Add caption |
Tak ada tahun baru hari ini, tak ada tahun baru kemarin, semua tahun sama berguguran bersama air mata. Barangkali nomenklatur ini yang mewakili ketidaksanggupan kau dan aku melihat gerak-gerik manusia yang berbondong-bondong membanjiri jalanan, alun-alun, monumen, dan pantai untuk menyambut datangnya tahun baru.
Setiap tahun, kau dan aku selalu mempunyai jadwal khusus untuk menyambut malam pergantian tahun. Entah dengan pacar, teman, keluarga, atau selingkuhan, semuanya seolah-olah berada dalam arus gelombang yang memaksa kau dan aku lekas menciumi pesisir pantai. Atau antara kau dan aku seolah saling mimikri, tentang lelaku apa diantara kita masing-masing kerjakan di malam pergantian tahun. Kau meniup terompet maka aku pun juga demikian. Aku menyalakan kembang api, maka kau juga harus menyakalan kembang api. Semuanya menjadi satu rasa, satu jiwa yang memuncak dalam keramaian kota.
Tidak hanya di kota, tidak hanya di desa, dan dimanapun ada. Kau dan aku memang sengaja meluangkan waktu untuk menyambut malam pergantian tahun yang kita yakini bertuah itu. Kau dan aku menyingkirkan fokus pikiran yang selama ini membayangi kita; ambil contoh kasus bom bunuh diri dan terorisme, LGBT, reshuffle Kabinet, banjir, korupsi, pembakaran tempat ibadah, aksi demonstrasi 411 dan 212, pesona kopi Jesicca, bahkan berita nahas kegalaan Timnas Garuda mengangkat Piala AFF untuk yang kelima kalinya.
Pergantian tahun tentu harus dimaknai subtil, eksklusif, dan penuh bunga-bunga. Ada yang datang dan pergi (selamat datang Januari/selamat tinggal Desember). Tapi waktu bukanlah irisan roti yang berdempetan tapi terpisah. Karena waktu adalah serupa benang yang terus tersambung dari ujung ke pangkal. Tahun 2016 bergeser ke belakang (bukan hilang), dan digantikan oleh hari-hari di tahun 2017. Begitulah selamanya seiring irama kehidupan masih mengalun merdu.
Memang kau dan aku yang kadung kepincut untuk merakayakan tahun baru akan merasa ada yang kurang kalau tidak melakukannya kembali. Tapi kau dan aku coba pahami baik-baik nasehat lama ini: “waktu terbaik untuk menanam pohon adalah 20 tahun yang lalu. Tapi, apabila sudah terlewat, maka jangan khawatir, karena waktu terbaik menanam pohon itu adalah sekarang”.
Dan waktu pula yang menciptakan ada masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Dan siapa pun yang mampu memahami waktu itulah yang akan menjadi “jawara”. Karena waktu terbuka bagi siapapun untuk dipahami. Sayang, kau dan aku sering melewatkannya begitu saja tanpa menjadikannya apa-apa. Ini barangkali yang jadi alasan metafisis dalam ajaran Islam, Tuhan banyak bersumpah menggunakan diksi yang berdimensi waktu. Sebut saja: demi masa (wal ashri), demi malam (wal laili), demi siang (wan nahari), demi fajar (wal fajri), demi bulan (wal qamari), demi matahari (wasy syamsi), demi waktu duha (wadh dhuha).
Barangkali kau dan aku akan sedikit merasa tertusuk-tusuk untuk tidak melakukan lelaku mubazir di malam pergantian tahun ketika membaca sajak Nota Bulan Desember karya Penyair Ahmad Nurullah: Tak perlu kuucapkan “selamat tinggal” pada detik terakhir bulan Desember / dan “selamat datang” untuk detik awal Januari / Untuk apa? Segala waktu sama / Waktu adalah sumbu semua sejarah, ibu segala kepedihan. Almanak pun jatuh. Telungkup. Tahun bersalin / Tapi, di antara detik-detik yang gugur, bulan-bulan membusuk / hari-hari berkarat, dan jam yang menguning, banyak hal yang masih lengket—berkecamuk dalam kenangan.
Lalu apa yang baru dari waktu? Apa yang hendak kita rayakan pada tahun baru?. Dengan nada dan getar yang sama, atau bahkan lebih lirih lagi Nurullah kembali membatin: Seperti waktu, akupun terus berjalan: gelisah oleh tatapan / mata bulan. Gemetar di bawah kerling matahari / sebab, gara-gara waktu, banyak hal berdesak untuk diingat / dan aku berjuang untuk lupa—sebagai jalan / pembebasanku.
Syahdan, ketika kau dan aku renungkan ulang memang untuk apa meluangkan waktu di malam pergantian tahun, segala waktu sama. Tapi kau dan aku mengesampingkan itu, laksana waktu yang begitu egonya menggelinding tiada henti. Kadang kau dan aku sengaja duduk berdua dengan pasangan kita masing-masing, di pojok kesunyian dan dibawah rindang cemara pantai. Atau kau dan aku swafoto dengan pasangan kita masing-masing di tengah keramaian dan dibawah binar-binar langit yang dibercaki kembang api. Untuk apa? Untuk apa?.
Barangkali kau dan aku perlu memaknai malam pergantian tahun dengan lebih santun, atau kau dan aku eloknya merenungi segala kejadian yang sudah-sudah, untuk mengawali hari-hari yang yang lebih cerah besok-besok. Atau kau dan aku renungkan sajak Selamat Tahun Baru gubahan Mustofa Bisri; Selamat tahun baru kawan / kawan, sudah tahun baru lagi / belum juga tibakah saatnya kita menunduk? / memandang diri sendiri? / bercermin firman Tuhan sebelum kita dihisabnya?.
Lebih dalam lagi Mustofa bisri mempertegas kedirian kita dalam keberagamaan kita; kawan, siapakah kita ini sebenarnya? / Muslimkah? Mukminin? Muttaqin? Khalifah Allah? Umat Muhammad-kah kita? Khairi ummatin kah kita? Atau kita sama saja dengan makhluk lain? Atau bahkan lebih rendah lagi? Hanya budak-budak perut dan kelamin.
Maka diujung tahun ini, dengan tanpa niatan menyakiti penyuka gemerlap malam pergantian tahun. Alangkah etis dan beradabnya kita menyerobot kopi ditemani sebungkos rokok saja di rumah, atau duduk di kursi goyang sambil mendengarkan lagu Auld Lang Syne karya Robert Burns (penyair Skotlandia), yang liriknya berkisah tentang persahabatan, persaudaraan, dan menyiratkan pentingnya mengenang dan merenungkan peristiwa yang sudah-sudah.