“Iya Om, Insya’allah aku ikut tahlilan”
“Ayo cepat pasang bajumu, kita
berangkat” tambah Omku kibang-kibut.
“Tapi lama tidak Om, nanti?”
“Tidak! sebentar saja kok Mad,
paling jam 11-an sudah kelar”
“Baiklah Om, kita berangkat”
Awalnya,
pikiranku mengakar dua atau ambigu dengan rayuan Omku yang mengajak ikut
tahlilan, tapi ketika rasa penasaranku kian memuncak, dengan senang hati aku ikut
saja dengannya, maklumlah sebagai orang asing dan pertama menginjakkan kaki di
kampung ini, pastilah ingin tahu segala hal, tradisi, kebudayaan, dan ingin
jauh masuk bergumul dengan masyarakat.
Baru
dua hari di kampung ini, terasa banyak yang kutemui dari sebelumnya, kelainan
yang tak pernah aku kecap di tempat indekos mahasiswa di jantung kota dulu,
termasuk ketika aku ikut tahlilan untuk yang pertama kalinya, setelah beberapa
tahun hidup di kota, dan tak pernah tahlilan, tapi tidak juga kalau
seumur-umur, pernah dulu; tapi sudah lupa ketiban usia. Ketika menginjakkan kaki di beranda rumah
orang yang melangsungkan tahlilan. Malam itu, aku mulai tidak nyaman dengan
bebauan yang malang-melintang di radiasi radar penciumanku, terasa menyengat,
dan terasa perih menusuk-nusuk. Bau apa ini? Gemuruh batin mempertanyakan.
Sembari
berjalan uncang-uncang, kutanya Omku, bau apa ini Om? “ini bau kemenyan Mad”, Ooo..!
ini yang namanya bau kemenyan!! aku baru tahu kalau bau kemenyan seangker dan
seseram ini. Tapi kok di suruh endus ke para undangan Om?, Yaa biasa, kalau mendoakan orang mati, di
hari pertama sampai ke tujuh hari sepeninggalannya, di empat puluh hari
sepeninggalannya, di seratus hari sepeninggalannya, atau di seribu hari
sepeninggalannya Mad, semua pasti membakar kemenyan seperti ini. “Hemmn…!! Ooo..
gitu, kok, aku baru tahu yaa”. Sambil mengelus kepala pertanda malu, anak pribumi
yang tak mengenal budayanya sendiri
Di
hampar halaman rumah itu, telah berjajar bapak-bapak yang tugasnya menyambut
kedatangan para undangan, mereka menyalamiku yang termasuk mangsanya sebagai
seorang tamu undangan, “terima kasih sudah hadir Mas” salah seorang dari mereka
melemparkan rasa terima kasihnya, “Iya Pak sama-sama” jawabku lirih.
***
Malam
yang luar biasa, sorot lampu ruangan menyilau terang, dan semerbak bau kemenyan
itu pun semakin menggerayangi, ada beberapa orang mengapitku, rata-rata berjenggot
tebal, berkumis, dan berjambang, sangkaku mereka para sahabat Nabi, tapi tidak, “akankah mereka masih
hidup?” kuyakini dalam-dalam, mereka bukan para sahabat, yang benar saja mereka
di sini!! Tidak mungkin”.
Aku
mulai gelisah ketika duduk diantara keruman orang-orang yang kuanggap pakarnya agama
Islam itu. Bayangkan saja, aku hanya mengenakan baju pendek yang ujungnya
dilipat, songkok tudung hitam usang, dan sarung corak kotak-kotak tua, sedang
kulihat tetanggaku itu, mengenakan jubah putih, dengan sajadah putih yang dililitkan
ke peci putih di kepalanya, sungguh penampilan mereka melayukanku, sungguh ini
pemandangan yang mendongkolkan sepanjang hidupku.
Seakan
peluh ini mengucur deras tanpa mandat, ia seenaknya melumuri sekujur tubuhku
tanpa ampun, hingga menimbulkan efek basah di bajuku, alamak! Kapan acara ini
kelar yaa? Aku tidak kuat lagi.
***
Seakan
waktu menggelinding terlampau laun. Tak seirama dengan batinku yang membalap untuk
segera menyudahi acaranya ini.
Namun,
dari sekian gerak pemandangan malam itu, ada yang tak kalah berbisa
menggerayangiku habis-habisan. Ternyata dudukku mengarah ke lorong tengah
rumah, ada pintu besar sekaligus pembatas jarak antara undangan ibu-ibu dan
bapak-bapak, tapi anehnya tidak ada tabir penghalangnya, cukup dibiarkan plontos,
dan semuanya saling berhadap-hadapan, undangan bapak-bapak dan ibu-ibu.
Ya
Allah!! mengapa Engkau turunkan bidadari di hadapanku, apakah Engkau memang mengutusnya
untukku, ia begitu indah, begitu elok, permai, menawan, dan tak bisa aku berkata apa-apa lagi. Ini
sungguh anugerah yang luar biasa aku bisa melihatnya.
Aku
melihatnya teliti, ada seorang perempuan muda seumurku duduk diantara undangan
ibu-ibu, mengenakan kerudung merah, baju merah, dan bawahannya pula merah, ia
serupa mawar di tumpukan duri-duri, dan mengapa kalau aku serupa duri itu yang
akan menusuk-lukai hatimu, sinar matanya mengalahkan sinar lampu malam itu,
senyumnya dapat aku tangkap sempurna, aduhh..!! getaran apa ini?, aku semakin
curiga.
Sesempat-sempatnya
aku melirik perempuan itu, di sela kesibukan undangan komat kamit membaca
surat-surat pendek, tapi keriuhan itu hanya terasa suara biola keharmonisan, yang
mengalun merdu, siapa namanya? Dari mana asalnya? Bolehkah kutanam cinta ke
dasar hatimu? Pertanyaan yang kerap kali menyumbul-nyumbul.
***
“Shallu’ala Muhamad” pimpinan tahlil melemparkan shalawat kepada para undangan,
sontak saja aku terkejut, “Shalli’ali”
jawab para undangan seragam. Yaa ampun! Cantiknya, sungguh..!! Perempuan itu, perempuan
itu, sangat cantik.
Aku berdiri, ia pun berdiri, seolah
senyuman terakhirnya memberi isyarat mendalam.
Kutub, 20
Mei 2014
0 komentar:
Posting Komentar