Langit tak ingin menyudahi air matanya, ia mengguyuri perabot bumi dan fajar di pagi
hari, gedung, pepohonan, satwa, dan manusiapun menggigil tak berdaya, angin
menyerang di sudut-sudut waktu. Semalaman hujan ini tak kunjung reda, namun
dinginnya tak hinggap ke satu
rumah bertingkat itu, yang mulai
malam tadi mendidih
karena
membias kepentingan tak tersalurkan, hujan telah memucatkan siasat
Ridla (pemilik rumah) untuk menabur
bungkusan plastik hitam ke masyarakat,
di dalamnya mengeram sembako dan amplop putih berisi pecahan uang dua ratus ribu.
Ridla akan membeli
suara masyarakat dengan bungkusan hitam, ia yakin kalau segalanya bisa dibeli
dengan materi, apalagi untuk membeli hati masyarakat Desa Banyu-urib, “seperti
mudahnya membalikkan telapak tangan”.
Ridla salah satu kandidat Kepala Desa Banyu-urib, dikenal ramai sebagai pribadi yang trengginas, keras
kepala, tertutup, dan egois, siapa pun yang melerai kemauannya, tak segan ia membikin sengsara bahkan
mencabut nyawa,
keinginannya tak bisa di otak atik laiknya keabsahan surga-neraka.
Di tahun ini, dalam pencalonannya yang kedua kali, Ridla
telah
menyiapkan modal besar untuk
memenangkan PILKADES. tak tanggung-tanggung uang senilai tujuh miliar, tiga
ratus lima puluh orang bajingan, dan seratus
kyai
keranjang bermata kalap telah
dipersiapkan Ridla,
babu-babu itu ia dapat secara gampangan. Cukup diberi makan, rokok dan duit ganti keringat, mereka telah ngangguk-ngangguk siap
dicekoki pekerjakan. Tak lain semuanya hanyalah untuk membentengi misi
sebagai Kepala Desa, dan dari serangan-serangan lawan politik.
***
Sedang di rumah
sederhana berdinding bidhik, beratap jerami, dan berlantai tanah guntai.
Berdiam kelurga kecil yang jumlah penghuninya tiga jiwa, si bapak, ibu, dan
satu anak laki-laki berumur enam tahun. Ahmad sebagai presiden keluarga hanya bekerja
sebagai kuli salang di pasar, ia juga dikenal sebagai takmir masjid, dan sering
memimpin kambrat yasinan di Desa Banyu-urib. Masyarakat ramai-pun segan
dengannya.
Berangkat dari
keterpaksaan, dan dari desakan masyarakat untuk mengubah desa Banyu-urib, diam-diam
Ahmad ikut mencalonkan diri menjadi Kepala Desa. Ia sangat pesimis akan hal
ini, bahkan ia sempat menghilang berminggu-minggu untuk mencari ketenangan,
saking mindernya sebagai calon Kepala Desa, ia tak banyak pilihan, pencalonan
itu hanya membuat petaka untuknya dan keluarga, ia takut kalau terjadi apa-apa
menimpa keluarganya, ia pun hilang akal bagaimana memodali pencalonannya, jangankan
untuk biaya pendafataran yang sangat mahal. Untuk makan sehari-hari saja masih
ngutang kesana-sini.
“Atau aku mati saja ya?” bahasa yang
selalu melintas di kepala Ahmad.
Untung kesediaan
masyarakat berbuah jawaban, sebagian kebutuhan pencalonan dilengkapinya, mulai
dari uang pendaftaran dan lubang kebutuhan lainnya, sekali pun jumlahnya tak
seberapa, setidaknya mendinginkan kepala Ahmad yang sejauh ini pening.
Tak ada ritual
khusus yang Ahmad lakukan, di rumahnya ia hanya yasinan dan memanjatkan doa-doa
untuk mendapat keselamatan, Yang hadir pun itu-itu saja. Masyarakat pengusung, kerabat,
dan keluarga. Ahmad lalkukan itu setiap malam tak pernah bolos sampai pemilihan.
***
Ketika waktu menggelinding,
akrobat jarum jam menunjuk angka sepuluh. Aroma malam menikam sukma, suasana begitu
mencekam, rumah Ridla mengeluarkan asap, seakan di kompori dari bawah, Ridla tengah
marah besar karena tahu lawan politiknya si Ahmad, sebab mereka begitu dekat
dan bersahabat dari SD sampai sekarang. Tapi bagaimanapun bentuknya, bukan Ridla
kalau masih iba dan belas hati.
“kalian harus lebih
giat menabur uang, karena lawan politik kita adalah seorang Ustad, pasti dia
suka menabur pituah kepada masyarakat, ambil hati masyarakat dengan uang” Ridla
tampak gelisah, meniban perintah pada babu-babunya.
“siap Gan” sahut
babunya serentak.
“tapi apakah bisa
Gan” tambah salah satu anak buahnya yang dari tadi diam.
“maksud kamu apa?”.
Ridla tampak menyidik.
“iya Gan, waktu
kemarin saya membagi-bagikan bungkusan kepada masyarakat, mereka pada nggak mau
dan tampak acuh”
“mengapa kau tidak
paksa saja, dan kalau melawan potong saja tangannya” Ridla tambah geram.
“ooo, siap Gan”
“Ada masalah lagi?”
Tambah Ridla membuka pintu.
“Ada Gan” kyai yang
dari tadi bengung, ngacung.
“gini Gan! waktu
saya bertapa tadi malam, saya mendapat wangsit dari datuk Pruwareng, kalau di
tempat pemilihan nanti, perintahnya harus ditanami jarum biku, dan darah ayam
jantan”. Sang kyai menimbun cerita dan meyakinkan Ridla.
“baik jika begitu,
kita siapkan segalanya”
“Jadi, semua siaga
di posisi kalian, dan pahami tugas kalian masing-masing, mala mini kita akan
melakukan serangan-serangan”.
“siap Gan”. Sahut
mereka akur.
Ketika semua
berpencar, tiba-tiba tangan Ridla melambai keras dibarengi suara menyembur dari
mulutnya, “Parid, sini dulu!” panggilnya pada dirigen bajingan: “saya tak mau
tahu caranya, kamu harus bunuh Ahmad malam mini juga”.
Di bawah bulan
temaram, dan di atas bumi berlendir, anak buah Ridla menyusur keheningan waktu,
malam ini tertanggal malam tenang yang tak satu pun orang bisa keluyuran. Malam
yang sangat sunyi dari yang sudah-sudah, dan malam petaka bagi siapa saja yang
ketahuan batang hidungnya. Tapi Pasukan Ridla mengindahkan hal itu, mereka pun
diam-diam menabur uang, ada yang menanam jarum biku dan mengubur darah ayam
jantan di tempat pemilihan, ada yang mencuri surat suara, dan ada yang
mengintai rumah Ahmad beserta geliat pendukungnya.
Sementara di bawah
rimbunan pohon pisang belakang rumah Ahmad, seorang bertopeng membawa celurit
mengintai, di balik topeng itu terselip wajah Parid, ia berencana membunuh
Ahmad.
Tak menunggu lama, tiba-tiba Ahmad
keluar rumah untuk buang hajat, dan secepat kilat Parid menyergap mentah-mentah
dari balik pohon pisang, ia langsung meringkus tangan Ahmad, dan memenggal
kepalanya tanpa belas, kemudian Parid menyeret sang mayat dan membuang jasadnya
ke kebun tebu.
Dari serangan-serangan
yang di kemas Ridla dan anak buahnya, sejauh ini berputar baik sesuai porosnya.
keheningan malam itu pun kian melantunkan kengerian, tiba-tiba suara ngilu
terlantun dari pengeras suara di masjid:
Tolong…! Tolong…!
Ada mayat mengapung di tengah sungai, tolong..!!
Suara itu menyusup
batin, dan tersalurkan ke semua pasang telinga masyarakat Banyu-urib,
masyarakat serentak mengerebungi tepian sungai, mereka saling tanya tentang mayat
siapa yang mengambang. Tapi usaha mereka tidak berbuah hasil, tak ada yang tahu
itu mayat siapa. Namun ketika masyarakat setempat menarik mayat itu ke bibir
sungai, alih-alih jawaban mulai mengemuka, mereka tertegun rapi ketika mayat
lelaki di baringkan, tubuhnya gemuk, berewokan, dan kepalanya gondrong.
“Innalillahiraji’un”
ini mayat Bapak Ridla, kok bisa mati mengenaskan begini, siapa yang tega
berbuat nista.
***
Serangan demi serangan malam itu mengekor pertanyaan, siapa besok yang akan dipilih masyarakat Desa Banyu-urib?.
0 komentar:
Posting Komentar