Selasa, 03 Januari 2017

Lamunan Nostalgik

Pesantren Darul Ihsan Sumenep
Sebagai sebuah paguyupan ilmu, Pondok Pesantren Darul Ihsan telah mencetak santri-santri penuh wawasan, religius, intelek, dan tentu diterima di masyarakat dengan baik. Dari awal berdiri hingga sekarang Pesantren Darul Ihsan menjadi barometer dan magnet untuk kawasan desa sekitar, kecamatan, bahkan kabupaten. Ini dibuktikan ketika banyak santri-santri militan yang banyak memenangkan event-event perlombaan di berbagai tingkatan, lomba pramuka misalnya.

Mengingat Darul Ihsan, tentu mengingat kedirian saya yang dimulai dari Pesantren ini. Mulai dari TK, MI, MTs, hingga MA, saya habiskan di pesantren tercinta ini. Selain karena saya juga berasal dari daerah yang sama, tentu tidak bisa dielakkan kalau pesantren ini memang posisinya di halaman rumah saya, yang sesekali senda gurau para santri, atau suara shawalatan terdengar ke bilik kamar saya. Yah, Darul Ihsan memang is the best.

Satu hal yang menjadi pijakan saya ketika di luar, yang saya dapat dari salah seorang ustad muda di pesantren ini mengatakan; “mon bedeh e dhisana oreng, sengak jhek her-beleheren, ben kengaeh oreng toanah, jhek mole mon kik tak sukses”. Maaf jimat ini tidak bisa di-translate ke bahasa Indonesia. Nah, pesan ini yang selalu menampar saya untuk tetap berdiri walau kadang angin pantai itu tiba-tiba jadi beliung.

Dalam beberapa menu kegiatan di Pesantren Darul Ihsan sangat konpleks, mulai dari kegiatan keagamaan, intelektual, kegiatan ekstra-kurikuler, pramuka, dan tentu kegiatan tahunan menyambut bulan maulid nabi, Lomba Pentas Ekspresi (LPE). Saya yakini kalau kegiatan perlombaan macam ini adalah baik untuk menunjang kreativitas, berani tampil, penuh persaingan, dan penggemblengan hidup. Namun, akhir-akhir ini ketika saya pantau dari berbagai sumber, ketika LPE dimulai sering terjadi lelaku kurang etis di antara kontestan. Sampai ada kelompok-kelompok militan yang berani menghasut santri-santri lain untuk juga larut dalam kebencian. Sehingga apa yang terjadi, akan ada gap atau jurang pemisah antara kompetitor yang mewakili kelasnya masing-masing.

Dalam kompetisi itu memang biasa terjadi, pilkades, pilkada, atau event olahraga Sea Games misalnya. Tapi sangat disayangkan kalau ini dimulai dari bawah (peantren, misalkan) sehingga efeknya akan menjamur ke adik-adik kita kelak. Apalagi menggunakan cara tidak waja.

Yah.. begitulah hidup, kita memang selalu berkompetisi dengan siapa pun dan kapan pun. Tapi ingat, kita harus profesional, kedepankan sportifitas, dan keep and touch (jaga komunikasi).


Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com