Dari batang
tubuh bus antar kota, riuh rendah suara itu terdengar lagi, suara pengasong
makanan ringan dan minuman pembasah kerongkongan, suara itu melantun lagi,
suara pengamen yang menggoyang bus dengan tabuh gendang dan gelitik gitar, atau
keriuhan penumpang yang mengatupkan mulut untuk bercakap, hingga semua
mengental dan beterbangan di sawang langit bus.
Barangkali
cuma aku yang menyumbat sepasang daun telinga, saking ketakterimaannku terhadap
bunyi-bunyian yang menyesakkan dada dan memerihkan mata, dari Prenduan tempat
aku bermula, di dalam bus, sebuah kursi lusuh menunggu kedatanganku, ia salah
satu kursi kembar dempet tiga, paling hilir dan paling buruk rupa, dengan perasan cacat terpaksa aku manut dan
meng-iyakan seorang kondektur bus yang tiba-tiba menuntunku ke letak kursi
kosong itu, “ini adalah bus terburuk,
terjelek, terbau, dan (ter-ter) lainnya” gumamku dalam hati, dan protesku
terhadap transportasi umum negeri ini.
“mau kemana
Mas?” Kondektur itu membuyarkan kampanyeku.
“Surabaya!”
jawabku ketus,
“Lima puluh
empat ribu,” sambil ia sodorkan selembar karcis ke wajahku.
“Apa pak..
lima puluh empat ribu?, nggak kemurahan pak”, aku menyindir, “biasanya
Prenduan-Surabaya itu tiga puluh lima ribu pak, itu pun dengan bus-AC dan tentu
dengan kursi empuk, tidak segepeng dan secalar kursi bus ini”,
“yaahh, mau
bayar atau turun?” jawabnya membangun benteng pertahanan.
“Jangan gitu juga
pak, coba mengerti saya, selama saya hilir mudik Prenduan-Surabaya memang tak
semahal itu, paling naik sedikit aja,
lagian sekasar itukah bapak terhadap pelajar sepertiku”
Kondektur itu
diam dan tampak merencanakan sesuatu,
“Ya sudah, bayar
empat puluh lima ribu wes”. ia menurunkan
harga, dan mengakhiri tawar menawar.
“Ini pak”
terima kasih atas entakannya.
***
Sepanjang perjalananku
di tubuh bus ber-cat putih itu, tetap saja aku tak habis pikir mengapa lonjakan tarif tranportasi
publik begitu tinggi namun tidak diimbangi dengan perbaikan sarana dan
prasarana?. Pikiranku terus mengembara.
Hingga suara
terlantun, “Terminal Bungorasih.. terminal Bungorasih.!” seorang kenek mengedarkan info ke para penumpang saraya membuka
kran pintu bus, Aku pun ikut mengekor antre di depan pintu, karena rata-rata
semua turun di terminal Bungorasih.
Akhirnya sampai
di Bungorasih, dengan barang bawaan yang cukup banyak, aku mulai menyatroni
setiap bus yang tengah bersap menghadap utara, di bawah plang nama kota tujuan
masing-masing, dimana ya bus tujuan Yogyakarta? Tanyaku sambil merazia dari
pangkal ke ujung terminal. Ternyata bus tujuan Yogyakarta baru menampakkan
wajahnya, aku pun menjadi orang pertama yang menunggangi bus PO-MIRA itu.
Dengan mangambil stan duduk paling depan aku berharap mendapat kenyaman dan kelayakan.
Dengan
perasan tenang, damai dan dengan bus lebih bersih aku pun bergelayar menuju
Yogyakarta, memang tujuan awalku bukan ke Surabaya namun ke kota Gudeg
Yogyakarta, kota perang sekaligus kota bersejarah bagiku.
Di atas bus
berpenumpang terbatas itu aku mengambil sebuah antologi puisi (Rendra),
berharap buku itu mengusir kejenuhan dan mingisi ruang hampar hatiku. Belum
kelar tiga judul kulahap, tiba-tiba sesosok perempuan duduk di sampingku, tidak
tua amat kira-kira umur dua puluh tujuh tahunan.
Pertamanya dia
bungkam tak bersuara, tapi ketika datang seorang perempuan lagi sebayanya, ia
girang dan tampak kocak bercakap sesuatu.
“Eh, kamu mbak
Ati”.. salah satu dari mereka memulai pembicaraan.
“Yaa Mbak
Sara, Aduuh gimana punya kabar Mbak Ati?, lama banget nggak bersua.
Mereka sambil
berpelukan dan mencium pipi masing-masing, keduanya tampak terang duduk di
sebelahku, dan bercakap berbagai hal.
Aku mulai gelisah akan
kebisingan mereka, yang ngalor-ngidul
bicara dengan mengoper tema satu dan tema lainnya.
Aku yang
tengah berpusat memelototi rancangan huruf di antologi, sangat terganggu dan
rasanya ingin muntah mendengar percakapan mereka itu.
“Kamu udah
lulus Mbak Ati?”,
“belum” Mbak
Sara, aku tengah menyelesaikan skripsi, dan insya-allah tahun ini kelar. “ooo”
derak Ati,
Kamu sendiri
Mbak Sara? Aku sudah lulus kemarin, dan saat ini tengah nge-galau mencari
pekerjaan, kalau kita lihat sarjana sekarang, banyak tidak mendapat pekerjaan layak,
dan tak ada bedayanya dengan lulusan SMP yang bekerja sebagai kuli bangunan, pedagang,
petani dan lainnya.
Saking
asyiknya ngobrol, mereka menjadi manusia paling berisik seisi bus, tak ada
bedanya dengan burung enggang tengah berkicau, bahkan melampauinya, sungguh
luar biasa mengganngu.
Suara itu
belum sempurna tenggelam, tiba-tiba pengasong dan pengamen ikut mendesaki bus itu
lagi, bedanya dengan pengasong bus tujuan Surabaya, mereka lebih banyak dan
lebih garang dalam menjajakan dagangannya, mengancam dan suka menodong.
“subhanallah”
, aku semakin tidak kerasan dan rasanya ingin muntah berlama-lama di sini,
ingin aku meloncat dari tubuh bus, ingin aku keluar dari kenyatan ini.
Dari sekian
rekayasa kehidupan yang penuh tipuan, aku pun mulai sadar kalau di dalam bus
itu banyak orang yang berhati jahat, ada banyak pencopet, pemalak dan
sebangsanya, ketika desakan orang tambah menggeliat, aku mulai meraba kantong
celana yang mengeram sebuah dompet,
“Inna-lillah” dompetku
raib, dan tampak kantong sakuku kempes tak bertuan.
Aku bingung, gemetar dan
kutanyakan pada setiap orang yang kujumpai di dalam bus, ternyata mereka tidak
tahu dan tampak cuek memberi jawaban.
Aku tambah
gamang, ngilu dengan itu, aku kembali ke tempat duduk di belakang sopir bus
itu, dan sekali lagi aku tambah tak habis pikir mengapa tansportasi publik ini begitu
buas, ganas, dan sarang kejahatan.
Ketika
gumpalan perasaan itu menggunung di pikiranku, ternyata aku melemah, dan
pandangan membuyar, aku terlelap dan tertidur. Aku masuki ruang tak berdinding,
dan lautan tak bertepi, aku semakin jauh, semakin jauh, jauh, dan jauh…
Bang,
Bangun…!
Bang,
Bangun…!
Udah sampai Yogyakarta.
Kutub,
Maret 2014.
0 komentar:
Posting Komentar