Jumat, 27 Januari 2017

Widji Tukul, dan Oase di Padang Kesusastraan

Kesusastraan kita tengah menggeliat di awal tahun ini. Bukan karena hibrida sastrawan muda, atau jutaan antologi puisi, cerpen, dan novel ramai dibedah, tapi karena pemutaran film biopic Wiji Thukul, Istirahatlah Kata-Kata. Film gubahan Yosep Anggi Noen (2016) ini tayang serentak di bioskop jaringan XXI di 19 kota di seluruh Indonesia, pada tanggal 19 Januari, dan untuk mengenang 19 tahun hilangnya Wiji Thukul (1998). Angka 19 sengaja dipakai sebagai simposium duka kolektif bangsa ini, atau usaha merawat ingatan dan menolak tegas upaya melupa tragedi penghilangan Wiji Thukul beserta 12 temannya.

Malam itu, orang berbondong-bondong memadati bioskop dari berbagai latar berbeda-beda. Selain berpijak pada penasaran, ada juga kalangan yang pernah berlintasan dengan Wiji dalam paruh hidupnya, pegiat HAM, akademisi, politikus, sastrawan, bahkan kelompok-kelompok arus bawah yang nasibnya paralel dengan Wiji Thukul ikut dalam kemanunggalan emosi yang sama. Maka tak ayal di semesta maya ramai Tagar #ThukulDiBioskop dan #IstirahatlahKataKata dan begitu banyak foto lembaran tiket diposting. Hari kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya animo penonton belum jua surut.

Laki-laki kelahiran Solo, dan tidak fasih menyebut huruf (r) itu memang eksentrik. Bayangkan saja, di Semarang penonton tak beranjak hingga layar disimpulkan. Di Surabaya, sejumlah anak muda berdiri dan melantunkan “Darah Juang” sebelum memasuki studio. Di Medan, kerumunan orang tak juga berakhir kendati bioskop telah ditutup. Buku saku berisi puisi Wiji dibagikan kepada penonton. Poster film jadi rebutan untuk berfoto dan dipajang. Ruang-ruang diskusi yang menurut produsernya menjadi spirit awal terciptanya film ini kembali terbuka. Hingga dipungkasi dengan fenomena nostalgik di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Setelah nonton film Wiji akan dilanjutkan dengan “Ngamen Puisi.” Istilah “Ngamen Puisi” memang sangat lekat dengan aktivitas Wiji, di masanya ia memang rajin menggelar acara pembacaan puisi dari kota ke kota, yang ia beri nama sendiri “Ngamen Puisi.”

Sang buruh pabrik itu laiknya magnet. Pada tubuhnya yang ringkih berdiam nyali, pada kakinya yang jenjang berdaki meluap-luap energi yang tak mau diam, pada lidahnya yang pelo berbiak api, kata-kata Wiji dalam sebaran puisi-puisinya adalah api yang membakar semangat buruh dan pembangkang, hingga membikin junta militer Soeharto ketar-ketir (Muhidin M Dahlan, 19/01/17).

Pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata banyak menuai simpati, walaupun di sana-sini masih banyak yang mencibir. Tapi presentase sementara menunjuk akan tingginya simpati, bukan karena kasus penghilangan Wiji, atau karena keadilan sulit ditegakkan, tapi karena Wiji berhasil menghidupkan puisi dan sifat bengalnya ke ruang publik, dengan medium yang tak biasa.

Jalan kepenyairan Wiji memang penuh duri dan tebing yang curam. Dengan latar yang bukan apa-apa ia bisa menggegerkan otoritas pemerintah saat itu, bahkan hingga kini gejolak apinya masih membara disaat keadilan kian terpasung. Dengan medium kata-kata ia mampu menampar siapa saja yang tidak memihak kepada penghuni arus bawah. Coba simak puisinya yang begitu menohok ini: Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang tak/ Kau hendaki tumbuh/ Engkau lebih suka membangun/ Rumah dan merampas tanah/ Seumpama bunga/ Kami adalah bunga yang tak/ Kau kehendaki adanya/ Engkau lebih suka membangun/ Jalan raya dan pagar besi (Puisi, Bunga dan Tembok).

Puisi Wiji seolah menghantui kaum elit yang doyan menggorok kaum pinggiran. Seolah teori Dependensia (ketergantungan), kelompok Periphery (pinggiran) terbiasa menggantung kepada Center (Pusat) tidak laku lagi di hadapan Wiji. Wiji Thukul dan puisinya memangkas sekat itu untuk pembiasaan tidak diam, untuk tidak menjadi bunga yang selalu dirontokkan. Tapi menjadi bunga matahari meskipun tumbuhnya di kolong jembatan tapi sinarnya mampu menerangi jalanan di atas jembatan.

Gejolak api perlawanan dengan medium puisi memang ampuh, bahkan memasyarakatkan puisi dengan ditayangkan ke bioskop-bioskop ketika bangsa ini terasing dengan dunia literatur juga begitu menjanjikan. Kita masih ingat ketika muda-mudi atau kaum uzur sekalipun tiba-tiba belepotan kata-kata romantis setelah menonton film AADC 2 (2016). Aan Mansyur sebagai orang yang bertanggungjawab, karena puisinya dibacakan Rangga untuk Cinta itu luar biasa romantis, penuh dengan metafor dan diksi mendayu-dayu dan mampu menghasut orang-orang yang awam puisi tiba-tiba menulis puisi.

Dunia kesusastraan kita kalau dikatakan stagnan, tidak juga. Dikatakan maju, ternyata tak. Kesusastraan kita memang bisa melangkah tapi geraknya seperti kura-kura atau siput yang lamban sekali geraknya. Karena kesusastraan wabil khusus puisi seolah berada pada ruang sunyi yang tentu orang-orang pilihan saja yang bisa memasukinya. Industri buku puisi pun beberapa tahun belakangan tampak lesu dan tak menumbuhkan minat baca publik. Penyair mati bila dihadapkan dengan penjualan buku puisi yang selalu sepi di bawah oplah minuman dan makanan ringan. Penyair lebih memilih mempublikasikan puisi-puisinya melalui media massa dan kemudian membukukan secara indie atau perorangan.

Maka film AADC 2 banyak ditonton orang, buku tidak ada New York Hari ini pun laris manis dan naik cetak ulang. Sastra seolah menemukan danau di padang yang gersang, sastra seolah menemukan gairahnya sendiri, penyair pun memiliki keyakinan kembali bahwa puisi bukan sekadar nyanyian sepi tanpa pendengar.

Padahal jika merunut sejarah kesusastraan kita ke belakang, puisi sempat menjadi taji tajam yang menguak sisi luka kehidupan sekaligus corong protes cukup nyaring dahulu kala. Bulu kuduk kita berdiri ketika membaca puisi Chairil Anwar, dada kita berdebar ketika nada-nada protes Wiji Thukul dipanggungkan.

Film ternyata bisa menjadi media kampanye paling efektif. Film AADC 2 dan Istirahatlah Kata-kata secara langsung telah menjadi media promosi akan kesususastraan, buku-buku puisi, ajakan kepada setiap kalangan untuk kembali menggandrungi sastra, dan mengetahui sepenggal kisah penyair, cerpenis, dan novelisnya.

Dan yang paling penting film telah membuktikan bahwa perjuangan lewat kata-kata adalah perjuangan yang nyata. Jika Harry Belafonte mengatakan “Anda dapat mengurung penyanyinya, tapi tidak dengan nyanyiannya.” Maka film dan AADC 2 dan Istirahatlah Kata-Kata seolah ingin mengatakan hal yang sama, namun dalam konteks yang sedikit berbeda. Lebih jauh lagi “Anda dapat menghilangkan sang penyair, tapi tidak dengan puisinya.”



Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com