Setelah melepas
kepergiaan bulan suci, bulan yang fitrah dan hari kemenangan umat muslim se dunia
(Idul Fitri), kini tiba momentum mendebarkan, yaitu mudik balik ke tempat
rantau masing-masing. Seketika itu, biasanya ada orang yang membawa rekan kerja
baru, membawa teman belajarnya, ada pula yang memang merantau sendiri tanpa kenal
satu pun orang sebelumnya di tempat rantau. Begitupun yang tengah dirasakan
para santri yang ingin balik mudik ke pondok pesantren, sama-sama dilanda
luka-dukana.
Ini pula yang
dirasakan segenap santri mandiri besutan almarhum Pengasuh muda asal Kediri
Jawa Timur, Gus Arifin Thoha. Meskipun secara kuantitas santri yang tidak
begitu banyak, tapi pesantren ini terbilang pesantren yang komplit, di berbagai
bagian. Di pesantren ini tidak cuma mengajarkan tentang ke-Islaman semata, tapi
juga mengajarkan kemandirian, keuletan, kedisiplinan dan ke ke lainnya. Namun
yang sering terindra masyarakat ramai ialah “pesantren mandiri.”
Mengapa tidak,
pesantren ini memiliki tradisi mengikat yang mewajibkan para santrinya untuk
hidup mandiri, tak ayal jika ada yang jualan koran, ada yang kerja serabutan ketika
tidak tabrakan kegiatan pondok, tapi kebanyakan dari santrinya mencari rezeki
dari kegiatan menulis ke media massa, cetak maupun eletronik. Mereka menulis
puisi, cerpen, artikel, opini, kolom, surat mahasiswa, dan resensi buku. Jadi
selain santri dapat honor tulisan, juga yang tak bisa ditinggalkan adalah
mereka akan terkenal laiknya artis, namanya yang sering gentayangan di media, maka
ia akan menghantui hati semua pembacanya.
Di pesantren yang
santrinya tidak genap 100 orang ini, di huni kaum adam aja, dengan beribu
cerita nyentrik, perjuangan, pengabdian, dan sejenisnya. Maka bukan rahasia
umum lagi kalau keluaran pondok ini bisa dikatan melek daratan, pada genius, pinter, dan tentunya dapat
predikat seorang sastrawan, karena hobinya merakit kata-kata.
***
Ketika embun pancaroba
membasahi pesantren mandiri (Hasyim Asy’ari), ada riak angin riuh rendah
mengantar kembalinya santri dari rumahnya. Dengan membawa tas besar dan kardus mengandung
sembarang makanan.
Namun dari segenap
santri yang balik mudik ke pondok, Alunk menjadi santri nomor wahid yang tiba
di pondok. Soalnya ia terpaksa balik duluan karena ada tugas berat kampus
menunggunya, mau tidak mau dan harus mau ia secepatnya balik ke pondok.
Beberapa hari
kemudian, santri yang lain menyusul, ada yang dari Pati, Tuban, Ngawi,
Palembang, Lamongan, dan kebanyakan dari pulau sate (Madura).
Dari santri yang
paling cepat balik pondok, justru Kolel adalah santri paling lambat balik, selain
menjadi santri paling belia ia juga masuk deretan santri aneh se pesantren,
dari tingkah laku dan keserba-nyelenehnya, sudah tidak bisa diragukan lagi.
Baru tiba di pondok
saja, seperti biasanya santri membeli perlengkapan mandi, sekonyong-konyongnya ia
pulang dari toko dan menggondol banyak makanan, kabar yang berhembus katanya
dia dikasih si penjual toko, tapi tidak ada yang percaya dengannya, soalnya
Kolel biasa bohong dan sering menggelapkan barang-barang santri.
Bahkan dari segenap
tetangga di sekitar pesantren Kolel menjadi santri yang paling sering
berkunjung ke masyarakat, ya.. untuk sekedar silaturrahmi, walaupun ambisi dasarnya
adalah untuk mendapat makanan enak, maklum di pesantren mandiri itu memang
defisit makanan sudah mengakar dari dulu. Ketika santri memang tidak punya
uang, dia akan kelaparan dan bukan sengaja memuasakan diri, minta bantuan ke
sahabat santri pun wong juga satu nasib, dan santri yang bekerja saja
bukan malah kaya, tapi sering di hutangin santri yang lain. Pokoknya satu orang
lapar, ya se pondok sama-sama kelaparan.
Kelaparan
memang begitu dekat dengan seorang santri, atau segenap cerita dan perjuangan santri
yang terbangun di pesantren, akan menjadi tolok ukur jalan cerah menuju masa
depan, jangan minder dan takut manjadi seorang santri, percayalah..!! Dan pesantren
mandiri adalah pesantren sejarah yang sampai kapanpun akan tertancap di hati
para santri dan segenap pencinta literasi.
Kutub, Agustus
2014.
0 komentar:
Posting Komentar