Alangkah
malunya aku, kalau peristiwa tahun lalu itu terulang lagi, betapa malunya aku
pada anak perempuanku, dan alangkah hinanya aku di hadapan istriku, kalau-kalau
tahun ini kami tidak bisa mudik lagi ke kampung halaman. Masih kuingat, sekawah
air mata kekecewaan yang menggenang di sepasang mata istri dan anak perempuanku.
Maafkan aku nak! Maafkan aku bu!.
Tiada
kata yang dapat mewakili, betapa senangnya, bangga, dan indahnya merayakan
lebaran bersama orang-orang yang kita cintai, apalagi dengan keluarga kita yang
telah lama sekali tidak berjumpa, di kampung sana, yang begitu jauh, ada eyang,
om, tante, dan teman atau tetangga lama. Bisa dibayangkan kemesraan penuh cinta
akan tercipta di sana.
Begitupun
aku, anakku, dan istriku yang juga ingin berbagi rasa rindu dan cinta pada
keluarga yang telah berpisah begitu lama.
Sewaktu
sore yang menjemukan, ketika aku tengah duduk tengadah di beranda rumah
kontrakan, tiba-tiba istriku datang dengan membawa mimik aneh yang lain dari biasanya; “Mas, bagaimana mudiknya tahun ini?,
jadi, tidak?”. Tiba-tiba istriku melemparkan pertanyaan itu, yang memang dari
tadi aku piikirkan, bahkan mulai tahun lalu. “Insya’allah dik, kita pasti
pulang kampung, tenang saja jangan kau terlalu mengkhawatirkannya.” “ya, terima
kasih Mas, kamu memang suami yang baik dan pengertian,” sambung istriku sambil ia
memelukiku hangat, Padahal sewaktu itu aku tambah bingung, bagaimana kita bisa
pulang kampung, keuangan keluarga kami memang tidak pernah imbang, penguluaran
lebih banyak dari pendapatan, hutang menumpuk dimana-mana.
***
Sampai tiba hari yang ditakutkan, hari untuk
kepulangan kami ke kampung, aku begitu
ambigu, karena aku hanya mendapat uang sedikit, dan kalau dipaksakan untuk
tetap pulang, bisa jadi tidak sampai ke kampung halaman, uang ini hanya cukup
untuk separuh perjalanan.
Dengan berat hati, dan maksud hati untuk menyenangkan
dan menghibur anak istriku, terpaksa aku
bawa mereka ke terminal bus, tapi setibanya di sana, anak istriku tidak kubawa masuk
terminal, hanya saja kami di pintu gerbang depan.
“Asyik!!, aku bisa ketemu eyang, kami bisa bermain
boneka dan rumah-rumahan lagi” anakku tiba-tiba nyeletuk keriangan, ia kadung
bahagia jika nanti bisa ketemu eyangnya di kampung,
“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?, aku telah
membohongi anak istriku, dan aku tidak bisa berbuat apa.”
“Mas, lama sekali busnya,” sebersit suara tiba-tiba
mengerayangiku.
“sebentar lagi Dik, busnya pasti tiba kok, memang agak
sedikit lama, yang sabar yaa Dik.”
Dengan lontaran jawabanku yang menyangkal, seketika
itu keringat dinginku bercucuran, aku tak tahu apa yang musti kuperbuat.
“masih lama nggak yah?” tiba-tiba anakku bertanya
lagi.
“sebentar lagi nak, ini busnya masih di dalam.”
Mereka mulai tidak betah, istriku mondar-mandir kesana
kemari, anakku pun demikian, mereka tampak kelelahan lesu, kutangkap dalam sorot
mata dan keningnya, duduknya pun sudah tak seimbang.
“jadi nggak pulangnya!!” istriku tiba-tiba meniupkan
kalimat, tampak ia begitu marah, karena ia sudah curiga, dan menganggapku telah
berbohong.
“Jadi tidak pulangnya Mas? Rasa-rasanya dari tadi ada
banyak bus yang laewat, dan kau selalu menjawab_itu bukan busnya, maunya apa
sih kamu Mas?”
“kita pasti pulang dik!, kita pasti pulang nak!, hanya
saja bus tujuan Semarang itu belum ada. Sabar ya Dik, kita pasti pulang.”
Tampak benteng pertahananku sudah tertembus, mereka
sudah tidak mempercayaiku, istriku tiba-tiba menarik anakku untuk segera pulang,
bahkan menyeretnya yang tengah menangis. Istriku tetap menarik walau anakku
masih ingin bersamaku untuk ketemu eyang di kampung halaman.
***
Bak gayung bersambut, suasana haru itu tiba-tiba
mencair. Akhirnya Allah mengutus hambanya untuk menolong kami, ada truk bercat
putih menghampiri kami yang tengah bersitegang. “Ada apa ini pak?” tanya sopir
truk itu.
“ini Pak, kami sedang ingin ke Semarang, tapi
ketinggalan bus”
“ooo.. kalau biegitu kebetulan sekali, aku juga mau ke
Semarang, ikutlah denganku,”
Kutub, 2014
0 komentar:
Posting Komentar