Sumber Gambar: kctv5.com |
Pada hari Sabtu (29/4), Presiden Amerika Serikat Donald Trump genap 100 hari menjadi penguasa Gedung Putih. Selama 100 hari kepemimpinannya, banyak perubahan terjadi ketika program-program kenegaraannya dilaksanakan, baik secara domistik maupun pengaruhnya di dunia internasional. Namun banyak pula janji-janjinya yang belum ditepati.
Apa pun alasan kemenangan dan keterkejutan dunia terhadap terpilihnya Donald Trump, dunia harus menghormati pilihan rakyat AS sebagai presidennya yang ke-45 dari partai Republik itu. Sehingga ketika Trump dilantik pada Jumat (20/02), muncul pertanyaan, apakah semua program-programnya dapat diwujudkan, atau itu hanya sebatas bualan dan janji semata. Apakah AS lebih inward looking?. Apakah AS akan menarik diri menjadi polisi dunia di sejumlah kawasan?. Apakah perdagangan bebas akan diakhiri?. Apakah AS akan menjadi anti imigran?. Apakah tembok tinggi jadi diangun?. Dan masih banyak apakah, apakah lainnya.
Janji Semu
Kalau kita mengawal program Donald Trump ke 100 hari kepemimpinannya, terlihat jelas masih banyak yang belum dapat diwujudkan. Terlepas dari taipan 70 tahun itu baru dilantik, kenyataannya ia agak lamban dalam melangkah. Bahkan kata James Jefrrey (Mantan Duta Besar AS untuk Iraq dan Turki, saat diwawancarai CNN, 26/4) mengatakan: “ Trump Menyimpang 180 derajat.” Karena kalau dicontohkan seperti rencana Trump untuk membangun tembok pembatas di perbatasan AS dan Meksiko akhirnya diurungkan. Sebab jika Trump bersikeras terhadap rencana itu, maka AS terancam dinonaktifkan (shutdown).
Untuk urusan imigran, suami Melania Knauss itu juga gagal untuk mereformasi aturan imigrasi. Lihat saja beberapa pemangku kebijakan di negara bagian AS, menolak perintah eksekutif presiden Donald Trump tentang pembekuan dana federal untuk kota-kota suaka, yakni kota yang membuka diri untuk para imigran dan pengungsi. Salah satunya dari hakim William Orrick dari San Fransisco, dan Ninth Circuit. Melihat gelagat tersebut Trump geram dan mengatakan “Sampai jumpa di MA”, tulis Trump di akun Twitter-nya.
Sedangkan di panggung internasional, Donald Trump terpaksa membatalkan niat luhurnya unuk menarik diri dari Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Dia malah mendaurulang komitmen AS terhadap organisasi tersebut. Dia hanya mengimbau negara-negara anggota NATO yang lain untuk memberikan kontribusi finansial sesuai kesepakatan awal. Yakni, 2 persen GDP.
Di kawasan Timur Tengah juga demikian, aksi militer AS di era Donald Trump membombardir Suriah dan Afanistan juga sebuah kesemuan. Serangan pertama ke Suriah pada (6/4/17), dengan kapal perang AS menembakkan sekitar 60 rudal tomahwk ke pangkalan militer rezim Assad. Kemudian beberapa hari berikutnya, Bom seberat 9.800 kg yang dikenal dengan sebutan “mother all boms” juga menghantam Afganistan. Dari kedua serangan tersebut tidak sedikit masyarakat sipil dan tentara yang tewas, dan ratusan orang luka-luka. AS yang katanya mau inward looking tidak kelihatan di sini.
Sedangkan di kawasan ASIA, Trump membuat sengketa Laut Tiongkok Selatan (LTS) kian tegang karena kritik pedas yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Rex Tillerson terhadap Beijing. Washington mengatakan akan bertindak tegas jika Tiongkok terus menerus meningkatkan eksistensinya di pulau-pulau karang laut sengketa tersebut.
Masih di kawasan ASIA, dalam dua pekan ini dunia ketar-ketir dibuatnya ketika ketegangan terjadi antara AS dan Korut. Kedatangan kapal USS Carl Vinson AS di semenanjung Korea, membuat Korut geram dan Pyongyang akan melancarkan serangan nuklir ke Washington dan ingin menenggelamkannya kapal induk bertenaga nuklir yang memiliki senjata lengkap itu. Maka tak ayal, kalau banyak pengamat mempertanyakan; Dengan kekuatan beberapa negara Super Power ikut terlibat, akankah terjadi Perang Dunia III?.
Nipotisme
Selama beberapa dekade, dengan silih bergantinya Presiden, Amerika Serikat sempat bekerjasama dengan sejumlah negara, dan berupaya keras memberantas nepotisme. Alasannya sangat kuat, yakni nepotisme melahirkan korupsi. Tapi Presiden ke-45 AS saat ini memang telah lama diketahui bahwa mencintai nepotisme. Ia sering melibatkan anak-anaknya dalam usahanya. “Saya suka nepotisme,” kata Trump dalam wawancara dengan Larry King dari stasiun televisi CNN pada 2006.
Lihat saja ketika Ivanka Trump (Putri Trump) diangkat menjadi penasehat kepresidenan. Di AS sendiri penunjukan Ivanka dan suaminya, Jared Kushner, sebagai penasehat Gedung Putih dikecam sebagai nepotisme. Atau kisah putra bungsu Trump, dari istri pertamanya (Ivana), secara resmi menjadi juru bicara sang ayah. Dia pun membela nepotisme yang dijalankan sang ayah degan menyebut praktik itu sebagai bagian dari kehidupan. Hingga pada tahapan ini, kita bisa mereka-reka empat tahun ke depan kondisi Amerika dan dunia di bawah nakhoda Donald Trump.
27/04/17