Ada pesan sumbing dari surat kabar pagi ini, isinya
begini;
“Mengapa tidak semua orang memiliki lesung pipit?
Fenomena lesung pipit dipengaruhi oleh faktor genetik dan diperlukan gen lesung
pipit yang dominan. Jika salah satu orang tua atau kekek-neneknya memiliki
lesung pipit, maka ada kemungkinan lesung pipit ini akan diturunkan ke generasi
berikutnya. Anak-anak yang terlahir dari salah satu orang tua dengan lesung
pipit akan memiliki kesempatan sebesar 25-100 persen.”
Apakah iya, fenomena lesung pipit dipengaruhi oleh
faktor genetik?
Tapi, aku kurang begitu yakin, sebab banyak kesahihan
fakta yang tidak berangkat dari sana. Ia berangkat dari jalan-jalan lain.
Belum puas akan jawaban yang kurang pas, Kulangsungkan
membuka sebuah buku dan majalah, siapa tahu ada pencerahan dari kebingungan ini,
hingga kutemukan penjelas berikutnya;
“Seperti dikutip dari NCTimes, Dr. Joel Pessa [ahli
bedah plastik di University of Texas Health Science Center] menuturkan; Lesung pipit
disebabkan oleh kecacatan dari otot zygomaticus utama. Dan kronologi kenapa
lesung pipit bisa muncul di pipi seseorang itu diakibatkan oleh otot
zygomaticus utama yang lebih pendek daripada ukuran sebenarnya atau atot ini
terbelah menjadi dua, kondisi ini menyebabkan adanya lekukan pada pipi.”
Tapi aku masih bigung, kucari sumber info lain.
Dan menyatakan;
“Seseorang yang lesung pipit, ketika ia tersenyum atau
berbicara, maka ada daya tarik kulit yang membuat lesung pipit muncul akibat
efek penarikan kulit tersebut. Hal ini diketahui setelah peneliti membedah
anatomi wajah 50 mayat yang memiliki lesung pipit. Lesung pipit umumnya tidak
terlihat ketika seseorang sedang diam, karena otot pipi tersebut tidak
mengalami penarikan atau dalam posisi diam.”
Dari sumber ini aku tambah mengambang,
Kucari sumber terakhir, siapa tahu tidak menyesatkan;
“Lesung pipit sekilas tampak serem karena tarnyata itu
kecacatan, tapi tidak bisa dipungkiri kalau lesung pipit ini kecacatan indah yang
bikin seseorang jadi lebih “baby face”, manis, ngegemesin dan yang pasti kalau
doi tersenyum bikin yang melihat wajahnya jadi [geregetan]”.
Sumber terakhir mengantarkanku pada puncak kebingungan
dan kefanaan, keambiguan yang menginjak satadium empat, kronis dan membandel.
Aku mulai tidak percaya semua berita ini, lelucon, berita
taik, berita yang muasalnya hanya sandiwara, berita yang tidak berangkat dari hasil
permenungan-permenungan, berita yang tidak sewujud dengan di lapangan, berita
mentah dalam suatu kasus kehidupan, yang disajikan tanpa observasi secara cermat.
***
Mengapa aku tidak sepaham dengan peneletian
dan penilaian di atas?. Karena akulah seorang gadis cacat yang dibicarakan tadi,
gadis yang terpojok dalam kehidupan sosial, bukan bergelimang kebahagiaan tapi menggenang
danau kesusahan, akulah gadis yang tak pernah merasakan kewajaran hidup
layaknya teman sebayaku. Cuma karena aku cacat, Cuma karena pipiku lesung, dan cacatku
pada kedua pipiku yang lesung.
Aku pun bukan keturunan orang yang
lesung pipit, atau bagian dari garis genetik lesung pipit, ibuku saja pipinya
tembam, pipi ayahku rata, dan pipi kekek-nenekku keriput, kulihat tak ada
lesungan di pipi mereka. Tapi kenapa aku seorang gadis yang lesung pipit, gadis
yang selalu ketiban sial dan malang. Maka saya “Protes” guna untuk menggubris penelitian
para pakar dan peran buruk Tuhan dalam kehidupanku.
Aku pun tak habis pikir ketika
penelitian itu mengatakan “sebermula lesung pipit adalah kecacatan otot
zygomaticus, otot yang lebih pendek dari pada ukuran aslinya, sehingga
menimbulkan lekukan pada pipi”. Padahal betis dan pahaku juga mendera kecacatan
otot zygomaticus, atau bagian perutku yang sama juga. Anehnya di kesemua tidak
lesung laiknya lesung pipiku.
Anehnya penemuan terakhir; orang dengan
lesung pipit akan unyu, lucu, dan bikin geregetan. Padahal aku tidak,
justru aku di depak dari lingkunganku, keluarga, dan teman bermain. Padahal
sebaliknya, sebaliknya, dan sebaliknya.
***
Sebagai perempuan yang duduk
dibangku sekolah menengah pertama, aku mengira kalau masa remajaku bisa
kunikmati dengan sepenuhnya, bisa bermain dengan teman-teman, bisa belajar
bersama, bisa diskusi bersama, bisa mengerjakan tugas bersama, dan
seterusnya..!!
Tapi tidak, aku mendapat perlakuan buruk dari
teman-teman, sahabat dekatku, bahkan guruku tampak tidak senang ketika aku ikut
pelajarannya.
Cuma karena masalah yang tadi, karena aku gadis cacat
yang pipinya lesung.
Sebagai
anak bungsu, dalam keluarga besarku. Sepantasnya aku mendapat kasih sayang yang
lebih, jika dibandingkan dengan kakak-kakakku yang sudah mendapatkannya dari
dulu. Jangankan kakak-kakakku, ayah-ibuku saja tampak jenuh bila melihatku. Apa
yang salah dari diriku?.
Ketika kutarik ulur lagi, ternyata karena masalah yang
tadi, karena aku adalah seorang gadis lesung pipit.
Sebagai
anak perempuan yang berjiwa sosial, tentunya aku suka bertetangga, bermain ke rumah
teman, silaturhmi, dan suka menginap di rumah saudara. Tapi sekali lagi yang kudapati,
aku terdepak dari kehidupan mereka, seolah aku tak ada harganya dan tak ada
gunanya.
Aku merenung lagi, dan mendapat jawaban itu lagi; Iya,
cuma karena masalah yang tadi, karena aku adalah seorang gadis yang
berlesung pipit.
***
Di
pagi yang buta, dalam kabut hitam dan tebal, dan dalam mendung hatiku. Aku masih
saja bergumul dengan iblis yang menyeramkan, iblis yang mukim dalam diriku,
hingga tak ada pembeda “aku iblis atau iblis itu aku.”
Bagaimana tidak, sangkaanku tanpak benar jika diukur
dari prasangka-prasangka lain. Bahwa fenomena lesung pipit itu adalah rencana
dan kutukan iblis.
Tapi sudahlah, kucoba melepasnya, dan kubiarkan
kegundahan itu mencair sendiri.
Di
pagi yang sama, dengan waktu yang berbeda aku mulai keluar rumah, kuyakini
kalau kegundahanan ini bisa dilampiaskan pada udara pagi yang segar, pada suara
burung yang saling sapa dengan temannya. Aku jalan santai sembari meneliti
sekeliling, menginjaki tanah lapang nan gembur, dan menyaksikan kesibukan orang
menyiapkan diri untuk kegiatannya pagi ini.
Dari
saking jauhnya aku berjalan, tibalah aku pada sebuah kolam ikan yang luas
sekali, kusaksikan riak air dipermukaannya. Aku tersenyum, karena bukan ikan
yang membuat air itu beriak, tapi seekor buaya putih, bertubuh mungil, dan
matanya berbinar indah. Penasaran, aku menghampirinya
0 komentar:
Posting Komentar