Senin, 10 April 2017

Post Child Syndrome

Sumber Gambar: webneel.com

Setelah gegap-gempita revolusi industri Perancis (1789-1799), setelah perang dunia I dan II (1914-1945), dan sehabis perang dingin purna pada tahun 1991, langkah peradaban dunia kini memasuki era baru. Semacam gerak zaman yang kau dan aku sebut zaman modern atau galib disebut globalisasi. 

Pada zaman modern, ruang baru yang dipertontonkan adalah kebebasan dan individualisme. Kebebasan untuk melakukan sesuatu dan kerja individu yang sekonyong-konyong banyak mendulang material. Langkah zaman pun ditandai dengan kehadiran teknologi dan percepatan informasi. Kau dan aku hari ini, jam ini, dan detik ini bisa tahu kehidupan orang-orang nun jauh yang terpenggal oleh batas geografis. Tanpa tedeng aling-aling dan tanpa keraguan sedikitpun, kau dan aku tahu apa yang tengah terjadi di belahan negara manapun, saat ini juga. 

Namun pada fragmentasi lain, hal ini akan menciptakan segregasi yang dapat mengakuisisi  kedirian manusia itu sendiri. Contohnya; kau dan aku semakin hari merasa semakin hidup sendiri, dan merasa hidup bersama ketika mendapatkan followers dan teman banyak di media sosial. Padahal itu sebuah keterpelantingan sosial yang durjana. Kau dan aku tidak tahu nama dan kepribadian tetangga terdekat, walaupun rumahnya berdempetan dengan rumah kita. Inilah yang disebut "mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat."

Atau dalam contoh lain seperti penyuplai informasi koran cetak, yang kini hampir punah karena diusik oleh mengakarnya media online. Hingga puncaknya media online dirasa lebih kredibel, lebih dan lebih. Inilah yang disebut para pakar "Senjakala Media Cetak." Padahal yang instan itu lebih cepat basi.

Pada petak zaman era modern ini,  alangkah eloknya kalau kau dan aku menyitir tetek-bengek adab media sosial.  Memang kau dan aku dihadiahi kemewahan dan kegembiraan lewat sebuah teknologi, gawai (telepon pintar) dan televisi misalkan. Ia menyediakan segalanya, termasuk (mohon maaf) menonton kerja keras kakek Sugioyono untuk melayani cucu-cucunya. 

Makin ke sini, semua orang pun semakin mudah dan gampang untuk terkenal secara konvensional. Tak usah capai-capai ikut kompetisi Indonesian Idol, The X Factor, atau Dangdut Akademy,  kau dan aku cukup unggah video kegilaan di You Tube maka bak gayung bersambut kau dan aku pasti jadi buah bibir di kalangan masyarakat. Kau dan aku pasti ingat bagaimana kehebatan Fingerstyle Guitar (Nathan), atau kekonyolan Ajudan Pribadi di instagram, bahkan pameran bola basket Duo Serigala yang banyak kecam itu. Semuanya  cepat terkenal,  dan insyaallah cepat pula hilang: Norman Kamaru dan Cesar contohnya.  Kemana mereka sekarang?.

Yang paling anyar adalah bocah kelas 6 SD: Dimas Pratama. Video somplaknya begitu banyak berkeliaran di YouTube, dan tentu sangat mengocok perut karena cadel untuk berbicara. Dalam video itu menggambarkan kehidupan masa kecil Dimas nan bahagia, waktu bermain diparadekan bersama teman-temannya. Bagi yang sudah terenggut masa kecilnya,  seolah bayangan masa kecil Dimas adalah jelmaan masa kecil kita, dan kita hanya bisa tersenyum kalau mengingat-ingatnya kembali.

Ya,  inilah yang disebut Post Child Syindrome. Dimana bayangan dan perasaan jadi anak kecil selalu muncul ke permukaan kembali, seolah-olah masih kecil dan muda walaupun rambut tak lagi hitam mengkilat. Meskipun bayangan itu terlihat subtil akan tetapi ia tertanam kokoh dalam batin dan pikiran seseorang. Seorang kakek pasti merindukan masa kecilnya,  seorang bapak pasti hapal masa kecilnya. Atau masa kecil saya yang kini juga berpulang ditelan waktu. Seperti baru kemarin, kata Gus Mus. 

Memang fenomena itu akan terampas sendiri seiring waktu dan zaman yang terus menggelinding cepat. Yang sudah tua akan merindukan masa pertama menikah, yang sudah berkeluarga merindukan masa-masa kuliah, yang kuliah merindukan masa-masa SMA, dan yang SMA merindukan masa-masa SD, yang SD merindukan masa-masa bayinya,  dan mungkin yang masih bayi merindukan kehidupan di alam rahimnya. Semuanya tersimpan rapi dalam kenangan. “Waktu adalah pabrik kenang-kenangan, seindah apapun kenangan itu, namun tetap menyakitkan.” Sanggah penyair Kuswaidi Syafi'ie pada suatu kesempatan. 

Proses mengingat-ingat ini adalah lelaku produktif untuk pengembaraan hidup kau dan aku sekarang. Pada zaman, umur dan kategori (anak, remaja, dewasa, tua) apakah kau dan aku sekarang?. Semua yang kita lihat saat ini adalah anak dan cucu masa lalu. Kau dan aku adalah produk kau dan aku yang dahulu, tetap sama dan mungkin iman dan pikiran saja yang berkembang atau bahkan terjangkal.

Dari siapa pun kau dan aku harus belajar. Bahkan dari tokoh yang sudah mendahului kita sekalipun. Maka simaklah puisi “Ziarah ke Makam Ayah” karya Ridhofi Ashah Atalka ini: “Begitu banyak, orang yang telah mati memberi semangat pada yang masih hidup/Dan banyak pula orang yang masih hidup membuat tak semangat orang lain/Ternyata benang keduanya begitu tipis oh paman/Seperti alis tipis yang uban dan alis tebal yang hitam legam.”
  
Begitu penting kau dan aku mengingat-ingat masa yang sudah-sudah. Alangkah eloknya kau dan aku membaca kejayaan Islam masa Rasulullah Saw. Masa Khulafaur rasyidin,  masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Kau dan aku tahu, islam dahulu hampir menguasai seluruh daratan dunia. Ekspansionisme khalifah atau proses islamisisi sampai ke negeri matador, Spanyol (Andalusia). Kau dan aku wajib belajar ketika keberislaman dan kebinekaan kita tengah tersaruk-saruk. Timur-Tengah telah porak poranda, Eropa dan Amerika tengah dikuasai kelompok konservatif sayap kanan, dan pakah kita juga demikian?.

Burjo: 10/04/17

*Pertama kali dipublikasikan di Koran Minggu Pagi, Jumat, 21 April 2017


Share:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com