Rabu, 20 Juli 2016

Bang, Bangun...!!




Dari batang tubuh bus antar kota, riuh rendah suara itu terdengar lagi, suara pengasong makanan ringan dan minuman pembasah kerongkongan, suara itu melantun lagi, suara pengamen yang menggoyang bus dengan tabuh gendang dan gelitik gitar, atau keriuhan penumpang yang mengatupkan mulut untuk bercakap, hingga semua mengental dan beterbangan di sawang langit bus.

Barangkali cuma aku yang menyumbat sepasang daun telinga, saking ketakterimaannku terhadap bunyi-bunyian yang menyesakkan dada dan memerihkan mata, dari Prenduan tempat aku bermula, di dalam bus, sebuah kursi lusuh menunggu kedatanganku, ia salah satu kursi kembar dempet tiga, paling hilir dan paling buruk rupa,  dengan perasan cacat terpaksa aku manut dan meng-iyakan seorang kondektur bus yang tiba-tiba menuntunku ke letak kursi kosong itu, “ini adalah bus terburuk, terjelek, terbau, dan (ter-ter) lainnya” gumamku dalam hati, dan protesku terhadap transportasi umum negeri ini.

“mau kemana Mas?” Kondektur itu membuyarkan kampanyeku.
“Surabaya!” jawabku ketus,
“Lima puluh empat ribu,” sambil ia sodorkan selembar karcis ke wajahku.
“Apa pak.. lima puluh empat ribu?, nggak kemurahan pak”, aku menyindir, “biasanya Prenduan-Surabaya itu tiga puluh lima ribu pak, itu pun dengan bus-AC dan tentu dengan kursi empuk, tidak segepeng dan secalar kursi bus ini”,
“yaahh, mau bayar atau turun?” jawabnya membangun benteng pertahanan.
“Jangan gitu juga pak, coba mengerti saya, selama saya hilir mudik Prenduan-Surabaya memang tak semahal itu,  paling naik sedikit aja, lagian sekasar itukah bapak terhadap pelajar sepertiku”
Kondektur itu diam dan tampak merencanakan sesuatu,
“Ya sudah, bayar empat puluh lima ribu wes”.  ia menurunkan harga, dan mengakhiri tawar menawar.
“Ini pak” terima kasih atas entakannya.

***


Sepanjang perjalananku di tubuh bus ber-cat putih itu, tetap saja aku tak  habis pikir mengapa lonjakan tarif tranportasi publik begitu tinggi namun tidak diimbangi dengan perbaikan sarana dan prasarana?.  Pikiranku terus mengembara.

Hingga suara terlantun, “Terminal Bungorasih.. terminal Bungorasih.!” seorang kenek  mengedarkan info ke para penumpang saraya membuka kran pintu bus, Aku pun ikut mengekor antre di depan pintu, karena rata-rata semua turun di terminal Bungorasih.  

Akhirnya sampai di Bungorasih, dengan barang bawaan yang cukup banyak, aku mulai menyatroni setiap bus yang tengah bersap menghadap utara, di bawah plang nama kota tujuan masing-masing, dimana ya bus tujuan Yogyakarta? Tanyaku sambil merazia dari pangkal ke ujung terminal. Ternyata bus tujuan Yogyakarta baru menampakkan wajahnya, aku pun menjadi orang pertama yang menunggangi bus PO-MIRA itu. Dengan mangambil stan duduk paling depan aku berharap mendapat kenyaman dan kelayakan.

Dengan perasan tenang, damai dan dengan bus lebih bersih aku pun bergelayar menuju Yogyakarta, memang tujuan awalku bukan ke Surabaya namun ke kota Gudeg Yogyakarta, kota perang sekaligus kota bersejarah bagiku.

Di atas bus berpenumpang terbatas itu aku mengambil sebuah antologi puisi (Rendra), berharap buku itu mengusir kejenuhan dan mingisi ruang hampar hatiku. Belum kelar tiga judul kulahap, tiba-tiba sesosok perempuan duduk di sampingku, tidak tua amat kira-kira umur dua puluh tujuh tahunan.

Pertamanya dia bungkam tak bersuara, tapi ketika datang seorang perempuan lagi sebayanya, ia girang dan tampak kocak bercakap sesuatu.

“Eh, kamu mbak Ati”.. salah satu dari mereka memulai pembicaraan.
“Yaa Mbak Sara, Aduuh gimana punya kabar Mbak Ati?, lama banget nggak bersua.

Mereka sambil berpelukan dan mencium pipi masing-masing, keduanya tampak terang duduk di sebelahku, dan bercakap berbagai hal.
Aku mulai gelisah akan kebisingan mereka, yang ngalor-ngidul bicara dengan mengoper tema satu dan tema lainnya.

Aku yang tengah berpusat memelototi rancangan huruf di antologi, sangat terganggu dan rasanya ingin muntah mendengar percakapan mereka itu.

“Kamu udah lulus Mbak Ati?”, 
“belum” Mbak Sara, aku tengah menyelesaikan skripsi, dan insya-allah tahun ini kelar.    “ooo”  derak Ati,
Kamu sendiri Mbak Sara? Aku sudah lulus kemarin, dan saat ini tengah nge-galau mencari pekerjaan, kalau kita lihat sarjana sekarang, banyak tidak mendapat pekerjaan layak, dan tak ada bedayanya dengan lulusan SMP yang bekerja sebagai kuli bangunan, pedagang, petani dan lainnya.

Saking asyiknya ngobrol, mereka menjadi manusia paling berisik seisi bus, tak ada bedanya dengan burung enggang tengah berkicau, bahkan melampauinya, sungguh luar biasa mengganngu.

Suara itu belum sempurna tenggelam, tiba-tiba pengasong dan pengamen ikut mendesaki bus itu lagi, bedanya dengan pengasong bus tujuan Surabaya, mereka lebih banyak dan lebih garang dalam menjajakan dagangannya, mengancam dan suka menodong.

“subhanallah” , aku semakin tidak kerasan dan rasanya ingin muntah berlama-lama di sini, ingin aku meloncat dari tubuh bus, ingin aku keluar dari kenyatan ini.

Dari sekian rekayasa kehidupan yang penuh tipuan, aku pun mulai sadar kalau di dalam bus itu banyak orang yang berhati jahat, ada banyak pencopet, pemalak dan sebangsanya, ketika desakan orang tambah menggeliat, aku mulai meraba kantong celana yang mengeram sebuah dompet,
“Inna-lillah” dompetku raib, dan tampak kantong sakuku kempes tak bertuan.
Aku bingung, gemetar dan kutanyakan pada setiap orang yang kujumpai di dalam bus, ternyata mereka tidak tahu dan tampak  cuek memberi jawaban.

Aku tambah gamang, ngilu dengan itu, aku kembali ke tempat duduk di belakang sopir bus itu, dan sekali lagi aku tambah tak habis pikir mengapa tansportasi publik ini begitu buas, ganas, dan sarang kejahatan.

Ketika gumpalan perasaan itu menggunung di pikiranku, ternyata aku melemah, dan pandangan membuyar, aku terlelap dan tertidur. Aku masuki ruang tak berdinding, dan lautan tak bertepi, aku semakin jauh, semakin jauh, jauh, dan jauh…

Bang, Bangun…!
Bang, Bangun…!
            Udah sampai Yogyakarta.

     
Kutub, Maret 2014.

Share:

0 komentar:

Copyright © LAJANG KEMBARA | Powered by Blogger
Design by SimpleWpThemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com