Rabu, 20 Juli 2016

Kutangkap Senyummu



“Iya Om, Insya’allah aku ikut tahlilan”
“Ayo cepat pasang bajumu, kita berangkat” tambah Omku kibang-kibut.
“Tapi lama tidak Om, nanti?”
“Tidak! sebentar saja kok Mad, paling jam 11-an sudah kelar”
“Baiklah Om, kita berangkat”

            Awalnya, pikiranku mengakar dua atau ambigu dengan rayuan Omku yang mengajak ikut tahlilan, tapi ketika rasa penasaranku kian memuncak, dengan senang hati aku ikut saja dengannya, maklumlah sebagai orang asing dan pertama menginjakkan kaki di kampung ini, pastilah ingin tahu segala hal, tradisi, kebudayaan, dan ingin jauh masuk bergumul dengan masyarakat.

            Baru dua hari di kampung ini, terasa banyak yang kutemui dari sebelumnya, kelainan yang tak pernah aku kecap di tempat indekos mahasiswa di jantung kota dulu, termasuk ketika aku ikut tahlilan untuk yang pertama kalinya, setelah beberapa tahun hidup di kota, dan tak pernah tahlilan, tapi tidak juga kalau seumur-umur, pernah dulu; tapi sudah lupa ketiban usia.  Ketika menginjakkan kaki di beranda rumah orang yang melangsungkan tahlilan. Malam itu, aku mulai tidak nyaman dengan bebauan yang malang-melintang di radiasi radar penciumanku, terasa menyengat, dan terasa perih menusuk-nusuk. Bau apa ini? Gemuruh batin mempertanyakan.


            Sembari berjalan uncang-uncang, kutanya Omku, bau apa ini Om? “ini bau kemenyan Mad”, Ooo..! ini yang namanya bau kemenyan!! aku baru tahu kalau bau kemenyan seangker dan seseram ini. Tapi kok di suruh endus ke para undangan  Om?, Yaa biasa, kalau mendoakan orang mati, di hari pertama sampai ke tujuh hari sepeninggalannya, di empat puluh hari sepeninggalannya, di seratus hari sepeninggalannya, atau di seribu hari sepeninggalannya Mad, semua pasti membakar kemenyan seperti ini. “Hemmn…!! Ooo.. gitu, kok, aku baru tahu yaa”. Sambil mengelus kepala pertanda malu, anak pribumi yang tak mengenal budayanya sendiri

            Di hampar halaman rumah itu, telah berjajar bapak-bapak yang tugasnya menyambut kedatangan para undangan, mereka menyalamiku yang termasuk mangsanya sebagai seorang tamu undangan, “terima kasih sudah hadir Mas” salah seorang dari mereka melemparkan rasa terima kasihnya, “Iya Pak sama-sama” jawabku lirih.

***
           
            Malam yang luar biasa, sorot lampu ruangan menyilau terang, dan semerbak bau kemenyan itu pun semakin menggerayangi, ada beberapa orang mengapitku, rata-rata berjenggot tebal, berkumis, dan berjambang, sangkaku mereka para sahabat Nabi, tapi tidak, “akankah mereka masih hidup?” kuyakini dalam-dalam, mereka bukan para sahabat, yang benar saja mereka di sini!! Tidak mungkin”.

            Aku mulai gelisah ketika duduk diantara keruman orang-orang yang kuanggap pakarnya agama Islam itu. Bayangkan saja, aku hanya mengenakan baju pendek yang ujungnya dilipat, songkok tudung hitam usang, dan sarung corak kotak-kotak tua, sedang kulihat tetanggaku itu, mengenakan jubah putih, dengan sajadah putih yang dililitkan ke peci putih di kepalanya, sungguh penampilan mereka melayukanku, sungguh ini pemandangan yang mendongkolkan sepanjang hidupku.

            Seakan peluh ini mengucur deras tanpa mandat, ia seenaknya melumuri sekujur tubuhku tanpa ampun, hingga menimbulkan efek basah di bajuku, alamak! Kapan acara ini kelar yaa? Aku tidak kuat lagi.

***

            Seakan waktu menggelinding terlampau laun. Tak seirama dengan batinku yang membalap untuk segera menyudahi acaranya ini.

            Namun, dari sekian gerak pemandangan malam itu, ada yang tak kalah berbisa menggerayangiku habis-habisan. Ternyata dudukku mengarah ke lorong tengah rumah, ada pintu besar sekaligus pembatas jarak antara undangan ibu-ibu dan bapak-bapak, tapi anehnya tidak ada tabir penghalangnya, cukup dibiarkan plontos, dan semuanya saling berhadap-hadapan, undangan bapak-bapak dan ibu-ibu.

            Ya Allah!! mengapa Engkau turunkan bidadari di hadapanku, apakah Engkau memang mengutusnya untukku, ia begitu indah, begitu elok, permai, menawan,  dan tak bisa aku berkata apa-apa lagi. Ini sungguh anugerah yang luar biasa aku bisa melihatnya.

            Aku melihatnya teliti, ada seorang perempuan muda seumurku duduk diantara undangan ibu-ibu, mengenakan kerudung merah, baju merah, dan bawahannya pula merah, ia serupa mawar di tumpukan duri-duri, dan mengapa kalau aku serupa duri itu yang akan menusuk-lukai hatimu, sinar matanya mengalahkan sinar lampu malam itu, senyumnya dapat aku tangkap sempurna, aduhh..!! getaran apa ini?, aku semakin curiga.

            Sesempat-sempatnya aku melirik perempuan itu, di sela kesibukan undangan komat kamit membaca surat-surat pendek, tapi keriuhan itu hanya terasa suara biola keharmonisan, yang mengalun merdu, siapa namanya? Dari mana asalnya? Bolehkah kutanam cinta ke dasar hatimu? Pertanyaan yang kerap kali menyumbul-nyumbul.

***

“Shallu’ala Muhamad” pimpinan tahlil melemparkan shalawat kepada para undangan, sontak saja aku terkejut, “Shalli’ali” jawab para undangan seragam. Yaa ampun! Cantiknya, sungguh..!! Perempuan itu, perempuan itu, sangat cantik.

Aku berdiri, ia pun berdiri, seolah senyuman terakhirnya memberi isyarat mendalam.

Kutub, 20 Mei 2014
  
Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com