Ruangan Utama Padepokan Kutub |
Hidup di kandang panulis, atau masyhur disebut "Padepokan Kutub" sangat menyenangkan. Ada debar dan ketir yang selalu melingkupinya. Apalagi ketika di antara kami saling hujat tentang sebuah karya, dalam momentum peradilan karya, kajian sastra. Bahkan saling membenturkan argumen dalam sebuah peradilan intelektual, kajian ilmiah (dahulu: kajian tokoh). Atau pun dalam panggung suara fals kami yang kami sebut shalawat/berzanji. Atau kegiatan semi wajib, semisal piket kebersihan, iuran listrik, mengajar TPA, dll. Mengapa semi wajib, karena kami sering abai tidak bersih-bersih, nunggak bayar SPP, sampai ratusan ribu nominalnya. Atau sering absen ketika anak-anak TPA sampai-sampai menyambangi kami ke padepokan. Dari musalnya yang “wajib” akhirnya turun tahta ke “semi wajib”. Konsistensi dan istiqomah sangat langka dari keseharian kami.
Meskipun tempat kami juga dilebeli pesantren, namun kami sering main gitar, main futsal, main ketipung, main perempuan, dan tak jarang melibas waktu sakral menghadap-Nya dalam rentang waktu lima kali dalam sehari. Saya menyebutnya sebagai santri sekuler, karena segalanya bisa datang dan hidup subur di sini. Hingga pada suatu masa, ketika menjelang akhir tahun 2015, tiga laptop—kekayaan kami satu-satunya itu—sempat digondol maling jam 3 pagi, ketika kami tidur pulas dan membiarkan pintu depan menganga dengan sombongnya. Tentu kami marah, walaupun sempat ada joke-joke lucu “bangun karena ada gempa”. Selang tragedi itu, bak gayung bersambut, tulisan kami sering dimuat di media cetak koran dan majalah dan/atau website.
Saya datang ke sarang penulis ini pada Bulan Agustus 2013, pasca perayaan idul fitri, pasca ditolak oleh dua Perguruan Tinggi Yogyakarta. Tapi setelah itu, saya tancapkan “niat belajar menulis” dalam hati, dalam-dalam. Dan di dinding-dinding kayu padepokan yang insyaallah berokah ini. Waktu itu, sekira 10 santri punulis yang menyambut saya dengan ramah, santun, walaupun dibalik itu karena obyek barang bawaan saya, kardus bekas yang berisi jajanan dan beras 1 kg. Setelah itu mereka cuek banget. Ternyata memang begitu kultur penghuni padepokan ini terhadap santri baru, sengaja diuji nyali, agar mental dibangun sedini mungkin. Karena sejauh ini, saya tahu jikalau penulis-penulis di sini adalah manusia-manusia pilihan. Puluhan orang berguguran di tengah jalan, bahkan di awal perjumpaan ketika keadaan kami seperti ini.
Makin ke sini, saya mulai paham dengan lingkungan padepokan ini. Hingga pada akhirnya dipungkasi sebuah kabar baik, ketika satu semester berproses di sini, tulisan bergenre puisi dimuat di Minggu Pagi, berdempetan dengan patron saya Anwar Noeris yang sama-sama santri baru. Maka, sebagai pembuka kran itu, saya hadiahkan kepada santri penulis di sini semua honor pertama saya itu. Kalau tidak salah sekira 100 ribu rupiah. Jangan diukur dari materi kalau untuk sebuah tulisan pertama di media. cetarnya itu lhoo..
Waktu terus menggelinding, banyak melibas peristiwa, dan banyak menumbangkan para pendekar penulis di padepokan ini. Tapi jangan salah, “menumbangkan” dalam artian adalah pergi (resign) dari padepokan ini. Pendekar seangkatan saya di tahun 2013 juga tidak sedikit yang hengkang. Bukan apa-apa, bukan bangga karena berkurangnya saingan di media, tapi problem turunannya adalah siapa yang me-ngemong santri-santri anyar yang datang silih berganti.
Keluh-kesah di rumah saya ini, memang tidak untuk apa-apa. Bukan untuk kepentingan apa-apa.
Di paruh waktu tahun 2014, ketika saya semester 3 di salah satu perguruan swasta Yogyakarta, dan beberapa tulisan telah nangkring manis di media. Alangkah naifnya, alangkah tidak percayanya, saya diangkat menjadi lurah padepokan ini, dan Anwar Noeris sebagai wakilnya. Bukan apa-apa, bukan bahagia pula, tapi saya jelas-jelas menolak. Dan siapa pun diangkat jadi lurah di padepokan ini pasti menolak. Tidak ada yang legowo, terlalu pandir dengan segala macam beban yang akan dipikulnya. Walaupun tentu ada hikmah dan barokah di balik itu semua. Akhirnya saya meng-iyakan dengan desakan bertubi-tubi yang menampar di malam itu. Saya menggantikan saudara Saifa Abidillah, salah satu mahasiswa akhir UIN-SUKA, yang ketika catatan ini ditulis, masih belum juga merampungkan skripsinya.
Di awal menyandang jabatan lurah, saya tentu was-was mengambil kebijakan, karena masih ada stakeholder (empu) yang mengawasi jalannya roda padepokan agar tatap seimbang dan tidak ada ban bocor. Diantaranya, ada bapak musyawarah burung-burung Empu Ridhafi Asah Atalka, bapak kuda terbang Empu Saifa Abidillah, bapak Lawe Ahmad Naufel, dan bapak Arya Dwipangga Muafiqul Khalid MD.
Di awal jabatan ambiguitas itu, alangkah hinanya telah terjadi sedikit goresan di langit-langit padepokan ini. Yakni sebuah tragedi kemanusian, ketika salah satu dari kami berbuat sesuatu, jenaka, memalukan, dan menggoyang eksistensi padepokan ini. Amazing phenomenon. Kami mengkultusan itu sebagai “Tragedi pom bensin”, para pendekar pasti mafhum dengan istilah ini.
Di awal tahun 2015, ada pula segelintir tragedi dalam roda pemerintahan saya, yakni peristiwa ketika kami melakukan kegiatan satu malam mengenang pendiri padepokan kami Gus Zainal Arifin Thoha, haul kami menyebutnya. Tragedi itu cukup menggetarkan padepokan kami, ketika pengampu padepokan baru padepokan ini tidak mau datang ke acara itu. Kami paham, tapi toh sikap responsibility harus ditegakkan seperti selalu dikumandangkannya sesekali. Di tahun berikutnya ternyata lebih baik, karena pengampu menjadi katalisator haul, dan menjadi jimat promosi ke masyarakat bahwa sebentar lagi akan ada pembangunan padepokan baru. Di tanah sendiri samping musholla, dan tentu lebih representatif untuk dikata pesantren.
Alhamdulillah saat catatan ini ditulis, pembangunan padepokan baru kami kurang lebih telah berjalan 80%. Dengan berbagai tragedi melingkupinya, meskipun tidak maksimal 100% kami sejatinya juga terlibat dalam pembangunan, meskipun cuma angkut pasir, ngontrol kehadiran tukang, ngedak (ngecor) dll, semoga tidak dianggap tidak bantu-bantu sama sekali.
Di tahun 2016, selain kami mengardip tulisan yang dimuat dalam bentuk print out, kami juga mengarsip tulisan dalam sebuah website: lesehansastrakutubyogyakarta.blogspot.co.id/ jika antum-antum ingin mengkroscek jerih-payah kami dalam berkarya.
Pada pertengatahan tahun 2017 adalah puncak jabatan berat ini. Semoga di pundak lurah baru dan padepokan baru akan melahirkan pendekar-pendekar penulis baru. Amin...!!