“Kemanusiaan telah diculik!, tolong..!!,” suara bernada
kalap seorang anak kecil seketika mengagetkanku, dalam dudukku tengah bersila
di atas tikar plastik lepau makanan, Semangkuk es cendol yang baru saja dibeli terpaksa
kuurungkan diteguk, alih-alih mendengar erangan si anak kecil itu kian
menjadi-jadi. Sambil menatapku dengan tatapan kosong, aku hanyut dalam
kepanikannya.
Wajahnya
tampak begitu lelah, pucat pasi, seolah-olah baru saja lari maraton dari Sabang
sampai Merauke, yang jauhnya berkilo-kilometer. meski ia tak hentinya menatapku
tajam, entah mengapa aku tidak menemukan refleksi ketidak-warasan dalam bulatan
hitam matanya. “Sungguh aneh anak ini!.”
“Kemanusiaan
telah diculik!” lagi-lagi kalimat separas mengalun lugas dari mulutnya, “saya
sudah mencarinya ke seluruh tempat, di kolong jembatan, di pasar, di perumahan,
sekolahan, penjara, bahkan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, tetap tidak
ada, nihil, saya harus mencari kemana?”. Ceracaunya lagi, linglung. Tangannya
yang memegang sebuah map berwarna hitam tampak gemetar, matanya pun semakin
memerah dengan lingkaran hitam di pinggirnya, tubuhnya gigil gemetar. Aku semakin
merasa aneh dan kurang nyaman dengannya, tiba-tiba ia semakin dekat menujuku dan
menggila dihadapanku.
“Kemanusiaan telah diculik..! Kemanusiaan telah
diculik..!!.”
***
Aku mengamati anak kecil itu lebih
rinci. Penampilannya yang sangat sederhana memang lusuh sekali. Tapi sebagaimana
yang aku katakan tadi, aku tidak melihat tanda-tanda di luar kewajaran yang
mengindikasikan sesuatu. Namun, mengapa ia terus mengulang kalimat yang membuat
aku serta orang-orang di sekitar pasar yang mendengarnya, bertanya-tanya?.
Orang
seisi pasar bingung, begitupun aku. Karena tingkah laku anak kecil yang satu
ini sudah keterlaluan, dan rupanya ia juga jago debus yang selanjutnya mengamuk,
mengamuk barang dagangan yang digelar di pasar, ia lempari, diacak-acak, dan
diinjak-injak. Banyak pedagang yang mencoba beri perlawanan, dengan berbagai
benteng pertahanan seadanya. Hingga pada titik akhir, akhirnya pertahanan mereka
melemah, tak ada lagi yang mampu melerai, sampai satpam pun tidak berani lagi melumpuhkan aksinya. “sungguh keterlaluan!.”
Aku
tak tega, kuberanikan diri saja menanyainya, “siapa yang menculiknya Nak?
Hayolah ceritakan padaku, biar kita cari sama-sama penculiknya, atau aku saja
yang mencarinya Nak, tapi sudahi dulu aksimu itu, kasihan para pedagang pasar
ini, lagi pula kemanusiaan macam apa yang diculik?” ahh!, pastilah sekarang aku
yang terdengar gila. Satu dua orang menoleh, dan tak lagi mengarahkan pandangannya
ke arah anak kecil itu, tapi malah ke arahku.
Ternyata
pertanyaanku berhasil membuat sepasang matanya yang kosong kini beriak. “saya
tak tahu, saya tak tahu siapa yang menculiknya Pak” jawab anak itu
bingung-bambung. Ia menunduk, kemudian duduk terkapar, pandangannya terpaku
pada dua kaki yang tanpa alas itu, tampak kotor oleh bercak tanah kecoklatan.
Lalu,
ia seperti disusupi kekuatan tiba-tiba, si anak kecil dengan kaos usang dan
celana pendek berlubang itu berdiri, dan mondar mandir di hadapanku, sebelum
berhenti dan memandangku dalam-dalam. “kita harus mencari penculiknya” imbuhnya
tinggi bersemangat.
Kalimat
yang meluncur dari mulutnya benar-benar bernada ajakan dan perasaan. Jujur aku
tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana selanjutnya. “tolong ya Pak, bantu saya
mencarinya, saya ingin kemanusiaan itu kita miliki lagi, dan akan membasmi
penculiknya” ia terus memelas, dan sempat-sempatnya bersujud sembari menarik
celanaku. “tolonglah Pak, bantu saya.”
***
Kemana kemanusiaan itu harus dicari
Nak? Kemanusiaan semacam apa yang kau maksud? Apakah ada wujud asli kemanusiaan
itu? “kemanusiaan diculik. Diculik! Kita
harus menemukannya sebelum…” anak itu justru membuka lembar ajakan lagi bukan
menjawab lembar pertanyaanku.
“Maksud kamu apa Nak?, aku semakin
bingung.” Kita harus menemukan kemanusiaan itu Pak, sebelum penculik itu
membunuhnya, dan manusia tak lagi punya harapan jika dia sudah tiada. Ingin
saya meyakinkan bahwa kemanusiaan dan manusia tidak bisa dipisahkan. Bahwa dia
tak perlu khawatir. Selama miliaran manusia di dunia ini ada, maka selama itu
pula kemanusiaan akan terus ditemukan, dimanapun dan sampai kapanpun manusia
dan kemanusiaan adalah darah dan daging.
Seperti
memahami pikiranku, si anak kecil itu menggeleng. “kamu tidak mengerti Pak,
kamu tidak mengerti!” Kalimat terakhir diucapkannya dengan nada putus asa, seperti
bicara pada diri sendiri dengan tangan-tubuhhnya masih gemetar, ia menyodorkan
map hitam lusuh yang sedari tadi dipegangnya erat.
Aku
menerima map yang disodorkan anak itu tanpa sepatah katapun, membukanya
perlahan dan aku menemukan lembaran-lembaran kliping koran berita, juga
foto-foto, aku mencermatinya satu persatu,
mendadak satu perasaan menerjang kuat sekali, menusukku dan reflek
membuat tubuhku menggigil.
“korban
bocah yang dimutilasi di Siak, Riau. Bertambah menjadi tujuh orang. Si pelaku menyodomi,
memutilasi, mencincang tubuh korbannya, dan semua itu dia ceritakan tanpa beban
dan seperti tidak bersalah.
Usai membunuh dan memutilasi korban-korbannya, MD
mengaku enjoy saja. Dia merasa tidak menyesal sama sekali.”
“Mayat
seorang turis wanita asal Amerika ditemukan dalam keadaaan terpotong-potong di
dalam koper pada sebuah bagasi taksi di Denpasar, Bali. Pembunuhnya adalah anak
perempuannya sendiri dan kekasihnya, diduga sang ibu dibunuh akibat tidak
merestui hubungan cinta anak perempunnya.”
“Gaza,
jet tempur Israel melancarkan 80 kali serangan bom. Akibat serangan itu sedikitnya
10 lokasi, 19 warga Gaza, di antaranya enam anak—anak tewas. Sekitar 10.224
lainnya mengalami luka-luka dan mayoritas merupakan warga sipil, termasuk
ribuan anak-anak, ratusan wanita dan kaum manula. Sejak gempuran Israel dimulai
pada 8 Juli lalu, kini jumlah korban yang meninggal dunia mencapai 2.049 warga
Palestina.”
“Video
pemenggalan kepala James Foley, wartawan lepas yang aktif mengirimkan laporan
tentang Timur Tengah dan mendedikasikan
hidupnya untuk memberitahukan kepada dunia penderitaan rakyat Suriah beredar, sejumlah militan menyatakan kegembiraan
dengan memasang foto pemenggalan kepala dalam akun Twitter.”
Ya
Allah!. Melihatnya wajah saya pias, baris demi baris guntingan kliping itu
ternyata adalah luka dukana, dan petaka bagi umat manusia. Tiba-tiba mataku
menglirkan embun, yang sebentar saja sudah menjelma isak keras hingga tubuh dan
hati berguncang.
Seluruh
dunia harus tahu, aku harus mengabarkan ini, “Kemanusiaan telah diculik.”
Kutub, Agustus
2014.
0 komentar:
Posting Komentar