Sumber Gambar: Dok. Pribadi |
Judul : Rumbalara Perjalanan
Penulis : Bernando J. Sujibto
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Penerbit : DIVA press
ISBN : 978-602-61246-1-6
Tebal Halm. : 184: 14 x 20 cm
Peresensi : Khairul Mufid Jr*
Yuval Noah Harari, 41 tahun, sejarawan kebangsaan Israel pernah menulis dalam bukunya, Sapiens: A Brief History of Humankind (2014) yang isinya begini: Manusia sebagai Homo Sapiens (hewan bijak, hewan berpikir) menunjukkan keberhasilannya sebagai spesies yang tidak punah karena ia menyusun fiksi, manusia membayangkan hal-hal yang tidak ada, dan menciptakan apa yang belum pernah ada. Dan pada fragmentasi lain manusia juga kritis untuk melepaskan diri dari satu fiksi, pindah ke fiksi lain dan mampu membedakan fiksi dari fakta. Kemampuan itu memungkinkan manusia berhimpun dan bekerjasama secara luas dalam cara yang tidak mungkin dilakukan oleh hewan-hewan.
Dengan kata lain, kemampuan berimajinasi memungkinkan terjadinya perubahan cepat di dalam masyarakat manusia. Hewan-hewan tidak bisa melakukan revolusi karena mereka tidak bisa melakukan revolusi karena tidak berimajinasi. Dalam koloni lebah misalnya, dikenal adanya lebah ratu dan lebah pekerja dan di sana ada juga pembagian kerja, tetapi kita tidak akan pernah membawa berita bahwa pada suatu pagi seekor lebah di dalam koloni itu membunuh ratu lebah dan mengobarkan revolusi, dan membangun pemerintahan komunis demi menegakkan otoritas lebah-lebah pekerja. Mereka tidak mampu mengarang cerita tentang perjuangan kelas (AS. Laksana “Para Pendongeng” Tirto.id, 17 April 2017).
Manusia sebagai produsen kisah, tidak mungkin melewatkan segala benturan-benturan ruang dan waktu yang mengantarkannya pada suatu pendakian hidup. Seorang penyair sebagai Homo Sapiens, pasti melahirkan anak-anak sajaknya lewat benturan kehidupan yang empiris. Sangat tidak mungkin seorang penyair akan melewatkan momentum-momentum perlintasannya dengan segala hiruk-pikuk kehidupannya untuk tidak lekas menuliskannya. Mustahil. Walaupun ada sebagian penyair hanya mengembarakan imajinasinya saja untuk menulis sajak, tapi hasilnya dangkal dan hambar. Maka tidak dapat dimungkiri kalau sajak adalah jelma dari penyairnya itu sendiri.
Pada 1927, pujangga besar asal India yang bernama Rabindranath Tagore berziah ke Candi Borobudur. Beliau menggubah sajak kenangan berjudul Borobudur. Kunjungan itu mengingatkan Tagore bahwa Jawa menjadi tanah tertua dalam alur sejarah religiusitas. Meski, perjumpaan singkat dengan Candi Borobudur dan tanah Jawa, beliau mampu melukiskan dan mengekspresikan ketakjubannya dalam sebuah sajak, yang tentu hasil sadur kehidupan nyata beliau.
Sebagai penyair cerdas dan cerdik membaca geliat kehidupan; Bernando J. Sujipto juga mencoba menggambarkan dan memaradekan kehidupannya dalam sehimpun sajak “Rumbalara Perjalanan”. Beje (nama akrabnya) tidak bisa melupakan dan atau meninggalkan sajak-sajaknya berserak begitu saja. Dari tahun 2003 ketika mengenyam pendidikan Pesantren di Annuqayah (Madura), hingga tahun 2016 ketika menyelesaikan Masternya di Turki, telah banyak sajak-sajak dihasilkannya lewat perjumpaan dengan kehidupan empiris, tidak mengada. Setelah melewati kepungan zaman yang kadang memenjarakannya, dia sanggup memenjarakan egoisme pribadi dan melanggengkannya pada kematangan diri untuk menulis sajak, yang terangkum dalam antologi tunggalnya ini.
Dalam kumpulan sajaknya ini, penyair membagi menjadi dua fase. Fase pertama Biografi yang Tak Utuh dan fase kedua Rumbalara Selat. Dari kedua fase tersebut, mengisahkan dari awal penyair memulai pengembaraan puitiknya, hingga prosesi pengembaraan penyair ke negeri-negeri jauh yang ditulis rapi sebagai catatan perjalanan. Fase pertama, banyak melukiskan tentang kehidupan penyair dari kampung halamannya dan kritik historis ketika penyair mampu menuliskan kampung halamannya yang padahal dia tidak lagi disana. Seperti sajak Ke Madura Pulang Sebentar (hlm. 48), dan Pulau (hlm. 56).
Masih di fase pertama. Dalam pengembaraan puitiknya, penyair juga merekam kehidupan uniknya ketika menempa diri di Yogyakarta, secara khusus di Pesantren menulis PPM. Hasyim Asy’ari Yogyakarta. Bacalah sajak Nota Perburuan (hlm. 40). Sajak kepada guru menulisnya, Semuanya Lahir Kepada Namanya Sendiri, Gus Zainal Arifin Thoha (hlm. 41). Atau sajak nostalgiknya tentang sajak Ontel yang sengaja saya kutib beberapa bagian di sini: Keringat ini seperti logam/jatuh berdentingan di tanah/gugur seperti daun-daun/jalan-jalan terjal meleleh/dari pori-poriku lahir kembali.
Syahdan, pada fase kedua, penyair lebih peka dan menghadirkan kata, bahasa, dan latar tempat yang jarang didengar telinga kita. Pada fase ini penyair banyak merekam perjumpaannya dengan gerak sosial berbeda ketika sempat beberapa kali mengunjungi negeri-negeri nun jauh, seperi Amerika, Australia, Kolombia dan lainnya. Seperti dalam sajak Charlotte dan Jenderal Sunter (hlm.79), Horseshoe I (hlm. 80), dan sajak Pucuk Daun Ranting Basah (hlm. 85). Dalam sajak terakhir ini, penyair memaradekan bagaimana jarak yang memenggal perjumpaan fisik dengan ibunya. “Ini baru saja hujan, ibu/aroma tanah selalu sama/rindu yang membuatnya beda/kepada nama masing-masing. Hingga dipungkasi dengan beberapa narasi kerinduan: “Adakah daun bambu bekas mainan perahu/dibelakang langgar itu juga terhanyut?/aku ingin menjelangnya di sini/pada sungai-sungai yang mengalir/dari jantungmu ke jantungku.” Sajak ini ditulis ketika penyair mengembara ke Kolombia, Juni 2010.
Pengembaraan penyair tidak berhenti disitu, ia mengembara ke Negeri Bunga Tulib, Turki. Lihatlah sajak Seperti Deras Sungai Tigris (hlm.121), sajak Ankara-Angkara (hlm.123), Bataille d’Aboukir (hlm.127) dan Suatu Waktu di Anatolia (hlm.148). Dalam perjumpaan penyair dengan beberapa gerak sosial baru di Turki, dihadirkanlah sajak-sajak nostalgik yang mengajak pembaca menziarahi beberapa monumen jejak kejayaan Kerajaan Ottoman, gerak politik pemerintahan Turki, atau tentang kesohoran ahli rohani Jalaluddin Rumi. Penyair mampu memberi kesegaran dalam dunia persajakan. Karena penyair tidak sedang berangan-angan, dan bermetafor semata, penyair merekam dan melakukan observasi mendalam terhadap segala objek bahasan dalam sajaknya.
Dalam Puisi Ziarah (hlm.144), penyair menyampaikan pesan spiritual yang ia persembahkan untuk Jalaluddin Rumi. Dengan bahasa naratif, penyair mampu menghadirkan debar bagi pembaca. Karena rasa nyaman berada dan bercumbu dengan kenangan dan keagungan sang Sufi itu, penyair selalu bersikeras menziarahi petilasan sang Sufi. Dan tentu membawa seabrek cinta dan kerinduan yang membuncah dari negeri asal penyair. “Aku takkan mengatakan selamat tinggal/untuk cinta yang kau arsir dari kitab suci”, katanya.
Puisi Ziarah di atas adalah puisi sederhana, menggunakan metafor dan diksi yang biasa-biasa saja, dan mungkin banyak ditemui dalam kehidupan kita. Tapi jangan salah, untuk menyajikan yang sederhana itu, dengan menyelipkan makna mendalam itu sangat sulit bagi seorang penyair. Maka jangan main-main dengan seorang penyair.
Secara keseluruhan, penyair memang menghadirkan bahasa sederhana dan dengan penjabaran renyah dibaca. Penyair juga tidak mendikte pembaca, menggurui, amarah dan ihwal buruk lainnya. Tapi menawarkan dan memberi kebaharuan untuk memaksa pembaca berlama-lama dan menyuntuki setiap rakitan kata-katanya.
Acep Zamzam Nur dalam esai pengantar antologi ini berujar: Menulis puisi sederhana tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Kesederhanaan bukan semacam bentuk kepolosan atau keluguan, apalagi sejenis kemalasan berusaha, improvisasi atau asal jadi. Lewat puisi ini malah saya seperti kembali disadarkan bahwa inti dari sebuah kesedernaan adalah ketepatan dalam menimbang serta kepekaan menentukan takaran. Dengan kata lain peralatan bahasa digunakan secara efektif dan fungsional sesuai kebutuhan.
Si anak hilang kini kembali pulang. Pengembaraannya belum final. Sebagai cerdik yang berfikir dan berakal tentu ia tak lekas puas dengan pelawatannya dengan sajak, suasana, dan tempat-tempat. Kita tunggu ziarah literer berikutnya darinya.
23/04/17