Jumat, 07 April 2017

Setangkai Rindu untuk Sang Perawat Literer

Sumber Gambar: akubuku.blogspot.co.id

"Allahummaghfir lahu, warhamhu, wa’aafihi, wa’fu ‘anhu, waj’alil jannata matswahu”

Ada beberapa penyair yang telah meraba-raba kematiannya pada puisi yang dicipta semasa hidup. Kristanto Agus Purnomo atau Kriapur salah satunya, dalam puisinya yang berjudul "Kupahat Mayatku di Air." Atau si binatang jalang (Chairil Anwar) dalam puisi "Yang Terhempas dan Yang Putus". Ketiganya, mengakhiri kehidupan sama persis apa yang telah dibayangkan.

Selain mereka, Gus Zainal Arifin Thoha juga pernah meraba kematiannya dalam puisi "Ciuman Terakhir Menjelang Kematian". Pada puisi yang dimuat dalam antologi puisi tunggal "Engkaulah Cinta, Akulah Rindu" itu, ia menulis begini: "Tuhan beri aku ciuman, biar segera lesat ini sukma, dan terlemparlah bangkai badan dari bau semesta". Gus Zainal pun dijemput maut dengan cepat dan mudah. Hanya dua cegukan dan beberapa menit menggigil kedinginan. Seperti permintaannya; "biar segera lesat ini sukma.”

Pada kalender 14 Maret 2007 Gus Zainal Arifin Thoha wafat. Tepatnya hari Rabu malam, sekira jam 22:00 WIB, di usia yang ke-35. Dan pada saat itu pula warisan berharganya (pesantren) hampir lenyap. Dengan segala lika-likunya Alhamdulillah warisan sejarah itu masih bisa bertahan hingga kini. Walau jurang dan tebing itu  begitu angkuh untuk ditaklukkan.

Setiap paruh waktu bulan Maret, kami (santrimu) selalu menyenandungkan doa yang dikemas dengan pengajian dan pagelaran sastra. Ada nama sastrawan kaliber Evi Idawati, Joni Ariadinata, Muhidin M Dahlan, Bambang Darto, Kuswaidi Syafi'ie dan santri pertamamu (Salman Rusydi Anwar) yang melibatkan diri untuk kristalisasi warisanmu itu. Hasilnya pun positif, kami bisa merawat dan meramaikan gubuk mungilmu di bantaran Jl. Parangtritis km 7,5. Dusun Cabean, Panggungharjo, Sewon Bantul itu.

Adalah Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy'ari, atau masyhur dengan dengan nama Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Macam Pesantren mandiri yang didirikan Gus Zainal Arifin Thoha (alm). Kami menyebutnya "Pesantren Menulis," karena kesibukan santrinya selain mengaji kitab klasik, pun juga mengaji sastra, politik dan filsafat. Dengan lelaku menguliti buku, menyemai kata-kata, dan mengirimkannya ke harian media cetak dan online adalah warisanmu yang tetap kami rawat hingga saat ini.  Pesantren ini lahir pada awal abad ke-21, awal masa reformasi, dan sebelum gadget berkeliaran di bumi Pertiwi. Sekira tahun 2000-an.

Para santri yang mondok di pesantren menulis ini, adalah mereka yang berasal dari keluarga yang tidak mampu. Para santri diajarkan bagaimana cara hidup mandiri, lepas dari orang tuanya, dengan menulis di media masa, menjual koran, buku, mengelola penerbitan, dan usaha lainnya. "Sudah miskin, jelek, sok-sokan mau kuliah, pemalas pula, tapi masih saja tidak berusaha" begitulah dawuh beliau untuk membakar semangat santri-santrinya.

Walaupun saya salah satu santri yang tidak sempat bersua denganmu, tapi saya masih ingat dan masih hapal nyanyian itu. Perjuanganmu membesarkan para santri ini adalah refleksi dari kehidupanmu semasa menginjakkan kaki di Yogyakarta. Tanpa  bantuan orang tua dan dengan mengendarai mimpinya yang meledak-ledak itu; panjenengan berani hidup mandiri, hidup dan membiayai kuliah di Yogyakarta dengan kocek sendiri. Menulis adalah salah satu atau profesi terbesar yang menghidupinya selama di Yogyakarta.

Barangkali karena perjuanganmu, lewat perantaramu yang dititipkan Allah Swt, maka tumbuh bermekaran penulis-penulis muda yang selalu menghiasi pelbagai media masa, misalnya Salman Rusydi Anwar, Gugun El-Guyani, Muhammadun As, Ahmad Muchlish Amrin, dan lain-lain.

Mungkin panjenengan belum tahu gus; Joni Ariadinata, sahabat dan kolega menulismu, yang dahulu saban satu minggu sekali mempresentasikan hasil bacaan bukunya dihadapanmu itu, kini tengah menakhodai (redaktur) cerpen di Jurnal basabasi.co. Atau santri penyairmu, Muhammad Ali Fakih, yang panjenengan jemput sendiri ke Terminal Giwangan itu kini telah berkeluarga, dan bekerja di penerbitan Diva Press. Dan kabar dari santri jeniusmu, Bernando J. Sutjipto, baru saja menyelesaikan masternya di Konya, Turki. Dan tentu kabar terbaru dari santri pertamamu, Salman Rushdi Anwar, kini melanjutkan kuliah S2 di UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta. Semangat belajarnya, pulang-pergi menaklukkan jarak Kebumen-Yogyakarta yang kira-kira 130 km itu. Uniknya, Cak Rusydi (nama karibnya) yantri lagi di pesantrenmu gus. Dan tentu untuk membimbing kami yang saban waktu tidak konsisten, malas-malasan, dan jarang mandi.

Dalam suatu kesempatan, Cak Kuswaidi Syafi’ie mengakatan; “Zainal Arifin Thoha seperti bangunan, di dalamnya ada berbagai dimensi pintu yang bisa dimasuki.” Jamak dipahami selama hidupnya, Gus Zainal tidak hanya dikenal sebagai aktivis, kiai, akademisi, jago silat, budayawan, tukang ramal, tapi juga sebagai perawat literer yang baik. Selain mengisi rubrik Serambi Jum’at di Koran Merapi, beliau juga tidak segan beradu tangkas dan produktif dengan santri-santrinya, saling sikat/sindir ketika ada yang paling dulu dimuat di media massa.

Egoisme yang tumbuh subur dalam diri Gus Zainal didesak paksa dengan kebeningan hatinya. Sifat kesederhanaannya adalah bukti kegagahan rohaninya, beliau tidak pandang bulu dengan siapa berkawan dan dengan siapa berhadapan. Karena bagi Gus Zainal semua itu adalah senyum pembebasan untuk lesat dalam pendakian spiritual.    

Satu hal yang selalu melekat dalam diri santri-santrimu gus, yakni tentang "trilogi azimat santri" spiritualitas, intelektualitas dan profesionalitas. Azimat Spiritualitas, terpantul dalam kegiatan-kegiatan keagamaan seperti shalawat barzanji dan mengaji kitab klasik. azimat Intelektualitas terpatri dalam kegiatan-kegiatan intelektual seperti kajian sastra dan kajian ilmiah. Sedangkan azimat Profesionalitas tercermin dari segala kegiatan-kegiatan para santri, seperti jual koran, berdagang, dan kuliah agar berprilaku profesional dan progresif. Sehingga trilogi azimat santri tersebut bisa jadi sangu ketika resign dari pesantren.

Dimensi inilah yang dibangun sekaligus menjadi jargon pesantren. Gus Zainal mengajak seluruh santri untuk berjalan beriringan menerapkan dimensi yang termanifestasikan dalam satu hadis khairun naas anfa’uhum linnaas (sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat kepada orang lain).

Maka untuk memungkasi tulisan ini, alangkah eloknya kalau menyimak sajak dengan judul "Zainal Arifin Thoha"" karya Kuswaidi Syafi'ie ini: Kau seorang kiai/Kau juga budayawan/Ucapanmu terpuji/Akhlakmu menawan. Sehabis takziah di Minggiran/Tadi aku berhenti depan rumahmu/Betapa rupamu amat jelas oh kawan bercawan-cawan rindu. Oh tuak apa ini yang sudah kutenggak/Hingga wajahmu jadi alamat Ilahi/Oh anggur apa ini yang sudah kugasak/Hingga hati menari tak kunjung henti. Dulu di malam-malam yang jelita/Kita berbincang tentang rindu dan cinta/Lalu batin kita memekarkan bunga/Yang harumnya melampaui langit jingga. Sudah lama kau menghadap pada-Nya/Sembari menungguku di sana, di sana (Sewon/ 9/ 03/ 2016).

07 April 2017





Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com