa adalah dua entitas berbeda namun berdampingan. Agama memerlukan sebuah tradisi agar bisa berkembang, dan tradisi sangat membutuhkan nilai-nilai agama agar lebih bermakna dan lebih tolerir. Perjumpaan antara Islam dan Jawa inilah, kemudian membenihkan seubuah sinkretisme, Islam-Jawa. Karena Islam masuk ke Jawa pada masyarakat yang tidak hampa, tetapi masyarakat yang majemuk dan telah berkebudayaan khas. Komunikasi intensif antara Islam dan Jawa kemudian melahirkan kebudayaan baru. Alhasil, wajah Islam di Jawa pun berbeda dengan wajah Islam di belahan bumi lain.

Salah satu keunikan masyarakat Nusantara (khususnya; Jawa), mempunyai kemampuan mengambil dan mewujudkan kembali nilai-nilai dari luar yang sesuai dengan pengalaman di masa lalu. Dalam penjelasan sejarah inilah yang dimaksud dengan “local genius” masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dalam banyak hal misalnya dalam perwujudan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan negeri asalnya India. Bahkan kasta Brahma yang paling tinggi di India menjadi berbeda ketika ada di Indonesia. Kasta Brahma berada di bawah ksatria yang berkedudukan menjadi raja. Dalam perwajahan Islam pun demikian. Agama Islam di Jawa diwujudkan dalam bentuk berbeda dari negeri asalnya Timur-Tengah (Sika Nurindah, 2015).

Salah satu bentuk sinkretisme Islam-Jawa adalah perayaan Sekaten. Sebagai output sinkretisme, Sekaten memiliki tiga makna penting: Pertama, dibunyikannya dua perangkat gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga dan Kanjeng Kiai Guntur Madu selama 7 hari kecuali Kamis malam hingga Jumat siang. Kedua,  Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. pada 11 Maulud malam dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad di serambi Masjid Gedhe. Dan ketiga, sedekah Sultan berupa gunungan yang diperebutkan.

Modernisasi Sekaten
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) mulai dikenal sejak tahun 70-an. Dari kegiatan kebudayaan dan dakwah yang dilaksanakan zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I—mengadaptasi dari diselenggarakan Raden Patah di Kerajaan Demak—mulai tampak warna komersial dan hedonistiknya.

Sejak awal diproklamirkan hingga saat ini, tidak disangka perayaan Sekaten mengalami simtomatologi atau perubahan dari masa ke masa. Perayaan sekaten pada masa awal merupakan undangan Sri Sultan kepada Bupati di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menampilkan kesenian, kerajianan dan hasil bumi kabupaten. Pada masa Sultan Hamengkubuwono VIII, sekaten dibuka untuk masyarakat umum tidak hanya masyarakat Yogyakarta saja. Perkembangan selanjutnya Sekaten diorganisir oleh panitia khusus dari pemerintahan Daerah Yogyakarta.

Akan tetapi komersialisasi Sekaten kian tampak ketika tahun 2004-2005 diberi nama Jogja Expo Sekaten (JES). Sentuhan meodernisasi dan komersialisasi yang menguat, ternyata justru kurang dapat dinikmati rakyat. Ada sesuatu yang terasa hilang dalam JES. Sehingga kemudian dikembalikan pada PMPS (KR, 13/11).

Harus diakui, pesona komersialisasi telah menggeser sifat sakral. Apalagi pesona pendakwah mulai kalah dengan aroma saudagar. Sukses Sekaten pun lebih akan dilihat dari transaksi bisnis, bukan kesakralan dan religiusitas perayaan tersebut.  Cobalah kita iseng-iseng melakukan social experiment dan melayangkan pertanyaan kepada masyarakat; Sekaten itu apa? Bisa dipastikan menjawab “Pasar Malam”.


Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com