Rabu, 20 Juli 2016

Kemanusiaan telah Diculik



“Kemanusiaan telah diculik!, tolong..!!,” suara bernada kalap seorang anak kecil seketika mengagetkanku, dalam dudukku tengah bersila di atas tikar plastik lepau makanan, Semangkuk es cendol yang baru saja dibeli terpaksa kuurungkan diteguk, alih-alih mendengar erangan si anak kecil itu kian menjadi-jadi. Sambil menatapku dengan tatapan kosong, aku hanyut dalam kepanikannya.

            Wajahnya tampak begitu lelah, pucat pasi, seolah-olah baru saja lari maraton dari Sabang sampai Merauke, yang jauhnya berkilo-kilometer. meski ia tak hentinya menatapku tajam, entah mengapa aku tidak menemukan refleksi ketidak-warasan dalam bulatan hitam matanya. “Sungguh aneh anak ini!.”

            “Kemanusiaan telah diculik!” lagi-lagi kalimat separas mengalun lugas dari mulutnya, “saya sudah mencarinya ke seluruh tempat, di kolong jembatan, di pasar, di perumahan, sekolahan, penjara, bahkan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, tetap tidak ada, nihil, saya harus mencari kemana?”. Ceracaunya lagi, linglung. Tangannya yang memegang sebuah map berwarna hitam tampak gemetar, matanya pun semakin memerah dengan lingkaran hitam di pinggirnya, tubuhnya gigil gemetar. Aku semakin merasa aneh dan kurang nyaman dengannya, tiba-tiba ia semakin dekat menujuku dan menggila dihadapanku.

“Kemanusiaan telah diculik..! Kemanusiaan telah diculik..!!.”

***
           

Aku mengamati anak kecil itu lebih rinci. Penampilannya yang sangat sederhana memang lusuh sekali. Tapi sebagaimana yang aku katakan tadi, aku tidak melihat tanda-tanda di luar kewajaran yang mengindikasikan sesuatu. Namun, mengapa ia terus mengulang kalimat yang membuat aku serta orang-orang di sekitar pasar yang mendengarnya, bertanya-tanya?.

            Orang seisi pasar bingung, begitupun aku. Karena tingkah laku anak kecil yang satu ini sudah keterlaluan, dan rupanya ia juga jago debus yang selanjutnya mengamuk, mengamuk barang dagangan yang digelar di pasar, ia lempari, diacak-acak, dan diinjak-injak. Banyak pedagang yang mencoba beri perlawanan, dengan berbagai benteng pertahanan seadanya. Hingga pada titik akhir, akhirnya pertahanan mereka melemah, tak ada lagi yang mampu melerai, sampai satpam pun tidak berani lagi  melumpuhkan aksinya. “sungguh keterlaluan!.”

            Aku tak tega, kuberanikan diri saja menanyainya, “siapa yang menculiknya Nak? Hayolah ceritakan padaku, biar kita cari sama-sama penculiknya, atau aku saja yang mencarinya Nak, tapi sudahi dulu aksimu itu, kasihan para pedagang pasar ini, lagi pula kemanusiaan macam apa yang diculik?” ahh!, pastilah sekarang aku yang terdengar gila. Satu dua orang menoleh, dan tak lagi mengarahkan pandangannya ke arah anak kecil itu, tapi malah ke arahku.

            Ternyata pertanyaanku berhasil membuat sepasang matanya yang kosong kini beriak. “saya tak tahu, saya tak tahu siapa yang menculiknya Pak” jawab anak itu bingung-bambung. Ia menunduk, kemudian duduk terkapar, pandangannya terpaku pada dua kaki yang tanpa alas itu, tampak kotor oleh bercak tanah kecoklatan.

            Lalu, ia seperti disusupi kekuatan tiba-tiba, si anak kecil dengan kaos usang dan celana pendek berlubang itu berdiri, dan mondar mandir di hadapanku, sebelum berhenti dan memandangku dalam-dalam. “kita harus mencari penculiknya” imbuhnya tinggi bersemangat.

            Kalimat yang meluncur dari mulutnya benar-benar bernada ajakan dan perasaan. Jujur aku tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana selanjutnya. “tolong ya Pak, bantu saya mencarinya, saya ingin kemanusiaan itu kita miliki lagi, dan akan membasmi penculiknya” ia terus memelas, dan sempat-sempatnya bersujud sembari menarik celanaku. “tolonglah Pak, bantu saya.”

***
           
Kemana kemanusiaan itu harus dicari Nak? Kemanusiaan semacam apa yang kau maksud? Apakah ada wujud asli kemanusiaan itu?  “kemanusiaan diculik. Diculik! Kita harus menemukannya sebelum…” anak itu justru membuka lembar ajakan lagi bukan menjawab lembar pertanyaanku.

“Maksud kamu apa Nak?, aku semakin bingung.” Kita harus menemukan kemanusiaan itu Pak, sebelum penculik itu membunuhnya, dan manusia tak lagi punya harapan jika dia sudah tiada. Ingin saya meyakinkan bahwa kemanusiaan dan manusia tidak bisa dipisahkan. Bahwa dia tak perlu khawatir. Selama miliaran manusia di dunia ini ada, maka selama itu pula kemanusiaan akan terus ditemukan, dimanapun dan sampai kapanpun manusia dan kemanusiaan adalah darah dan daging.

            Seperti memahami pikiranku, si anak kecil itu menggeleng. “kamu tidak mengerti Pak, kamu tidak mengerti!” Kalimat terakhir diucapkannya dengan nada putus asa, seperti bicara pada diri sendiri dengan tangan-tubuhhnya masih gemetar, ia menyodorkan map hitam lusuh yang sedari tadi dipegangnya erat.

            Aku menerima map yang disodorkan anak itu tanpa sepatah katapun, membukanya perlahan dan aku menemukan lembaran-lembaran kliping koran berita, juga foto-foto, aku mencermatinya satu persatu,  mendadak satu perasaan menerjang kuat sekali, menusukku dan reflek membuat tubuhku menggigil.

            “korban bocah yang dimutilasi di Siak, Riau. Bertambah menjadi tujuh orang. Si pelaku menyodomi, memutilasi, mencincang tubuh korbannya, dan semua itu dia ceritakan tanpa beban dan seperti tidak bersalah.
Usai membunuh dan memutilasi korban-korbannya, MD mengaku enjoy saja. Dia merasa tidak menyesal sama sekali.”

            “Mayat seorang turis wanita asal Amerika ditemukan dalam keadaaan terpotong-potong di dalam koper pada sebuah bagasi taksi di Denpasar, Bali. Pembunuhnya adalah anak perempuannya sendiri dan kekasihnya, diduga sang ibu dibunuh akibat tidak merestui hubungan cinta anak perempunnya.”

            “Gaza, jet tempur Israel melancarkan 80 kali serangan bom. Akibat serangan itu sedikitnya 10 lokasi, 19 warga Gaza, di antaranya enam anak—anak tewas. Sekitar 10.224 lainnya mengalami luka-luka dan mayoritas merupakan warga sipil, termasuk ribuan anak-anak, ratusan wanita dan kaum manula. Sejak gempuran Israel dimulai pada 8 Juli lalu, kini jumlah korban yang meninggal dunia mencapai 2.049 warga Palestina.”

            “Video pemenggalan kepala James Foley, wartawan lepas yang aktif mengirimkan laporan tentang Timur Tengah  dan mendedikasikan hidupnya untuk memberitahukan kepada dunia penderitaan rakyat Suriah  beredar, sejumlah militan menyatakan kegembiraan dengan memasang foto pemenggalan kepala dalam akun Twitter.

            Ya Allah!. Melihatnya wajah saya pias, baris demi baris guntingan kliping itu ternyata adalah luka dukana, dan petaka bagi umat manusia. Tiba-tiba mataku menglirkan embun, yang sebentar saja sudah menjelma isak keras hingga tubuh dan hati berguncang.

            Seluruh dunia harus tahu, aku harus mengabarkan ini, “Kemanusiaan telah diculik.”


Kutub,  Agustus 2014.
Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com