Rabu, 20 Juli 2016

Gadis Berlesung Pipit



Ada pesan sumbing dari surat kabar pagi ini, isinya begini;

“Mengapa tidak semua orang memiliki lesung pipit? Fenomena lesung pipit dipengaruhi oleh faktor genetik dan diperlukan gen lesung pipit yang dominan. Jika salah satu orang tua atau kekek-neneknya memiliki lesung pipit, maka ada kemungkinan lesung pipit ini akan diturunkan ke generasi berikutnya. Anak-anak yang terlahir dari salah satu orang tua dengan lesung pipit akan memiliki kesempatan sebesar 25-100 persen.”

Apakah iya, fenomena lesung pipit dipengaruhi oleh faktor genetik?
Tapi, aku kurang begitu yakin, sebab banyak kesahihan fakta yang tidak berangkat dari sana. Ia berangkat dari jalan-jalan lain.


Belum puas akan jawaban yang kurang pas, Kulangsungkan membuka sebuah buku dan majalah, siapa tahu ada pencerahan dari kebingungan ini, hingga kutemukan penjelas berikutnya;

“Seperti dikutip dari NCTimes, Dr. Joel Pessa [ahli bedah plastik di University of Texas Health Science Center] menuturkan; Lesung pipit disebabkan oleh kecacatan dari otot zygomaticus utama. Dan kronologi kenapa lesung pipit bisa muncul di pipi seseorang itu diakibatkan oleh otot zygomaticus utama yang lebih pendek daripada ukuran sebenarnya atau atot ini terbelah menjadi dua, kondisi ini menyebabkan adanya lekukan pada pipi.”

Tapi aku masih bigung, kucari sumber info lain.
Dan menyatakan;

“Seseorang yang lesung pipit, ketika ia tersenyum atau berbicara, maka ada daya tarik kulit yang membuat lesung pipit muncul akibat efek penarikan kulit tersebut. Hal ini diketahui setelah peneliti membedah anatomi wajah 50 mayat yang memiliki lesung pipit. Lesung pipit umumnya tidak terlihat ketika seseorang sedang diam, karena otot pipi tersebut tidak mengalami penarikan atau dalam posisi diam.”

Dari sumber ini aku tambah mengambang,
Kucari sumber terakhir, siapa tahu tidak menyesatkan;

“Lesung pipit sekilas tampak serem karena tarnyata itu kecacatan, tapi tidak bisa dipungkiri kalau lesung pipit ini kecacatan indah yang bikin seseorang jadi lebih “baby face”, manis, ngegemesin dan yang pasti kalau doi tersenyum bikin yang melihat wajahnya jadi [geregetan]”.

Sumber terakhir mengantarkanku pada puncak kebingungan dan kefanaan, keambiguan yang menginjak satadium empat, kronis dan membandel.

Aku mulai tidak percaya semua berita ini, lelucon, berita taik, berita yang muasalnya hanya sandiwara, berita yang tidak berangkat dari hasil permenungan-permenungan, berita yang tidak sewujud dengan di lapangan, berita mentah dalam suatu kasus kehidupan, yang disajikan tanpa observasi secara cermat.

***

Mengapa aku tidak sepaham dengan peneletian dan penilaian di atas?. Karena akulah seorang gadis cacat yang dibicarakan tadi, gadis yang terpojok dalam kehidupan sosial, bukan bergelimang kebahagiaan tapi menggenang danau kesusahan, akulah gadis yang tak pernah merasakan kewajaran hidup layaknya teman sebayaku. Cuma karena aku cacat, Cuma karena pipiku lesung, dan cacatku pada kedua pipiku yang lesung.

Aku pun bukan keturunan orang yang lesung pipit, atau bagian dari garis genetik lesung pipit, ibuku saja pipinya tembam, pipi ayahku rata, dan pipi kekek-nenekku keriput, kulihat tak ada lesungan di pipi mereka. Tapi kenapa aku seorang gadis yang lesung pipit, gadis yang selalu ketiban sial dan malang. Maka saya “Protes” guna untuk menggubris penelitian para pakar dan peran buruk Tuhan dalam kehidupanku.

Aku pun tak habis pikir ketika penelitian itu mengatakan “sebermula lesung pipit adalah kecacatan otot zygomaticus, otot yang lebih pendek dari pada ukuran aslinya, sehingga menimbulkan lekukan pada pipi”. Padahal betis dan pahaku juga mendera kecacatan otot zygomaticus, atau bagian perutku yang sama juga. Anehnya di kesemua tidak lesung laiknya lesung pipiku.

Anehnya penemuan terakhir; orang dengan lesung pipit akan unyu, lucu, dan bikin geregetan. Padahal aku tidak, justru aku di depak dari lingkunganku, keluarga, dan teman bermain. Padahal sebaliknya, sebaliknya, dan sebaliknya.

***

Sebagai perempuan yang duduk dibangku sekolah menengah pertama, aku mengira kalau masa remajaku bisa kunikmati dengan sepenuhnya, bisa bermain dengan teman-teman, bisa belajar bersama, bisa diskusi bersama, bisa mengerjakan tugas bersama, dan seterusnya..!!
Tapi tidak, aku mendapat perlakuan buruk dari teman-teman, sahabat dekatku, bahkan guruku tampak tidak senang ketika aku ikut pelajarannya.
Cuma karena masalah yang tadi, karena aku gadis cacat yang pipinya lesung.

            Sebagai anak bungsu, dalam keluarga besarku. Sepantasnya aku mendapat kasih sayang yang lebih, jika dibandingkan dengan kakak-kakakku yang sudah mendapatkannya dari dulu. Jangankan kakak-kakakku, ayah-ibuku saja tampak jenuh bila melihatku. Apa yang salah dari diriku?.
Ketika kutarik ulur lagi, ternyata karena masalah yang tadi, karena aku adalah seorang gadis lesung pipit.

            Sebagai anak perempuan yang berjiwa sosial, tentunya aku suka bertetangga, bermain ke rumah teman, silaturhmi, dan suka menginap di rumah saudara. Tapi sekali lagi yang kudapati, aku terdepak dari kehidupan mereka, seolah aku tak ada harganya dan tak ada gunanya.
Aku merenung lagi, dan mendapat jawaban itu lagi; Iya, cuma karena masalah yang tadi, karena aku adalah seorang gadis yang berlesung  pipit.

***
            Di pagi yang buta, dalam kabut hitam dan tebal, dan dalam mendung hatiku. Aku masih saja bergumul dengan iblis yang menyeramkan, iblis yang mukim dalam diriku, hingga tak ada pembeda “aku iblis atau iblis itu aku.”
Bagaimana tidak, sangkaanku tanpak benar jika diukur dari prasangka-prasangka lain. Bahwa fenomena lesung pipit itu adalah rencana dan kutukan iblis.

Tapi sudahlah, kucoba melepasnya, dan kubiarkan kegundahan itu mencair sendiri.

            Di pagi yang sama, dengan waktu yang berbeda aku mulai keluar rumah, kuyakini kalau kegundahanan ini bisa dilampiaskan pada udara pagi yang segar, pada suara burung yang saling sapa dengan temannya. Aku jalan santai sembari meneliti sekeliling, menginjaki tanah lapang nan gembur, dan menyaksikan kesibukan orang menyiapkan diri untuk kegiatannya pagi ini.

            Dari saking jauhnya aku berjalan, tibalah aku pada sebuah kolam ikan yang luas sekali, kusaksikan riak air dipermukaannya. Aku tersenyum, karena bukan ikan yang membuat air itu beriak, tapi seekor buaya putih, bertubuh mungil, dan matanya berbinar indah. Penasaran, aku menghampirinya
           



Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com