Sabtu, 07 Januari 2017

Sinyalemen Aksi Teror pada Awal Tahun 2017

Sumber Gambar: kabaroke.com
Pada penghujung tahun 2016, Densus 88 Antiteror Mabes Polri berhasil menembak mati dua orang terduga teroris di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Bahkan dalam waktu hampir bersamaan, sel teror ISIS juga ingin meledakkan Istana Negara (11/12/2016). Beruntung aksi teror itu tercium oleh Densus 88, kalau tidak betapa banyak korban akan berjatuhan. Ini menjadi sinyalemen buruk, bahwa di negeri ini aksi teror masih ada dan mengancam keberbangsaan dan kebernegaraan kita.

Jauh sebelum itu, pada penghujung tahun 2015, Zaenal ditangkap di Tasikmalaya karena diduga sebagai calon pengantin bom bunuh diri. Pada penghujung tahun 2014, Dodi Kuncoro juga ditangkap di Solo karena terduga akan meluluhtakkan sebuah kafe. Di penghujung tahun 2013 Densus 88 berhasil menangkap tiga orang terduga teroris di Bekasi, Lamongan, dan Jakarta. Lebih jauh lagi, pada akhir 2012 Tim Gegana berhasil menjinakkan bom di pos Polisi Poso. Situasi ini menjadi alasan kita untuk tidak tutup mata, bahwa dari waktu ke waktu aksi teror di negeri ini tidak akan ada habisnya. Bahkan bisa diprediksi di awal tahun 2017 ini.

Semakin Gencar

Berkaca pada perayaan Natal dan malam tahun baru kemarin, memang aksi kelompok teror bisa sedikit diredam oleh Polri dan TNI dan semua elemen masyarakat yang terlibat. Tidak ada laporan tentang aksi teror. Akan tetapi mereka tidak akan tinggal diam, dan bisa dipastikan kembali akan melakukan amaliyahnya (teror) pada awal tahun ini. 

Kalau dikaji ulang, memang potensi ancaman teror di negeri ini dari tahun ke tahun kian meningkat. Sel-sel ISIS, Al-Qaeda dan kelompok teror lainnya kian menjamur setelah konsentrasi sentral mereka di Irak dan Suriah akhir-akhir ini dibom-bardir. Bahkan menurut sebagian pakar politik internasional konsentrasi kelompok-kelompok teror akan banting setir ke timur, wilayah ASIA, bahkan Asia Tenggara.

Setelah Aleppo dan Mosul berhasil direbut oleh meliter Iraq dan Militer Suriah di bawah komando Bashar al-Assad, pasukan ISIS kian terkepung dan jumlah mereka semakin sedikit. Apakah ini kabar baik? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Karena efek turunannya seperti dilema dua sisi mata uang, pada satu sisi kantong ISIS sudah hancur (kabar baik) dan pada sisi lainnya akan jadi bom waktu (kabar buruk). Karena mereka akan diaspora ke tempat-tempat lain, dengan misi pemberangusan tentu semakin intensif memerintahkan para simpatasinnya di berbagai negara untuk melakukan serangan teror.

Bisa dilihat ketika tiga serangan di Negeri Kebab (Turki) oleh kelompok teroris di penghujung taun 2016. Pertama, ketika terjadi dua pengoboman  dalam waktu hampir bersamaan (10/12/16). Teror itu menyebabkan 29 orang tewas dan 166 terluka di luar stadion sepak bola Istambul, Turki. Kedua, seminggu berikutnya terjadi pembunuhan Duta Besar Rusia untuk Turki, Andrey Karlov (19/12/16). Bahkan, pada hari yang sama, pasar Natal di Breitscheidplatz, Berlin, Jerman, juga mendapatkan serangan mematikan. Sebuah truk sengaja di tabrakkan ke kerumunan warga yang menewaskan 12 orang serta melukai 49 orang lainnya.

Pada purnama yang sama, tanggal 22 Desember 2016, kelompok teroris kemudian menarasikan amarahnya dengan merilis penyiksaan terhadap dua tentara Turki yang dibakar hidup-hidup. Tragedi itu ditujukan untuk pemerintah Turki dan secara mondial mengabarkan kepada dunia bahwa mereka masih hidup gagah berani.

Dalam konteks Negara Indonesia, satu hal yang sangat disesalkan ketika membaca laporan Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, bahwa; saat ini ada sekitar 2.000-an warga negara Indonesia di Suriah. Sebagian besar dari jumlah tersebut tidak terdaftar, baik keberangkatannya atau pun sesampainya di Suriah. Dari jumlah itu, Polri mencatat bahwa tidak kurang dari 500 WNI sudah bergabung dengan ISIS sampai Oktober 2016.

Jangan Lengah

Aksi teror kapan saja bisa datang di negeri ini. Kewaspadaan dan jangan lengah begitu berarti ketika negeri ini akhir-akhir ini terus dilanda perpecahan.

Kalau melihat usaha penanganan aksi teror, sejauh ini terdapat tiga model penangan terorisme di berbagai negara; yaitu war model, criminal justice system, dan internal security model. Dan ketika dicermati mayoritas negara-negara di dunia menggunakan model perang (war model), dan menggeser model penegakan hukum (criminal justice system) yang selama ini jadi opsi tunggal. Dalam model perang, Militer dan Kepolisian menjadi aktor utamanya.    

Indonesia sendiri juga menggunakan pendekatan war model terhadap terorisme. Pelibatan TNI dan Polri dalam pemberantasan teroris sangat mumpuni kalau melihat track record-nya selama ini. Berbagai kalangan setuju dengan alasan memang membutuhkan TNI dan Polri untuk menindak pelaku teror.

Ancaman aksi teror memang tidak bisa diprediksi secara akurat kapan datangnya. Namun kedepannya untuk mengawali tahun 2017, selain keinginan primer kita yang sifatnya privasi, alangkah baiknya kita memasang resolusi tahun baru ini dengan “perang terhadap terorisme”. 





 

Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com