Rabu, 11 Januari 2017

Rafsanjani dan Fenomena Iran

Rafsanjani
Republik rakyat Iran kehilangan sang penyeimbang, Akbar Hashemi Rafsanjani meninggal dunia di Teheran pada hari Minggu 08 Januari 2017. Presiden ke-4 Iran itu menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit karena menderita serangan jantung, pada usia ke 82 tahun. Banyak kalangan merasa kehilangan karena sentuhan revolusionernya.

Akbar Hashemi Rafsanjani atau familiar dengan nama Hashemi Bahramani adalah seorang penulis masyhur dan seorang politisi andal. Ia tokoh utama dibalik berakhirnya dualisme kepemimpinan atau kekuasaan di Iran, dan merupakan salah satu pilar Revolusi Iran (Jomhouri-e Iran) tahun 1979. Sikap pembaharu dalam jiwanya telah tertanam semenjak menduduki jabatan di parlemen sebagai ketua serta komandan pasukan tentara Iran, dan menjadi orang kepercayaan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ruhollah Khomeini.

Ketika masih hidup ia pernah menjabat sebagai Presiden Iran selama dua periode (1989-1997). Sebagai veteran politik, semangatnya tidak pernah padam, bahkan ia mencalonkan diri kembali sebagai Presiden Iran pada tahun 2005, namun dikalahkan Mahmoud Ahmadinejad. Majalah Forbes pernah mencamtumkan Rafsanjani dalam daftar orang terkaya di dunia dan pernah menulis bahwa dialah kekuatan yang sesungguhnya di balik pemerintahan Iran selama 24 tahun terakhir ini.

Dogma Pragmatisme

Kalau flashback lagi ketika Rafsanjani terpilih jadi Presiden Iran pada tahun 1989, hakikanya adalah sebuah keniscayaan, karena pada tahun yang sama Rakyat Iran kehilangan tokoh sentral Imam Khomeini yang meninggal dunia pada tanggal 03/Juni/1989. Rafsanjani seolah menjadi penyeimbang karena kepergian Khomeini membuat Rakyat Iran seperti kehilangan arah, dan menyebabkan banyak benturan kepentingan yang menyelimuti langit Iran. Selain semangat “Khomeinisme” masih menguat, waktu itu juga terjadi benturan antarulama yang berbeda haluan, ditambah persaingan antartokoh dan kelompok yang berbeda secara ideologis.

Begitu Rafsanjani terpilih sebagai presiden, dan Ali Khamenei menjadi pengganti Khomeini, menguatlah persaingan antarfraksi konservatif, pragmatis, dan radikal. Kubu ulama pragmatis berada di bawah Rafsanjani. Visi besar Rafsanjani adalah menciptakan negara yang kuat dengan birokrasi yang mumpuni: mampu dan cakap. Iran akan berfokus untuk membangun kembali masyarakat yang tercabik-cabik dan menyembuhkan luka akibat delapan tahun perang Iran-Irak (1980-1988).

Di bawah masinis Rafsanjani, lokomotif Iran memasuki zaman baru. Masa perubahan yang antara lain ditandai oleh adanya “pergeseran orientasi” dari jagat revolusi ke semesta pembangunan. Ia bahkan mengambil langkah moderasi dalam beberapa kebijakan luar negerinya. “jika orang percaya bahwa kita dapat hidup di balik pintu yang tertutup, mereka itu salah. Walaupun kita harus independen secara pantas, kita membutuhkan kawan dan sekutu di seluruh dunia,” katanya.

Konstelasi politik di dalam negeri pun lebih kondusif untuk gagasan-gagasan reformasi Rafsanjani. Kendati Rafsanjani sering disebut sebagai tokoh “pragmatis dan moderat”, tetapi semakin lama ia memerintah, dukungan cukup kuat dari sejumlah tokoh “garis keras” pun ia dapatkan. Di antaranya adalah, bekas PM Mie Hussein Musawi yang menjadi penasehat presiden urusan politik; Menteri dalam Negeri Hujjatul-Islam Abdullah Nuri; Jaksa Agung Mohammad Khatami (M. Riza Sihbudi, 1991: 225).

Di badan legislatif dan yudikatif, Rafsanjani juga mempunyai pendukung yang cukup besar. ketua Mahkamah Agung Ayatullah Mohammad Yazdi, misalnya, dikenal sebagai pendukung kuatnya. Baik dari yuridis-formal maupun realitas politik; Rafsanjani mempunyai basis kekuasaan yang sulit untuk digoyahkan.

Dalam menyampaikan pidato pelantikannya, Rafsanjani menegaskan bahwa kemerdekaan hanya akan mempunyai arti nyata apabila Iran kuat secara ekonomi. Ia menambahkan “kita tidak bisa membangun bendungan hanya dengan slogan”.

Rafsanjani tampaknya tidak ingin membuang-buang waktu. Sebuah rencana pembangun repelita yang bertujuan memulihkan ekonomi dalam negeri segera disusun. “revolusi adalah tugas revolusioner seluruh bangsa Iran”, kata Rafsanjani. Menyadari betapa parahnya kerusakan Iran akibat perang, ia lebih memprioritaskan program kerjanya pada pemulihan sektor industri, khususnya industri minyak.

Bahkan Rafsanjani memberikan tempat kepada sektor swasta. Ia mengendurkan kontrol sosial: perempuan bebas memilih model kerudung dan menggunakan make up di depan publik, kaum muda lak-laki dan perempuan lebih bebas berbaur di depan umum, pelarangan musik yang diterapkan di zaman revolusi dikendurkan. Pada masa itu, larangan penerbitan buku dicabut, termasuk produksi film dan pertunjukkan teater (The Atlantic, 8/1).

Pukulan bagi Rouhani

Meninggalnya Rafsanjani adalah pukulan telak bagi Hassan Rouhani (Presiden Iran sekarang), karena Rouhani sulit melepaskan pengaruh Rafsanjani dalam roda pemerintahannya, apalagi ia diprediksikan bakal mencalonkan diri sebagai presiden kembali pada Mei 2017. Dalam pemerintahannya selama ini Rouhani banyak mendapatkan dukungan dari Rafsanjani. Bahkan orang mau bekerja dengan Rouhani karena ada Rafsanjani di belakangnya.

Dalam suatu kesempatan Rouhani pernah mengatakan “Rafsanjani adalah legenda keimanan, kesabaran, toleransi dan moderasi”. Sehingga meninggalnya Rafsanjani akan menyulitkan Rouhani dalam sisa-sisa masa jabatannya, kalaupun mencalonkan kembali jadi Presiden Iran belum tentu ia menang karena kalangan reformis mulai memainkan tangan-tangan politiknya.

Dialah “sheikh moderasi”. Selain tokoh lintas negara merasa kehilangan, kepergiannya adalah simposium duka-lara terbesar bagi kubu pragmatis dan kubu reformis Iran saat ini.  
 

Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com