Ketika matahari menyelipkan sinarnya
pada ketiak senja, Khufy tiba-tiba menciutkan mimpinya untuk main layang-layang, sepasang bola matanya memerah dan
tiba-tiba membentuk sebuah kawah yang meletuskan lava pijar, air matanya sudah
tidak bisa dibendung lagi, betapa ia tidak sanggup untuk berpisah dengan
sahabat-sahabatnya;
“Ayo kawan..!!, jadi tidak main layangannya?”
“iya, tunggu sebentar lagi.” Khufy masuk kembali ke dalam
rumah, dan membelas pada emaknya, minta izin.
“mau kemana cong?”
sahut ibunya selidik.
“ini emak, main layang-layang!”
“eh..!!, kamu kan sudah mau berangkat sekarang ke
Yogyakarta?” si emak menanggul keinginan Khufy untuk main layangan.
“tapi emak..!!”
“tidak ada tapi-tapian, bagaimana kalau kamu telat,
tidak dapat bis, atau tidak lulus tes masuk perguruan tinggi nanti, jika kamu tetap
seperti ini, jangan harap kamu dapat izin lagi untuk merantau atau pun kuliah.”
Mendengar tausiah si emak, Khufy tambah banter
memuntahkan air mata, ia tak sanggup jika tahun ini tidak kuliah, apalagi tak
punya kesempatan main layangan dengan
sahabatnya untuk yang terakhir kali.
Dengan tubuh berayun-ayun ia-pun keluar rumah.
“saya tidak bisa main layangan kawan, kamu main
sendiri saja ya..!!”
“memangnya kamu kemana?” temannya mengejar
pembicaraan.
“saya.. saya.. mau pergi untuk waktu yang sangat lama
kawan” Kelakar Khufy gelagapan, ia tak kuat menahan isak dan rasa haru.
“saya, mau merantau kawan, kepengin kuliah, dan
sekonyong-konyongnya cari kerja.” Tambahnya terkosel-kosel.
“terus kapan berangkatnya?”
“sekarang” Khufy tertunduk menyematkan jawaban.
“ya suudah kawan, baik-baik di sana, dan semoga apa
yang dicari segera didapat dan terkabulkan Tuhan.”
“amien..!! terima
kasih kawan.”
***
Malam semakin larut, angka jam
menujuk 12.00, Khufy telah sempurna untuk berangkat, barang-barangnya telah
masuk tas, jantungnya semakin kencang berdenyut, tangan dan keningnya
berkeringat, ia menyalami setiap jiwa yang ikut mengantarkannya ke terminal.
Selamat tinggal emak, selamat tinggal sahabat, selamat tinggal kampugku.!
Dengan sejuta mimpi yang tertancap dihati, Khufy tak
kunjung bisa menjinakkan pikirannya yang terus mengembara, antara resah,
gelisah, dan jengah, bagaimana takdir bisa mengantarkannya ke suatu kehidupan
baru setelah ini. Dan tentunya takdir “baik dan keberuntungan” seperti yang
diharapkan Khufy dan emak satu-satunya keluarga yang ia punyai.
Mimpi dan khayal terus bentrokan di kepala Khufy,
entah asupan apa yang ditenggaknya, lambat laun ia melemah, dan dengan sendirinya tak sadarkan,
ia tertidur ketika bis yang ditungganginya menginjak tanah bijana Yogyakata,
“mas.. mas.. bangun, sudah sampai di Yogyakarta.”
Salah seorang kenek membangunkan Khufy.
“hhmmn..!! oo iya, nuwun
Pak” dengan mencoba mengembalikkan ingatannya lagi, ia layangkan sebuah
pertanyaan;
“pak, kalau kampus di Yogyakarta apa saja ya?”
“kampus di Yogyakarta banyak sekali mas, ada UGM, UNY,
UIN, UMY, UAD dan masih banyak lainnya mas.”
“kalau UNY dimana pak?.”
“UNY itu masih
jauh sekali mas, masih ke barat sana, sampeyan
dari sini, bisa naik ojek atau bus trans, kira-kira menyita waktu satu jam,
itu pun kalau tidak macet.”
“oo.. terima kasih pak.”
Dengan mencoba meyakinkan perasaan, dan sesekali Khufy
menekan dadanya untuk tetap tenang, ia memilih menunggangi ojek motor yang
ditemui di salah satu pangkalan. Segera ia menuju kampus UNY untuk mengorek
informasi tentang penerimaan mahasiswa baru.
Belum sempat melahap habis keindahan kota Yogyakarta,
Khufy akhirnya tiba di gerbang kampus UNY. Tak sempat ia mengucap terima kasih,
tukang ojek itu pergi seketika. Di muka pintu gerbang yang begitu megah itu, ia
tak tahu pada siapa mendapat informasi tentang penerimaan mahasiswa baru.
Begitu lama menahan kebingungan, seketika pula matanya
menangkap banner di sudut pintu
gerbang, isinya memuat informasi penerimaan mahasiswa baru UNY.
“ya Allah, alhmadulillah kutemukan juga informasi ini,”
gumamnya.
Ia ambil secarik kertas dan pensil hitam dari tasnya,
kemudian ditulisnya syarat dan jadwal yang musti diikuti.
Sehari di Yogyakarta, ia bermalam di salah satu masjid
yang tak jauh dari kampus UNY, dan untung saja ia tidak telat mendaftar, hari ini
adalah hari terakhir PMB jalur reguler dibuka, besok sudah ditutup, telat
se-menit saja Khufy tidak punya kesempatan kuliah lagi. Dan tes ujian masuk
masih dua hari lagi. Khufy mempunyai kesempatan belajar, setidaknya tahu bagaimana
tatacara menjawab soal ujian.
***
Ketika fajar pagi menitikkan cahaya kemerahan, khufy
terbangun oleh dentuman suara kubah, subuh telah tiba, ia pun tak sabar kalau
hari ini adalah ujian tes masuk, ia pun tak sadar kalau ia telah berada di tengah
keriuhan calon mahasiswa baru yang juga senasib dengannya. Ujian pun menyita
waktu dua jam lebih, dengan ragam soal yang aneh-aneh, dan baru pertama kali
dijumpai Khufy, terpaksa ia jawab semampunya, kalau tidak tahu ia lewati, tapi ketika
sampai halaman soal terakhir, nampaknya ia lewati semua soalnya. “kok susah
semua yaa soalnya?” maka ia lewati semua.
Dengan keyakinan dan pengalamannya selama di bangku
Madrasah, ia mempunyai siasat untuk melotre soal dengan sistem keberuntungan.
“Siapa tahu kena jawaban yang benar” ungkapnya.
Akhirnya rampung, semua soal dijawabnya. Tanpa
memeperhatikan benar dan salahnya. Yang penting usahanya memuncak. “Bismillah
saja” pikirnya.
Tanggal 10 adalah pelulusan, tercatat kurang dua
minggu lagi, ia pun tetap berdiam di masjid sembari menunggu pelulusan.
***
Hari sabtu, tanggal 10 Juli 2010,
tanggal pelulusan mahasiswa baru UNY. Barangkali ada nama Khufy juga tertancap
dalam papan informasi. Dari ribuan orang yang berduyun untuk mendapat informasi
pelulusan, Khufy mengambil stan terdepan untuk segera mendapat kejelasan. Ia polototi
setiap daftar nama dari fakultas yang ia ambil, ia baca perlahan, ia ulang
lagi, dan lagi, tapi tida namanya dalam daftar itu. Ia polototi lagi pilihan
jurusan yang kedua, ia baca lebih teliti, ada sekitar dua ratus nama lebih,
hatinya mulai mengembang. “Pasti namaku di pilihan jurusan yang kedua ini”.
Akhirnya sampai di ujung kaki deretan nama itu, dan hasilnya tidak ada nama Khufy
masuk daftar. Ia baca ulang, dan baca ulang lagi, tapi hasilnya sama tidak
membuat ia tersenyum, namanya benar-benar tidak ada dalam daftar.
Ia tertunduk dan keluar dari kerumunan orang, dan
sesegera mungkin ia mengingat emaknya di kampung, Khufy takut kalau-kalau
mengecewakan emak, karena tidak lulus tes ujian. Apa kata orang sekampung kalau
mendengar saya tidak lulus kuliah.
Dari kegempalan pikirannya, tiba-tiba ia menyeruduk
perempuan tengah berdiri di depannya.
“maaf embak, saya tidak sengaja..!!”
“tidak papa kok mas,”
“maaf, tampaknya lemas banget mas” perempuan itu
membuka kran pembicaraan.
“Iya nih embak, saya tidak lulus masuk UNY”
“kalau boleh tahu, siapa namanya mas?”
“oo.. namaku Khufy embak”
“saya Gendis mas” perempuan itu sambil menyodorkan
tangannya.
“bagaimana kalau kita cari lagi mas, siapa tahu nanti
ada nama Khufy ”
“Baiklah embak” Khufy manut saja, walau hatinya sudah pesimis.
Mereka kembali pada kerumunan orang yang memadati
papan informasi, dari sekian nama yang dijumpai keduanya, tetap tak ada namanya
khufy tertera dalam daftar. Akhirnya Khufy balik lagi, dan meninggalkan
perempuan itu di sana sendiri.
Tiba-tiba perempuan itu kembali, dan segera menarik
tangan Khufy, ia pun terkejut mengapa perempuan itu menariknya. Coba lihat mas,
ini benar namamu kan?.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah,” nama Khufy tertera
dalam daftar dan dinyatakan lulus, tapi tidak masuk dalam jurusan yang ia
minati. “Biarlah!”.
Kutub, 07
Mei 2014
0 komentar:
Posting Komentar