Rabu, 20 Juli 2016

Serangan Fajar



Langit tak ingin menyudahi air matanya,  ia mengguyuri perabot bumi dan fajar di pagi hari, gedung, pepohonan, satwa, dan manusiapun menggigil tak berdaya, angin menyerang di sudut-sudut waktu. Semalaman hujan ini tak kunjung reda, namun dinginnya tak hinggap ke satu rumah bertingkat itu, yang mulai malam tadi mendidih karena membias  kepentingan tak tersalurkan, hujan telah memucatkan siasat Ridla (pemilik rumah) untuk menabur bungkusan plastik hitam ke masyarakat, di dalamnya mengeram sembako dan amplop putih berisi pecahan uang dua ratus ribu.

Ridla akan membeli suara masyarakat dengan bungkusan hitam, ia yakin kalau segalanya bisa dibeli dengan materi, apalagi untuk membeli hati masyarakat Desa Banyu-urib, “seperti mudahnya membalikkan telapak tangan”.

Ridla salah satu kandidat Kepala Desa Banyu-urib, dikenal ramai sebagai pribadi yang trengginas, keras kepala, tertutup, dan egois, siapa pun yang melerai kemauannya, tak segan ia membikin sengsara bahkan mencabut nyawa, keinginannya tak bisa di otak atik laiknya keabsahan surga-neraka.

Di tahun ini, dalam pencalonannya yang kedua kali, Ridla telah menyiapkan modal besar untuk memenangkan PILKADES. tak tanggung-tanggung uang senilai tujuh miliar, tiga ratus lima puluh orang bajingan, dan seratus kyai keranjang bermata kalap telah dipersiapkan Ridla, babu-babu itu ia dapat secara gampangan. Cukup diberi makan, rokok dan duit ganti keringat, mereka telah ngangguk-ngangguk siap dicekoki pekerjakan. Tak lain semuanya hanyalah untuk membentengi misi sebagai Kepala Desa, dan dari serangan-serangan lawan politik.

***

Sedang di rumah sederhana berdinding bidhik, beratap jerami, dan berlantai tanah guntai. Berdiam kelurga kecil yang jumlah penghuninya tiga jiwa, si bapak, ibu, dan satu anak laki-laki berumur enam tahun. Ahmad sebagai presiden keluarga hanya bekerja sebagai kuli salang di pasar, ia juga dikenal sebagai takmir masjid, dan sering memimpin kambrat yasinan di Desa Banyu-urib. Masyarakat ramai-pun segan dengannya.  

Berangkat dari keterpaksaan, dan dari desakan masyarakat untuk mengubah desa Banyu-urib, diam-diam Ahmad ikut mencalonkan diri menjadi Kepala Desa. Ia sangat pesimis akan hal ini, bahkan ia sempat menghilang berminggu-minggu untuk mencari ketenangan, saking mindernya sebagai calon Kepala Desa, ia tak banyak pilihan, pencalonan itu hanya membuat petaka untuknya dan keluarga, ia takut kalau terjadi apa-apa menimpa keluarganya, ia pun hilang akal bagaimana memodali pencalonannya, jangankan untuk biaya pendafataran yang sangat mahal. Untuk makan sehari-hari saja masih ngutang kesana-sini.

“Atau aku mati saja ya?” bahasa yang selalu melintas di kepala Ahmad.

Untung kesediaan masyarakat berbuah jawaban, sebagian kebutuhan pencalonan dilengkapinya, mulai dari uang pendaftaran dan lubang kebutuhan lainnya, sekali pun jumlahnya tak seberapa, setidaknya mendinginkan kepala Ahmad yang sejauh ini pening.

Tak ada ritual khusus yang Ahmad lakukan, di rumahnya ia hanya yasinan dan memanjatkan doa-doa untuk mendapat keselamatan, Yang hadir pun itu-itu saja. Masyarakat pengusung, kerabat, dan keluarga. Ahmad lalkukan itu setiap malam tak pernah bolos sampai pemilihan.

***

Ketika waktu menggelinding, akrobat jarum jam menunjuk angka sepuluh. Aroma malam menikam sukma, suasana begitu mencekam, rumah Ridla mengeluarkan asap, seakan di kompori dari bawah, Ridla tengah marah besar karena tahu lawan politiknya si Ahmad, sebab mereka begitu dekat dan bersahabat dari SD sampai sekarang. Tapi bagaimanapun bentuknya, bukan Ridla kalau masih iba dan belas hati.

“kalian harus lebih giat menabur uang, karena lawan politik kita adalah seorang Ustad, pasti dia suka menabur pituah kepada masyarakat, ambil hati masyarakat dengan uang” Ridla tampak gelisah, meniban perintah pada babu-babunya.
“siap Gan” sahut babunya serentak.

“tapi apakah bisa Gan” tambah salah satu anak buahnya yang dari tadi diam.
“maksud kamu apa?”. Ridla tampak menyidik.
“iya Gan, waktu kemarin saya membagi-bagikan bungkusan kepada masyarakat, mereka pada nggak mau dan tampak acuh”
“mengapa kau tidak paksa saja, dan kalau melawan potong saja tangannya” Ridla tambah geram.
“ooo,  siap Gan”

“Ada masalah lagi?” Tambah Ridla membuka pintu.
“Ada Gan” kyai yang dari tadi bengung, ngacung.
“gini Gan! waktu saya bertapa tadi malam, saya mendapat wangsit dari datuk Pruwareng, kalau di tempat pemilihan nanti, perintahnya harus ditanami jarum biku, dan darah ayam jantan”. Sang kyai menimbun cerita dan meyakinkan Ridla.
“baik jika begitu, kita siapkan segalanya”

“Jadi, semua siaga di posisi kalian, dan pahami tugas kalian masing-masing, mala mini kita akan melakukan serangan-serangan”.
“siap Gan”. Sahut mereka akur.

Ketika semua berpencar, tiba-tiba tangan Ridla melambai keras dibarengi suara menyembur dari mulutnya, “Parid, sini dulu!” panggilnya pada dirigen bajingan: “saya tak mau tahu caranya, kamu harus bunuh Ahmad malam mini juga”.

Di bawah bulan temaram, dan di atas bumi berlendir, anak buah Ridla menyusur keheningan waktu, malam ini tertanggal malam tenang yang tak satu pun orang bisa keluyuran. Malam yang sangat sunyi dari yang sudah-sudah, dan malam petaka bagi siapa saja yang ketahuan batang hidungnya. Tapi Pasukan Ridla mengindahkan hal itu, mereka pun diam-diam menabur uang, ada yang menanam jarum biku dan mengubur darah ayam jantan di tempat pemilihan, ada yang mencuri surat suara, dan ada yang mengintai rumah Ahmad beserta geliat pendukungnya.

Sementara di bawah rimbunan pohon pisang belakang rumah Ahmad, seorang bertopeng membawa celurit mengintai, di balik topeng itu terselip wajah Parid, ia berencana membunuh Ahmad.
Tak menunggu lama, tiba-tiba Ahmad keluar rumah untuk buang hajat, dan secepat kilat Parid menyergap mentah-mentah dari balik pohon pisang, ia langsung meringkus tangan Ahmad, dan memenggal kepalanya tanpa belas, kemudian Parid menyeret sang mayat dan membuang jasadnya ke kebun tebu.


Dari serangan-serangan yang di kemas Ridla dan anak buahnya, sejauh ini berputar baik sesuai porosnya. keheningan malam itu pun kian melantunkan kengerian, tiba-tiba suara ngilu terlantun dari pengeras suara di masjid:

Tolong…! Tolong…! Ada mayat mengapung di tengah sungai, tolong..!!

Suara itu menyusup batin, dan tersalurkan ke semua pasang telinga masyarakat Banyu-urib, masyarakat serentak mengerebungi tepian sungai, mereka saling tanya tentang mayat siapa yang mengambang. Tapi usaha mereka tidak berbuah hasil, tak ada yang tahu itu mayat siapa. Namun ketika masyarakat setempat menarik mayat itu ke bibir sungai, alih-alih jawaban mulai mengemuka, mereka tertegun rapi ketika mayat lelaki di baringkan, tubuhnya gemuk, berewokan, dan kepalanya gondrong.

“Innalillahiraji’un” ini mayat Bapak Ridla, kok bisa mati mengenaskan begini, siapa yang tega berbuat nista.  

***


Serangan demi serangan malam itu mengekor pertanyaan, siapa besok yang akan dipilih masyarakat Desa Banyu-urib?.
Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com